Skip to main content

Cerpen Sapu dan Perempuan Berbulu Panjang

IA TELAH menaruh rasa tak suka sejak aku menghuni kamar samping miliknya. Entah sebab apa, Ainur tak menyukai kehadiranku. Tapi satu hal yang mungkin jadi penyebabnya adalah; ia terlalu mencintai kebersihan sementara aku tidak. 


Setiap subuh datang, ia bangun lebih awal dan menyapu semua halaman. Bahkan ketika aku mendahuluinya, ia akan menyapu ulang pekerjaan yang sudah kuselesaikan itu dengan mulut bersungut-sungut. Di matanya, tak ada pekerjaanku yang dianggapnya benar. Ia terlalu membenciku, mungkin itulah yang membuat ia tak menganggapku ada. Sebab itu, diam-diam kuputuskan untuk tidak lagi membantunya bersih-bersih. Toh, tak ada jadwal piket resmi. Pun sebenarnya sudah ada pembantu yang bertugas untuk menyapu. 


“Menyapu itu kan kesadaran, tidak ada yang memaksa” Begitu kata Ainur. Ajaibnya ia selalu punya kesempatan mengatakan kalimat itu di hadapanku. Tanpa ekspresi apalagi tersenyum. Dan sialnya ia mulai berani datang ke kamarku. Mengomentari setiap tata letak barang-barangku. Lalu dari mulutnya yang ajaib itu meluncurlah cerita-cerita horor. 

“Aku aja pernah didatangi kuntilanak kok, tapi udah biasalah. Ia datang ke kamarku dan duduk di samping ranjangku” 

Aku merutuk dalam hati. Aku benci semua cerita horor. Sejak mendengar cerita itu, kepalaku memutar cerita versi lain di setiap malam menjelang aku tidur. 

Ainur telah berubah. 
Di kulitnya yang hitam itu tumbuh bulu-bulu yang lebat. Semakin lebat, lebat dan semakin lebat menyerupai gandaruwo. 

Ia akan duduk sangat lama di tangga menuju lantai dua. Tidak ada yang dikerjakannya selain bersih-bersih dan melamun. Padahal aku tahu, ada beban yang sangat berat di pundaknya yang kecil itu. Ia terancam Drop Out di akhir semester kuliahnya ini. Dan aku tahu, tak ada yang bisa kulakukan untuk membantunya. 

“Aku disuruh pulang kampung kalau tak kuat lagi melanjutkan kuliah, tapi untuk apa pula ijazah, toh hanya bapakku yang membutuhkannya” Sekali itu saja ia mengeluh. Wajahnya yang tanpa ekspresi tiba-tiba menjadi sangat sendu. Aku sedikit khawatir, dan lebih khawatir lagi ketika pagi hari aku tak mendengar suara sapunya. Pun ketika kugantikan pekerjaannya menyapu, ia cuma tersenyum. Senyum yang lebih menyerupai seringaian. 

Hari-hari berikutnya, aku tak pernah lagi mendengar ia menyapu. Di pagi hari, aku terbangun lebih siang setiap hari. Diam-diam aku baru sadar, bahwa suara sapu Ainur telah jadi alaram bagi kupingku. Dan aku tahu, aku telah kehilangan alaramku itu. 

Semakin hari, entah kenapa, aku merasa penting untuk tahu kabar tentang Ainur. Menjelang sore, ia tak lagi duduk di tangga menuju lantai dua. Ia selalu berada di kamarnya. Keluar hanya untuk makan dan mandi. Lalu kembali mengurung diri di kamarnya. 

Karena rasa penasaranku tak lagi bisa dibendung. Lalu kuberanikan saja mengetuk pintu. Tapi tak pernah dibukakannya pintu untukku. Aku tahu, ia ada, tapi pura-pura tak mendengar. Sampai suatu ketika aku benar-benar butuh menemuinya. Tentu saja ini masalah lain selain perasaan ingin tahuku. Aku membawa amanat dari tuan kos kami. 

Sudah setahun Ainur menunggak bayar sewa. Ia tidak dapat dihubungi. Pun sudah tabiat tuan kos yang berani nagih hanya lewat SMS, maka mau tak mau aku harus menyampaikannya pada Ainur. 

Karena tak pernah ada sahutan dari dalam kamar, lalu kuniatkan menulis surat saja. Sore hari, kuselipkan surat itu lewat sela rongga bawah pintu. Sebuah surat yang menyuarakan pesan dari tuan kos. 

Tidak menunggu lama, pintu kamar Ainur terbuka. Tiba-tiba aku merasa kangen dengan sosoknya yang dingin. Ia mengetuk pintu kamarku dan kupersilakan ia masuk. Wajahnya telah jadi merah. Aku menduga-duga dalam hati, barangkali aksi mengirim surat itu membuatnya marah. Namun, tiba-tiba wajah yang merah itu semakin jadi merah, ia menangis sesenggukan. 

“Kupikir yah, ia akan tahu kalau aku bisa dipercaya, toh aku nggak akan ke mana-mana sebelum lulus” 

Ia menunjukan sebuah pesan di handphonenya. Seperti yang kuterima tempo hari; tagihan uang sewa kos. Ah, ternyata aku terlambat membuat surat. Tuan kos lebih dulu menemukan nomor Ainur. Rupanya telah ada badai di balik tembok samping kamarku. 

“Aku memang belum mampu membayar sewa. Untuk itu kukerjakan apa yang bukan jadi tugasku. Aku menyapu halaman setiap pagi. Kalau bukan aku, apa jadinya rumah kontrakan ini. Bukankah pembantu yang ada tak pernah benar membersihkan halaman” 

Ia kembali menangis. Aku merasa kasihan, tapi mulutku rupanya tak sedemikian iba. 

“Menyapu itu kan kesadaran, tidak ada yang memaksa” ucapku. 

Seketika itu aku melihat kebencian berkilat-kilat di matanya. Oh Tuhan, apa yang baru saja kukatakan? Ainur bangkit dari duduknya dan meninggalkan kamarku. 

Sejak saat itu, ia kembali berubah jadi dingin. Sedingin subuh yang membangunkannya untuk menyapu. Setiap pagi datang, suara sapunya kembali terdengar. Ia akan kembali mengulangi pekerjaanku, jika mana suatu ketika aku menggantikannya menyapu. Aku tahu, kebenciannya padaku lebih besar dari apapun lagi. Dan aku pun tahu, alasannya menyapu bukan perkara sadar dan tidak sadar. Ia akan selalu dingin, seperti gigil subuh yang membangunkannya. 

Dan malam-malamku kembali kelabu. Aku kembali membayangkan wajah Ainur. Di kulitnya yang hitam tumbuh bulu-bulu yang lebat. Semakin lebat, lebat dan semakin lebat menyerupai gandaruwo dalam versiku. 

Ia kembali duduk di tangga menuju lantai dua. Mungkin ia memikirkan nasib bebannya yang makin memanjang, sepanjang bulu-bulu. Lalu ia akan mengurung diri di kamarnya, mengepang bulu-bulu yang lebat memanjang. Hingga suatu hari, ia tak pernah terlihat keluar dari kamarnya. Tidak ada suara sapu yang membangunkan tidurku lebih awal. 

Aku terbangun ketika dua polisi telah berada di depan kamarku. Halaman yang penuh sampah tiba-tiba jadi ramai dengan wajah orang cemas. Aku tahu, ada yang tak beres di pagi ini. Semalam aku bermimpi tentang Ainur yang mengepang bulu-bulu lebat yang memanjang jadi tali. Pagi ini, polisi menemukan Ainur mati gantung diri. 

Djogjakarta[] Juli 2012

Dimuat di Koran Minggu Pagi edisi Jumat, 20 Juli 2012 


Comments

  1. Akhir yang seru buat Ainur. *ikutan jengkel* :)

    ReplyDelete
  2. serem ah terakhirnya hihihihi.... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha iya Mak, itu bikinnya pakai emosi. Klise banget, tokohnya dibunuh.

      Delete
  3. Eishh.. endingnya gak enak banget mak, bulu kudukku ampe mrinding disco nih..

    walah2.. sebegitu parahnya ya nasib ainur..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jiahhh, iya Mak. Tapi itu endingnya nggak beneran loh. Kubuat ending yang kejem, soalnya pas nulis sambil emosi :))

      Delete
  4. Tulisannya bagus... Tadi aku sempat ngira tetangga kost-nya berubah jadi kuntilanak...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aduh makasih Mak, jadi semangat mau nulis lagi nih :))

      Delete
  5. bwahahaha... ga berani aku jadi tetangga kos mu, Mak... berakhir tragis meski di dunia fiksi ;-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha, jangan jadi anak kos lagi deh. Nggak enak, nggak bebas. #IhCurhatBangetNih

      Delete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk