Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2012

Cerita Dalam Gambar-Gambar Kita

[Kumala] Aku tak menyangka jika buku-buku ini mengantar kita pada pertemuan. Sudah lama, lama sekali aku tak mendengar suaramu. Tentu saja aku terkejut. Aku sedang menikmati komik di meja ini, ketika tiba-tiba kau datang menyapaku. Sejak dulu, sejak aku mengenalmu kau tak banyak berubah ya, Mas. Masih sama pandainya untuk berdusta.  “Haiii, lagi baca apa?” Akrab suaramu membuatku menoleh. Kenapa kita harus bertemu di sini? Lupakah kau pada yang membuat kita harus diam tak bicara  [Mumtaz] Ketika melihatmu duduk di meja ini. Aku tahu segalanya harus diakhiri. Sekuat hati kuberanikan untuk menyapa. Menganggap segala kisah buruk masalalu kita telah berhasil kulupakan. Tapi seharusnya kau tahu, Sayangku. Aku hanya pandai berpura-pura. Aku hanya pandai berdusta pada diri sendiri. Sebenarnya aku remuk ketika tau kau justru lebih memilih pergi waktu itu. Dan di sini kita kembali bertemu. Di tempat ini. Perpus Indonesia Buku a.

Kematian yang Begitu Dekat

Bagiku, sarapan sebelum berangkat kerja itu menyenangkan. Seperti pagi tadi, menu sarapan kami adalah rempelo ati, tempe dan bergedel kentang.  "Hati itu sumbernya racun kan Mbak, penyaring racun. Kalau nggak karena darah rendah, aku ogah makan rempelo ati" Itu kata temenku. Aku geli mendengarnya. "Ow, jadi, mereka ndak perlu dong yah mengambil hatimu buat jadi pacar. Hatimu kan beracun, kenapa nggak ambil aja jantungmu, bisa mati dong yah" Glek. Sungguh. Ini kalimat bercanda yang ngeri bagiku, sebelum akhirnya aku menyesal sampai hati. Sepagi ini membicarakan kematian di meja makan itu seperti menyusun penyesalan dan rasa cemas.  Setelah selesai makan. Kami berpisah di depan warung. Menaiki motor masing-masing dengan tujuan yang berbeda. Aku merasa perjalananku menuju kantor jadi sangat aneh. Mungkin cuma perasaanku saja. Tapi, sampai di lampu merah simpang empat Condong Catur, pikiran buruk itu menjelma derit rem, klakson yang menghentak-henta

Ketika Malas Berdebat dan Membela Diri Sendiri

Bagiku, memang cukup sulit untuk memandang suatu perkara yang melibatkan diri sendiri dari posisi paling objektif. Mencari penyebab dan solusi sekaligus. Aku tak akan menghegemoni yang tidak tahu, pun bersikeras pada pembenaran diri sendiri. Menurutku aku benar, kenapa kamu menilaiku berbeda? Menurutmu kamu benar, kenapa aku merasa kamu salah? Lalu, bagaimana mereka yang melihat kita ini beda? Akan subyektifkah atau objektif? Dan aku selalu kagum pada yang tahu; di mana yang beda dan apa penyebabnya tanpa penghakiman sepihak.  Bukankah, Tuhan berjanji akan menyediakan rumah di teras surga bagi orang-orang yang mampu menahan perdebatan, meski dia tahu, dia benar? (Hahaha usaha pembubaran prinsip demokrasi)

Bukan Pakaian Nasional, Pakaian Khusus di Hari Tertentu?

Seperti yang biasa kulihat di pagi hari menuju tempat kerja--ada sekitar sepuluh perempuan dengan seragam di jejalan depan puskesmas Depok 1. Cantik, paling usianya masih belasan tahun atau mungkin mereka yang awet muda.  Kadang aku melihat mereka mengenakan batik, kadang seragam biru dengan rambut selalu disanggul dan riasan wajah yang bagus. Kenapa mereka ada di sana? Yah, yang pernah kulihat, mereka akan dijemput minibus entah untuk pergi ke mana. Oke, mungkin bekerja.  Seperti hari ini aku diantar Fairuzul Mumtaz berangkat ke kantor. Ketika melewati Puskesmas Depok 1, ia pun penasaran dan bertanya padaku "Kenapa orang orang itu memakai kebaya ya, Dek? Bukan hari kartini kan sekarang?" Tentu saja bukan. Kartini itu bulan April. Emangnya berkebaya harus di acara tertentu? Kapan aja kan boleh.  "Memang biasanya mereka seragaman, Mas. Mungkin drescode kali ini kebaya" Akhirnya aku menjawab begini. Ah, tapi kayaknya memang harus ada hari tertentu

Mengambil Hak Orang Lain? Hello!! Saya Cuma Wayang, Situ Dalangnya

Seperti biasa, setiap pembelian karcis kereta api, haruslah ngisi formulir terlebih dahulu. Yup, begitupun yang kulakukan. Kuisi nama lengkap, no Id, alamat rumah, nama kereta, tujuan, tanggal keberangkatan lengkap dengan nomor hape. Tujuanku adalah Cipari (Salah satu kecamatan kecil di Cilacap) naiknya dari Lempuyangan. Nah, tentu saja biasanya di karcis akan tertulis dari Lempuyangan ke Tasikmalaya. Karena Cipari stasiun kecil. Tapi, akhir-akhir ini aku beli karcis dengan tujuan yang sama akan tertulis, Lempuyangan ke Kiara Condong atau Kiara Condong ke Lempuyangan ketika beli karcis yang pulang pergi. Oke, kupikir ada peraturan baru. Toh harga tetep sama. 35 ribu rupiah kelas ekonomi. Kewajibanku hanyalah mengisi formulir dengan benar dan memanjakan kebodohanku dengan ogah bertanya. Tapi, di stasiun Cipari menjadi lain cerita. "Kok, karcisnya dari Kiara Condong, Mbak? Berarti dari Kiara Condong ke sini bangku Sampeyan kosong dong? Harusnya Cipari-Lempuyangan ajah, Mbak. Tau ngg