Skip to main content

Lidah Sederhana

Urusan makanan, lidahku ini nerimo lahir batin. Nggak suka yang neko-neko. Mau asin, pedes, asam, pahit, manis bahkan bebauan aku tetep doyan makan. Seandainya aku lelaki, alangkah bahagianya istriku. Tentu saja itu berpengaruh, sebab jika aku lelaki, aku nggak akan protes dimasakin apapun. Sayangnya aku perempuan, pihak yang kudu ngolah makanan. Tentu saja itu berpengaruh. Lidahku yang doyan makan apa aja bikin aku males masak yang ribet-ribet. Kalau ngikutin lidahku yang apa adanya ini, apa kata yang kumasakin? 


Aku jadi mikir, lidahku yang begini-ini bisa jadi bawaan waktu aku kecil. Yah. Di usia pra sekolah, Mama lebih sering ngasih aku makan nasi kecap, ngasih cemilan aku nasi garam dibikin gulung-gulung. So, udah kelihatan kan. Hanya ada dua unsur rasa yang sangat sederhana yang biasa kumakan, asin dan manis.

Zaman aku kecil, Mama sering banget nyeduh jamu. Mulai dari kunir asam sampai jamu bratawali aku berani minum. Malah suka. Konon pahit. Tapi lidahku ini udah tamat ngrasain yang pahit-pahit.

Kalau soal aku suka yang bau-bau, semisal jengkol ataupun petai ya jangan heran. Kebun simbahku dulu penuh dengan jenis makanan itu. Suka karena terbiasa tentu aja ndak bikin aneh kan?

Nah, menginjak usia sekolah hobiku berubah dari yang cuma rasa asin dan manis jadi ratu sambel. Yah, aku lebih suka makan pakai sambal bawang daripada sayur bayam. Cuma sambal bawang tanpa lalapan ataupun lauk. Jadi, kalau aku bisa tahan dengan rasa sambal sesetan apa, aku udah latihan dari kecil, man.

Kemudian suka yang asam-asam. Secara yah, zaman kecilku terbiasa klayaban metik asam di kebun orang. Asam jawa yang belum matang itu sangat menggiurkan. So, ndak ada alasan aku takut yang asem-asem, atau ngira aku nyidam kalau suka yang asem-asem. Udah biasa dong.

Mungkin yah. Riwayat itu ngebuat lidahku jadi nggak ngribetin soal makanan. Tapi kok malah jadi ribet sendiri, ketika kudu adaptasi sama lidah orang lain yang suka ribet soal makanan. Huwaaaaammmm

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk