Skip to main content

Edisi Lelaki Sebau Buah Busuk

Satu di antara enam bersaudara, lelaki itu sungguh pemalas jempolan. Ibarat dalam sekarung buah, ia buah yang hampir busuk--buah yang berpotensi merusak buah-buah lainnya--buah yang sebaik-baiknya memang telah menghuni tong sampah. Namun ia tak pernah menyadarinya. Bahkan ketika usaha keluarganya hampir gulung tikar, tak ada itikad baiknya untuk serius bekerja. Ia hanya mencela, ketika akhir bulan uang yang didapatnya berkurang. 


Kalau bukan saudara, bukan kakak tertua, bukan pernah menabung jasa, telah dipecatnya ia jauh-jauh hari. Ia hanya sesekali datang ke kantor; mengajak ngrumpi, mengenang kenang masa lalu, mengganggu kosentrasi dan ketika semua orang acuh tak acuh. Ia mulai menghasut. Membuat makin kusut kinerja adiknya yang hampir putus asa menyelamatkan perusahaan. Lelaki itu memang bajingan. Tak hanya mulutnya yang berbisa. Ia punya hobi yang jauh dari terpuji; berbisik-bisik di belakang, menghujat, mencaci maki atas keadilan dalam versinya yang tidak didapatnya. 

Sampai suatu ketika, perusahaan memang harus diselamatkan. Pekerja mesti bekerja keras dan serius. Lalu mereka berenam akhirnya mufakat merapat. Pada malam itu, malam yang menentukan segalanya. Malam yang menuntut semuanya berkomitmen dan serius. Kelima saudaranya telah berkumpul. Hanya ia seorang yang tak datang. Lelaki bajingan yang punya segudang alasan itu tidak datang. 

Kelima saudaranya hanya diam, mereka semua telah lelah mengingatkan. Semua diam. Mereka tidak memecat juga tidak mengatakan rencana-rencana mereka ke depan. Mereka diam. Hanya menunggu lelaki itu yang bicara dan bertanya. Bagi mereka, jika lelaki itu memang masih berniat bekerja, tentulah ia akan bertanya. Mencari tahu hasil kesepakatan bersama. Tapi lelaki itu pun diam. Semakin tidak jelas statusnya di perusahaan. Tidak bekerja, tidak melakukan apapun yang lebih penting bagi perusahaan. 

Kemudian, karena merasa tertinggal dan diacuh tak acuhkan, lelaki itu pun murka. Ia memutuskan untuk keluar, tanpa konfirmasi atas kesalahannya. Lalu begitulah lelaki bajingan itu. Keadilan dalam versinya membuat pembenarannya bagai monster. Sudah dikatakan sebelumnya. Ia punya hobi yang jauh dari terpuji; berbisik-bisik di belakang, menghujat, mencaci maki bahkan berkehendak menghancurkan perusahaan keluarganya demi kebenaran dalam versinya. 

Diam-diam lelaki itu pun mulai berhimpun. Mencari kawan untuk melawan kelima adiknya. Ia memang lelaki bajingan. Dalam otak kawannya itu, menghancurkan hasil jerih payah yang bukan miliknya tentulah sangat menyenangkan. Entah karena kecemburuan, entah karena terhasut. Yang jelas media gosip menggosip, menghujat dan mencaci maki tersebut semakin menjadi rutinitas yang dilakukannya saban hari.

Kasihan sebenarnya. Yang busuk, tentulah akan membusuk di keranjang buah-buah busuk.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk