• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Satu di antara enam bersaudara, lelaki itu sungguh pemalas jempolan. Ibarat dalam sekarung buah, ia buah yang hampir busuk--buah yang berpotensi merusak buah-buah lainnya--buah yang sebaik-baiknya memang telah menghuni tong sampah. Namun ia tak pernah menyadarinya. Bahkan ketika usaha keluarganya hampir gulung tikar, tak ada itikad baiknya untuk serius bekerja. Ia hanya mencela, ketika akhir bulan uang yang didapatnya berkurang. 


Kalau bukan saudara, bukan kakak tertua, bukan pernah menabung jasa, telah dipecatnya ia jauh-jauh hari. Ia hanya sesekali datang ke kantor; mengajak ngrumpi, mengenang kenang masa lalu, mengganggu kosentrasi dan ketika semua orang acuh tak acuh. Ia mulai menghasut. Membuat makin kusut kinerja adiknya yang hampir putus asa menyelamatkan perusahaan. Lelaki itu memang bajingan. Tak hanya mulutnya yang berbisa. Ia punya hobi yang jauh dari terpuji; berbisik-bisik di belakang, menghujat, mencaci maki atas keadilan dalam versinya yang tidak didapatnya. 

Sampai suatu ketika, perusahaan memang harus diselamatkan. Pekerja mesti bekerja keras dan serius. Lalu mereka berenam akhirnya mufakat merapat. Pada malam itu, malam yang menentukan segalanya. Malam yang menuntut semuanya berkomitmen dan serius. Kelima saudaranya telah berkumpul. Hanya ia seorang yang tak datang. Lelaki bajingan yang punya segudang alasan itu tidak datang. 

Kelima saudaranya hanya diam, mereka semua telah lelah mengingatkan. Semua diam. Mereka tidak memecat juga tidak mengatakan rencana-rencana mereka ke depan. Mereka diam. Hanya menunggu lelaki itu yang bicara dan bertanya. Bagi mereka, jika lelaki itu memang masih berniat bekerja, tentulah ia akan bertanya. Mencari tahu hasil kesepakatan bersama. Tapi lelaki itu pun diam. Semakin tidak jelas statusnya di perusahaan. Tidak bekerja, tidak melakukan apapun yang lebih penting bagi perusahaan. 

Kemudian, karena merasa tertinggal dan diacuh tak acuhkan, lelaki itu pun murka. Ia memutuskan untuk keluar, tanpa konfirmasi atas kesalahannya. Lalu begitulah lelaki bajingan itu. Keadilan dalam versinya membuat pembenarannya bagai monster. Sudah dikatakan sebelumnya. Ia punya hobi yang jauh dari terpuji; berbisik-bisik di belakang, menghujat, mencaci maki bahkan berkehendak menghancurkan perusahaan keluarganya demi kebenaran dalam versinya. 

Diam-diam lelaki itu pun mulai berhimpun. Mencari kawan untuk melawan kelima adiknya. Ia memang lelaki bajingan. Dalam otak kawannya itu, menghancurkan hasil jerih payah yang bukan miliknya tentulah sangat menyenangkan. Entah karena kecemburuan, entah karena terhasut. Yang jelas media gosip menggosip, menghujat dan mencaci maki tersebut semakin menjadi rutinitas yang dilakukannya saban hari.

Kasihan sebenarnya. Yang busuk, tentulah akan membusuk di keranjang buah-buah busuk.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sebuah rumah. Rumah di seberang tanah milik ibuku. Seperti manusia, ia pun tak luput digilir nasib. Nasib baik ialah ketika listrik menyala, makanan cukup, dan tak ada beban membayar sewa. Maka, mereka yang mengaku manusia menjadi penghuni. Bersuka ria, menamakan diri sebagai keluarga. 


Lalu, seperti itulah manusia--rumah ini pun digilir nasib buruk. Ditinggalkan penghuni ketika tak lagi cukup tersedia makanan. Ditinggalkan penghuni ketika uang menghilangkan seluruh kenyamanan. 

Tapi ada yang bertahan, tentu saja tak semua penghuni memutuskan melarikan diri. Terlanjur bicara janji, segala kenangan telah membuatnya ingin bertahan. 

Seperti lelaki itu. Aku mengenalnya cukup baik. Segala-galanya dilakukannya untuk kembali membenahi rumah. Ia memang bukan lelaki baik yang pandai berbasa-basi. Di hadapan keluarga, sebuah keluarga mana yang tak banyak menabung maaf untuk saudara, katanya. Ia terlalu percaya diri ketika melakukan kesalahan, sebab demikian sifatnya yang pemaaf. Namun, agaknya ia lupa. Bahwa yang sedarah sekalipun bisa saling bunuh membunuh. Ia memang lelaki yang malang. Seperti rumah yang diasuhnya bagai anak. Ketika segala ekonomi telah pulih, ia tak pandai mengajari siapapun untuk menghargai. Bukan penghargaan untuknya. Setidaknya mengajari menghargai apa yang telah ada. Supaya lampu-lampu tetap menyala, supaya makanan tetap ada. Ah, ia memang lelaki bodoh yang baik dan rela bersakit-sakit sendiri. Ia akan tetap ditinggalkan.

Mereka yang pergi tak akan tahu bagaimana rasanya bertahan. Mereka yang pergi tentu tak memiliki perasaan cinta lagi sebagai penghuni. Rumah itu telah jadi sepi, meski listrik menyala dan makanan di mana-mana. Dan mereka yang pergi kemudian jadi lebih senang berbisik-bisik. Mengomentari isi rumah. Menghujat. Mencaci maki. Bahkan mereka berniat merobohkan rumah entah demi kecemburuan macam apa? Ah, rumah di seberang tanah milik ibuku itu. Rumah yang malang, semalang yang mempertahankan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
IA TELAH menaruh rasa tak suka sejak aku menghuni kamar samping miliknya. Entah sebab apa, Ainur tak menyukai kehadiranku. Tapi satu hal yang mungkin jadi penyebabnya adalah; ia terlalu mencintai kebersihan sementara aku tidak. 


Setiap subuh datang, ia bangun lebih awal dan menyapu semua halaman. Bahkan ketika aku mendahuluinya, ia akan menyapu ulang pekerjaan yang sudah kuselesaikan itu dengan mulut bersungut-sungut. Di matanya, tak ada pekerjaanku yang dianggapnya benar. Ia terlalu membenciku, mungkin itulah yang membuat ia tak menganggapku ada. Sebab itu, diam-diam kuputuskan untuk tidak lagi membantunya bersih-bersih. Toh, tak ada jadwal piket resmi. Pun sebenarnya sudah ada pembantu yang bertugas untuk menyapu. 


“Menyapu itu kan kesadaran, tidak ada yang memaksa” Begitu kata Ainur. Ajaibnya ia selalu punya kesempatan mengatakan kalimat itu di hadapanku. Tanpa ekspresi apalagi tersenyum. Dan sialnya ia mulai berani datang ke kamarku. Mengomentari setiap tata letak barang-barangku. Lalu dari mulutnya yang ajaib itu meluncurlah cerita-cerita horor. 

“Aku aja pernah didatangi kuntilanak kok, tapi udah biasalah. Ia datang ke kamarku dan duduk di samping ranjangku” 

Aku merutuk dalam hati. Aku benci semua cerita horor. Sejak mendengar cerita itu, kepalaku memutar cerita versi lain di setiap malam menjelang aku tidur. 

Ainur telah berubah. 
Di kulitnya yang hitam itu tumbuh bulu-bulu yang lebat. Semakin lebat, lebat dan semakin lebat menyerupai gandaruwo. 

Ia akan duduk sangat lama di tangga menuju lantai dua. Tidak ada yang dikerjakannya selain bersih-bersih dan melamun. Padahal aku tahu, ada beban yang sangat berat di pundaknya yang kecil itu. Ia terancam Drop Out di akhir semester kuliahnya ini. Dan aku tahu, tak ada yang bisa kulakukan untuk membantunya. 

“Aku disuruh pulang kampung kalau tak kuat lagi melanjutkan kuliah, tapi untuk apa pula ijazah, toh hanya bapakku yang membutuhkannya” Sekali itu saja ia mengeluh. Wajahnya yang tanpa ekspresi tiba-tiba menjadi sangat sendu. Aku sedikit khawatir, dan lebih khawatir lagi ketika pagi hari aku tak mendengar suara sapunya. Pun ketika kugantikan pekerjaannya menyapu, ia cuma tersenyum. Senyum yang lebih menyerupai seringaian. 

Hari-hari berikutnya, aku tak pernah lagi mendengar ia menyapu. Di pagi hari, aku terbangun lebih siang setiap hari. Diam-diam aku baru sadar, bahwa suara sapu Ainur telah jadi alaram bagi kupingku. Dan aku tahu, aku telah kehilangan alaramku itu. 

Semakin hari, entah kenapa, aku merasa penting untuk tahu kabar tentang Ainur. Menjelang sore, ia tak lagi duduk di tangga menuju lantai dua. Ia selalu berada di kamarnya. Keluar hanya untuk makan dan mandi. Lalu kembali mengurung diri di kamarnya. 

Karena rasa penasaranku tak lagi bisa dibendung. Lalu kuberanikan saja mengetuk pintu. Tapi tak pernah dibukakannya pintu untukku. Aku tahu, ia ada, tapi pura-pura tak mendengar. Sampai suatu ketika aku benar-benar butuh menemuinya. Tentu saja ini masalah lain selain perasaan ingin tahuku. Aku membawa amanat dari tuan kos kami. 

Sudah setahun Ainur menunggak bayar sewa. Ia tidak dapat dihubungi. Pun sudah tabiat tuan kos yang berani nagih hanya lewat SMS, maka mau tak mau aku harus menyampaikannya pada Ainur. 

Karena tak pernah ada sahutan dari dalam kamar, lalu kuniatkan menulis surat saja. Sore hari, kuselipkan surat itu lewat sela rongga bawah pintu. Sebuah surat yang menyuarakan pesan dari tuan kos. 

Tidak menunggu lama, pintu kamar Ainur terbuka. Tiba-tiba aku merasa kangen dengan sosoknya yang dingin. Ia mengetuk pintu kamarku dan kupersilakan ia masuk. Wajahnya telah jadi merah. Aku menduga-duga dalam hati, barangkali aksi mengirim surat itu membuatnya marah. Namun, tiba-tiba wajah yang merah itu semakin jadi merah, ia menangis sesenggukan. 

“Kupikir yah, ia akan tahu kalau aku bisa dipercaya, toh aku nggak akan ke mana-mana sebelum lulus” 

Ia menunjukan sebuah pesan di handphonenya. Seperti yang kuterima tempo hari; tagihan uang sewa kos. Ah, ternyata aku terlambat membuat surat. Tuan kos lebih dulu menemukan nomor Ainur. Rupanya telah ada badai di balik tembok samping kamarku. 

“Aku memang belum mampu membayar sewa. Untuk itu kukerjakan apa yang bukan jadi tugasku. Aku menyapu halaman setiap pagi. Kalau bukan aku, apa jadinya rumah kontrakan ini. Bukankah pembantu yang ada tak pernah benar membersihkan halaman” 

Ia kembali menangis. Aku merasa kasihan, tapi mulutku rupanya tak sedemikian iba. 

“Menyapu itu kan kesadaran, tidak ada yang memaksa” ucapku. 

Seketika itu aku melihat kebencian berkilat-kilat di matanya. Oh Tuhan, apa yang baru saja kukatakan? Ainur bangkit dari duduknya dan meninggalkan kamarku. 

Sejak saat itu, ia kembali berubah jadi dingin. Sedingin subuh yang membangunkannya untuk menyapu. Setiap pagi datang, suara sapunya kembali terdengar. Ia akan kembali mengulangi pekerjaanku, jika mana suatu ketika aku menggantikannya menyapu. Aku tahu, kebenciannya padaku lebih besar dari apapun lagi. Dan aku pun tahu, alasannya menyapu bukan perkara sadar dan tidak sadar. Ia akan selalu dingin, seperti gigil subuh yang membangunkannya. 

Dan malam-malamku kembali kelabu. Aku kembali membayangkan wajah Ainur. Di kulitnya yang hitam tumbuh bulu-bulu yang lebat. Semakin lebat, lebat dan semakin lebat menyerupai gandaruwo dalam versiku. 

Ia kembali duduk di tangga menuju lantai dua. Mungkin ia memikirkan nasib bebannya yang makin memanjang, sepanjang bulu-bulu. Lalu ia akan mengurung diri di kamarnya, mengepang bulu-bulu yang lebat memanjang. Hingga suatu hari, ia tak pernah terlihat keluar dari kamarnya. Tidak ada suara sapu yang membangunkan tidurku lebih awal. 

Aku terbangun ketika dua polisi telah berada di depan kamarku. Halaman yang penuh sampah tiba-tiba jadi ramai dengan wajah orang cemas. Aku tahu, ada yang tak beres di pagi ini. Semalam aku bermimpi tentang Ainur yang mengepang bulu-bulu lebat yang memanjang jadi tali. Pagi ini, polisi menemukan Ainur mati gantung diri. 

Djogjakarta[] Juli 2012

Dimuat di Koran Minggu Pagi edisi Jumat, 20 Juli 2012 


Share
Tweet
Pin
Share
10 komentar
Jingar terbelalak melihat sepotong bibir tergeletak di meja makan—bibir yang telah membiru dengan darah menyungai di sekitarnya. Ia tidak bisa membayangkan jika benar anaknya telah nekat memotong sepasang bibir itu. Bibir yang tak seorang pun dapat membedakan dari yang ia punya. 



“Duh gusti, inikah azabmu itu” Jingar meratap. 

Kakinya mendadak kaku dan keringat dingin turun tak sewajarnya. Di saat paling buruk itu, sekuat tenaga dicarinya Samlah, anaknya yang semata wayang—ia tak juga menyerah meski di sudut rumah miliknya tak siapa pun di jumpai. Lalu genap sudah pikiran-pikiran buruk itu berjejal di kepalanya.

“Semua orang mencibirku, ibu, hanya karena bibir ini mirip denganmu” Samlah kecil mengadu ketika itu. 

Di usinya yang belum genap sebelas tahun, tak pernah diterimanya perlakuan baik, dari Jingar ataupun dari teman sebayanya.

“Lantas kau memprotesku? Jika ini pun kehendak dari Tuhan?” Jingar tak mau kalah.
“Tapi mereka bilang bibir ini musti dipotong supaya aku tak menurun jadi pelacur macem ibu” plakkk. 

Seringan bibirnya menggoda lelaki, urusan tangan tak segan-segan ia luncurkan ke pipi Samlah kecil. Namun tak pernah disangkanya jika bibir yang menjadi kebanggaanya selama ini itu telah menjadi bencana. Sekarang pikiran-pikiran buruk itu menyerupai maut—begitu dekat dan tak dapat tertolak. Lagi-lagi terbayang sepotong bibir telah hilang dari wajah anaknya yang remaja. Sepotong kecantikan yang menjadi kebanggaan Jingar setiap kali menjajakannya di pinggir jalan.

“Jika bukan karena bibirmu, tak kupilih kamu dari sekian pelacur di kota ini, Jingar” 

Begitulah setiap kali para lelaki merayunya. Jingar yang pendek dan hitam merasa tersanjung. Namun, ketika lahir anaknya yang berkulit putih. Entah berbapak siapa, dengan bibir mewarisi bibirnya. Hatinya bungah tidak ketulungan. Dirawatnya anak itu dengan harapan setinggi langit. Bukan untuk menuruni nasibnya sebagai pelacur. Sebab bukankah tak seorang pun ibu menginginkan anaknya bernasib jauh lebih buruk dari yang dia terima. Begitu pun Jingar, ia hanya tak bisa menolak jika nasib telah mengalamatkan dirinya pada cerita semacam ini. Bertahun sudah menjadi pelacur, tak ubahnya darah yang telah menyatu jadi daging. Setelah kelahiran Samlah, dicarinya kerjaan yang lumrah. Namun begitulah negeri ini. Pekerjaan selalu berkaitan dengan yang tethek bengek, di zaman semua hal musti pakai syarat ijazah—Jingar baca-tulis pun tidak dikuasai. Di sudut ruang makan itu. Kini Jingar meratap pilu dengan sepotong bibir di hadapannya. Ia tak mungkin terus berjalan jauh mencari Samlah. Matanya mulai berkunang-kunang. Badannya oleng persis ketika sebuah pintu berderit pelan.

