Skip to main content

Edisi Rumah yang Diasuhnya Bagai Anak

Sebuah rumah. Rumah di seberang tanah milik ibuku. Seperti manusia, ia pun tak luput digilir nasib. Nasib baik ialah ketika listrik menyala, makanan cukup, dan tak ada beban membayar sewa. Maka, mereka yang mengaku manusia menjadi penghuni. Bersuka ria, menamakan diri sebagai keluarga. 


Lalu, seperti itulah manusia--rumah ini pun digilir nasib buruk. Ditinggalkan penghuni ketika tak lagi cukup tersedia makanan. Ditinggalkan penghuni ketika uang menghilangkan seluruh kenyamanan. 

Tapi ada yang bertahan, tentu saja tak semua penghuni memutuskan melarikan diri. Terlanjur bicara janji, segala kenangan telah membuatnya ingin bertahan. 

Seperti lelaki itu. Aku mengenalnya cukup baik. Segala-galanya dilakukannya untuk kembali membenahi rumah. Ia memang bukan lelaki baik yang pandai berbasa-basi. Di hadapan keluarga, sebuah keluarga mana yang tak banyak menabung maaf untuk saudara, katanya. Ia terlalu percaya diri ketika melakukan kesalahan, sebab demikian sifatnya yang pemaaf. Namun, agaknya ia lupa. Bahwa yang sedarah sekalipun bisa saling bunuh membunuh. Ia memang lelaki yang malang. Seperti rumah yang diasuhnya bagai anak. Ketika segala ekonomi telah pulih, ia tak pandai mengajari siapapun untuk menghargai. Bukan penghargaan untuknya. Setidaknya mengajari menghargai apa yang telah ada. Supaya lampu-lampu tetap menyala, supaya makanan tetap ada. Ah, ia memang lelaki bodoh yang baik dan rela bersakit-sakit sendiri. Ia akan tetap ditinggalkan.

Mereka yang pergi tak akan tahu bagaimana rasanya bertahan. Mereka yang pergi tentu tak memiliki perasaan cinta lagi sebagai penghuni. Rumah itu telah jadi sepi, meski listrik menyala dan makanan di mana-mana. Dan mereka yang pergi kemudian jadi lebih senang berbisik-bisik. Mengomentari isi rumah. Menghujat. Mencaci maki. Bahkan mereka berniat merobohkan rumah entah demi kecemburuan macam apa? Ah, rumah di seberang tanah milik ibuku itu. Rumah yang malang, semalang yang mempertahankan.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk