Ingatan Tentang Buku, Guru dan Kampung Halaman

by - August 11, 2012

Ingatan yang tak utuh ini begitu saja datang. Sebuah kantor sekolah dasar di kampungku. Di ruangan itu, di belakang meja meja guru ada sebuah lemari besar. Katakan saja itu perpustakaan. Lemari perpustakaan yang berjejer dengan buku-buku yang berantakan. 

Jangan bayangkan perpustakan yang mandiri di ruangan sendiri. Zaman itu, ruang kelas saja berbagi jam. Jangan bayangkan bagaimana minat baca kami saat itu. Melewati meja-meja guru menuju perpustakaan tentulah tidak menyenangkan. Istirahat kami diisi kasti dan permainan-permainan. Jangan tanyakan perpustakaan umum di kampungku, datanglah bertamu ke rumah. Di rumah-rumah kami lebih banyak kitab-kitab agama yang berupa buku. 

Apakah kami boleh pinjam buku di sekolah? Tentu saja boleh. Guru-guru sekali waktu meminjamkannya untuk dibawa pulang. Tidak lebih dari dua buku. Itu pun disarankan untuk bergilir dengan teman. Barangkali guru kami itu lebih tahu, bahwa di usia kami saat itu membaca buku nonpelajaran haruslah dibatasi. Kami terbiasa untuk tidak leluasa memilih apa yang kami sukai. Sepulang sekolah harus tidur siang. Kemudian berangkat ke surau untuk mengaji. Pulang ke rumah mengerjakan PR kemudian tidur malam. Selalu seperti itu. Ajaran kedisplinan usia dini kata orang. 

Namun ada yang terlewat. Keinginan membaca buku menjadi candu sendiri bagiku. Ibu tak pernah membelikan buku bacaan untukku. Bagi mereka, membayar uang SPP jauh lebih penting ketimbang buku bacaan. Aku mahfum akan alasan itu. Kami ini miskin harta, tapi kemiskinan terbesar kampungku adalah ketika pendidikan menjadi nomor sekian dalam hidup. 

Saat itu Bapak hanya pengajar. Kunci kantor sekolah selalu dibawanya pulang ke rumah. Kunci kantor yang kemudian menjadi jalan kenekatanku untuk mencuri. Ini memang kurang terpuji. Diam-diam tanpa sepengetahuan Bapak, aku menerobos masuk ke kantor sekolah. Di sana aku mengambil beberapa buku bacaan, bersembunyi di gorong-gorong sumur sambil menamatkan cerita di buku. Berlanjut seperti itu dalam waktu yang lama; setelah selesai membaca, aku akan mengembalikan buku tersebut dan mengambilnya yang baru. Bapak tidak pernah tahu. Di usiaku yang selalu ingin tahu, rupanya aku telah pandai menyusun siasat. 

Sampai pada akhirnya aku lelah dengan kegiatan tersebut. Setelah memasuki usia SMP sekalipun aku tak dijinkan baca novel. Ibuku tak pernah tahu mana novel yang boleh kubaca dan mana yang tidak. Ibu hanya ibu rumah tangga biasa. Segala buku berlabel novel dilarangnya kubaca. Karena itulah aku sembunyi-sembunyi membaca novel di lain tempat. Namun Ibu tidak pernah tahu, dalam persembunyianku itu--aku justru menemukan novel yang seharusnya disembunyikan dariku saat itu. Sebuah novel dengan judul yang sudah kulupakan, dan ditulis oleh penulis Fredy S.

Tulisan Terkait

0 komentar

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....