Skip to main content

Sepenggal Bete Pada Pak Pos

Mungkin dewa keberuntungan lupa ngambil kesialanku tadi pagi. Jadinya, aku ketiban bete mutlak kayak gini.

Emang udah curiga dari pertama ketemu. Si bapak yang punya dua akik di jarinya itu pasti nggak beres sama aku. Setidaknya, aku udah dua kali berurusan sama bapak pelayan pos ini.

Yah. Lihat aku datang, senyum si Bapak sumringah bukan buatan. Dia emang cuma sendiri, itu yang kulihat tiap kali ke sono nggak ada yang lain selain si Bapak. Usianya sekitar kepala lima, penampilannya tempoe doeloe banget. Setidaknya machinglah sama peralatan-peralatan di sana. 

Pos ini emang mengingatkanku pada kampung halaman. Timbangan yang dipakai masih pakai timbangan laundry. Ada satu timbangan lagi, tapi ribet gue jelasin. Timbangan pakai jarum. Begitupun printernya yang masih manual. Ngecek harga pun masih pakai kertas lho sodara-sodara. Jadi sabar antri ya! 

"Pakai kilat khusus ya, Pak" kataku. Si bapak cuma senyum. 
"Hafal kode posnya, Dik?" tanyanya, sambil sibuk mbolak-mbalik buku andalan. 
Aku cuma bilang nggak. Tiga menitan menunggu, si Bapak bilang harga kirimnya 58.000. Uwow mahal banget batinku. Kemarin aku disaranin ke pos ini karena lebih murah. Nah lho? See? See? 

"Berapa lama, Pak?" 
"Dua hari." Ah. Mungkin emang seharga segitu buat ke alamat Ciaro Bandung. Jadilah kuambil, soalnya kupikir-pikir selisih harga sedikit dengan pos lain tapi beda jauh sama waktu pengiriman pos lain yang 8 hari. Lumayan pake ini kan batinku. 
"Oke Pak" Kuserahkan uang 58 itu ke si Bapak. Setelah selesai ngeprint, nah si Bapak kok ngasih stempel X-pres. 

"Nah, kok ekpres pak. Saya kan mintanya kilat khusus" Mulai panik. 
"Iya Mbak"
"Nggak mau, ganti Pak"
"Wah udah masuk je Mbak" Sumpah mukanya bikin kasihan banget. Gue nggak tega mau protes lagi sebelum si bapak akhirnya melanjutkan bicara. 
"Tapi itu paling bagus lho, Dik. Daripada kilat khusus mending xpres. Lebih cepet, lebih baik" Dengkul lu bengkok! Najis tralala deh. Gaya bicaranya itu lho, serasa aku ndak tahu kilat khusus tu gimana, xpres tu yang gimana? Hello bapak. Saya tuh sengaja pilih kilat khusus karna harganya jauh beda bukan karena saya bego. Mendadak kepalaku bertanduk. Masih mau nyeruduk. 
"Cuma selisih 3 ribu kok Mbak?" Hah? Hah? BOONG BANGET SIH NIH BAPAK. 

Saking dongkolnya, aku nyerah balik badan. Nimbang makin dongkol. Tunggu aja kehadiranku yang ketiga yo Pak. Siap-siap nyeruduk.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk