Skip to main content

Cerita Dalam Gambar-Gambar Kita



[Kumala]

Aku tak menyangka jika buku-buku ini mengantar kita pada pertemuan. Sudah lama, lama sekali aku tak mendengar suaramu. Tentu saja aku terkejut. Aku sedang menikmati komik di meja ini, ketika tiba-tiba kau datang menyapaku. Sejak dulu, sejak aku mengenalmu kau tak banyak berubah ya, Mas. Masih sama pandainya untuk berdusta. 



“Haiii, lagi baca apa?” Akrab suaramu membuatku menoleh. Kenapa kita harus bertemu di sini? Lupakah kau pada yang membuat kita harus diam tak bicara 















[Mumtaz]

Ketika melihatmu duduk di meja ini. Aku tahu segalanya harus diakhiri. Sekuat hati kuberanikan untuk menyapa. Menganggap segala kisah buruk masalalu kita telah berhasil kulupakan. Tapi seharusnya kau tahu, Sayangku. Aku hanya pandai berpura-pura. Aku hanya pandai berdusta pada diri sendiri. Sebenarnya aku remuk ketika tau kau justru lebih memilih pergi waktu itu. Dan di sini kita kembali bertemu. Di tempat ini. Perpus Indonesia Buku a.k.a Radiobuku Live Streaming

“Aku lagi baca komik, Mas” jawabmu ketika kusapa. Aku hampir tak percaya pada senyummu itu. Apakah ini artinya marahmu telah usai? Benarkah begitu? 








[Kumala]

Mendadak aku melihat wajahmu berubah ketika kusebut kata ‘komik’. 
Kenapa Mas? Bukankah hubungan kita telah berakhir. Boleh dong aku baca apa yang kusukai meski itu tak membuatmu senang. 

Kamu diam. 
Aku pun membalas diammu









[Mumtaz]

Seharusnya aku tak lagi peduli dengan yang kau lakukan. Membaca komik? Oke. Silakan habiskan waktumu dengan itu, toh kita telah berakhir. 

Sekarang kau bahkan tak tahu akulah penghuni perpus ini. Sebab hanya buku-buku inilah yang mengantar rinduku padamu berkali-kali.

“Sebentar. Kuambilkan saja” kataku.
Ah, sial. Kenapa aku justru spontan menolongmu untuk mengambil buku. Apakah karena aku masih mencintaimu, atau hanya naluriku saja sebagai pelayan yang selalu ingin melayani tamu di tempat ini? Entahlah.







[Kumala]

“Aku mau buku itu” tunjukku ketika kau menawarkan bantuan. Kau ambilkan buku yang kumau kemudian mengangsurkannya padaku. 

“Kau harus baca buku ini, Mas. Sini mendekat” kataku. Aku tak sengaja menarikmu mendekat. Kutunjukan bagian kisah yang kusukai. 

Entah alasan apa kau pun menurut. Kau tampak antusias. Bukankah kita tampak bahagia jika sekompak ini? 










[Mumtaz]

Oke. Ternyata selera bacaaanmu lumayan menghibur. Setelah selesai membaca bukumu. Kuajak kau duduk berdekatan. Aku masih ingin menjadi pacarmu, Dek. Seperti dulu ketika masih memilihkan bacaan yang harus kau baca. Harus kau baca.

“Buku apa itu, Mas?” tanyamu. Aku semangat menjelaskan ketika kau ingin tahu dengan buku yang kupegang. Ini buku Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan. 

Ya, bukan maksud menggurui. Aku hanya ingin kau tahu. Ada banyak buku yang mesti kau baca selain menghabiskan waktumu untuk baca komik. 
“Coba baca ini” kataku. 








[Kumala]



Hemmm...aku tahu kamu hanya ingin menunjukan tulisanmu di buku itu, kan Mas. Ah, ini bener-bener sifat yang paling buruk yang kumiliki; terlalu suuzon sama orang.

Merasa digurui, kuambil buku Das Kapital dan kuangsurkan jilid yang lain kepadamu. 















[Mumtaz]

Huftt. Kau boleh mengejek gagap bahasaku di buku itu. Bahasa Inggris. Ah, tapi, coba ke sini. 

Aku mengambil Al Quran dan menunjukan satu ayat yang pastinya kau tak paham artinya. 

"Belajar bahasa arab dong, Dek" Gubrak #2 











[Mumtaz]

Daripada berdebat. Ayo kita foto. Jepret.
"Senyum dong, senyum" :)) 















[Mumtaz]


Bergaya dulu ah. Kita rujuk kan, Dek. Rujuk kan?
Jepret.














[Kumala]

Aha, akhirnya kita baikan. Foto berdua? Haduh. Grogi saya. Jepret.



[Mumtaz dan Kumala]

"Kita mau nikah kan, Dek"
"Insya Allah, Mas"

Jepret. *ngakak guling guling*











Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk