• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Pun jika kiamat datang esok, maut merenggut, menginginkanmu sekalian aku. 

Siapa pula dapat luput? 
Aku bisa tiba-tiba mati, mengkiamatkan mimpi-mimpimu. 
Pun kau bisa mati, mengkiamatkan segala kebahagiaan dalam hidupku. 
seketika, 
tanpa perlu ramalan, 
tanpa terkecuali, 
tanpa menghindar.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
sebab yang manja ini tak juga mau pergi. kuturutkan maunya, mengenang yang dulu-dulu, menjadi kian tebal rindu yang tak bertujuan ini. 

orang sekarang menyebutnya kepo. kukunjungi profil fb sekian nama yang melintas di kepalaku. terlalu lama tak saling sapa, ada kabar apa? oh aku diunfriend, ada yang deaktif. aku makin pengen tahu. kubuka album foto. sudah beranak berapa? siapa lagi pacarnya? oh, sudah menikah, dan banyak lagi keingintahuan ini. 

kemarin malam pun telah kuturutkan menengok fakultas mantan kampus. kulewati kampung Karang Malang. segala ingatan bergantian memenuhi kepala. rumah itu. ya, sekilas kupandang rumah bercat oranye, masih bercat sama seperti beberapa tahun silam ketika seorang teman baik pernah menghuni tempat itu. bagaimana kabarnya? sudah luluskah? ah, kenapa begini segan untuk mampir. 

padahal aku pernah bersedu sedan. mengadu banyak hal. kumintai ia bantuan yg tak sekadar materi. bahkan, kukabarkan hari bahagiaku yang disambutnya dengan penyesalan. "Maaf aku tak bisa datang, aku sakit" katanya. ia teman sekaligus kurasai sebagai saudara. 

dan pagi ini, aku kelewat ngantuk. kembali jadi kepo. membuka-buka nama yang melintas di kepala. aku kembali mengingatnya, aku berhenti di profil Farikhah Jariyati N. seketika darahku mendesir. kubacai mention sekian kawanmu yang memberi doa di tanggal 25 November 2012. tanggal yang mencatat kepulanganmu yang kekal. tanganku mulai dingin. aku begini terlambat tahu. aku begini rindu. ah.

dan barangkali setiap diri punya kesepian sendiri, kehilangan yang lebih dari milikku. aku tahu pasti, tinggal waktu yang mengantarnya. seperti perasaan kehilangan yang milikku ini. semoga jalanmu mudah, dan pengampunan yang murah untukmu, Kah. doa yang tak sekadar kutulis ini untukmu. untukmu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Semalam--sepulang kerja kulajukan motor keliling fakultas mantan kampus. ada rindu yang lebay; berteriak-teriak di sini, di dadaku yang bergemuruh. sebab, aku tahu pasti, bukan hanya ada kenangan yang indah-indah, tapi juga peristiwa buruk yang tetap lestari di ingatan.  
Ya, aku sekadar memanjakan diri, meski sebenarnya aku tak ingin sesendu ini. toh, siapa pula yang merindu, selain pada pikiran yang tak adil begini.  
Kuhabiskan semangkuk salad buah di tempat langganan. kuceritakan pada seorang kawan baik tentang banyak hal seperti yang sudah-sudah. kami terbiasa menyempatkan diri untuk bertemu, berbagi; sekadar bercerita hal sepele, berkeluh kesah sesuka hati. tapi bagi kami ini penting, meski untuk sekali dalam seminggu saja.  
Ah, seandainya hati bisa puas dengan kesepian? nyatanya aku tidak. tidak bisa.
Jam di tangan belum cukup malam. kuputuskan memanjakan keinginan kedua. ke butik, ke toko asesoris. 
 
Dan di sinilah mataku terpusat pada sederet manekin setengah badan. ada yang mengganggu, baik pandangan, rasa penasaran dan sebanyak duga kira tentang manekin bersolasi hitam di bagian mata. sekali-kalinya itu aku melihat dan terbit segala yang mengganggu ini. gumun yang ketinggalan. maklum yang belum kutempatkan pada posisinya.  
Pasti bukan tanpa sebab si pemilik butik melakukan yang demikian ini batinku. bisa jadi ada mata yang menakutkan di sana? atau mata bolong, mata cantik, mata yang menjadikan suatu benda diharamkan jadi bentuk. suatu hukum yang terlambat kuketahui. atau bisa jadi, suatu hukum yang aku boleh menempatkannya menjadi tak penting.  
Ya, aku yang penasaran ini. yang tak pernah puas dengan kesepian dan tanda tanya. kubikin tulisan ini setelah membaca HRM, Al-Jana'iz, 969. dan membuat duga kira lagi tentang diri si pemilik manekin tanpa berani aku bertannya sendiri.



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Mula-mula cuaca mengantarkanku padamu. 
Kepada tubuhmu yang menjelma asin lautan. 

Lalu...
Diam-diam kutemukan pulau asing di wilayahmu, 
kutemukan serta pantai-pantai tak bertuan. 

Mestinya aku tabah pada keadaan. 
Bukankah, perahuku ialah sekian pelaut tanpa peta. 
Kucintai laut yang menyerupai kau. 
Kutaklukan tubuhmu beserta gigil takut yang datang. 

Harusnya kita tidak lupa. 
Bahwa, usia hanyalah perantara, 
di mana di dalamnya ditakdirkan nama-nama kita 
untuk saling mencinta dan menyakiti.

Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar


Jika ini sebuah permulaan, harusnya aku tak bertanya; kapan semua yang tak menyenangkan ini akan berakhir. Bukankah manusia bijak ialah mereka yang sabar menjadi pembelajar? Lalu salahkah jika aku pikir, ini sebuah kejahatan bagiku, jika di usia sepekan pernikahan kita, kau tuntut aku sesempurna ibumu—wanita yang telah lebih matang menjadi perempuan. 


Berapa usia pacaranmu? Lima tahun? Sepuluh tahun? Apa kamu yakin sudah mengenali pacarmu dengan baik? No, pacaran selama apapun tidaklah cukup untuk kamu tahu dengan baik tentang pasanganmu. Kamu akan tahu seperti apa lelakimu ialah ketika kamu telah berada di satu rumah. Menikah. 

“Setelah menikah, baru kelihatan sifat aslinya” Sering kan denger kalimat itu? Padahal tidak semua orang sepakat dengan pendapat tersebut. 

Saya menjalani proses pacaran dengan lelaki saya selama empat tahun lebih. Waktu yang terbilang lama untuk saling mengenal karakter satu sama lain. Apakah setelah menikah, saya bilang bahwa sifat aslinya baru kelihatan? No, saya yakin, saya sudah mengenali sifat aslinya sejak kami pacaran. Tapi, tentu saja tidak sebanyak yang saya tahu setelah menikah; Kebiasaan buruknya yang saya tidak suka, hal-hal remeh yang membuat saya ilfil. Semua baru saya tahu setelah kami tinggal di atap yang sama setiap harinya. 

“Tiga bulan pertama pernikahanku, hampir terjun ke medan pengadilan agama” Cerita seorang teman. Yah. Penting buat kamu tahu, bahwa tiga bulan usia pernikahan ialah proses yang berat sekaligus mengesankan. 

Menjalani hidup yang baru bersama orang yang kita cintai tentu saja menyenangkan. Mimpi-mimpi indah terpeta sepanjang hari. Tapi di sisi lain, akan menjadi berat, jika proses adaptasi yang kamu jalani tidak berjalan dengan mulus. Hal terpenting yang dapat meloloskan ketidaknyamananmu ialah komunikasi yang baik. Jika komunikasimu dengan suami berjalan sesuai harapan, saya yakin kamu tidak akan merasa kesulitan melewati proses ini. 

Awal menikah, saya sempat sedih ketika harapan yang saya impikan dulu ternyata tidak menjadi nyata setelah menikah. Tidak ada edisi masak bersama sekali waktu, makan bersama setiap hari. Pun pergi ke suatu acara yang sama, kami lebih sering berangkat sendiri-sendiri. Kelihatan aneh, ya? Awalnya saya pikir juga begitu. 

Hal lain yang menyedihkan terkadang juga datang, ketika mendengar “Jangan malas nyuci baju dong, Mam. Masakan jangan keasinan, rumah kenapa berantakan dan bla…bla…bla” 

Urusan dapur, kasur dan sumur kena komplain. Padahal mungkin kamu sedang belajar mengatur waktumu. Baru belajar meramu resep masakan. Padahal suami juga tahu kalau kita bekerja di luar rumah. Menangislah kalau perlu, tapi jangan terlalu lama. Melawan terkadang juga bukan solusi yang bijak. 

Ingat, ada banyak suami dengan mindset kolot bahwa suami itu tidak boleh jadi salah. Mereka akan mendominasi rumah tangga tanpa kompromi. Menolak pendapat istri dan lain sebagainya dan memosisikan istri lebih rendah dari mereka. Tidak perlu kita memaksakan pikiran modern ke suami dengan sifat seperti itu. Kalau mereka tidak dapat diajak bicara, perempuan yang cerdas ialah yang tahu bagaimana meramu kekurangan suami menjadi sesuatu yang wajar. Nggak enak juga kan, kalau sekapal beda tujuan? 

Mungkin kamu juga menemui sifat suami yang super duper menjengkelkan, yaitu mereka yang mencari-cari kesalahan kita sebagai pencitraan bahwa kita ini makhluk yang masih banyak salah dan musti diatur. Oh, girl. Ini big no no. Kurang kerjaan banget, kan? 

Yah. Lagi-lagi ini soal mindset. Kasus macam begini sering terjadi di rumah tangga dengan suami yang tidak bekerja. Mindset lama yang ‘memukul palu’ bahwa lelakilah yang harus mencari nafkah menjadi sumber masalahnya. 

Tentu saja, karena suami tidak bekerja membuat ia kehilangan citra sebagai suami sempurna. Maka dari itulah, di sisi lain ia akan terus mencari kesalahanmu sebagai usaha merendahkan posisimu. Tugasmu sebagai istri ialah membesarkan hati suami supaya kepercayaan dirinya kembali stabil. Nggak ada salahnya kok penghasilan istri lebih besar, atau istri bekerja sementara suami ada di rumah. Asalkan, kita adil dan sepakat dengan pembagian job dalam menjalani rumah tangga. 

Suami saya tidak suka sayur, dan saya tidak tahu banyak hal yang tidak disukainya. Ini menjadi PR berat buat saya dalam soal ini. Kalau saja suami saya suka sayur, tentu dengan gampang saya akan memasak sayur yang berbeda setiap harinya, dengan 1 cara masak. Tapi sebaliknya, PR saya adalah harus bisa mengolah bahan yang terbatas dengan cara masak yang berbeda-beda. 

Sepulang kerja pukul 17.00 saya belajar mengolah bahan yang sama dengan resep yang baru. Badan yang lelah menjadi salah satu faktor konsentrasi saya berkurang. Yap, masakan saya keasinan lagi. Suami saya, yang pulang pukul 21.00 WIB tidak menyentuh masakan saya. Alasan yang membuat sakit hati ialah ia sudah makan di luar. Dan lebih menyakitkan lagi ialah di pagi hari, saya harus membuang masakan yang dibuat oleh saya tersebut ketika badan lelah pulang kerja. Di sinilah kesabaran saya terkuras. 
“Mau dimasakin apa, Mas”
“Terserah” Jawabnya. Ini bukan soal kebebasan di mana ia membebaskan saya untuk memasak apa saja. Secara implisit, sebenarnya ia menyuruh saya untuk tahu apa yang dia mau. Hello girls, PR kedua saya adalah ini. Kalau makanan saya tidak dimakan, tidak bisa memberi masukan untuk masakan saya, lalu bagaimana saya tahu apa yang dia mau? 

Di sinilah saya belajar banyak bagaimana hidup serumah dengan orang lain. Kamu harus tahu, kiblatmu kemana, dan kiblat suamimu kemana? Kemudian di manakah kalian bisa berdiri bersama-sama. Yah, kita tidak bisa memaksakan kebiasaan kita yang paling benar, sementara kita menutup mata bahwa kita memiliki orangtua yang beda. Pendidikan yang beda. Pengetahuan yang beda. 

Bisa jadi kamu menginginkan suami yang bisa diajak bicara tentang segala hal, karena kamu melihat ayahmu begitu rukun dengan ibumu ketika berbagi cerita. Tapi, apakah kebiasaan tersebut hidup di keluarga suamimu? Begitupun, kalau suamimu menuntutmu menjadi seperti ibunya, yah, kamu harus maklum, sebab satu-satunya perempuan yang menjadi cermin suamimu ialah ibunya sendiri. 

Tidak sedikit perempuan di usia pernikahan muda tidak dapat langsung hamil. Yup, jika kamu tahu proses adaptasi tidak semenyenangkan yang kamu kira. Mungkin kamu akan maklum. Bukankah salah satu penyebab perempuan susah hamil adalah stress? Jadi saya acungkan jempol buat perempuan-perempuan yang bisa survive melewati masa ini. 

Desember 2012
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Mungkin dewa keberuntungan lupa ngambil kesialanku tadi pagi. Jadinya, aku ketiban bete mutlak kayak gini.

Emang udah curiga dari pertama ketemu. Si bapak yang punya dua akik di jarinya itu pasti nggak beres sama aku. Setidaknya, aku udah dua kali berurusan sama bapak pelayan pos ini.

Yah. Lihat aku datang, senyum si Bapak sumringah bukan buatan. Dia emang cuma sendiri, itu yang kulihat tiap kali ke sono nggak ada yang lain selain si Bapak. Usianya sekitar kepala lima, penampilannya tempoe doeloe banget. Setidaknya machinglah sama peralatan-peralatan di sana. 

Pos ini emang mengingatkanku pada kampung halaman. Timbangan yang dipakai masih pakai timbangan laundry. Ada satu timbangan lagi, tapi ribet gue jelasin. Timbangan pakai jarum. Begitupun printernya yang masih manual. Ngecek harga pun masih pakai kertas lho sodara-sodara. Jadi sabar antri ya! 

"Pakai kilat khusus ya, Pak" kataku. Si bapak cuma senyum. 
"Hafal kode posnya, Dik?" tanyanya, sambil sibuk mbolak-mbalik buku andalan. 
Aku cuma bilang nggak. Tiga menitan menunggu, si Bapak bilang harga kirimnya 58.000. Uwow mahal banget batinku. Kemarin aku disaranin ke pos ini karena lebih murah. Nah lho? See? See? 

"Berapa lama, Pak?" 
"Dua hari." Ah. Mungkin emang seharga segitu buat ke alamat Ciaro Bandung. Jadilah kuambil, soalnya kupikir-pikir selisih harga sedikit dengan pos lain tapi beda jauh sama waktu pengiriman pos lain yang 8 hari. Lumayan pake ini kan batinku. 
"Oke Pak" Kuserahkan uang 58 itu ke si Bapak. Setelah selesai ngeprint, nah si Bapak kok ngasih stempel X-pres. 

"Nah, kok ekpres pak. Saya kan mintanya kilat khusus" Mulai panik. 
"Iya Mbak"
"Nggak mau, ganti Pak"
"Wah udah masuk je Mbak" Sumpah mukanya bikin kasihan banget. Gue nggak tega mau protes lagi sebelum si bapak akhirnya melanjutkan bicara. 
"Tapi itu paling bagus lho, Dik. Daripada kilat khusus mending xpres. Lebih cepet, lebih baik" Dengkul lu bengkok! Najis tralala deh. Gaya bicaranya itu lho, serasa aku ndak tahu kilat khusus tu gimana, xpres tu yang gimana? Hello bapak. Saya tuh sengaja pilih kilat khusus karna harganya jauh beda bukan karena saya bego. Mendadak kepalaku bertanduk. Masih mau nyeruduk. 
"Cuma selisih 3 ribu kok Mbak?" Hah? Hah? BOONG BANGET SIH NIH BAPAK. 

Saking dongkolnya, aku nyerah balik badan. Nimbang makin dongkol. Tunggu aja kehadiranku yang ketiga yo Pak. Siap-siap nyeruduk.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Urusan makanan, lidahku ini nerimo lahir batin. Nggak suka yang neko-neko. Mau asin, pedes, asam, pahit, manis bahkan bebauan aku tetep doyan makan. Seandainya aku lelaki, alangkah bahagianya istriku. Tentu saja itu berpengaruh, sebab jika aku lelaki, aku nggak akan protes dimasakin apapun. Sayangnya aku perempuan, pihak yang kudu ngolah makanan. Tentu saja itu berpengaruh. Lidahku yang doyan makan apa aja bikin aku males masak yang ribet-ribet. Kalau ngikutin lidahku yang apa adanya ini, apa kata yang kumasakin? 


Aku jadi mikir, lidahku yang begini-ini bisa jadi bawaan waktu aku kecil. Yah. Di usia pra sekolah, Mama lebih sering ngasih aku makan nasi kecap, ngasih cemilan aku nasi garam dibikin gulung-gulung. So, udah kelihatan kan. Hanya ada dua unsur rasa yang sangat sederhana yang biasa kumakan, asin dan manis.

Zaman aku kecil, Mama sering banget nyeduh jamu. Mulai dari kunir asam sampai jamu bratawali aku berani minum. Malah suka. Konon pahit. Tapi lidahku ini udah tamat ngrasain yang pahit-pahit.

Kalau soal aku suka yang bau-bau, semisal jengkol ataupun petai ya jangan heran. Kebun simbahku dulu penuh dengan jenis makanan itu. Suka karena terbiasa tentu aja ndak bikin aneh kan?

Nah, menginjak usia sekolah hobiku berubah dari yang cuma rasa asin dan manis jadi ratu sambel. Yah, aku lebih suka makan pakai sambal bawang daripada sayur bayam. Cuma sambal bawang tanpa lalapan ataupun lauk. Jadi, kalau aku bisa tahan dengan rasa sambal sesetan apa, aku udah latihan dari kecil, man.

Kemudian suka yang asam-asam. Secara yah, zaman kecilku terbiasa klayaban metik asam di kebun orang. Asam jawa yang belum matang itu sangat menggiurkan. So, ndak ada alasan aku takut yang asem-asem, atau ngira aku nyidam kalau suka yang asem-asem. Udah biasa dong.

Mungkin yah. Riwayat itu ngebuat lidahku jadi nggak ngribetin soal makanan. Tapi kok malah jadi ribet sendiri, ketika kudu adaptasi sama lidah orang lain yang suka ribet soal makanan. Huwaaaaammmm
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku tak diajarkan mengenal rumput sebagai utamanya makanan bagi kaum kami. Di tanah pesisir ini, air asin, tambak garam mengepung rumah-rumah. 
Di air yang menenggelamkan pekuburan pada cerita itu--tanaman hijau bak mitos yang musti ditepis dari naluri yang kumiliki. Sungguh. Aku tak belajar memamah rumput-rumput. Kayu, kertas bahkan plastik seadanya menjadi pengganjal bagi perut kami yang lapar. Mungkin rumput hanya cerita masa lalu bagi emak yang dilahirkan di tanah subur rerumputan. 
Lalu, aku tak pernah paham pada tuan-tuan yang membeli kami. Inikah kebebasan itu? Atau ini semata kesialan yang melekat pada takdir kami? Dibeli, dibiarkan mandiri, sepanjang siang dan malam berjalan keliling kampung. Kami bebas, tapi sesekali kebebasan ini menyakitkan. 
Kami tak dirumahkan seperti cerita di buku-buku anak manusia. Emperan rumah menjadi tempat berteduh jika hujan mendadak turun. Itupun yang tak memiliki pagar rumah. Kami lebih sering ditendang, diusir, seperti tuan-tuan kami yang hanya berharap jika harga jual kami tinggi, daging kami layak kurban. 
Di hari menjelang gelap, kemana kami mesti pulang. Tak ada hutan. Kami penuhi gang-gang kampung. Berkumpul. Berkelompok. Memenuhi jalan-jalan yang tak pernah tetap di setiap harinya.
Tuanku yang asing, jika kau datang ke pesisir tanah kami--melewati tambak-tambak garam--perkenankan kami menginap barang semalam. Di rumahmu, di serambi rumahmu tanpa usir dan tendangan. Selayaknya cintamu pada kawan, pun aku sekalian kami telah banyak belajar bagaimana mengikat tali persaudaraan. Berkumpul. Mana kawan, mana yang mesti kami lawan.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


[Kumala]

Aku tak menyangka jika buku-buku ini mengantar kita pada pertemuan. Sudah lama, lama sekali aku tak mendengar suaramu. Tentu saja aku terkejut. Aku sedang menikmati komik di meja ini, ketika tiba-tiba kau datang menyapaku. Sejak dulu, sejak aku mengenalmu kau tak banyak berubah ya, Mas. Masih sama pandainya untuk berdusta. 



“Haiii, lagi baca apa?” Akrab suaramu membuatku menoleh. Kenapa kita harus bertemu di sini? Lupakah kau pada yang membuat kita harus diam tak bicara 















[Mumtaz]

Ketika melihatmu duduk di meja ini. Aku tahu segalanya harus diakhiri. Sekuat hati kuberanikan untuk menyapa. Menganggap segala kisah buruk masalalu kita telah berhasil kulupakan. Tapi seharusnya kau tahu, Sayangku. Aku hanya pandai berpura-pura. Aku hanya pandai berdusta pada diri sendiri. Sebenarnya aku remuk ketika tau kau justru lebih memilih pergi waktu itu. Dan di sini kita kembali bertemu. Di tempat ini. Perpus Indonesia Buku a.k.a Radiobuku Live Streaming

“Aku lagi baca komik, Mas” jawabmu ketika kusapa. Aku hampir tak percaya pada senyummu itu. Apakah ini artinya marahmu telah usai? Benarkah begitu? 








[Kumala]

Mendadak aku melihat wajahmu berubah ketika kusebut kata ‘komik’. 
Kenapa Mas? Bukankah hubungan kita telah berakhir. Boleh dong aku baca apa yang kusukai meski itu tak membuatmu senang. 

Kamu diam. 
Aku pun membalas diammu









[Mumtaz]

Seharusnya aku tak lagi peduli dengan yang kau lakukan. Membaca komik? Oke. Silakan habiskan waktumu dengan itu, toh kita telah berakhir. 

Sekarang kau bahkan tak tahu akulah penghuni perpus ini. Sebab hanya buku-buku inilah yang mengantar rinduku padamu berkali-kali.

“Sebentar. Kuambilkan saja” kataku.
Ah, sial. Kenapa aku justru spontan menolongmu untuk mengambil buku. Apakah karena aku masih mencintaimu, atau hanya naluriku saja sebagai pelayan yang selalu ingin melayani tamu di tempat ini? Entahlah.







[Kumala]

“Aku mau buku itu” tunjukku ketika kau menawarkan bantuan. Kau ambilkan buku yang kumau kemudian mengangsurkannya padaku. 

“Kau harus baca buku ini, Mas. Sini mendekat” kataku. Aku tak sengaja menarikmu mendekat. Kutunjukan bagian kisah yang kusukai. 

Entah alasan apa kau pun menurut. Kau tampak antusias. Bukankah kita tampak bahagia jika sekompak ini? 










[Mumtaz]

Oke. Ternyata selera bacaaanmu lumayan menghibur. Setelah selesai membaca bukumu. Kuajak kau duduk berdekatan. Aku masih ingin menjadi pacarmu, Dek. Seperti dulu ketika masih memilihkan bacaan yang harus kau baca. Harus kau baca.

“Buku apa itu, Mas?” tanyamu. Aku semangat menjelaskan ketika kau ingin tahu dengan buku yang kupegang. Ini buku Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan. 

Ya, bukan maksud menggurui. Aku hanya ingin kau tahu. Ada banyak buku yang mesti kau baca selain menghabiskan waktumu untuk baca komik. 
“Coba baca ini” kataku. 








[Kumala]



Hemmm...aku tahu kamu hanya ingin menunjukan tulisanmu di buku itu, kan Mas. Ah, ini bener-bener sifat yang paling buruk yang kumiliki; terlalu suuzon sama orang.

Merasa digurui, kuambil buku Das Kapital dan kuangsurkan jilid yang lain kepadamu. 















[Mumtaz]

Huftt. Kau boleh mengejek gagap bahasaku di buku itu. Bahasa Inggris. Ah, tapi, coba ke sini. 

Aku mengambil Al Quran dan menunjukan satu ayat yang pastinya kau tak paham artinya. 

"Belajar bahasa arab dong, Dek" Gubrak #2 











[Mumtaz]

Daripada berdebat. Ayo kita foto. Jepret.
"Senyum dong, senyum" :)) 















[Mumtaz]


Bergaya dulu ah. Kita rujuk kan, Dek. Rujuk kan?
Jepret.














[Kumala]

Aha, akhirnya kita baikan. Foto berdua? Haduh. Grogi saya. Jepret.



