• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Mungkin dewa keberuntungan lupa ngambil kesialanku tadi pagi. Jadinya, aku ketiban bete mutlak kayak gini.

Emang udah curiga dari pertama ketemu. Si bapak yang punya dua akik di jarinya itu pasti nggak beres sama aku. Setidaknya, aku udah dua kali berurusan sama bapak pelayan pos ini.

Yah. Lihat aku datang, senyum si Bapak sumringah bukan buatan. Dia emang cuma sendiri, itu yang kulihat tiap kali ke sono nggak ada yang lain selain si Bapak. Usianya sekitar kepala lima, penampilannya tempoe doeloe banget. Setidaknya machinglah sama peralatan-peralatan di sana. 

Pos ini emang mengingatkanku pada kampung halaman. Timbangan yang dipakai masih pakai timbangan laundry. Ada satu timbangan lagi, tapi ribet gue jelasin. Timbangan pakai jarum. Begitupun printernya yang masih manual. Ngecek harga pun masih pakai kertas lho sodara-sodara. Jadi sabar antri ya! 

"Pakai kilat khusus ya, Pak" kataku. Si bapak cuma senyum. 
"Hafal kode posnya, Dik?" tanyanya, sambil sibuk mbolak-mbalik buku andalan. 
Aku cuma bilang nggak. Tiga menitan menunggu, si Bapak bilang harga kirimnya 58.000. Uwow mahal banget batinku. Kemarin aku disaranin ke pos ini karena lebih murah. Nah lho? See? See? 

"Berapa lama, Pak?" 
"Dua hari." Ah. Mungkin emang seharga segitu buat ke alamat Ciaro Bandung. Jadilah kuambil, soalnya kupikir-pikir selisih harga sedikit dengan pos lain tapi beda jauh sama waktu pengiriman pos lain yang 8 hari. Lumayan pake ini kan batinku. 
"Oke Pak" Kuserahkan uang 58 itu ke si Bapak. Setelah selesai ngeprint, nah si Bapak kok ngasih stempel X-pres. 

"Nah, kok ekpres pak. Saya kan mintanya kilat khusus" Mulai panik. 
"Iya Mbak"
"Nggak mau, ganti Pak"
"Wah udah masuk je Mbak" Sumpah mukanya bikin kasihan banget. Gue nggak tega mau protes lagi sebelum si bapak akhirnya melanjutkan bicara. 
"Tapi itu paling bagus lho, Dik. Daripada kilat khusus mending xpres. Lebih cepet, lebih baik" Dengkul lu bengkok! Najis tralala deh. Gaya bicaranya itu lho, serasa aku ndak tahu kilat khusus tu gimana, xpres tu yang gimana? Hello bapak. Saya tuh sengaja pilih kilat khusus karna harganya jauh beda bukan karena saya bego. Mendadak kepalaku bertanduk. Masih mau nyeruduk. 
"Cuma selisih 3 ribu kok Mbak?" Hah? Hah? BOONG BANGET SIH NIH BAPAK. 

Saking dongkolnya, aku nyerah balik badan. Nimbang makin dongkol. Tunggu aja kehadiranku yang ketiga yo Pak. Siap-siap nyeruduk.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Urusan makanan, lidahku ini nerimo lahir batin. Nggak suka yang neko-neko. Mau asin, pedes, asam, pahit, manis bahkan bebauan aku tetep doyan makan. Seandainya aku lelaki, alangkah bahagianya istriku. Tentu saja itu berpengaruh, sebab jika aku lelaki, aku nggak akan protes dimasakin apapun. Sayangnya aku perempuan, pihak yang kudu ngolah makanan. Tentu saja itu berpengaruh. Lidahku yang doyan makan apa aja bikin aku males masak yang ribet-ribet. Kalau ngikutin lidahku yang apa adanya ini, apa kata yang kumasakin? 


Aku jadi mikir, lidahku yang begini-ini bisa jadi bawaan waktu aku kecil. Yah. Di usia pra sekolah, Mama lebih sering ngasih aku makan nasi kecap, ngasih cemilan aku nasi garam dibikin gulung-gulung. So, udah kelihatan kan. Hanya ada dua unsur rasa yang sangat sederhana yang biasa kumakan, asin dan manis.

Zaman aku kecil, Mama sering banget nyeduh jamu. Mulai dari kunir asam sampai jamu bratawali aku berani minum. Malah suka. Konon pahit. Tapi lidahku ini udah tamat ngrasain yang pahit-pahit.

Kalau soal aku suka yang bau-bau, semisal jengkol ataupun petai ya jangan heran. Kebun simbahku dulu penuh dengan jenis makanan itu. Suka karena terbiasa tentu aja ndak bikin aneh kan?

Nah, menginjak usia sekolah hobiku berubah dari yang cuma rasa asin dan manis jadi ratu sambel. Yah, aku lebih suka makan pakai sambal bawang daripada sayur bayam. Cuma sambal bawang tanpa lalapan ataupun lauk. Jadi, kalau aku bisa tahan dengan rasa sambal sesetan apa, aku udah latihan dari kecil, man.

Kemudian suka yang asam-asam. Secara yah, zaman kecilku terbiasa klayaban metik asam di kebun orang. Asam jawa yang belum matang itu sangat menggiurkan. So, ndak ada alasan aku takut yang asem-asem, atau ngira aku nyidam kalau suka yang asem-asem. Udah biasa dong.

Mungkin yah. Riwayat itu ngebuat lidahku jadi nggak ngribetin soal makanan. Tapi kok malah jadi ribet sendiri, ketika kudu adaptasi sama lidah orang lain yang suka ribet soal makanan. Huwaaaaammmm
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku tak diajarkan mengenal rumput sebagai utamanya makanan bagi kaum kami. Di tanah pesisir ini, air asin, tambak garam mengepung rumah-rumah. 
Di air yang menenggelamkan pekuburan pada cerita itu--tanaman hijau bak mitos yang musti ditepis dari naluri yang kumiliki. Sungguh. Aku tak belajar memamah rumput-rumput. Kayu, kertas bahkan plastik seadanya menjadi pengganjal bagi perut kami yang lapar. Mungkin rumput hanya cerita masa lalu bagi emak yang dilahirkan di tanah subur rerumputan. 
Lalu, aku tak pernah paham pada tuan-tuan yang membeli kami. Inikah kebebasan itu? Atau ini semata kesialan yang melekat pada takdir kami? Dibeli, dibiarkan mandiri, sepanjang siang dan malam berjalan keliling kampung. Kami bebas, tapi sesekali kebebasan ini menyakitkan. 
Kami tak dirumahkan seperti cerita di buku-buku anak manusia. Emperan rumah menjadi tempat berteduh jika hujan mendadak turun. Itupun yang tak memiliki pagar rumah. Kami lebih sering ditendang, diusir, seperti tuan-tuan kami yang hanya berharap jika harga jual kami tinggi, daging kami layak kurban. 
Di hari menjelang gelap, kemana kami mesti pulang. Tak ada hutan. Kami penuhi gang-gang kampung. Berkumpul. Berkelompok. Memenuhi jalan-jalan yang tak pernah tetap di setiap harinya.
Tuanku yang asing, jika kau datang ke pesisir tanah kami--melewati tambak-tambak garam--perkenankan kami menginap barang semalam. Di rumahmu, di serambi rumahmu tanpa usir dan tendangan. Selayaknya cintamu pada kawan, pun aku sekalian kami telah banyak belajar bagaimana mengikat tali persaudaraan. Berkumpul. Mana kawan, mana yang mesti kami lawan.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
  • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
  • Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ▼  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ▼  November (3)
      • Sepenggal Bete Pada Pak Pos
      • Lidah Sederhana
      • Tentang Domba-Domba
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates