Skip to main content

Posts

Showing posts from 2012

H-1 kepada tanggal 21-12-2012

Pun jika kiamat datang esok, maut merenggut, menginginkanmu sekalian aku.  Siapa pula dapat luput?  Aku bisa tiba-tiba mati, mengkiamatkan mimpi-mimpimu.  Pun kau bisa mati, mengkiamatkan segala kebahagiaan dalam hidupku.  seketika,  tanpa perlu ramalan,  tanpa terkecuali,  tanpa menghindar.

Semoga pengampunan yang murah untukmu, Kah

sebab yang manja ini tak juga mau pergi. kuturutkan maunya, mengenang yang dulu-dulu, menjadi kian tebal rindu yang tak bertujuan ini.  orang sekarang menyebutnya kepo. kukunjungi profil fb sekian nama yang melintas di kepalaku. terlalu lama tak saling sapa, ada kabar apa? oh aku diunfriend, ada yang deaktif. aku makin pengen tahu. kubuka album foto. sudah beranak berapa? siapa lagi pacarnya? oh, sudah menikah, dan banyak lagi keingintahuan ini.  kemarin malam pun telah kuturutkan menengok fakultas mantan kampus. kulewati kampung Karang Malang. segala ingatan bergantian memenuhi kepala. rumah itu. ya, sekilas kupandang rumah bercat oranye, masih bercat sama seperti beberapa tahun silam ketika seorang teman baik pernah menghuni tempat itu. bagaimana kabarnya? sudah luluskah? ah, kenapa begini segan untuk mampir.  padahal aku pernah bersedu sedan. mengadu banyak hal. kumintai ia bantuan yg tak sekadar materi. bahkan, kukabarkan hari bahagiaku yang disambutnya dengan penyesal

Manekin yang Bagiku Misteri

Semalam--sepulang kerja kulajukan motor keliling fakultas mantan kampus. ada rindu yang lebay; berteriak-teriak di sini, di dadaku yang bergemuruh. sebab, aku tahu pasti, bukan hanya ada kenangan yang indah-indah, tapi juga peristiwa buruk yang tetap lestari di ingatan.    Ya, aku sekadar memanjakan diri, meski sebenarnya aku tak ingin sesendu ini. toh, siapa pula yang merindu, selain pada pikiran yang tak adil begini.    Kuhabiskan semangkuk salad buah di tempat langganan. kuceritakan pada seorang kawan baik tentang banyak hal seperti yang sudah-sudah. kami terbiasa menyempatkan diri untuk bertemu, berbagi; sekadar bercerita hal sepele, berkeluh kesah sesuka hati. tapi bagi kami ini penting, meski untuk sekali dalam seminggu saja.    Ah, seandainya hati bisa puas dengan kesepian? nyatanya aku tidak. tidak bisa. Jam di tangan belum cukup malam. kuputuskan memanjakan keinginan kedua. ke butik, ke toko asesoris.    Dan di sinilah mataku terpusat pada sederet manekin setengah ba

Kepada Laut yang Menjelma Tubuhmu

Mula-mula cuaca mengantarkanku padamu.  Kepada tubuhmu yang menjelma asin lautan.  Lalu... Diam-diam kutemukan pulau asing di wilayahmu,  kutemukan serta pantai-pantai tak bertuan.  Mestinya aku tabah pada keadaan.  Bukankah, perahuku ialah sekian pelaut tanpa peta.  Kucintai laut yang menyerupai kau.  Kutaklukan tubuhmu beserta gigil takut yang datang.  Harusnya kita tidak lupa.  Bahwa, usia hanyalah perantara,  di mana di dalamnya ditakdirkan nama-nama kita  untuk saling mencinta dan menyakiti.

Usia Perkawinan yang Rawan

Jika ini sebuah permulaan, harusnya aku tak bertanya; kapan semua yang tak menyenangkan ini akan berakhir. Bukankah manusia bijak ialah mereka yang sabar menjadi pembelajar? Lalu salahkah jika aku pikir, ini sebuah kejahatan bagiku, jika di usia sepekan pernikahan kita, kau tuntut aku sesempurna ibumu—wanita yang telah lebih matang menjadi perempuan.  Berapa usia pacaranmu? Lima tahun? Sepuluh tahun? Apa kamu yakin sudah mengenali pacarmu dengan baik? No, pacaran selama apapun tidaklah cukup untuk kamu tahu dengan baik tentang pasanganmu. Kamu akan tahu seperti apa lelakimu ialah ketika kamu telah berada di satu rumah. Menikah.  “Setelah menikah, baru kelihatan sifat aslinya” Sering kan denger kalimat itu? Padahal tidak semua orang sepakat dengan pendapat tersebut.  Saya menjalani proses pacaran dengan lelaki saya selama empat tahun lebih. Waktu yang terbilang lama untuk saling mengenal karakter satu sama lain. Apakah setelah menikah, saya bilang bahwa sifat asli

Sepenggal Bete Pada Pak Pos

Mungkin dewa keberuntungan lupa ngambil kesialanku tadi pagi. Jadinya, aku ketiban bete mutlak kayak gini. Emang udah curiga dari pertama ketemu. Si bapak yang punya dua akik di jarinya itu pasti nggak beres sama aku. Setidaknya, aku udah dua kali berurusan sama bapak pelayan pos ini. Yah. Lihat aku datang, senyum si Bapak sumringah bukan buatan. Dia emang cuma sendiri, itu yang kulihat tiap kali ke sono nggak ada yang lain selain si Bapak. Usianya sekitar kepala lima, penampilannya tempoe doeloe banget. Setidaknya machinglah sama peralatan-peralatan di sana.  Pos ini emang mengingatkanku pada kampung halaman. Timbangan yang dipakai masih pakai timbangan laundry. Ada satu timbangan lagi, tapi ribet gue jelasin. Timbangan pakai jarum. Begitupun printernya yang masih manual. Ngecek harga pun masih pakai kertas lho sodara-sodara. Jadi sabar antri ya!  "Pakai kilat khusus ya, Pak" kataku. Si bapak cuma senyum.  "Hafal kode posnya, Dik?" tanyanya, samb

Lidah Sederhana

Urusan makanan, lidahku ini nerimo lahir batin. Nggak suka yang neko-neko. Mau asin, pedes, asam, pahit, manis bahkan bebauan aku tetep doyan makan. Seandainya aku lelaki, alangkah bahagianya istriku. Tentu saja itu berpengaruh, sebab jika aku lelaki, aku nggak akan protes dimasakin apapun. Sayangnya aku perempuan, pihak yang kudu ngolah makanan. Tentu saja itu berpengaruh. Lidahku yang doyan makan apa aja bikin aku males masak yang ribet-ribet. Kalau ngikutin lidahku yang apa adanya ini, apa kata yang kumasakin?  Aku jadi mikir, lidahku yang begini-ini bisa jadi bawaan waktu aku kecil. Yah. Di usia pra sekolah, Mama lebih sering ngasih aku makan nasi kecap, ngasih cemilan aku nasi garam dibikin gulung-gulung. So, udah kelihatan kan. Hanya ada dua unsur rasa yang sangat sederhana yang biasa kumakan, asin dan manis. Zaman aku kecil, Mama sering banget nyeduh jamu. Mulai dari kunir asam sampai jamu bratawali aku berani minum. Malah suka. Konon pahit. Tapi lidahku ini udah ta

Tentang Domba-Domba

Aku tak diajarkan mengenal rumput sebagai utamanya makanan bagi kaum kami. Di tanah pesisir ini, air asin, tambak garam mengepung rumah-rumah.   Di air yang menenggelamkan pekuburan pada cerita itu--tanaman hijau bak mitos yang musti ditepis dari naluri yang kumiliki. Sungguh. Aku tak belajar memamah rumput-rumput. Kayu, kertas bahkan plastik seadanya menjadi pengganjal bagi perut kami yang lapar. Mungkin rumput hanya cerita masa lalu bagi emak yang dilahirkan di tanah subur rerumputan.   Lalu, aku tak pernah paham pada tuan-tuan yang membeli kami. Inikah kebebasan itu? Atau ini semata kesialan yang melekat pada takdir kami? Dibeli, dibiarkan mandiri, sepanjang siang dan malam berjalan keliling kampung. Kami bebas, tapi sesekali kebebasan ini menyakitkan.   Kami tak dirumahkan seperti cerita di buku-buku anak manusia. Emperan rumah menjadi tempat berteduh jika hujan mendadak turun. Itupun yang tak memiliki pagar rumah. Kami lebih sering ditendang, diusir, seperti tuan-tuan kami

Cerita Dalam Gambar-Gambar Kita

[Kumala] Aku tak menyangka jika buku-buku ini mengantar kita pada pertemuan. Sudah lama, lama sekali aku tak mendengar suaramu. Tentu saja aku terkejut. Aku sedang menikmati komik di meja ini, ketika tiba-tiba kau datang menyapaku. Sejak dulu, sejak aku mengenalmu kau tak banyak berubah ya, Mas. Masih sama pandainya untuk berdusta.  “Haiii, lagi baca apa?” Akrab suaramu membuatku menoleh. Kenapa kita harus bertemu di sini? Lupakah kau pada yang membuat kita harus diam tak bicara  [Mumtaz] Ketika melihatmu duduk di meja ini. Aku tahu segalanya harus diakhiri. Sekuat hati kuberanikan untuk menyapa. Menganggap segala kisah buruk masalalu kita telah berhasil kulupakan. Tapi seharusnya kau tahu, Sayangku. Aku hanya pandai berpura-pura. Aku hanya pandai berdusta pada diri sendiri. Sebenarnya aku remuk ketika tau kau justru lebih memilih pergi waktu itu. Dan di sini kita kembali bertemu. Di tempat ini. Perpus Indonesia Buku a.

Kematian yang Begitu Dekat

Bagiku, sarapan sebelum berangkat kerja itu menyenangkan. Seperti pagi tadi, menu sarapan kami adalah rempelo ati, tempe dan bergedel kentang.  "Hati itu sumbernya racun kan Mbak, penyaring racun. Kalau nggak karena darah rendah, aku ogah makan rempelo ati" Itu kata temenku. Aku geli mendengarnya. "Ow, jadi, mereka ndak perlu dong yah mengambil hatimu buat jadi pacar. Hatimu kan beracun, kenapa nggak ambil aja jantungmu, bisa mati dong yah" Glek. Sungguh. Ini kalimat bercanda yang ngeri bagiku, sebelum akhirnya aku menyesal sampai hati. Sepagi ini membicarakan kematian di meja makan itu seperti menyusun penyesalan dan rasa cemas.  Setelah selesai makan. Kami berpisah di depan warung. Menaiki motor masing-masing dengan tujuan yang berbeda. Aku merasa perjalananku menuju kantor jadi sangat aneh. Mungkin cuma perasaanku saja. Tapi, sampai di lampu merah simpang empat Condong Catur, pikiran buruk itu menjelma derit rem, klakson yang menghentak-henta

Ketika Malas Berdebat dan Membela Diri Sendiri

Bagiku, memang cukup sulit untuk memandang suatu perkara yang melibatkan diri sendiri dari posisi paling objektif. Mencari penyebab dan solusi sekaligus. Aku tak akan menghegemoni yang tidak tahu, pun bersikeras pada pembenaran diri sendiri. Menurutku aku benar, kenapa kamu menilaiku berbeda? Menurutmu kamu benar, kenapa aku merasa kamu salah? Lalu, bagaimana mereka yang melihat kita ini beda? Akan subyektifkah atau objektif? Dan aku selalu kagum pada yang tahu; di mana yang beda dan apa penyebabnya tanpa penghakiman sepihak.  Bukankah, Tuhan berjanji akan menyediakan rumah di teras surga bagi orang-orang yang mampu menahan perdebatan, meski dia tahu, dia benar? (Hahaha usaha pembubaran prinsip demokrasi)

Bukan Pakaian Nasional, Pakaian Khusus di Hari Tertentu?

Seperti yang biasa kulihat di pagi hari menuju tempat kerja--ada sekitar sepuluh perempuan dengan seragam di jejalan depan puskesmas Depok 1. Cantik, paling usianya masih belasan tahun atau mungkin mereka yang awet muda.  Kadang aku melihat mereka mengenakan batik, kadang seragam biru dengan rambut selalu disanggul dan riasan wajah yang bagus. Kenapa mereka ada di sana? Yah, yang pernah kulihat, mereka akan dijemput minibus entah untuk pergi ke mana. Oke, mungkin bekerja.  Seperti hari ini aku diantar Fairuzul Mumtaz berangkat ke kantor. Ketika melewati Puskesmas Depok 1, ia pun penasaran dan bertanya padaku "Kenapa orang orang itu memakai kebaya ya, Dek? Bukan hari kartini kan sekarang?" Tentu saja bukan. Kartini itu bulan April. Emangnya berkebaya harus di acara tertentu? Kapan aja kan boleh.  "Memang biasanya mereka seragaman, Mas. Mungkin drescode kali ini kebaya" Akhirnya aku menjawab begini. Ah, tapi kayaknya memang harus ada hari tertentu

Mengambil Hak Orang Lain? Hello!! Saya Cuma Wayang, Situ Dalangnya

Seperti biasa, setiap pembelian karcis kereta api, haruslah ngisi formulir terlebih dahulu. Yup, begitupun yang kulakukan. Kuisi nama lengkap, no Id, alamat rumah, nama kereta, tujuan, tanggal keberangkatan lengkap dengan nomor hape. Tujuanku adalah Cipari (Salah satu kecamatan kecil di Cilacap) naiknya dari Lempuyangan. Nah, tentu saja biasanya di karcis akan tertulis dari Lempuyangan ke Tasikmalaya. Karena Cipari stasiun kecil. Tapi, akhir-akhir ini aku beli karcis dengan tujuan yang sama akan tertulis, Lempuyangan ke Kiara Condong atau Kiara Condong ke Lempuyangan ketika beli karcis yang pulang pergi. Oke, kupikir ada peraturan baru. Toh harga tetep sama. 35 ribu rupiah kelas ekonomi. Kewajibanku hanyalah mengisi formulir dengan benar dan memanjakan kebodohanku dengan ogah bertanya. Tapi, di stasiun Cipari menjadi lain cerita. "Kok, karcisnya dari Kiara Condong, Mbak? Berarti dari Kiara Condong ke sini bangku Sampeyan kosong dong? Harusnya Cipari-Lempuyangan ajah, Mbak. Tau ngg

*Catatan pengganti doa buat pelayanan umum yang jauh lebih baik

Satu tahun yang lalu, eh, lebih dari setahun yang lalu. ketika aku kembali pulang menaiki kereta api. Aku hampir menangis ketika di jendela kereta, di pintu-pintu gerbong terpampang tulisan "Pedagang Asongan dilarang berjualan di Kereta Api". Apa-apaan ini batinku. Mau dikemanakan pedagang-pedagang itu jika di luar kereta api pengangguran telah antri mengharap nasib baik.  Kemudian isu-isu penertiban itupun berembus. Sampai sekarang, peraturan itu kini menjelma jadi jeruji. Makin ketat makin tak kenal kompromi. Di antara penertiban itu, aku bersyukur karena pedagang asongan, pengamen bahkan banci kereta api masih bisa beroperasi. Sebab, penertiban itu rupanya diberlakukan hanya untuk para penumpang. Kini, tak lagi gampang mencari tiket untuk perjalanan yang direncanakan mendadak. Kereta api ekonomi sekalipun telah berubah menjadi alat transportasi yang ekslusif. Kenyamanan terjamin, tidak perlu berebut kursi. Alat transportasi yang murah namun sulit dijangka

RIP lelaki yang kusebut Lilik.

Aku masih ingat ketika pukul 09.00 pagi, lelaki itu menelponku. Ia mengatakan sedang terapi di pengobatan alternatif. Selain menanyakan kabar, rupanya ia sudah mendengar kabar aku akan menikah. "Kok malah terapi, bukannya mau operasi, Lik?"    Aku cukup heran. Rencana operasi yang dijadwalkan rumah sakit sebelum lebaran justru mengaret tanpa kabar lanjutan. Kenapa tidak dirujuk ke lain rumah sakit. Ah, aku tak berani bertanya. "Mungkin rumah sakitnya ndak sanggup, makanya ndak telepon-telepon lagi" katanya putus asa.    Ia lelaki yang baik. Adik dari ayahku. Kemudian kami terus mengobrol, menanyakan kabar keluarga karena setahun sudah kami tidak berjumpa. "Doain lilik bisa sembuh ya, Ik. Biar bisa datang pas kamu nikah" Aku mengiyakan sembari berdoa. Yah, pasti kamu sembuh, Lik. Meskipun aku tidak tahu seberapa sakit yang kamu rasakan. Tapi kamu cukup tegar, cukup mampu menyembunyikan kesakitanmu dari kami. Bahkan, berat tubuhmu stabil dan tak membah

Cara yang beda untuk mencintai satu hal yang sama

Kenapa musti memusuhi, jika kau tahu setiap dari kita punya cara sendiri untuk mencintai. Seperti aku mencintaimu, seperti aku mencintai rumah yang kau bangun, rumah yang sengaja kurawat supaya sesekali kau bisa pulang.  Aku hanya memindah pot-pot bunga ke halaman. Mengganti ranjang yang tak lagi layak pakai. Membenahi buku-buku dan tak bermaksud menggantikan peranmu di rumahmu. Aku belajar tahu, di mana salahku ketika diam-diam kau tak sudi lagi untuk pulang.  Aku tahu, ada banyak hal yang berubah yang membuatmu asing. Tapi aku hanya ingin kau tahu, begitulah aku mencintaimu, mencintai rumah yang kau bangun supaya tak jadi roboh dan kita akan semakin jarang bertemu.

Edisi mengarsip kekecewaan

"Mereka hanya takut dilupakan. Meski kita sama tahu, merekalah yang lebih dulu lupa zaman. Menolak kedatangan, sebab mereka takut kehilangan" Ini kalimat pemantik yang membakar hati seseorang.  Lalu aku bilang sama temanku. Kalimatku itu membakar hati seseorang dan membuatnya marah di jejaring sosial. Kuceritakan bahwa apa yang kulakukan dikatakannya tak berarti, sebab menggembor-gemborkan perubahan tapi masih nebeng eksistensi masa lalu. Temanku itu cuma tertawa. Lalu dengan kesadaran yang tidak bisa kupredisksi, ia menenangkanku dengan begini.  "Perubahan tuh nggak ada yang orijinal. Pasti ada awal yang diamati, lalu ditiru dan diinovasi. Sarkem awal pasti nggak sekonyong-konyong lahir, pasti ada komunitas lain yang mengilhami asal muasalnya" Itu kata temenku. Dia teman yang cerdas. Meskipun aku tahu ia suka berpikir hal-hal paling absurd yang tidak dapat kunilai baik secara normatif.  Kemudian aku jadi tersenyum. Kenapa aku harus dipusingkan d