[Mumtaz dan Kumala]

"Kita mau nikah kan, Dek"
"Insya Allah, Mas"

Jepret. *ngakak guling guling*











Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bagiku, sarapan sebelum berangkat kerja itu menyenangkan. Seperti pagi tadi, menu sarapan kami adalah rempelo ati, tempe dan bergedel kentang. 



"Hati itu sumbernya racun kan Mbak, penyaring racun. Kalau nggak karena darah rendah, aku ogah makan rempelo ati" Itu kata temenku. Aku geli mendengarnya.

"Ow, jadi, mereka ndak perlu dong yah mengambil hatimu buat jadi pacar. Hatimu kan beracun, kenapa nggak ambil aja jantungmu, bisa mati dong yah" Glek. Sungguh. Ini kalimat bercanda yang ngeri bagiku, sebelum akhirnya aku menyesal sampai hati. Sepagi ini membicarakan kematian di meja makan itu seperti menyusun penyesalan dan rasa cemas. 

Setelah selesai makan. Kami berpisah di depan warung. Menaiki motor masing-masing dengan tujuan yang berbeda. Aku merasa perjalananku menuju kantor jadi sangat aneh. Mungkin cuma perasaanku saja. Tapi, sampai di lampu merah simpang empat Condong Catur, pikiran buruk itu menjelma derit rem, klakson yang menghentak-hentak di belakangku. Di sampingku Trans Jogja berebut jalan. Aku masih sempat melihat spion sambil menancap gas lebih kencang. Ah, aku selamat. Meski aku melihat tak seorangpun secemas aku. 

Lalu, aku melanjutkan perjalanan dengan hati gamang. Melewati JIH. Melewati ring road depan UPN. Aku melihat orang-orang berkerumun dengan perasaan yang mungkin sama. Takut, cemas dan penasaran. Aku melihat sekilas ke arah mereka sebelum tukang parkir itu menyuruhku lekas maju supaya lalu lintas kembali normal. Sebuah mobil yang remuk menabrak pembatas jalan. Serpihan kaca, helm dan puing-puing lainnya masih berserakan di sepanjang jalan itu. 

Di simpang empat berikutnya aku kembali bertemu dengan temanku.
"Lemes lihat kecelakaan tadi, Mbak" katanya. 
"Emang gimana sih ceritanya?" Aku melihat lampu apil masih merah.
"Kayaknya sih, tabrakan. Dua mobil dan motor juga" jelasnya. Ah masa iya? Jalanan untuk motor dan mobil kan dipisah? Ah, tapi ndak ada yang mustahil, kan? Ketidaktertiban kadang emang bikin musibah. Ada yang tau cerita lengkapnya?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bagiku, memang cukup sulit untuk memandang suatu perkara yang melibatkan diri sendiri dari posisi paling objektif. Mencari penyebab dan solusi sekaligus. Aku tak akan menghegemoni yang tidak tahu, pun bersikeras pada pembenaran diri sendiri. Menurutku aku benar, kenapa kamu menilaiku berbeda? Menurutmu kamu benar, kenapa aku merasa kamu salah? Lalu, bagaimana mereka yang melihat kita ini beda? Akan subyektifkah atau objektif?



Dan aku selalu kagum pada yang tahu; di mana yang beda dan apa penyebabnya tanpa penghakiman sepihak. 

Bukankah, Tuhan berjanji akan menyediakan rumah di teras surga bagi orang-orang yang mampu menahan perdebatan, meski dia tahu, dia benar? (Hahaha usaha pembubaran prinsip demokrasi)
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Seperti yang biasa kulihat di pagi hari menuju tempat kerja--ada sekitar sepuluh perempuan dengan seragam di jejalan depan puskesmas Depok 1. Cantik, paling usianya masih belasan tahun atau mungkin mereka yang awet muda. 



Kadang aku melihat mereka mengenakan batik, kadang seragam biru dengan rambut selalu disanggul dan riasan wajah yang bagus. Kenapa mereka ada di sana? Yah, yang pernah kulihat, mereka akan dijemput minibus entah untuk pergi ke mana. Oke, mungkin bekerja. 

Seperti hari ini aku diantar Fairuzul Mumtaz berangkat ke kantor. Ketika melewati Puskesmas Depok 1, ia pun penasaran dan bertanya padaku "Kenapa orang orang itu memakai kebaya ya, Dek? Bukan hari kartini kan sekarang?" Tentu saja bukan. Kartini itu bulan April. Emangnya berkebaya harus di acara tertentu? Kapan aja kan boleh. 

"Memang biasanya mereka seragaman, Mas. Mungkin drescode kali ini kebaya" Akhirnya aku menjawab begini. Ah, tapi kayaknya memang harus ada hari tertentu untuk mengenakan kebaya. Mungkin. Harusnya aku berpikir begitu. Bukankah konon hari ini ulang tahun Yogya? Bener nggak sih? Sekarang Senin, tanggal 8 Oktober 2012.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Seperti biasa, setiap pembelian karcis kereta api, haruslah ngisi formulir terlebih dahulu. Yup, begitupun yang kulakukan. Kuisi nama lengkap, no Id, alamat rumah, nama kereta, tujuan, tanggal keberangkatan lengkap dengan nomor hape.

Tujuanku adalah Cipari (Salah satu kecamatan kecil di Cilacap) naiknya dari Lempuyangan. Nah, tentu saja biasanya di karcis akan tertulis dari Lempuyangan ke Tasikmalaya. Karena Cipari stasiun kecil. Tapi, akhir-akhir ini aku beli karcis dengan tujuan yang sama akan tertulis, Lempuyangan ke Kiara Condong atau Kiara Condong ke Lempuyangan ketika beli karcis yang pulang pergi.

Oke, kupikir ada peraturan baru. Toh harga tetep sama. 35 ribu rupiah kelas ekonomi. Kewajibanku hanyalah mengisi formulir dengan benar dan memanjakan kebodohanku dengan ogah bertanya. Tapi, di stasiun Cipari menjadi lain cerita.

"Kok, karcisnya dari Kiara Condong, Mbak? Berarti dari Kiara Condong ke sini bangku Sampeyan kosong dong? Harusnya Cipari-Lempuyangan ajah, Mbak. Tau nggak, Mbak sudah MENGAMBIL JATAH ORANG LAIN untuk bisa naik kereta api" Gludak.

"Mana saya tahu, Pak. Saya isi formulirnya ya Cipari. Nah kalau dikasihnya Kiara Condong, saya sih oke-oke aja. Kemarin juga begitu, Lempuyangan-Kiara Condong. Saya sih oke oke aja. Asal nggak dikasihnya sampai Kebumen, bisa turun di jalan dong saya" jelasku. Bete kali ya, pemeriksa karcisnya.

"Mbaknya tuh harusnya tanya" Idih ni, Bapak. Kenapa saya yang kudu tanya? Kan situ yang seprofesi di KA. Bisa aja kan petugas loket di Lempuyangan tuh nggak tau di mana Cipari, males cari, makanya langsung dikasih Kiara Condong. Beres dan Cepet (Petugas Juga Males Ribet Man). Atau, sekarang kan zamane komputer, dataku bisa aja dientri ke internet. Jadi bisa dilacak di mana ajah. Jadi semua petugas bisa tahu, kalau tiketku cuma sampai Cipari, meski di karcis tertulis Kiara Condong.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Satu tahun yang lalu, eh, lebih dari setahun yang lalu. ketika aku kembali pulang menaiki kereta api. Aku hampir menangis ketika di jendela kereta, di pintu-pintu gerbong terpampang tulisan "Pedagang Asongan dilarang berjualan di Kereta Api". Apa-apaan ini batinku. Mau dikemanakan pedagang-pedagang itu jika di luar kereta api pengangguran telah antri mengharap nasib baik. 



Kemudian isu-isu penertiban itupun berembus. Sampai sekarang, peraturan itu kini menjelma jadi jeruji. Makin ketat makin tak kenal kompromi. Di antara penertiban itu, aku bersyukur karena pedagang asongan, pengamen bahkan banci kereta api masih bisa beroperasi. Sebab, penertiban itu rupanya diberlakukan hanya untuk para penumpang.


Kini, tak lagi gampang mencari tiket untuk perjalanan yang direncanakan mendadak. Kereta api ekonomi sekalipun telah berubah menjadi alat transportasi yang ekslusif. Kenyamanan terjamin, tidak perlu berebut kursi. Alat transportasi yang murah namun sulit dijangkau sewaktu-waktu. 

Seperti tanggal 1 Sepetember lalu. Setelah mengisi formulir sesuai KTP dan berdiri di antrian menuju loket kereta Pasundan, aku belum juga bernasib baik. Aku menyodorkan formulir tersebut ke petugas loket. Formulir yang kuisi untuk pembelian tiket tanggal 4 September. 

"Ini ekonomi atau yang AC, Mbak?" tanya petugas loket karcis. 

"Ekonomi Mbak, Kereta Pasundan. "kataku. Sengaja kutegaskan kata Pasundan supaya memperjelas bahwa aku tahunya kereta pasundan itu ya kereta ekonomi. 

"Nggak ada Mbak, Pasundan adanya yang AC, harganya 120 ribu" Petugas itu menjelaskan padaku sembari mengembalikan formulir yang kuserahkan. Aku terheran-heran. Demi Tuhan, selama di Jogja aku pulang ke Cilacap selalu memakai kereta Pasundan, kereta ekonomi yang sekarang harganya 35 ribu. Bahkan lebaran yang jatuh bulan lalu aku masih menaiki Pasundan sampai Cilacap. Ada apa ini? Kenapa petugas loketnya justru bilang Pasundan itu kereta ber-AC. Jelas-jelas aku belum pikun. Pasundan itu kereta ekonomi non AC. 

Aku mundur dari depan loket tapi belum benar-benar mau pergi. Aku kembali menongolkan wajahku ke kaca. "Yang Pasundan beneran ndak ada yang ekonomi ya Mbak?" tanyaku penuh rasa penasaran. 

"Iya Mbak, nggak ada. " seru petugas tiket itu dengan microfon. 

Akupun akhirnya mundur. Kudatangi satpam penjaga pintu. Lelaki yang tadi kumintai formulir sebelum mengantri. Aku datang penuh harap. 

"Mas, apa Pasundan ekonomi itu udah ndak ada lagi? Kok katanya adanya AC."

"Iya, Mbak, sudah habis. Sekarang tinggal AC" Aku tercerahkan. Well, berarti kereta ekonomi mungkin masih ada walau entah tanggal berapa, mungkin malam atau kapan. Tapi kok petugas loketnya nggak menjelaskan bahwa tiketnya sudah habis. Bukan malah bilang kereta Pasundan itu adanya AC. Bisa tak ajak perang mulut tuh si Embak. Aku kembali menerobos antrian dan menongolkan kembali wajahku ke depan kaca loket. 

"Mbak, Pasundan ekonomi adalagi kapan?" Ini pertanyaan jebakan. Aku hanya butuh jawaban bahwa kereta Pasundan itu yang ekonomi sudah habis. Tinggal tiket yang AC. Mungkin petugas loket itu akan bilang, tiket yang ekonomi akan ada lagi satu minggu, atau setahun kemudian.

"Kereta Pasundan ekonomi terakhir hari ini, dan tiket sudah habis, adanya yang AC" Gludak!! Terakhir hari ini. kereta ekonomi berjenis kelamin Pasundan itu terakhir operasi hari ini gitu maksudnya. Artinya seminggu atau setahun kemudian sudah ndak ada lagi kereta Pasundan ekonomi? Aku kembali mundur.

Sial bener dengan rasa penasaranku yang menuntut terpuaskan. Kemudian aku kembali ke lelaki Satpam yang mukanya sumpah bikin nggak enak hati. 

"Mas, emang kereta Pasundan ekonomi udah nggak ada yah? Kok aku tanya terakhir ada hari ini? Pasundan ekonomi mau dihapus apa gitu maksudnya?" Kali ini aku bener-bener serius.

"Coba Mbaknya liat monitor di ujung sono, Mbak. Liat di sana masih ada bangku berapa buat kereta Pasundan. Kalau angkanya nol berarti udah habis. Sekarang tu, Pasundan ada spesial gerbong ACnya. " Aku neloyor jalan ke arah yang ditunjukin Pak Satpam. Oh, tambah gemblung. Angkanya masih 97 tuh. Its mean masih ada bangku 97 lagi di tanggal 4 September. Aku lihat tanggal 5, 6, 7, sampai seterusnya ndak ada yang berangkal nol. Lalu??? Kenapa Mbaknya bilang udah habis. Kenapa bilang terakhir ada Pasundan Ekonomi hari ini? Trus 97 bangku itu maksudnya buat yang AC? Ndak ada tuh penjelasan, 97 itu AC, dan 0 buat yang ekonomi. Di sana cuma tertulis, PASUNDAN tanggal 4 September masih 97 kursi. Kursi untuk gerbong AC atau ekonomi cuma Tuhan yang tahu, penumpang terima aja dibohong-bohongi. (Oke, ini cuma prasangka burukku)

Nah, kebetulan tuh ya. Pas nonton monitor ada Pak polisi lagi menjelaskan ini itu ke calon penumpang. Mataku kembali bersinar. Aku seperti menemukan malaikat yang bisa memberikan jawaban paling gamblang. 

"Hei Pak Polisi, begini, tadi saya tanya sama Mbak penjual loket katanya terakhir ada Pasundan ekonomi hari ini. Emangnya mau dihapus ya Pasundan ekonominya. Trus aku tanya sama Pak Satpam, tapi dia nyuruh aku liat monitor buat tahu kursi yang kosong. Aku kan mau cari tiket tanggal 4 September, katanya habis, lah itu kok masih 97? Itu AC atau ekonomi? Gimana cara tahunya?" Si polisi malah cuma bengong. Agak bingung kali mau nanggapi aku yang cerewet.

"Itu mungkin AC, Mbak" Oh devil. Cuma itu jawabannya? Bener-bener dongkol aku langsung pulang.

Sorenya, aku kembali datang. Rasa penasaran membuatku kembali dan berencana merusuh buat pelayanan yang muter-muterin keingintahuanku. Aku kembali mengantri. Oh, petugas loketnya ganti orang. Aku menyodorkan formulir untuk permintaan kereta ekonomi pasundan tanggal 4 September. 

"Maaf Mbak, tiket ekonominya sudah habis. Tinggal AC kalau mau. Harganya 120ribu"

"Oh, gitu Mbak ya, trus ada lagi kapan Mbak?" Ini cuma pertanyaan jebakan. Aku juga nggak akan beli kok, kalau adanya lagi tanggal 5 sekalipun. Soalnya aku cuma butuh tiket pulang tanggal 4 Sepember 2012. Selain itu no!

"Adalagi tanggal 13 September, Mbak?" Oh, good. Ini baru jelas. Artinya tiket kereta ekonomi Pasundan tanggal 4 tuh habis, bukannya nggak ada lagi kereta Pasundan ekonomi. Uh...Petugas loket, Satpam dan polisi yang ngePAM di stasiun Lempuyangan pada tanggal 1 September siang itu bener-bener bikin hatiku kacau balau. Pelayananmu buruk, Men!
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku masih ingat ketika pukul 09.00 pagi, lelaki itu menelponku. Ia mengatakan sedang terapi di pengobatan alternatif. Selain menanyakan kabar, rupanya ia sudah mendengar kabar aku akan menikah.
"Kok malah terapi, bukannya mau operasi, Lik?" 
 
Aku cukup heran. Rencana operasi yang dijadwalkan rumah sakit sebelum lebaran justru mengaret tanpa kabar lanjutan. Kenapa tidak dirujuk ke lain rumah sakit. Ah, aku tak berani bertanya.
"Mungkin rumah sakitnya ndak sanggup, makanya ndak telepon-telepon lagi" katanya putus asa. 
 
Ia lelaki yang baik. Adik dari ayahku. Kemudian kami terus mengobrol, menanyakan kabar keluarga karena setahun sudah kami tidak berjumpa.
"Doain lilik bisa sembuh ya, Ik. Biar bisa datang pas kamu nikah" Aku mengiyakan sembari berdoa. Yah, pasti kamu sembuh, Lik. Meskipun aku tidak tahu seberapa sakit yang kamu rasakan. Tapi kamu cukup tegar, cukup mampu menyembunyikan kesakitanmu dari kami. Bahkan, berat tubuhmu stabil dan tak membahasakan ada penyakit yang bersembunyi di dalamnya. 
 
"Tapii... kalau Lilik ndak bisa datang jangan sedih ya, Ik. Soalnya, kalau masih sakit begini ya ndak bisa ke mana-mana" lanjutnya. Aku maklum untuk itu. Ndak papa kataku. Meskipun aku berharap banyak ia bisa datang tapi aku tak bisa memaksakan kehendak. Setelah kembali membicarakan keluarga di kampung, ia pamit menutup telepon. Seperti firasat. Tepat sehabis maghrib. Aku mendapat kabar, jika lelaki itu telah berpulang ke rumahNya yang paling abadi. Ah, rupanya ia telah tahu, bahwa ia tak mungkin bisa datang ke pernikahanku nanti.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kenapa musti memusuhi, jika kau tahu setiap dari kita punya cara sendiri untuk mencintai. Seperti aku mencintaimu, seperti aku mencintai rumah yang kau bangun, rumah yang sengaja kurawat supaya sesekali kau bisa pulang. 
Aku hanya memindah pot-pot bunga ke halaman. Mengganti ranjang yang tak lagi layak pakai. Membenahi buku-buku dan tak bermaksud menggantikan peranmu di rumahmu. Aku belajar tahu, di mana salahku ketika diam-diam kau tak sudi lagi untuk pulang. 
Aku tahu, ada banyak hal yang berubah yang membuatmu asing. Tapi aku hanya ingin kau tahu, begitulah aku mencintaimu, mencintai rumah yang kau bangun supaya tak jadi roboh dan kita akan semakin jarang bertemu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
"Mereka hanya takut dilupakan. Meski kita sama tahu, merekalah yang lebih dulu lupa zaman. Menolak kedatangan, sebab mereka takut kehilangan" Ini kalimat pemantik yang membakar hati seseorang. 



Lalu aku bilang sama temanku. Kalimatku itu membakar hati seseorang dan membuatnya marah di jejaring sosial. Kuceritakan bahwa apa yang kulakukan dikatakannya tak berarti, sebab menggembor-gemborkan perubahan tapi masih nebeng eksistensi masa lalu. Temanku itu cuma tertawa. Lalu dengan kesadaran yang tidak bisa kupredisksi, ia menenangkanku dengan begini. 

"Perubahan tuh nggak ada yang orijinal. Pasti ada awal yang diamati, lalu ditiru dan diinovasi. Sarkem awal pasti nggak sekonyong-konyong lahir, pasti ada komunitas lain yang mengilhami asal muasalnya" Itu kata temenku. Dia teman yang cerdas. Meskipun aku tahu ia suka berpikir hal-hal paling absurd yang tidak dapat kunilai baik secara normatif. 

Kemudian aku jadi tersenyum. Kenapa aku harus dipusingkan dengan mulut seseorang yang bisanya cuma menjatuhkan dan tak mendidik. Rupanya aku sudah buang-buang waktu. Seperti ketika dulu, orang yang sama itu mencaci makiku secara implisit. Ia mengatakan bahwa aku telah membawa komunitas keluar jalur dari kebiasaan yang sudah ada. Aku pernah cukup tersinggung, karena kupikir perubahan yang terjadi di komunitas ini adalah bentuk kreatifitas yang masih mau meghidup-hidupi komunitas. Kenapa ia tidak bisa terima kami membuat inovasi saat itu. Namun, sekarang ia bilang kami tidak punya inovasi karena masih nebeng eksistensi komunitas masa lalu. Maunya gimana to? 

Dengan bingung aku kembali mencatat paragraf pendek. 

"Berlayarlah sampai jauh. Seluruh pulau kau datangi. Itu katamu sangat berkesan. Membuatmu dicatat oleh dunia. Membuatmu dikenal dan berharap dikenang. Namun, sejauh-jauhnya perahu membawamu. Pencapaian yang paling berkesan dalam hidupmu, ialah ketika mampu bertahan di gelombang ganas ketika teman sendiri diam-diam menikam dan meninggalkan." dengan penjelasan yang harusnya ia tahu. Pencapaian yang paling berkesan setelah kejayaan pentas dan persaudaraan ialah komunitas ini masih hidup. Masih bertahan setelah diusir dari kampus. Menghidupi komunitas dengan uang pribadi. Mencari solusi buat mempertahankannya sampai sekarang. Tengoklah usia komunitas di Jogja, hai temanku. Harusnya ia tahu, seberapa lama usia mereka bisa bertahan menjadi independen. Ini sekadar catatan untuk mengarsip yang kurasakan. Jika sempat dibaca, lupakan saja kalau menyakiti hati.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ia lelaki yang punya sikap paling jelas dalam menanggapi semua masalah. Kalau ndak suka si A, nggak bakal pura-pura bilang iya. Kalau ia berbaik hati sama orang, aku bisa bertaruh jika itu datang dari hatinya yang paling jujur. Awalnya aku sebel, aku kira ia nggak punya hati. Aku kira ia keras kepala. Aku kira dia ndak bisa dikasih masukan. 



Ternyata aku harus mengubah pandangan itu. Aku harus merespon sikapnya itu dengan pola pikir yang positif. Tuhan itu baik kok. Begitulah Tuhan menjodohkan hati kami. Mungkin memang harus ada sikap yang jelas buat mendampingi sikapku yang galau-galau begini. Aku yang suka bilang nggak mau tapi sebenernya mau dirayu. Aku yang suka ngikut sana kemudian ke sini buat cari aman sendiri. Ah buruknya. Tapi yang membahagiakanku bisa memiliki lelaki itu ialah. Setidaknya, aku tak perlu khawatir jika ia bakal berpura-pura mencintaiku. Sebab ia bakal bilang benci dengan tegas dan bilang cinta dengan kesungguhan hatinya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Jika setiap perjalanan jauh, aku bisa selalu memilih kereta api untuk mengantarku sampai tujuan. Maka, aku tak mau memilih alat transportasi lain. Tidak mau bus, pesawat, mobil bahkan sepeda motor. 



Ternyata ketakutanku semakin jadi begini. Ini bukan semata-mata takut kecelakaan trus mati. Bukankah kematian telah menjadi jatah setiap manusia. Tapi bagiku menjadi penting dalam keadaan hati yang tenang. Menikmati perjalanan dengan nyaman tanpa harus selalu waspada. 

Seperti merokok. Mengonsumsi rokok atau tidak toh kematian akan tetap datang, katanya. Dan ia yang merokok akan tetap merokok tanpa mempedulikan nasihatku. Tapi bagiku, memiliki jatah hidup yang tak seorangpun tahu, aku akan memilih tetap sehat untuk menghabiskan kehidupanku.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Menjelang lebaran, Mama jadi lebih sering telepon. 


Sekadar memberi kabar tentang keadaan di rumah, di mana Simbah yang sakit-sakitan, dan paman yang harus segera dioperasi. 



Tapi, ada yang menggelitik setiap kali Mama menanyakan pacarku. Mama akan tanya apakah pacarku akan pulang. Ya, tentu saja kujawab iya. Pacarku itu tipe lelaki yang sangat santun sama orang tuanya. Mustahil, ia tidak pulang. Lalu Mama akan kembali tanya "Kapan? Arep bali kapan?" kujawab saja sebelum lebaran. Kemudian ada jeda di antara kami. Saling diam dan memahami bahwa pulang yang dimaksud Mama adalah pulang ke rumah kami. Bukan pulang ke rumah orang tua pacarku. Yah, ini tentang pulang. Tentang rumah kami yang telah menjadi rumahnya sebelum kami resmi jadi pasutri.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Edisi Gula Menggugat
  • Cerita di Balik Buku Ladies Journey
  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ▼  2012 (33)
    • ▼  December (5)
      • H-1 kepada tanggal 21-12-2012
      • Semoga pengampunan yang murah untukmu, Kah
      • Manekin yang Bagiku Misteri
      • Kepada Laut yang Menjelma Tubuhmu
      • Usia Perkawinan yang Rawan
    • ►  November (3)
      • Sepenggal Bete Pada Pak Pos
      • Lidah Sederhana
      • Tentang Domba-Domba
    • ►  October (5)
      • Cerita Dalam Gambar-Gambar Kita
      • Kematian yang Begitu Dekat
      • Ketika Malas Berdebat dan Membela Diri Sendiri
      • Bukan Pakaian Nasional, Pakaian Khusus di Hari Ter...
      • Mengambil Hak Orang Lain? Hello!! Saya Cuma Wayang...
    • ►  September (6)
      • *Catatan pengganti doa buat pelayanan umum yang ja...
      • RIP lelaki yang kusebut Lilik.
      • Cara yang beda untuk mencintai satu hal yang sama
      • Edisi mengarsip kekecewaan
      • Aku mencintaimu, sebab kamu bukan bunglon
      • Edisi Kereta yang Kupilih Mengantarku Pulang
    • ►  August (2)
      • Catatan tentang pulang, rumah, Mama dan pacarku
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates