• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.



[Kumala]

Aku tak menyangka jika buku-buku ini mengantar kita pada pertemuan. Sudah lama, lama sekali aku tak mendengar suaramu. Tentu saja aku terkejut. Aku sedang menikmati komik di meja ini, ketika tiba-tiba kau datang menyapaku. Sejak dulu, sejak aku mengenalmu kau tak banyak berubah ya, Mas. Masih sama pandainya untuk berdusta. 



“Haiii, lagi baca apa?” Akrab suaramu membuatku menoleh. Kenapa kita harus bertemu di sini? Lupakah kau pada yang membuat kita harus diam tak bicara 















[Mumtaz]

Ketika melihatmu duduk di meja ini. Aku tahu segalanya harus diakhiri. Sekuat hati kuberanikan untuk menyapa. Menganggap segala kisah buruk masalalu kita telah berhasil kulupakan. Tapi seharusnya kau tahu, Sayangku. Aku hanya pandai berpura-pura. Aku hanya pandai berdusta pada diri sendiri. Sebenarnya aku remuk ketika tau kau justru lebih memilih pergi waktu itu. Dan di sini kita kembali bertemu. Di tempat ini. Perpus Indonesia Buku a.k.a Radiobuku Live Streaming

“Aku lagi baca komik, Mas” jawabmu ketika kusapa. Aku hampir tak percaya pada senyummu itu. Apakah ini artinya marahmu telah usai? Benarkah begitu? 








[Kumala]

Mendadak aku melihat wajahmu berubah ketika kusebut kata ‘komik’. 
Kenapa Mas? Bukankah hubungan kita telah berakhir. Boleh dong aku baca apa yang kusukai meski itu tak membuatmu senang. 

Kamu diam. 
Aku pun membalas diammu









[Mumtaz]

Seharusnya aku tak lagi peduli dengan yang kau lakukan. Membaca komik? Oke. Silakan habiskan waktumu dengan itu, toh kita telah berakhir. 

Sekarang kau bahkan tak tahu akulah penghuni perpus ini. Sebab hanya buku-buku inilah yang mengantar rinduku padamu berkali-kali.

“Sebentar. Kuambilkan saja” kataku.
Ah, sial. Kenapa aku justru spontan menolongmu untuk mengambil buku. Apakah karena aku masih mencintaimu, atau hanya naluriku saja sebagai pelayan yang selalu ingin melayani tamu di tempat ini? Entahlah.







[Kumala]

“Aku mau buku itu” tunjukku ketika kau menawarkan bantuan. Kau ambilkan buku yang kumau kemudian mengangsurkannya padaku. 

“Kau harus baca buku ini, Mas. Sini mendekat” kataku. Aku tak sengaja menarikmu mendekat. Kutunjukan bagian kisah yang kusukai. 

Entah alasan apa kau pun menurut. Kau tampak antusias. Bukankah kita tampak bahagia jika sekompak ini? 










[Mumtaz]

Oke. Ternyata selera bacaaanmu lumayan menghibur. Setelah selesai membaca bukumu. Kuajak kau duduk berdekatan. Aku masih ingin menjadi pacarmu, Dek. Seperti dulu ketika masih memilihkan bacaan yang harus kau baca. Harus kau baca.

“Buku apa itu, Mas?” tanyamu. Aku semangat menjelaskan ketika kau ingin tahu dengan buku yang kupegang. Ini buku Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan. 

Ya, bukan maksud menggurui. Aku hanya ingin kau tahu. Ada banyak buku yang mesti kau baca selain menghabiskan waktumu untuk baca komik. 
“Coba baca ini” kataku. 








[Kumala]



Hemmm...aku tahu kamu hanya ingin menunjukan tulisanmu di buku itu, kan Mas. Ah, ini bener-bener sifat yang paling buruk yang kumiliki; terlalu suuzon sama orang.

Merasa digurui, kuambil buku Das Kapital dan kuangsurkan jilid yang lain kepadamu. 















[Mumtaz]

Huftt. Kau boleh mengejek gagap bahasaku di buku itu. Bahasa Inggris. Ah, tapi, coba ke sini. 

Aku mengambil Al Quran dan menunjukan satu ayat yang pastinya kau tak paham artinya. 

"Belajar bahasa arab dong, Dek" Gubrak #2 











[Mumtaz]

Daripada berdebat. Ayo kita foto. Jepret.
"Senyum dong, senyum" :)) 















[Mumtaz]


Bergaya dulu ah. Kita rujuk kan, Dek. Rujuk kan?
Jepret.














[Kumala]

Aha, akhirnya kita baikan. Foto berdua? Haduh. Grogi saya. Jepret.



[Mumtaz dan Kumala]

"Kita mau nikah kan, Dek"
"Insya Allah, Mas"

Jepret. *ngakak guling guling*











Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bagiku, sarapan sebelum berangkat kerja itu menyenangkan. Seperti pagi tadi, menu sarapan kami adalah rempelo ati, tempe dan bergedel kentang. 



"Hati itu sumbernya racun kan Mbak, penyaring racun. Kalau nggak karena darah rendah, aku ogah makan rempelo ati" Itu kata temenku. Aku geli mendengarnya.

"Ow, jadi, mereka ndak perlu dong yah mengambil hatimu buat jadi pacar. Hatimu kan beracun, kenapa nggak ambil aja jantungmu, bisa mati dong yah" Glek. Sungguh. Ini kalimat bercanda yang ngeri bagiku, sebelum akhirnya aku menyesal sampai hati. Sepagi ini membicarakan kematian di meja makan itu seperti menyusun penyesalan dan rasa cemas. 

Setelah selesai makan. Kami berpisah di depan warung. Menaiki motor masing-masing dengan tujuan yang berbeda. Aku merasa perjalananku menuju kantor jadi sangat aneh. Mungkin cuma perasaanku saja. Tapi, sampai di lampu merah simpang empat Condong Catur, pikiran buruk itu menjelma derit rem, klakson yang menghentak-hentak di belakangku. Di sampingku Trans Jogja berebut jalan. Aku masih sempat melihat spion sambil menancap gas lebih kencang. Ah, aku selamat. Meski aku melihat tak seorangpun secemas aku. 

Lalu, aku melanjutkan perjalanan dengan hati gamang. Melewati JIH. Melewati ring road depan UPN. Aku melihat orang-orang berkerumun dengan perasaan yang mungkin sama. Takut, cemas dan penasaran. Aku melihat sekilas ke arah mereka sebelum tukang parkir itu menyuruhku lekas maju supaya lalu lintas kembali normal. Sebuah mobil yang remuk menabrak pembatas jalan. Serpihan kaca, helm dan puing-puing lainnya masih berserakan di sepanjang jalan itu. 

Di simpang empat berikutnya aku kembali bertemu dengan temanku.
"Lemes lihat kecelakaan tadi, Mbak" katanya. 
"Emang gimana sih ceritanya?" Aku melihat lampu apil masih merah.
"Kayaknya sih, tabrakan. Dua mobil dan motor juga" jelasnya. Ah masa iya? Jalanan untuk motor dan mobil kan dipisah? Ah, tapi ndak ada yang mustahil, kan? Ketidaktertiban kadang emang bikin musibah. Ada yang tau cerita lengkapnya?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bagiku, memang cukup sulit untuk memandang suatu perkara yang melibatkan diri sendiri dari posisi paling objektif. Mencari penyebab dan solusi sekaligus. Aku tak akan menghegemoni yang tidak tahu, pun bersikeras pada pembenaran diri sendiri. Menurutku aku benar, kenapa kamu menilaiku berbeda? Menurutmu kamu benar, kenapa aku merasa kamu salah? Lalu, bagaimana mereka yang melihat kita ini beda? Akan subyektifkah atau objektif?



Dan aku selalu kagum pada yang tahu; di mana yang beda dan apa penyebabnya tanpa penghakiman sepihak. 

Bukankah, Tuhan berjanji akan menyediakan rumah di teras surga bagi orang-orang yang mampu menahan perdebatan, meski dia tahu, dia benar? (Hahaha usaha pembubaran prinsip demokrasi)
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Seperti yang biasa kulihat di pagi hari menuju tempat kerja--ada sekitar sepuluh perempuan dengan seragam di jejalan depan puskesmas Depok 1. Cantik, paling usianya masih belasan tahun atau mungkin mereka yang awet muda. 



Kadang aku melihat mereka mengenakan batik, kadang seragam biru dengan rambut selalu disanggul dan riasan wajah yang bagus. Kenapa mereka ada di sana? Yah, yang pernah kulihat, mereka akan dijemput minibus entah untuk pergi ke mana. Oke, mungkin bekerja. 

Seperti hari ini aku diantar Fairuzul Mumtaz berangkat ke kantor. Ketika melewati Puskesmas Depok 1, ia pun penasaran dan bertanya padaku "Kenapa orang orang itu memakai kebaya ya, Dek? Bukan hari kartini kan sekarang?" Tentu saja bukan. Kartini itu bulan April. Emangnya berkebaya harus di acara tertentu? Kapan aja kan boleh. 

"Memang biasanya mereka seragaman, Mas. Mungkin drescode kali ini kebaya" Akhirnya aku menjawab begini. Ah, tapi kayaknya memang harus ada hari tertentu untuk mengenakan kebaya. Mungkin. Harusnya aku berpikir begitu. Bukankah konon hari ini ulang tahun Yogya? Bener nggak sih? Sekarang Senin, tanggal 8 Oktober 2012.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Seperti biasa, setiap pembelian karcis kereta api, haruslah ngisi formulir terlebih dahulu. Yup, begitupun yang kulakukan. Kuisi nama lengkap, no Id, alamat rumah, nama kereta, tujuan, tanggal keberangkatan lengkap dengan nomor hape.

Tujuanku adalah Cipari (Salah satu kecamatan kecil di Cilacap) naiknya dari Lempuyangan. Nah, tentu saja biasanya di karcis akan tertulis dari Lempuyangan ke Tasikmalaya. Karena Cipari stasiun kecil. Tapi, akhir-akhir ini aku beli karcis dengan tujuan yang sama akan tertulis, Lempuyangan ke Kiara Condong atau Kiara Condong ke Lempuyangan ketika beli karcis yang pulang pergi.

Oke, kupikir ada peraturan baru. Toh harga tetep sama. 35 ribu rupiah kelas ekonomi. Kewajibanku hanyalah mengisi formulir dengan benar dan memanjakan kebodohanku dengan ogah bertanya. Tapi, di stasiun Cipari menjadi lain cerita.

"Kok, karcisnya dari Kiara Condong, Mbak? Berarti dari Kiara Condong ke sini bangku Sampeyan kosong dong? Harusnya Cipari-Lempuyangan ajah, Mbak. Tau nggak, Mbak sudah MENGAMBIL JATAH ORANG LAIN untuk bisa naik kereta api" Gludak.

"Mana saya tahu, Pak. Saya isi formulirnya ya Cipari. Nah kalau dikasihnya Kiara Condong, saya sih oke-oke aja. Kemarin juga begitu, Lempuyangan-Kiara Condong. Saya sih oke oke aja. Asal nggak dikasihnya sampai Kebumen, bisa turun di jalan dong saya" jelasku. Bete kali ya, pemeriksa karcisnya.

"Mbaknya tuh harusnya tanya" Idih ni, Bapak. Kenapa saya yang kudu tanya? Kan situ yang seprofesi di KA. Bisa aja kan petugas loket di Lempuyangan tuh nggak tau di mana Cipari, males cari, makanya langsung dikasih Kiara Condong. Beres dan Cepet (Petugas Juga Males Ribet Man). Atau, sekarang kan zamane komputer, dataku bisa aja dientri ke internet. Jadi bisa dilacak di mana ajah. Jadi semua petugas bisa tahu, kalau tiketku cuma sampai Cipari, meski di karcis tertulis Kiara Condong.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Babymoon di Gallery Prawirotaman Hotel?
  • Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan
  • Tiga Nama Palupi yang Kece Badai dalam Hidupku

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ▼  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ▼  October (5)
      • Cerita Dalam Gambar-Gambar Kita
      • Kematian yang Begitu Dekat
      • Ketika Malas Berdebat dan Membela Diri Sendiri
      • Bukan Pakaian Nasional, Pakaian Khusus di Hari Ter...
      • Mengambil Hak Orang Lain? Hello!! Saya Cuma Wayang...
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates