Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2012

Sepenggal Bete Pada Pak Pos

Mungkin dewa keberuntungan lupa ngambil kesialanku tadi pagi. Jadinya, aku ketiban bete mutlak kayak gini. Emang udah curiga dari pertama ketemu. Si bapak yang punya dua akik di jarinya itu pasti nggak beres sama aku. Setidaknya, aku udah dua kali berurusan sama bapak pelayan pos ini. Yah. Lihat aku datang, senyum si Bapak sumringah bukan buatan. Dia emang cuma sendiri, itu yang kulihat tiap kali ke sono nggak ada yang lain selain si Bapak. Usianya sekitar kepala lima, penampilannya tempoe doeloe banget. Setidaknya machinglah sama peralatan-peralatan di sana.  Pos ini emang mengingatkanku pada kampung halaman. Timbangan yang dipakai masih pakai timbangan laundry. Ada satu timbangan lagi, tapi ribet gue jelasin. Timbangan pakai jarum. Begitupun printernya yang masih manual. Ngecek harga pun masih pakai kertas lho sodara-sodara. Jadi sabar antri ya!  "Pakai kilat khusus ya, Pak" kataku. Si bapak cuma senyum.  "Hafal kode posnya, Dik?" tanyanya, samb

Lidah Sederhana

Urusan makanan, lidahku ini nerimo lahir batin. Nggak suka yang neko-neko. Mau asin, pedes, asam, pahit, manis bahkan bebauan aku tetep doyan makan. Seandainya aku lelaki, alangkah bahagianya istriku. Tentu saja itu berpengaruh, sebab jika aku lelaki, aku nggak akan protes dimasakin apapun. Sayangnya aku perempuan, pihak yang kudu ngolah makanan. Tentu saja itu berpengaruh. Lidahku yang doyan makan apa aja bikin aku males masak yang ribet-ribet. Kalau ngikutin lidahku yang apa adanya ini, apa kata yang kumasakin?  Aku jadi mikir, lidahku yang begini-ini bisa jadi bawaan waktu aku kecil. Yah. Di usia pra sekolah, Mama lebih sering ngasih aku makan nasi kecap, ngasih cemilan aku nasi garam dibikin gulung-gulung. So, udah kelihatan kan. Hanya ada dua unsur rasa yang sangat sederhana yang biasa kumakan, asin dan manis. Zaman aku kecil, Mama sering banget nyeduh jamu. Mulai dari kunir asam sampai jamu bratawali aku berani minum. Malah suka. Konon pahit. Tapi lidahku ini udah ta

Tentang Domba-Domba

Aku tak diajarkan mengenal rumput sebagai utamanya makanan bagi kaum kami. Di tanah pesisir ini, air asin, tambak garam mengepung rumah-rumah.   Di air yang menenggelamkan pekuburan pada cerita itu--tanaman hijau bak mitos yang musti ditepis dari naluri yang kumiliki. Sungguh. Aku tak belajar memamah rumput-rumput. Kayu, kertas bahkan plastik seadanya menjadi pengganjal bagi perut kami yang lapar. Mungkin rumput hanya cerita masa lalu bagi emak yang dilahirkan di tanah subur rerumputan.   Lalu, aku tak pernah paham pada tuan-tuan yang membeli kami. Inikah kebebasan itu? Atau ini semata kesialan yang melekat pada takdir kami? Dibeli, dibiarkan mandiri, sepanjang siang dan malam berjalan keliling kampung. Kami bebas, tapi sesekali kebebasan ini menyakitkan.   Kami tak dirumahkan seperti cerita di buku-buku anak manusia. Emperan rumah menjadi tempat berteduh jika hujan mendadak turun. Itupun yang tak memiliki pagar rumah. Kami lebih sering ditendang, diusir, seperti tuan-tuan kami