“Samlah?” bisiknya hampir tidak bersuara. Anak berusia belasan tahun itu menghampiri ibunya. Bibirnya masih utuh. Tak sepotong pun hilang dari wajahnya itu.
“ Bibir ini?” Tanya Jingar semakin panik.
“ Maaf ibu, kupotong bibir perempuan yang menginaku semalam ketika ibu pergi. Dia datang ke rumah mencari suaminya. Menggeledah masuk dengan kata-kata yang sama. Kata-kata yang membuat telingaku memanas selama ini”
“ Jadi?”
“ Mayatnya kupotong menjadi sepuluh. Telah kutenggelamkan ke sungai pagi ini”. Samlah memapah ibunya masuk ke dalam kamar. Sepotong bibir itu. Iya sepotong bibir itu telah menjadi pelunasan untuk dendamnya selama ini. 

Jogjakarta. Maret 2011.

(diterbitkan oleh buletin Suara Ungu FBS UNY pada tahun 2011)
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ialah Petir, lelaki yang tiba-tiba menjadi berarti setelah suamiku. Lelaki itu beristri, pun aku yang telah memiliki lelaki. Segalanya berawal terasa alami, mengalir sampai suatu ketika Petir berubah dingin. Sangat dingin seperti subuh pagi itu. Aku bertanya "Kau menghindar dariku?" Ia tampak tergagap.


"Kita harus selesai, Ningsih. Aku tak lagi tega mendustai istriku. Ia sudah tahu, pun suamimu yang mengancamku" Begitu tegasnya. 

Namun aku tahu, ia tak benar ingin berubah. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Aku menangkap sakit dan cinta yang tercabik-cabik. Aku tahu, Petir masih mencintaiku, sangat mencintaiku lebih dari apapun yang dikatakannya. Bener-bener sial, seketika aku merasa sakit, perih yang meronta-ronta, beginikah akhirnya muara itu? Aku mesti kehilangan ia. Lelaki bernama Petir. 

Dan sakit ini pun menemui pertanyaan; siapakah korban itu, akukah? Petir pun merasa sakit, lalu istrinya, lalu suamiku? Siapakah yang lebih sakit sebagai korban dan pelaku dalam kasus ini?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Seharusnya aku tak sesedih ini. Sebentar lagi Ibu akan melahirkan seorang adik. Adik yang kata Ibu dirasanya sepertii kupu-kupu. Aku tak bisa membayangkan bahwa kupu-kupu raksasa itu menghuni perut Ibu dan akan keluar sebagai adikku. Tentu saja ini sangat mengerikan. Aku ketakutan setengah mati, namun Ibu menceritakan ini sambil tertawa bahagia. Ah, ibuku yang malang. Lalu kutanya apa benar adikku akan seperti kupu-kupu. Ibu malah kencang tertawa. "Kata siapa, Nak" katanya. 
"Aku mendengar percakapan Ibu dengan tante Nia" kataku. Dan sungguh, ini sungguh aneh, Ibu justru makin tertawa lebar. Ah, apa aku salah bertanya? Kemarin sore Tante Nia datang ke rumahku. Sambil mengelus perut Ibu ia bertanya. 
"Wah gimana to rasanya hamil itu, Mbakyu" 
"Pokoknya amazinglah, seperti kau merasakan ada kupu-kupu di dalam perutmu, Nia" Itu kata Ibu. Dan sebentar lagi, kupu-kupu itu akan lahir sebagai adikku. Hufft.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ialah sebuah peringatan, ingatan yang sekali dalam setahun akan mengulang-ulang cerita yang hampir sama; tentang pantai, sebuah bunga, dan sepotong coklat yang terlalu manis. Di mana dalam setahun sekali itu, ada dua lelaki yang datang. Ia yang mengantar ingatan terbaikku, dan lelaki lain yang menyusun cerita buruk di kepalaku supaya kelak kutabung jadi ingatan. Bahkan aku percaya, di tanggal yang sama di usiaku yang baru sehari itu, aku lahir sebab banyak doa dan sesaji. Di mana Bapak dan Emak bersuka ria merayakannya dengan sederhana. Lebih sederhana dari sepotong coklat. Lebih bijaksana, sebab aku diberi pengharapan dan berkawan orang-orang yang pandai menghargai. Ialah sebuah peringatan, ingatan yang selalu menyusun ceritanya sendiri di kepalaku.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Padahal tanpa aku, si hitam kopi bisa jadi tak laku dinikmati orang. Pun teh dan minuman lainnya. Tapi beginilah aku, mereka terlalu mendominasi dan nasibku selalu di posisi yang kurang eksis. 


