• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Menjelang lebaran, Mama jadi lebih sering telepon. 


Sekadar memberi kabar tentang keadaan di rumah, di mana Simbah yang sakit-sakitan, dan paman yang harus segera dioperasi. 



Tapi, ada yang menggelitik setiap kali Mama menanyakan pacarku. Mama akan tanya apakah pacarku akan pulang. Ya, tentu saja kujawab iya. Pacarku itu tipe lelaki yang sangat santun sama orang tuanya. Mustahil, ia tidak pulang. Lalu Mama akan kembali tanya "Kapan? Arep bali kapan?" kujawab saja sebelum lebaran. Kemudian ada jeda di antara kami. Saling diam dan memahami bahwa pulang yang dimaksud Mama adalah pulang ke rumah kami. Bukan pulang ke rumah orang tua pacarku. Yah, ini tentang pulang. Tentang rumah kami yang telah menjadi rumahnya sebelum kami resmi jadi pasutri.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ingatan yang tak utuh ini begitu saja datang. Sebuah kantor sekolah dasar di kampungku. Di ruangan itu, di belakang meja meja guru ada sebuah lemari besar. Katakan saja itu perpustakaan. Lemari perpustakaan yang berjejer dengan buku-buku yang berantakan. 

Jangan bayangkan perpustakan yang mandiri di ruangan sendiri. Zaman itu, ruang kelas saja berbagi jam. Jangan bayangkan bagaimana minat baca kami saat itu. Melewati meja-meja guru menuju perpustakaan tentulah tidak menyenangkan. Istirahat kami diisi kasti dan permainan-permainan. Jangan tanyakan perpustakaan umum di kampungku, datanglah bertamu ke rumah. Di rumah-rumah kami lebih banyak kitab-kitab agama yang berupa buku. 

Apakah kami boleh pinjam buku di sekolah? Tentu saja boleh. Guru-guru sekali waktu meminjamkannya untuk dibawa pulang. Tidak lebih dari dua buku. Itu pun disarankan untuk bergilir dengan teman. Barangkali guru kami itu lebih tahu, bahwa di usia kami saat itu membaca buku nonpelajaran haruslah dibatasi. Kami terbiasa untuk tidak leluasa memilih apa yang kami sukai. Sepulang sekolah harus tidur siang. Kemudian berangkat ke surau untuk mengaji. Pulang ke rumah mengerjakan PR kemudian tidur malam. Selalu seperti itu. Ajaran kedisplinan usia dini kata orang. 

Namun ada yang terlewat. Keinginan membaca buku menjadi candu sendiri bagiku. Ibu tak pernah membelikan buku bacaan untukku. Bagi mereka, membayar uang SPP jauh lebih penting ketimbang buku bacaan. Aku mahfum akan alasan itu. Kami ini miskin harta, tapi kemiskinan terbesar kampungku adalah ketika pendidikan menjadi nomor sekian dalam hidup. 

Saat itu Bapak hanya pengajar. Kunci kantor sekolah selalu dibawanya pulang ke rumah. Kunci kantor yang kemudian menjadi jalan kenekatanku untuk mencuri. Ini memang kurang terpuji. Diam-diam tanpa sepengetahuan Bapak, aku menerobos masuk ke kantor sekolah. Di sana aku mengambil beberapa buku bacaan, bersembunyi di gorong-gorong sumur sambil menamatkan cerita di buku. Berlanjut seperti itu dalam waktu yang lama; setelah selesai membaca, aku akan mengembalikan buku tersebut dan mengambilnya yang baru. Bapak tidak pernah tahu. Di usiaku yang selalu ingin tahu, rupanya aku telah pandai menyusun siasat. 

Sampai pada akhirnya aku lelah dengan kegiatan tersebut. Setelah memasuki usia SMP sekalipun aku tak dijinkan baca novel. Ibuku tak pernah tahu mana novel yang boleh kubaca dan mana yang tidak. Ibu hanya ibu rumah tangga biasa. Segala buku berlabel novel dilarangnya kubaca. Karena itulah aku sembunyi-sembunyi membaca novel di lain tempat. Namun Ibu tidak pernah tahu, dalam persembunyianku itu--aku justru menemukan novel yang seharusnya disembunyikan dariku saat itu. Sebuah novel dengan judul yang sudah kulupakan, dan ditulis oleh penulis Fredy S.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Babymoon di Gallery Prawirotaman Hotel?
  • Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan
  • Tiga Nama Palupi yang Kece Badai dalam Hidupku

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ▼  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ▼  August (2)
      • Catatan tentang pulang, rumah, Mama dan pacarku
      • Ingatan Tentang Buku, Guru dan Kampung Halaman
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates