Tentang Domba-Domba

by - November 16, 2012

Aku tak diajarkan mengenal rumput sebagai utamanya makanan bagi kaum kami. Di tanah pesisir ini, air asin, tambak garam mengepung rumah-rumah. 
Di air yang menenggelamkan pekuburan pada cerita itu--tanaman hijau bak mitos yang musti ditepis dari naluri yang kumiliki. Sungguh. Aku tak belajar memamah rumput-rumput. Kayu, kertas bahkan plastik seadanya menjadi pengganjal bagi perut kami yang lapar. Mungkin rumput hanya cerita masa lalu bagi emak yang dilahirkan di tanah subur rerumputan. 
Lalu, aku tak pernah paham pada tuan-tuan yang membeli kami. Inikah kebebasan itu? Atau ini semata kesialan yang melekat pada takdir kami? Dibeli, dibiarkan mandiri, sepanjang siang dan malam berjalan keliling kampung. Kami bebas, tapi sesekali kebebasan ini menyakitkan. 
Kami tak dirumahkan seperti cerita di buku-buku anak manusia. Emperan rumah menjadi tempat berteduh jika hujan mendadak turun. Itupun yang tak memiliki pagar rumah. Kami lebih sering ditendang, diusir, seperti tuan-tuan kami yang hanya berharap jika harga jual kami tinggi, daging kami layak kurban. 
Di hari menjelang gelap, kemana kami mesti pulang. Tak ada hutan. Kami penuhi gang-gang kampung. Berkumpul. Berkelompok. Memenuhi jalan-jalan yang tak pernah tetap di setiap harinya.
Tuanku yang asing, jika kau datang ke pesisir tanah kami--melewati tambak-tambak garam--perkenankan kami menginap barang semalam. Di rumahmu, di serambi rumahmu tanpa usir dan tendangan. Selayaknya cintamu pada kawan, pun aku sekalian kami telah banyak belajar bagaimana mengikat tali persaudaraan. Berkumpul. Mana kawan, mana yang mesti kami lawan.

Tulisan Terkait

0 komentar

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....