"Ini mah kurang gula, tehnya jadi tawar" Begitu manusia menyalahkanku. Lalu "Ini mah kebanyakan gula, kopinya jadi terlalu manis" Yah, inilah nasibku jadi biang kesalahan. Dan ketika semua komposisi selera mereka tepat. "Waw kopinya mantap" Lalu aku? Di mana aku? 



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
"Percayalah, bukan alasan seburuk itu aku mempertahankanmu" Itu kukatakan berulang kali kepada istriku sebelum akhirnya ia pergi. Aku tahu, batas kesabarannya telah ia habiskan untukku. Bahkan, hal terburuk yang dikatakannya adalah begini, Ia beranggapan jika aku mempertahankannya demi untuk terus membuatnya sakit. Sungguh. Dia harusnya percaya bahwa aku berusaha berubah. Aku memang lelaki sial. Lelaki yang kurang beruntung dalam memenangkan hatinya. Dan lebih sialan lagi karena aku tak bisa mengatakan ini padanya. 
"Aku hanya butuh kesempatan untuk membuatmu bahagia, istriku. Untuk itu aku butuh kau. Aku tak ingin meninggalkanmu, sebagaimana kau pinta sebagai bentuk membebaskanmu. Sebab, untuk membahagiakanmu aku membutuhkanmu untuk tetap ada. Harusnya kau tak pergi, sebagaimana aku tak pernah berniat meninggalkanmu"
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
"Sialan betul bosku itu" Ia mengempaskan pantatnya ke sofa.
"Husst, wis diempani, malah misuh-misuh" kata si perempuan. 
"Bagaimana tidak membuatku jengkel, cah" Ia mulai frustasi. 
"Gimana, to?" Si perempuan mendekat. Duduk disamping lelaki penyair itu. 
"Begini, dulu kata bosku itu, aku punya kesempatan 12 kali cuti dalam setahun"
"Lalu?"
"Lebaran tahun ini juga sialan ini"
"Lho? Kok bawa-bawa lebaran segala?"
"Bagaimana tidak, kenapa pula lebaran jatuh di tengah bulan"
"Lho?"
"Kukatakan pada bosku, kuambil cuti lebih banyak di lebaran besok. Bukannya itu hakku? Aku berhak untuk ambil cuti kapanpun sesuai kontrak. Tapiii..."
"Tapi kenapa?" Si perempuan menyimak. 
"Sialan betul itu bosku, dengan tanpa melihat mukaku. Dikatakannya bahwa gajiku dipotong setengah bulan. DIPOTONG. Ini cuma karena lebaran jatuh di tengah bulan, dan setelahnya aku ambil cuti. Sialan betul itu" 
"Hemm, begitu saja repot. Kau tak pernah kerja dengan asas kekeluargaan sih"
"Maksudmu?"
"Iya, ASAS KEKELUARGAAN"
"Maksudmu?"
"Begini, untunglah saja bosku baik, tidak seperti bosmu. Saking baiknya, aku tak berniat untuk cuti. Dan asas kekeluargaan itulah yang membuat segalanya tidak ditegaskan. Termasuk..."
"Termasuk apa?"
"Termasuk bagaimana aku bisa menaikan gaji dan boleh cuti"
"Salahmu ra takon"
"Sudah kubilang, ini asas kekeluargaan, asas ini lebih membuat rikuh ketimbang surat kontrak" 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Maling masuk kos lagi? WHAT? 


Lagi asyik ngegosip malem-malem sama Swastika Palupi, jadi mendadak merinding deh denger kabar begitu. "Iya, sore tadi. Pintu kamar ujung sono udah dicongkel lho" kata Ifa Zhena

Sore? Waw, mungkin maling masuk tepat ketika aku sama pacarku lagi chatingan di FB. Padahal aku sudah bilang sama pacarku suruh jangan ke warnet. Diem dulu deh di kos. Urusannya sama ekonomi. Lagi tanggal tua nih. Ealah, kok malah kalimatku ada benernya juga. Tumben-tumbenan nih firasat cenayangku aktif. Grekk. 

"Trus, apa yang ilang?"

Aku bertanya sambil menutup pintu. Kan malem Jumat, kali aja kuntilanak juga pengen ikutan ngegosip. "Untung gak ada. Mungkin belum sampai ke kamar kita" Apa kamar kita? Oh Tuhan. Tadi sudah kubilang kan, ini tanggal tua. Maling apa ya doyan sama bantal dan kasur buluk doang. Cuma itu yang berharga di kamarku. Yah, namanya ngegosip, dari urusan maling sampai kuntilanak bikin mata jadi kedip kedip. 

Astaga, udah jam 12 malam, bahkan Swastika Palupi udah tidur duluan. Bener-bener dah tu bocah! Nggak nonton filem horor, nggak dengerin cerita horor, hobinya melulu ninggal tidur duluan. Setelah Ifa Zhena keluar kamar, buru-buru dah aku nyusul tidur. Nimbang aku ditemenin ngobrol sama kuntilanak galau, kan horor. 

Idih, paginya, hapeku udah dibrondong SMS sama Fairuzul Mumtaz . "Jam 2 pagi masih onlen di warnet? Udah jam berapa ini, eh?" Baca SMS yang nggak masuk akal itu. Mata yang masih belekan jadi melotot kaget. Aih, siapa yang ke warnet? Apa bener semalam aku dituntun kuntilanak sampai warnet. Dan sialnya, setelah kubuka FB, nggak cuma pacarku lho yang ngechat aku di jam hampir subuh. Aih gila, nih. Facebookku mungkin kena bajak laut ya, facebookku kedatangan maling lagi.

diunggah di facebook 25 Mei 2012
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Lelaki Petualang:
Beneran deh, Sayang. Kali ini aku sungguh-sungguh cinta sama kamu. Aku yakin, seyakin-yakinnya kalau kamu cinta sejatiku. Kamu inget kan, kata film Johny Depp, kalau kita sudah punya pacar kemudian jatuh cinta lagi ke orang lain, maka pilihlah cinta yang kedua itu. Cinta keduaku itu ya kamu, Sayangku. Apa? Kamu malah tanya kenapa? Ah, begini lho, Sayang. Aku pikir ya, kalau aku bisa mencintaimu meski aku sudah punya pacar, berarti aku tak sungguh-sungguh mencintai pacarku. Masih tanya kenapa? Astaga! Ya, Karena kalau aku sungguh-sungguh mencintai dia, tak mungkinlah ada kamu di hatiku. Kalau aku nggak sungguh-sungguh, untuk apa dilanjutkan. Sekarang kamu percaya kan aku pasti akan memilihmu? Ayolah, Cinta? 



Perempuan Rumah Singgah:
Ah, petualang cintaku. Kau tak pernah punya rumah yang permanen. Termasuk aku. Tempat singgahmu. Apa kau pernah melihat ketakutanku? Ini mengerikan. Begini: kalau ada aku setelah kekasihmu, lalu setelah kamu menjadi milikku kelak, tentu saja akan ada dia, dia, selanjutnya, bukan? Kamu yakin aku yang terakhir? Ah, sayangku, aku sering mendengar kalimat itu dari banyak orang. Kau tak perlu membuatku yakin seyakin-yakinnya. Kau tahu cintaku? Ya, harusnya kau paham, aku ini cuma rumah singgah bagimu, setelah kau pergi, atau sebelum kau datang, aku pasti berpenghuni.


Diunggah di facebook 1 Juni 2012
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
  • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
  • Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ▼  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ▼  July (12)
      • Edisi Lelaki Sebau Buah Busuk
      • Edisi Rumah yang Diasuhnya Bagai Anak
      • Cerpen Sapu dan Perempuan Berbulu Panjang
      • Cerpen Samlah
      • Edisi Selingkuh itu Adalah...
      • Edisi Adik yang Menjelma Kupu-kupu
      • Edisi Peringatan 24 tahun kelahiran
      • Edisi Gula Menggugat
      • Edisi Patah Nikahan
      • Edisi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
      • Tragedi Maling-malingan
      • Lelaki Petualang dan Perempuan Rumah Singgah

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates