• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

"Ah, Bapak. Kesakitan ini, semoga tak bersembunyi selama-lamanya di dadamu. Biar begitu buruk lakunya. Dia pun anakmu juga, Bapak. Anak yang kau aliri darahmu tanpa meminta. Meski seluruh dewa bisa mengutuk anakmu jadi batu, tapi itu tak mengubah silsilah jika ia darah dagingmu, Bapak. Anakmu ... anakmu dari rahim ibuku" 




ENAM TAHUN yang lalu, ia masih jadi lelaki lentur dan gampang diatur. 
Meski, ya, hampir semua anggota keluarganya tahu bahwa ia rapuh dan payah. Namun, siapa kira dalam enam tahun itu ia menjelma jadi lelaki heartless sejak ia mengenalkan seorang perempuan sebagai pacarnya. Seorang perempuan, tentu saja bisa sangat mudah menyetir lelaki payah seperti dia. Apalagi, waktu itu statusnya masih berseragam SMA. Larangan soal pacaran memang tidak hidup dalam keluarganya yang bebas. Pun, beruntung sekali pacarnya bisa diterima dengan sangat baik: seseorang yang dicintai oleh anakku, maka layak pula kami cintai sepenuh hati, kata orangtuanya. 

Lelaki itu mula-mula hanya menuntut uang saku lebih, "Kan aku punya pacar sekarang, sesekalilah aku juga ingin mengajaknya makan di warung" katanya. Lalu, berlanjut dengan minta ini itu; untuk hadiah ulangtahun, untuk jalanjalan, untuk merayakan tahun baru untuk ... untuk dan untuk banyak hal lainnya. 

Dirasa-rasa. Ia tak pernah merasa cukup, dan tak tahu bagaimana berterima kasih, apalagi berempati pada orang lain. Ibunya sendiri yang seorang pedagang, kadang mengelus dada tiap menghadapi lidah anaknya yang tidak masuk akal, “Tuh, belanja buat warung aja bisa, tapi uang buat anak ngakunya selalu tak punya” bentak bocah lelaki itu. Padahal, seorang pedagang, jika ia tak belanja, tidak bisa memutar modalnya yang sedikit, bagaimana ia bisa untung. Bagaimana ia bisa melangsungkan usahanya yang memang hampir karam? 
---


[Bapak]

Saat kelulusan SMA, aku datang ke sekolah anakku untuk mengambil surat pengumuman lulus. Pagi-pagi benar, istriku sudah memilihkan kemeja putih dan celana kain hitam untuk kupakai. Juga satu-satunya sepatu kulit yang kupunyai sudah mengilat disemirnya. "Penampilanmu hari ini, harus mengesani kalau kau bukan seorang yang bodoh dan miskin. Jangan bikin anakmu malu, Pak" kata istriku. Aku sungguh ingin tertawa jika tidak mempertimbangkan hati istriku yang mungkin bisa tersinggung. Kenapa kita mesti malu dengan ketelanjangan? Dengan satu-satunya kejujuran yang masih berharga pada diri sendiri? 

Untunglah, surat kelulusan yang kuterima siang itu menyatakan anakku lulus. Anak yang kuhidupi dengan darah dan keringat kami ternyata bisa juga membuatku haru. Ya Tuhan, aku tidak tahan lagi untuk segera pulang dan membagi kebahagiaan ini dengan istriku, dengan patner hidupku satu-satunya. 

"Kau lulus, Nak. Bapak bangga" kataku, ketika baru saja keluar dari kelas. Kuusap-usap kepalanya. Anakku yang dulu hampir mati kena muntah ber waktu bayi, ternyata sekarang sudah begini besar. 

"Ini kunci motornya! Bapak pulanglah lebih dulu" jawabnya, tanpa merespon ucapanku. Tentu saja aku tergelak, sejurus kemudian aku menguasai diri; ah, mungkin saja ia ingin tinggal lebih dulu dan merayakan eforia kelulusan bersama teman-temanya.

Aku tak keberatan karena harus pulang sendirian. Dengan hati bahagia, kuangsurkan uang 50 ribu jika mungkin ia butuhkan untuk jajan. Namun, ia justru melihat sisa uang di saku bajuku yang transparan. Ia ambil semuanya. Ia ambil tanpa sisa. Aku bilang, aku tak punya lagi uang pegangan untuk pulang. Bagaimana kalau pecah ban, bensin habis, atau kena razia polisi karena tak ada SIM? Tapi ia tak peduli sama sekali. Ia pergi dari hadapanku. Pergi, dan pergi selama dua hari itu juga ia tidak pulang. Pun tidak ada kabar yang datang. 

Istriku di rumah menangis selama dua hari itu. Kasihan betul istriku, ekspektasinya terlalu berlebihan. "Ya Pak. Kupikir, ia akan pulang bersamamu. Mengabarkan kelulusannya dengan memelukku. Kupikir begitu indah perayaan yang sederhana itu. Hanya kubayangkan saja. Tapi ternyata, begini ngilu kecemasan yang ia beri pada kita" bisiknya dengan suara yang bergetar. Saat kemudian anakku pulang, ia hanya mengadu uangnya telah habis untuk bermalam di pantai. Entah dengan siapa. Mungkin dengan pacarnya. Mungkin juga tidak hanya pergi ke pantai. Aku tidak mau bertanya lebih detail. Bahkan ia pun lupa bagaimana meminta maaf. 
---


[Ibu]

Ia pergi setelah menendang perut bapaknya karena marah. Sungguh, kelewat kurang ajar anak satu itu. Ia membikin suamiku terjerembab ke rerumput halaman rumah hanya karena uang. Lagi-lagi hanya soal uang. Perang di rumahku rasanya tak ada habisnya jika kembali soal uang dan anak lelakiku. Padahal saat dulu keinginan sekolahnya kuturuti, aku berharap ia akan menjadi pribadi yang baik dan bisa diandalkan. Tapi bahh! Meski kukuliahkan di kota Wetan, otaknya tak jauh beda dengan pendidikanku yang cuma lulus SD. Sebagai ibu, sungguh kutahan-tahan betul kekesalanku ini untuk tidak berkata kasar.

Ia pikir mencari uang itu mudah, apa? Aku yang berpendidikan paling rendah di rumah ini, serasa diseret supaya mengikuti arus pergaulannya yang hedon (kupinjam istilah ini dari tetanggaku). Malu rasanya, sebagai ibu, kupingku kerap panas jika disindir-sindir sebagai orangtua yang gagal mendidik anak. Ya, satu anak itu saja yang membikin mukaku tak berbentuk lagi. Demi dia padahal aku rela berhutang, membanting tulang di usia yang tak lagi muda. Sedih rasanya jika terkenang, pada suatu hari aku melewati hutan saat hujan telah berakhir. Anakku minta dikirim uang segera mungkin, maka aku menemui saudaraku di desa lain untuk dapat pinjaman. Apakah mungkin, untuk anak yang tak berbudi itu, bahkan alam pun menolaknya; Aku terpeleset di hutan, lalu disengat kalajengking. Dan kesedihan itu tak ada bayaran yang baik untukku. Sebab saat kuceritakan ini, di seberang telepon, anakku bilang "Kalau jalan itu, makanya lihat-lihat".

Belum begitu, anak lelakiku itu juga selalu merasa kurang; baik kurang materi ataupun hati kami. Semua orang menurutnya harus mengerti dia, namun jika keluarganya kena musibah--sama sekali ia tak mau tahu. 

Ia suka sekali mengadu tentang pacarnya padaku "Kasihan sekali pacarku, ia miskin, punya pacar aku yang juga miskin". Maka, keluhan itu berlanjut ke soal uang saku yang harus bertambah terus menerus. Mungkin baginya, jika ada pilihan antara orangtua atau pacar, ia akan lebih mengekori pacarnya daripada keluarga sendiri. Apa pernah ia merasa kasihan ke padaku?

Dari cerita ceritanya soal si pacar, maka kemudian tersusun sebuah alur yang bikin hatiku mencelos. Pantas saja ia boros luar biasa. Jadi, bersusah susah begini kudapatkan uang untuk biaya sekolah anakku sendiri, ternyata (baru kuketahui) kutanggung juga hidup anak orang lain yang belum jadi anakku. 

Ia--anak lanangku itu--akan menelepon setiap hari Kamis untuk meminta uang. Jika aku bilang tidak ada ia akan marah besar, jika aku telat kirim ia memaki-maki. Dan jika Jumatnya kukirim uang, ia akan diam, diam sama sekali bahkan mengucapkan terima kasih pun tidak. Lalu, ia akan menelepon lagi jika kiranya uang yang kukirim itu telah habis. Begitu seterusnya.
---


[Kakak]

Malam-malam sekali, ibuku telepon dengan suara parau dan kalimat yang terputus-putus. Pertanyaannya mengejutkanku. "Kartu ATM itu apa, Nak? Bagaimana cara pakainya" Maka kujelaskan benda asing yang mungkin baru diketahui fungsinya oleh ibuku malam itu. Orangtuaku memang punya rekening untuk mengirim uang bulanan kepadaku dulu dan adikku. Tapi, soal ATM tentulah itu sangat asing bagi mereka. 

Dari pertanyaan itu, kuketahui kemudian bahwa ibuku baru kena marah oleh adikku. Ia marah karena uang bulanannya terlambat datang. Jika kebiasaan setiap hari Jumat dikirim, maka jika terlambat maka hanya bisa dikirim Senin kemudian. Sabtu Minggu jelas kantor kantor libur. 

"Adikmu minta dikirim uang malam ini juga bagaimana pun caranya. Aku disuruh meminjam rekening orang dulu, kemudian ditransfer, dan diganti dengan uang cash. Aduh! Membayangkan saja aku bingung, Nak." Aku mencelos mendengar kalimat Ibu. 

Lagi-lagi soal uang. Adikku itu kapan sih berubahnya? 

Setiap kali menghubungiku, pasti ada hubungannya dengan uang. Dan karena uang pulalah hubungan kami jadi semakin jauh. Tiap bulan, ketika ia terdesak butuh uang (entah untuk apa), jika aku tidak memberinya bantuan maka lancarlah kosakata binatang meluncur dari mulutnya. Ia pikir, aku ini pejabat yang koruptor apa jadi bisa segampang itu keluarkan duit. 

Namun anehnya, setiap kali ia meminta, kemudian meludahiku dengan kata-kata kasar, besok bulannya ia seperti lupa begitu saja. Ia mengulang-ulang alur yang hampir serupa tiap bulan. Kasihan sebenarnya adikku, mengapa nasib begitu buruk menghampiri hidupnya yang selalu sial? Bayangkan saja bagaimana tidak bosan mendengarkan, jika setiap minggu selalu saja ada kabar buruk yang menimpanya; soal motor rusak, ditipu teman, kalah main poker, helm hilang, handphone jatuh, kecelakaan, dan masih banyak lagi yang terjadi. 

Dan, saking banyaknya kesialan yang dipikir-pikir tidak masuk akal, apalagi cerita-ceritanya yang tidak konsisten maka terbongkarlah peta kebohongan itu. Ia memang butuh uang, tapi bukan untuk dirinya sendiri. Sebagai lelaki yang payah, ia gampang sekali disetir perempuan cerdas.
---


[Adik]

Aku bercita-cita ingin menjadi guru agama dan bersekolah sangat tinggi di Kairo. Cerita tentang negara ini kudapat dari kakakku yang pertama. Maka selepas SD aku mulai tinggal di pesantren dan belajar sangat giat. Namun, ke luar negeri tentu saja butuh biaya yang sangat besar, bukan? Bapak Ibu semakin tua, dan uang mereka selalu habis dimintai Mamas tiap bulan. Apakah mereka masih akan punya uang buat aku, ya Allah? 

Kalau Mamas telepon ke rumah, diam-diam dulu aku suka menangis mendengar cerita Ibu. Ibu suka menangis karena banyak pikiran. Juga sering barantem sama Mamas. Ia sebenarnya, kakak yang baik kalau saja ia lebih menjaga sedikit saja ucapannya. 

Pernah ia bilang kalau Bapak Ibu itu tega karena telah terlambat mengirim uang. Ia juga bilang, Bapak Ibu sengaja membuatnya mati pelan-pelan karena kelaparan. Padahal, siang malam orangtuaku di rumah tidak pernah berhenti bekerja. Apa saja dikerjakan. Dan jadi berhenti bekerja kalau sedang bertengkar gara-gara uang, nah, siapa lagi yang bikin rumah selalu perang kalau bukan Mamas? Padahal, perang itu selalu membikin Ibu jadi jatuh sakit, apakah orang sakit bisa mencari uang? Dipikir-pikir bodoh juga ya Mamas. 
---


[Anak Lanang]

Aku tidak pernah bermaksud membuat siapapun terluka gara-gara sikapku. Tuhanlah yang telah menggarisi nasibku menjadi tokoh yang begini kejam. Aku tak punya perlawanan untuk semua tuduhan macam mana saja. Terserah. Karakterku bagaimana, itu bebas tafsir.


Catatan penulis. 
Maaf. Cerita Anak Lanang, kuselesaikan dengan sangat terburu-buru ketika mood menulis hilang sudah soal ide ini. Aku tidak punya ide yang lebih kreatif dari yang kamu baca barusan. Mula-mula, sebagian cerita kuposting di facebook. Sebagian saja memang, itu pun karena terburu-buru waktu. Aku hanya iseng. Namun, ternyata beberapa teman menagih kelanjutannya. Aku bingung. Maka, begini kulunasi janjiku. Meski sekadar begini, semoga ada manfaat dan tidak membuat semakin kecewa. ~Tabik

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Meskipun katanya negeri ini telah merdeka dari penjajah, tapi kupikir lagi, apanya yang merdeka? Tanah di sini masih dikuasai. 


Ada sebuah rumah kontrakan dengan halaman luas, yang kupikir itu juga rumahku sendiri. Rumahku sendiri (catat).


Aku hidup di antara bunga-bunga, di perumahan yang sepi saban siangnya. Tentulah bunga-bunga sangat bahagia karena mendapat cukup air, cahaya dan ditempatkandi pot-pot bagus. Sudah kupastikan, pastilah mereka mati jika tak ada lelaki yang saban pagi itu merawat mereka. 

Namun, kehidupanku--ingat--tak butuh siapapun membantunya. Ya, hanya kepada Tuhan aku meminta hidup. Maka hujan turun, dan girangnya aku bukan main. Aku memang tak butuh siapapun untuk hidup, tapi kenapa mereka mengusikku? 

Percobaan pembunuhan itu setiap minggu dilakukan. Rasa-rasanya, mereka benci sekali melihatku hidup. 

Ya, tentu saja ini ada hubungannya dengan tanah yang belum merdeka. Persetan Indonesia merdeka, sedang di tanah seluas enam kali tiga meter ini aku tertindas. Itu semua karena manusia-manusia itu menghidup-hidupi rumput jepang. 

Aku jadi begitu sakit hati, sebab yang mencoba membunuhku tidaklah lain sama lokalnya denganku. Sama-sama mengaku bernapas Indonesia. Mereka orang Indonesia dan aku pun rumput Indonesia, "Tidak bisakah kita hidup bersama?" rintihku setiap kali tangan kasarnya mencabuti kami. 

"Dulu kami hidup bebas, meski kaummu membenci Jepang. Dulu kaumku tak pernah membenci Jepang, karena kita pikir tak ada urusannya dengan itu. Tapi sekarang kaulah yang membuatku membenci rumput jepang. Itu semua karena kau yang kupikir saudara seIndonesia"
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sungguh. Cerita ini tidak bertendensi untuk pamer moral. Aku menuliskannya demi mengarsip setiap hal yang menarik bagi diri sendiri. Semacam curhat. 



Ya, akhir-akhir ini, status seorang teman sering muncul di timeline facebookku. Dari sekian tema yang ia tulis (mungkin kebetulan saja tulisan yang kubaca) tentang donor darah. Aku mengira-ira bahwa mungkin sekarang ia tergabung dengan organisasi pecinta donor darah. Aku tidak tahu pasti, yang jelas aktivitas yang ia lakukan sangatlah baik. 

Ia juga penulis yang baik. Banyak hal yang ia bagi di catatan-catatan pendeknya tentang seberapa penting darah bagi seseorang yang membutuhkan. Aku tahu, mungkin banyak program lain yang aku tidak tahu dan dilakukan aktivis-aktivis semacam dia selain soal donor darah. Dan, sebagai penulis (mungkin) ia memilih dengan caranya sendiri. Satu dari sekian cara yang ia lakukan, adalah rajin berkisah di facebook. 

Tulisannya itu sangat menyentuh dan menginspirasi; tentang tolong menolong, pengorbanan, kematian, penyakit dan rasa kehilangan. Aku sendiri suka diam-diam terisak, dan terbawa emosi saat membaca cerita yang ia posting. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Ia mengajak orang lain untuk berbuat baik karena ia sudah mengawalinya dari diri sendiri. Sedangkan aku? Bahkan membayangkan benda tajam seperti jarum menusuk kulitku saja ngeri. 

Hampir dua tahun yang lalu, aku pernah donor darah. Sebuah pengalaman pertama, sekaligus yang terakhir kali. Itu pun karena ada seseorang yang membutuhkan, dan bukan karena kesadaran untuk datang setiap tiga bulan sekali. 

Sampai pada Jumat yang sunyi, aku kembali menemukan status temanku itu di timeline Facebook. Ia mengabarkan bahwa ada pasien yang membutuhkan darah golongan A. Entah kenapa tidak ada keraguan sedikitpun ketika tiba-tiba aku mengomentari statusnya. Aku bilang, sepulang kerja darahku bisa diambil. Bahkan aku melupakan rasa takutku dan bayangan-bayangan buruk tentang darah yang tersumbat dan gagal diambil. 

Beberapa menit kemudian temenku itu menawarkan diri untuk mengantarku ke Sarjito. Ini karena aku mengeluh lupa lokasi dan sedikit gugup. Namun, ternyata temenku yang lain lebih dulu siap mengantarku pergi, sehingga terpaksa kutolak tawarannya. 

"Kalau bingung, ke Garden dulu aja" kira-kira begitu katanya melalui Facebook. Garden adalah kafe di kampusku dulu. Aku pun menyanggupi. 

***
Pukul lima sore, dari kantor aku menuju lokasi temanku yang akan mengantar pergi ke Sarjito. Sebelumnya, sudah kuprint informasi pasien yang membutuhkan donor itu dari status temanku tadi. Karena terburu-buru aku melupakan janjiku untuk lebih dulu menemuinya dan bukan langsung datang ke RS. Sialnya, aku pun kehilangan kontaknya saat dua bulan yang lalu handphoneku hilang. 

Jadilah aku nekat saja masuk ke PMI dengan perasaan takut sekaligus gugup yang mungkin tidak akan berlebihan jika ada seseorang yang lebih tahu dan mendampingiku. Teman yang mengantarku bahkan belum sekalipun menjadi pendonor karena berat badan yang tidak memenuhi syarat. 

Aku berdiri di depan tempat pendaftaran dengan beberapa sukarelawan yang sama-sama bergolongan darah A. Saat petugas bertanya apa yang bisa mereka bantu, aku mengangsurkan kertas yang kuprint tadi. 
"Saya mau donor darah buat satu dari mereka ini" kataku. 
"Oke, nama ini saja ya Mbak" katanya, sambil melingkari satu nama di kertas tersebut. Setelah mengisi formulir aku masuk ke ruangan lain--ada tiga laki-laki yang siap donor dan satu petugas di sana. 

Aku pun duduk di kursi kosong dekat mereka. Satu lelaki sedang dicek golongan darah dan HB-nya oleh petugas. Setelah selesai, lelaki tadi menghampiri temannya di sampingku. 
"Asem, HBku rendah jadi nggak bisa diambil" bisiknya. Aku tidak terlalu memperhatikan obrolan mereka karena namaku buru-buru dipanggil. 

Tanganku benar-benar dingin. Takut dan gugup benar-benar menguasaiku. Saat petugas itu mengeluarkan jarum dan peralatanya, aku hilang konsentrasi. 
"Mbaknya pernah gagal di HB?" tanya petugas. Mungkin ia menangkap kegugupanku sehingga mengajakku ngobrol. Sayangnya aku benarbenar tidak konsentrasi. 
"Hah, apa Mbak"
"Mbaknya pernah gagal di HB"
"Maksudnya gimana, Mbak?" Tiba-tiba yang ada di kepalaku adalah tentang darah yang menggumpal, menyumbat dan gagal diambil seperti yang pernah diceritakan temanku di Facebook. Astgaa, aku semakin ketakutan. Bahkan aku sama sekali tidak mendengar lagi apa apa yang dijelaskaan oleh petugas tadi. 
"Nggak tahu. Lupa Mbak" kataku. Bayangkan saja; aku hanya pernah sekali datang ke PMI untuk donor darah dan langsung lolos cek. Bagaimana mungkin aku lupa? Lagian, pengalaman pertamaku tidak ada tanya-tanya begini. 

Kemudian salah satu dari lelaki yang berteman tadi--yang lolos cek HB--dipanggil untuk memasuki ruangan eksekusi (ruangan pengambilan darah). Tak ada sepuluh menit, ia keluar lagi. Cepat sekali, batinku. Padahal aku bilang ke temenku bahwa pengambilan darah bisa selama 30 menit. (Aku bener-bener lupa berapa menitnya)
"Ngopo e?" tanya temannya tadi. 
"Aku yo gagal e. Tensi darahku tinggi."
"Loh kok iso?"
"Mbuh, aku yo ora ngerti. Mergo kurban apa ya kemarin?"
"Wah. Iyo kuwi, mergo wedhusss hahaha" mereka cekikikan, sementara aku membayangkan jika nanti aku gagal bagaimana? Ya ampun, janganlah aku darah tinggi. Aku nggak mau, batinku. 

Dua lelaki tadi keluar ruangan, meninggalkanku dengan satu lelaki yang bertubuh besar dan tinggi. Lelaki itu dipanggil memasuki ruangan eksekusi. Dan lagi lagi, ia pun keluar dengan durasi waktu yang singkat. Owalah wedhus wedhus, batinku. Tiba-tiba aku geli, mengingat daging kurban yang justru menghalangi mereka untuk menolong orang. 

Aku pun dipanggil. Dadaku dagdigdug tidak keruan. Sebelum jarum menusuk lenganku, aku spontan menjerit. 
"Stooop!!" tanganku tiba-tiba siagaa seperti menghentikan seseorang untuk mendekat "Aku takut Mbak. Berapa menit sih ngambilnya?"
Petugas itu tersenyum "Tergantung Mbak, mungkin 5 sampai 10 menit" Huffft, aku menarik napas lega. "Tadi ke sini sama siapa" tanyaanya lagi. 
"Sama temen"
"Mau temennya disuruh masuk? Biar buat menemani?" 
"Nggak Mbak. Insya Allah aku berani" Dan iya, akhirnya aku berani. Tetes demi tetes mengalir. Jarum jam pun berputar. Meskipun ya, aku tidak pernah berani melihat jarum menusuk lenganku bahkan melihat aliran darah di selang. Alhamdulillah, akhirnya aku lolos melewati ujian keberanian. Kwakakakak. 
"Ngomong ngomong, tadi Mas-Mas-nya kenapa nggak jadi diambil Mbak?"
"Oh, Masnya yang gemuk tadi karena tensinya rendah"
"Berapa?"
"80"
"Hah?" tentu saja kaget. Ternyata orang gemuk juga belum tentu tensinya pasti tinggi. 
"Tapi kataanya dia nggak ngrasain apa-apa"

Aku pun tersenyum. Thanks my God. Aku masih diberi kesehatan sampai detik ini. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pukul empat sore, suamiku mengabari akan terlambat pulang kerja. Aku keberatan, tapi tidak sampai hati terucapkan. 



Aku tak boleh egois dengan memaksanya cepat pulang. Meski rindu membuncah. Ya, selalu ada rindu yang terlalu terburu-buru setiap kali akan berpisah. Besok ia akan keluar kota selama lima hari. Tidak bisakah pulang lebih cepat, supaya ada waktu lebih panjang untuk bersama-sama? 
“Banyak yang harus dipersiapkan untuk besok di sini, Dik. Maaf,” katanya.

Lalu komputer kumatikan, aku keluar kantor tanpa semangat. Jarum speedometer Casimira menunjuk titik merah. Casimira—motorku—mungkin akan kehabisan bensin di jalan. Ah, malas sekali rasanya berhenti di pom. Maka kunaiki saja Casimira. 

Sepanjang jalan perasaanku tidak keruan. Aku ingin menyusul suamiku ke kantornya. Barangkali nanti akan ada makan malam romantis di sana? Siapa tahu, kan? Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkannya. 

Tiga lampu merah sudah kulalui. Sial, gara-gara melamun Casimira mengendalikan tubuhnya ke jalan pulang. 
“Hei! Aku mau ke Alun-alun. Bukan pulang” kataku. 
“Ingatlah pada odol, sikat gigi, dan sabun. Ingat tidak?”Apa-apaan sih, aku mau ketemu suamiku masa harus membawa odol dan kawan-kawannya? Casimira gila.
“Aku tidak gila” sentaknya. Tiba-tiba gas yang kupegang menggetak. Ah, kenapa sih Casimira suka sekali ngajak ribut di jalan? Padahal kan ini berbahaya? Oke sebenarnya ada apa? Tentang odol, sikat gigi, sabun, suamiku, O-M-A-I-G-O-T iyaaaaa Casimira benar. Aku harus membeli sekawanan itu untuk keberangkatan suamiku ke luar kota.

Aku menepuk-nepuk kepala Casimira. 
***

Lima kilometer sebelum sampai ke rumahku, kami berbelok ke Superindo. Kalau tidak ada makan malam yang romantis di luar, baiklah akan kubuatkan makanan kesukaan suamiku. Setidaknya harus ada menu spesial untuk makan malam dan sarapan besok pagi (Spesial di sini adalah kalau bukan telur, tempe atau tahu ). Bukankah ia akan bepergian jauh? Kata orang, masakan dan wangi tubuhku yang akan membuat seorang suami tidak lupa untuk kembali pulang. Jadi, aku harus mandi juga ya? 

“Ya-iyalah.” Ada suara sinis dari arah parkiran. Pasti Casimira yang menjawab suara hatiku. Dasar mesin yang terlalu responsif.

Aku mengambil keranjang di dekat pintu masuk Superindo. Sebenarnya terlalu besar keranjang yang kuambil jika mengingat belanjaan yang tidak akan terlalu banyak. 

Odol, sikat gigi, sabun cair mini sudah bergabung dengan cumi dan daging ayam. Aku menuju kasir dengan bahagia. Belanja maghrib-maghrib memang ada untungnya karena tidak perlu antre untuk membayar barang yang hanya segelintir ini. Setelah menyebut nominal yang harus kubayar, si Mbak Kasir menyobek kertas struk dari mesinnya. 
“Terima kasih” katanya sambil menyerahkan struk dan uang kembalian. 

Lalu belanjaanku?

Sedetik, dua detik, tiga detik. Lho kok malah mbaknya sibuk dengan struk ATM sih? Aku dicuekin begini? Oke, mungkin memang harus kuambil sendiri aja kali ya belanjaannya? Lagian udah di depan mataku juga. 
“Ya iyalah” aku merinding mendengar suara Casimira tiba-tiba bergema lagi di telingaku. Ketika menuju pintu keluar, aku berbalik arah karena ingat ada yang tertinggal. Suamiku suka sekali Pocari Sweat jika dalam perjalanan. Tadi aku lupa membelinya. Jadilah sekarang aku mondar mandir menelusuri rak-rak dan lemari dingin.

Tidak ketemu. 

Tidak ada atau memang tidak ketemu entahlah, yang jelas aku keluar Superindo tanpa membawa barang yang kumaksud. Memangnya ada apa sih produk Pocari Sweat dengan Superindo? Mungkinkah ada politik dagang? Yaelah, sok nebak aja nih. Tapi iya, kenapa displaynya buruk sehingga konsumen kesulitan begini untuk membeli?

Aku berjalan ke parkiran dan menemui Casimira dengan kondisi mengenaskan. Itu menurutku karena kedua kaca spionnya tidak beraturan. 

Kami yang kelelahan akhirnya bersorak senang saat pulang. Di jalan, sering sekali kami menepi tiba-tiba. Mataku ini memang cukup menyusahkan jika malam-malam mengendarai Casimira. Orang lewat bisa tidak terlihat dan membuat Casimira mendadak berhenti. Belum lagi, jalanan yang sepi dan gelap harus kami tempuh di bulak sawah. Rumahku memang jauh dari jalan raya. Kalau tidak dipaksa berani, malas sekali rasanya melewati jalan bulak sawah yang terkenal horor itu. Seorang pria pernah mati terbunuh di sana. Penyebabnya adalah cinta segitiga. Lalu orang-orang kampung mengabarkan bahwa ia menjelma jadi hantu dan suka ikut naik motor ke pengendara yang melintas sendirian.

Membayangkan itu, bulu kudukku meremang. Seorang anak kecil mengagetkanku di lampu merah. Pakaiannya dekil dan kulitnya hitam legam. Ia meletakkan amplop di kepala Casimira. Di sana tertulis pesan bahwa ia meminta sumbangan untuk biaya sekolah. 

Kasihan sekali mereka. Kenapa di jam belajar begini mereka tidak di rumah? Apakah mereka nakal? Ataukah terpaksa harus mencari uang? 

Aku teringat spanduk-spanduk yang di keluarkan pemerintah. 
“Membantu mereka tidak sama dengan memberi uang” begitu katanya. Tapi kenapa tidak ada penertiban di lampu merah ini? Mungkinkah solusi yang ditawarkan pemerintah tidak berhasil? Dan mereka memilih untuk tetap turun ke jalanan.

Anak kecil tadi mengambil amplop yang belum sempat kuisi uang. Aku terlalu banyak menimbang-nimbang. Lampu merah telah menyala. 
“Memangnya, kaupikir uang seribumu cukup untuk membantu mereka sekolah” Casimira tiba-tiba bersuara. 
“Seribu dariku, kali sekian orang perlampu merah kan banyak”
“Iya banyak. Kalau semua orang mengingat-ingat spanduk pemerintah sepertimu, memangnya kira-kira berapa yang akan mereka dapatkan?” Suara Casimira meninggi dan membuat jalannya tersendat-sendat.
“Udahlah, Kas. Sekarang aku memang tidak bisa melakukan yang lebih dari sekadar memberi uang. Tidak bisa membantunya sekolah. Tapi yang kulakukan adalah memberi yang mereka inginkan. Barangkali mereka butuhkan. Lagian kasihan loh. Malam-malam begini masih di jalanan, emangnya di mana orangtua mereka? Pastilah mereka tak seberuntung kita yang diperhatikan dan bisa main game atau nonton tivi ketika malas belajar.” 

Casimira diam. Obrolan tidak jelas ini membuat kami kaget karena sekarang telah sampai di halaman rumah tanpa merasa takut di bulak sawah. 
***

Kayu sepanjang satu setengah meter bersandar di pagar rumahku. Suamiku beli kayu begini buat apa memangnya? Kok nggak cerita? 
“Kayu apa? Mas nggak tahu” jawab suamiku saat kukonfirmasi. “Udah biarin aja, paling ada orang yang naruh” lanjutnya. 

Dipikir-pikir aneh. Aku dan suamiku memang jarang di rumah, tapi apakah sopan membuka pagar rumah orang tanpa permisi? Akibatnya kami jadi saling tuduh ketika ada bilah bambu tergeletak di bawah kran halaman depan garasi. Kami diamkan bambu itu berhari-hari lalu ajaibnya bertambah jadi dua potong. Plis, jangan berpikir ini mistis. Karena nggak mungkin kan, hantu bisa menaruh piring di bawah kran air. Oke, mungkin ada hantu begitu. Tapi aku nggak mau dengar cerita tentang hantu di rumahku. Dan sekarang ada kayu sepanjang satu setengah meter, mana hantunya? Mana kamu yang mau cerita hantu? Biar kupukul? Welah. Anarkis. 

Akhirnya aku bisa merebahkan tubuh di atas kasur. Casimira juga sudah manis di garasi bersiap tidur. Aku mengganti pakaian panjangku dengan baju tidur. Belanjaan tadi kubuka, berniat untuk memisahkan cumi dengan odol dan kawanannya? 



Tapi apaaaan???


Kemana perginya odol dan kawan-kawannnya? Ya ampun, apakah cumi mati juga butuh odol sehingga dia memakannnya sampai habis? Oke fokus. Ini Cuma imajinasi yang berlebihan. 

Aku menarik napas panjang. Meneliti keresek belanjaan yang kupikir mungkin sobek. Tapi ini tidak masuk akal. Seumur-umur, kejadian kresek sobek adalah kalau belanja di warung sayur. Karena mereka biasanya memberikan kresek bekas, bukan baru seperti di Superindo. Kalau tidak sobek lalu kemana perginya mereka?

Tiba-tiba aku mengingat Mbak Kasir yang tadi berlagak sibuk dengan struk ATM. Tidak mungkinlah lauk pauk begini dicampur barang kimia. Pasti dipisah dan ini sih tertinggal. 


Astaga, berarti aku harus balik mengambilnya dengan seluruh kelelahan ini. Melewati bulak sawah yang horor. Membangunkan Casimira yang pasti bakal lebih cerewet di sepanjang jalan? 


Dadaku jadi panas. Aku ingin teriak supaya Casimira langsung bangun. Tapi ternyata Casimira tidak berkata sedikitpun saat aku bilang akan mengambil belanjaan yang tertinggal. 

Aku tahu dia marah. 

Mesin kesayanganku ini ternyata bertukar peran dari Kasim jadi Mira. Si Mira ini memang perempuan yang suka ngambekan. Baiklah, kuterima saja. Baik Casimira. 

Napasku terengah-engah karena merasakan dada yang terbakar. Di jalan Casimira melaju pelan. Pelan sekali. Memang menjengkelkan ketika hanya untuk barang yang tak lebih dari dua puluh ribu ini kami harus menebusnya dengan begini. Tapi sayangnya duapuluh ribu itu besar untuk dompetku yang tipis. 

Kalau saja barang yang tertinggal itu nilai rupiahnya banyak, pastilah kami akan merasa wajib ain untuk mengambilnya. Tidak pakai menggerutu. Melainkan dengan kecemasan yang besar kalau-kalau barang itu hilang. Atau ada yang mengakui sebagai miliknya sebelum kami datang. 



Dan sekarang kami menempuh bulak sawah demi barang yang harganya tidak membuat kami cemas. Melainkan jengkel. Mungkinkah karena harganya murah jadi Mbak Kasir itu sengaja membuatku meningggalkan odol dan kawan-kawannya.

Astaga benarkah seburuk itu? Ia ingin menguntit belanjaaan murah karena itu tidak membuat seseorang ingin menuntutnya ke penjara. Memang berapa gaji kasir sehingga ia perlu melakukan hal tidak terpuji begitu? Semoga bukan karena kemiskinan dan orangtuanya yang sakit. Ya ampun, aku mikirin apa sih? Pasti otakku ini sudah konslet jadi berpikir seburuk ini. Pekerjaan kasir itu mulia, kenapa aku bisa begini, Tuhan?

Emosiku benar-benar menguasai. Sepanjang jalan, aku sudah merancang ‘dampratan’ yang sadis karena telah membuatku balik sejauh ini. Tapi siapa yang salah? Aku dicuekin sebelum selesai dilayani. Aku mengambil belanjaanku sendiri tanpa permisi. Kenapa Mbak Kasir itu memperlakukanku seperti tadi? Mengabaikanku. Membuatku meningggalkan satu belanjaan.

Arggghhhh. Casimira melambat. Astagaa dia benar-benar marah dan aku tidak berani berlagak cerewet.


Aku kembali meninggalkan dia di parkiran. 


Dadaku masih terasa terbakar ketika melewati pintu masuk Superindo. Antrean panjang membuatku ciut untuk terlihat aneh oleh banyak orang. 

Dengan sopan, akhirnya aku berkata “Mbak apa ada belanjaan yang tertinggal ya tadi” kataku. Mbak Kasir tadi melihatku dengan curiga “Oke, tadi belanjaan saya, sabun dll tertinggal” lanjutku meyakinkan. 
“Oiya, Mbak. Maaf ya. Tadi saya susul di parkiran tapi Mbaknya udah pergi” jawabnya, entah kenapa dia memasang tampang ketakutan. Apa aura marahku bocor? “Mbaknya tadi yang boncengan yah?” lanjutnya. 
“Nggak. Aku sendirian kok” Maksudku, aku memang sendirian karena mesin bernama Casimira tidak bisa disebut manusia. Lagian penting yah, tanya-tanya aku pergi sama siapa?
“Ya iyalah. Itu buat meyakinkanmu bahwa ia serius mengejar sampai parkiran” Ternyata sekarang aku sudah di hadapan Casimira yang tiba-tiba jadi sinis begini. 

Aku tidak membahas lagi soal Mbak Kasir tadi dengan Casimira. Dia tetap berjalan pelan. Anak kecil di lampu merah sekarang membawa kardus keliling setelah seorang pria berhenti bernyanyi. 

Uang seribuan kuambil dari dompet. Anak kecil tadi menyodorkan kardus ke orang-orang, tapi tidak bermaksud menghampiriku. Ia melihatku sekilas dengan bahasa tubuh “Ah, orang kayak kamu mana mau ngasih sih”. Astaga. Perlu ya milih-milih? Lalu ia berjalan mendekati mobil samping Casimira. Mendadak Casimira jadi tersendat-sendat gasnya. Pasti deh ia sedang menahan tertawa karena aku diperlakukan seperti ini. Namun, anak kecil tadi malah jadi melihat kami. Ya, ia melihat uang yang sedang kupegang lalu menghampiri kami. 
“Hahaha amal kok jadi nggak ikhlas” kata Casimira akhirnya. 

Aku diam menahan jengkel. Casimira masih berjalan pelan dan membuatku kehilangaan kesabaran. 

Sampai di bulak sawah, seharusnya tidak apa-apa kalau mesin satu ini berjaalan pelan. Tidak apa-apa pelan asal tidak mati di tengah jalan. Sialan, bensin Casimira habisss. Ia diam. Ia tidak berjalan. 

Ini siapa yang salah? Kenapa aku jadi melulu sial begini. Aku harus mencari kambing hitam. Mencari siapa yang salah. Aku nggak mau mengakui kalau aku salah. Nggak mau! [] 08 Oktober 2013
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Barangkali kita belum ikhlas, Mas, kataku kepada suami--di jeda iklan sinetron dan kekesalannya pada internet yang lambat hingga perlu berbatang-batang rokok untuk meredamnya. 
"Ah, jangan suguhi aku sinetron dong" katanya mencari-cari pelampiasan. Jelas ia sedang tidak menanggapi ucapanku. Lalu aku bangkit dari tidur, memencet-mencet tv tuner dengan kesal.
"Jangan merokok di ruangan sesempit inilah, aku bisa mati karena sesak," balasku, seakan-akan kalimatku ini juga punya kekuatan seperti perintahnya.
Aku tahu, mengonsumsi sinetron setiap hari berpengaruh besar terhadap pola pikirku selama ini. Dan aku pun paham, jika ia hanya tidak mau aku semakin bodoh dan banyak menghabiskan waktuku di hadapan televisi. Kan, kupikir sama halnya dengan kecemasanku pada batang-batang rokok yang pelan tapi pasti membikin paru-parunya jadi sakit. Namun, meski kami jadi bodoh dan sakit, toh sesuatu yang telah jadi candu akan amat sulit dipisahkan. Kami hanya seringkali lupa diri, saling mengingatkan, mengekang, menyakiti dengan larangan-larangan penuh emosi. 
"Maksudmu, kita belum ikhlas untuk punya anak?" Ia menyambung pernyataanku tadi. Masih dengan perasaan kesal, kujelaskan apa yang kudengar dari orangtua, bahwa keragu-raguan kami mungkin dikabulkan oleh Tuhan.
"Memang, bayi suka gitu. Kalau masih takut ini itu, ya nggak jadi-jadi, makanya diiklasin aja. Santai aja," kataku menirukan kalimat Mama.
Mungkin Mama percaya mitos, tapi kupikir ulang--ini justru religius dan ilmiah abis (lebay)--ya, bukankah ketakutan ini dan itu memang memicu stres--salah satu faktor yang kata dokter bisa menghambat perempuan lekas hamil. Dan, dengan ikhlas dan pasrah berarti kita memercayakan Tuhan untuk mengatur waktu yang indah itu datang. 
Lalu aku mulai mengingat-ingat kepenatan bulan-bulan di mana aku ingin lekas terlambat bulan. Mengingat rumah yang perlu dibayar, lalu bagaimana jika ditambah harus beli susu hamil, biaya ke dokter dan lain lainnya. Ah, tepatkah kalau aku hamil?
"Bayi itu bawa rezekinya sendiri, jangan terlalu jadi beban. Santai aja." Kembali aku ingat kalimat Mama.
 
Karena kupikir cerita tadi tidak begitu menarik, maka kuceritakan tentang saudaraku yang hamil tua--bersuami guru honorer--dan sedang sangat bingung menghadapi kelahiran tanpa uang yang cukup. Bersamaan dengan itu, suaminya juga harus membayar biaya wisudanya yang semakin dekat. Tentu saja, bukan ia tidak berusaha mencari uang, ia terus berikhtiar. Bagaimana pun juga ia tidak bisa tenang menghadapi kelahiran anak pertama tanpa sepeser uang. Saat-saat yang begitu sulit itu, si istri justru jatuh sakit dan masuk rumah sakit. Perempuan hamil tua memang rentan terkena infeksi saluran pernapasan. Kepenatan pun makin bertambah. 
Namun, tanpa mereka duga, ternyata begitulah Tuhan memberikan jalannya. Sepulang dari rumah sakit, uang dari teman-teman yang menengok si istri cukup untuk membayar biaya pengobatan, biaya wisuda, dan masih sisa untuk pegangan menjelang persalinan.
"Mungkin itu yang namanya bayi bawa rezeki, ya Mas," kataku. Entah kenapa, malam itu aku begitu bersemangat membahas begini macam hal tidak penting. Sementara aku bercerita, suamiku masih sibuk mainan Twitter.
"Dan, bayi dalam kandungan juga nggak baik lho dijanjiin macem-macem, atau disiapkan banyak rupa barang-barang"
"Kenapa?" Suamiku menyela.
"Ya, bukankah soal jodoh, kematian dan kelahiran adalah rahasia Allah. Tidak seharusnya kita mendahului sesuatu yang belum pasti, soal kelahiran misalnya, nah makanya orang Jawa bilang pamali kalau beli peralatan bayi sebelum lahiran. Meskipun sekarang zaman modern, bisa USG dan milih dokter yang oke"
"Ya, nggak ada salahnya mempersiapkan untuk kebaikan, yang nggak disuka sama Allah itu, sesuatu yang berlebihan," katanya. Yah, mungkin ada benarnya.
Kembali kuceritakan tentang perempuan hamil yang menyimpan uangnya tanpa boleh disentuh. Sampai suatu hari saudaranya datang meminta pertolongan.
"Saudaranya itu hanya butuh uang 500 ribu, dan sangat-sangat membutuhkan. Sementara menurut cerita yang kudengar, si perempuan punya uang jutaan di tabungannya" Aku menggebu-gebu bercerita.
"Kebutuhan orang, siapa yang tahu, DIK" Suamiku menyela. Dih menyebalkan, tidak mendukung cerita. Pasti nggak fokus.
"Iya, si perempuan bilang bahwa semua uang yang ada di tabungannya itu ia siapkan hanya untuk biaya persalinan. Mungkin cuma kebetulan atau memang kemakan janjinya sendiri ya, tapi setelah beberapa bulan si perempuan itu bener-bener melahirkan dengan menguras seluruh tabungannya untuk operasi cesar"
"Jangan terlalu terbebani dengan semua cerita begituan ah," komentar suamiku. Ia sangat khawatir kalau aku jadi banyak pikiran. Tapi rasanya, ini kalimat penutup cerita yang tidak menyenangkan.
Seseorang seperti aku bercerita panjang lebar begini, kadang hanya ingin berbagi kegelisahan. Mungkin juga ingin memperkaya teman bicaraku dengan cerita-cerita dari kampung halaman. Kan bagiku, semakin banyak tahu, semakin kita lebih bijak menempatkan posisi kaki berpijak.
Sementara suamiku masih asyik main internet yang lambat, aku membenamkan wajahku ke tubuhnya. Bukan perkara asap rokok yang semakin memenuhi ruangan televisi, tapi gelisahku tahun ini akan selalu bermuara di dadanya. Kan, begitu kalau sudah menikah :)

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
*Sebaiknya dibaca sesuah makan, dan pembaca yang udah akil baligh. 

Sebagai istri, terkadang ia butuh dimanja, butuh diperhatikan, butuh banyak hal yang katanya sangat sulit didapatnya dari si suami. Bahkan di akhir pekan, yang ia harap-harap bisa berlibur berdua, mungkin menikmati senja yang romantis, atau sekadar candlelight diner, tapi toh ia justru menelponku untuk bertemu. Ia selalu mengadu segalanya, padahal sudah bersuami. Kupikir-pikir lagi, temenku yang ini kok ya terlalu banyak mengeluh dan menuntut. Ups.

Suatu hari, temenku ini mengalami diare selama empat hari. Ia mengadu padaku. Dan jadilah, obrolan kami di kedai salad sore itu membikin nafsu makanku hancur kerna ia terus membicarakan soaal tinja yang encer, tak berbau, dan beda dengan tinja-tinja sakit yang pernah ia alami. 
"Kamu memang sahabatku, Tik. Bahkan suamiku tak tau aku sakit" katanya, menutup cerita panjang soal tinja. Sebelum, kami berpisah untuk pulang. Aku menyarankan supaya ia bercerita pada suaminya. 

Akhir pekan selanjutnya, kami tak membikin janji. Ia yang datang ke rumahku tanpa lebih dulu memberi kabar. 
"Aku sudah cerita sama suamiku, Tik" katanya dengan wajah tak bersalah. Padahal aku baru bangun tidur ketika ia datang. Sumpah, dia pikir hidupku cuma buat mendengarkan ceritanya, yah? Memangnya soal apa? Setiap hari dia mengirim SMS. Bahkan, sewaktu dia pulang kerja dan ketemu orang gila di jalan sekalipun ia adukan kepadaku via SMS. Jadi ini soal apa yang sudah ia bongkar di hadapan si suami? 

"Dua hari yang lalu, saat diareku tak kunjung sembuh. Aku ndak minum obat, ataupun ke dokter. Soalnya kupikir ini bukan sakit. Bahkan anusku tak terasa panas" lanjutnya. Astaga. Aku belum sarapan, dear. Belum pula cuci muka. Ternyata masih soal tinja. 
"Lalu?" Jawabku, demi menghargaai ia bercerita. 
"Aku sudah cerita ke suamiku. Kubilang begini. Pap, akhir-akhir ini pupku lancar banget loh. Bahkan tinjaku kayak air mancur. Tapi aneh, biasanya yang namanya diare kan mules-mules dulu. Ini nggak. Lancar gitu aja" 
"Trus?" Aku mulai mules. 
"Trus, dia masih diem Tik. Kulanjutkan lagi. Dan Pap, kalau aku boleh milih ya, aku lebih seneng pup yang biasa aja deh, atau yang keras sekalian. Rasanya aneh lah pup lancar begini. Jadi nggak ada usaha. Nggak enak" Yes. Aku berdoa. Selesailah soal tinja. Intinya apaa sih ini cerita? 
"Tapi jawaban suamiku sangat mengecewakan, Tik. Dia bilang begini. Bersyukurlah kamu dikasih enak. Kan tak perlu susah-susah mengejan. Katanya dengan mata tajam ke arahku--seakan-akan aku makhluk yang paling tak tau bersyukur" Wajahnya mulai mendung. Dan aku menaruh iba tiba-tiba. Temenku yang malang. Yang mungkin kurang kasih sayang. 

Aku paham betul yang ia maksud. Di antara sekian ceritanya, ia pernah bilang bahwa pup itu, pekerjaan menjijikan tapi nikmat. Ia menikmati setiap usahanya mengejan dengan berpikir di toilet. Ia penulis. Pun suaaminya yang seprofesi. 

"Ketika pup, aku mendapat banyak ide" katanya suatu hari. Padahal, dia juga pernah bercerita bahwa ustadzah yang mengajarnya mengaji melarangnya memungut ide yang datang ketika pup. Saat itu tawaku pecah. Ia bilang ide yang datang di toilet, ialah datangnya dari setan. Aku kembali tertawa. 

Maka menanggapi soal tinja, aku bilang begini pada temenku. Bilanglah pada suamimu itu, apa mimpi basah lebih enak daripada making love? Kan intinya sama, mengeluarkan tanpa usaha? Atau apa menurutnya makan pil anti lapar lebih enak daripada bisa makan nasi, lauk dan buah. Kan begitu. Intinya kenyang tanpa usaha mengunyah. 

Demi mendengar ceritaku, ia malah makin murung. 

"Kamu memang temenku Tik, bahkan pikiran kita sama. Aku pun sempat mengelak dengan bilang begitu. Tapi ia menjawab begini. Enak dan nikmat itu kan beda. Seperti melahirkan, yang konon sakit tapi nikmat. Ia bilang lagi, aku harus mencerna ucapannya tadi. Tentang, mestinya aku bersyukur karena dikasih pup dengan enak tanpa sakit mengejan. Bukan soal nikmat. Ah, Tik. Percuma rasanya ngomong sama suamiku. Masa di rumah pun harus buka KBBI, biar kalimat kami tepat. Aku harus selalu hati-hati mencerna ucapannya" 

Jleb. Temenku ini. Sekarang ia menelpon untuk minta bertemu. Rencananya, kami akan makan di Spesial Sambel. Semoga tak ada obrolan tentang tinja di sore yang mendung di Jogja ini. 


Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Aneh sekali adiknya temenku itu. Kata temenku adiknya sangat nakal. Kenakalan yang paling bikin jengkel ialah soal duit. 



Setiap bulan temenku harus mengisi rekening adiknya sebesar satu juta yang dipakainya untuk biaya hidup menempuh studi. Adiknya bilang, sejuta di Jogja, mau makan apa? Harusnya lebih. Katanya. Aku geleng-geleng demi mendengar cerita temanku itu. Bertahun-tahun hidup di Jogja, sejuta perbulan tentulah sangat berlebih ketika aku masih mahasiswa. 

Temenku bilang, adiknya sangat nakal. "Mungkin ia salah pergaulan" imbuhnya.

Ia selalu bercerita di hadapanku dengan wajah sendu, menahan-nahan tangis di pelupuk matanya. Katanya lagi, ia merasa sangat malu karena tabiat adiknya yang nakal, bengal dan tak tahu diri. Temenku itu, seringkali menyalahkan diri sendiri sebab tak pandai menasihati. Ia telah kehabisan cara untuk membuat adiknya berpikir dewasa. Semuanya gagal. 
"Mungkin ada waktunya ia akan dewasa, kelak" kataku. Tentu saja, aku hanya bisa membesarkan hatinya. Tidak lebih. 

Saban bulan, ia hanya mampu mengansur dua ratus lima puluh ribu perminggu selama empat kali ke rekening adiknya. Gajinya saja tak seberapa besar. Sedang beban yang ditanggung tak bisa dikatakan ringan. Sebagai manusia yang butuh bersosialisasi, tentu ia musti hidup, yang tak hanya memikirkan soal adiknya. 

Satu juta perbulan selalu dipenuhinya tanpa kurang, meski kadang sering terlambat waktu. Bagiku ini wajar, gajinya yang tak seberapa, membuatnya musti pontang panting mencari tambahan bahkan uang berhutang. Tapi adiknya yang satu itu, tak pernah mau tahu. 
"Kok, Kakak bisa beli kado buat kondangan, kenapa harus telat mengirim uang. Aku butuh" kata adiknya. Ini terjadi di hadapanku. 

Kau bisa bayangkan. Demi menghidupi adiknya, apakah ia musti berhenti hidup sebagai makhluk sosial? Kondangan, menengok teman yang sakit, membayar iuran kampung dan semacamnya ini kupikir juga sebuah kepentingan. Ia hidup sebagai manusia sosial, yang butuh biaya untuk menjalani hidupnya. Kalau semua dihentikan, masyarakat di kampungnya tentu saja tidak bisa sebijak itu memaklumi keadaan. 

Mungkin, seperti halnya presiden yang butuh aktif menyambung silaturahim dengan negara lain. Beliau harus bepergian ke luar negeri, tapi melulu disalahkan sebab masyarakat miskin. Rakyat kelaparan, sedang presiden bepergian. Lalu apa jadinya jika presiden tak bepergian, berkutat di dalam negeri sendiri dan memutus peranya dengan negara lain? Ah, aku bilang, itu kan kebutuhan untuk mempertahankan silaturahmi. Lebih, selebih lebihnya soal politik aku memang bodoh. Ini menurut pikirku yang tak paham soal bernegara. 

Kembali ke adiknya temenku itu, kabarnya sekarang ia tengah sibuk dikejar rentenir. Temenku bilang, setiap bulan, tak kurang dari sejuta ia setorkan uang pun masih dituntut uang tambahan. Adiknya itu memang aneh. Setiap minggu menerima 250 ribu, namun jika telat sehari kakaknya mengirim, ia selalu berburu hutang. Misal ia berhutang 200 ribu, kemudian sehari berikutnya ia menerima uang kiriman. Tapi tabiatnya yang buruk selalu menyalahkan temenku itu. 
"Kok cuma 250 ribu? Hutangnya terus bagaimana? Kan salah Kakak yang telat kirim" katanya dengan nada memaki. Bagi temenku, tugasnya ialah memenuhi uang bulanan perminggu 250ribu. Akan telat, akan tepat, atau memberi terlalu cepat. Toh kewajibannya hanya menanggung 250 perminggu. Bagi temenku lagi, adiknya mampu berhutang ke orang lain itu, harusnya menjadikan bebannya ringan karena tak perlu tergesa mencari hutang. Tapi lain bagi adiknya, "Utangku ya tanggung jawabnya Kakak" 

Begitulah temenku. Ia musti menanggung sejuta kewajibannya, beserta hutang-hutang atas kesalahannya yang tak penah ia ingini. Kubilang padanya, adikmu itu kayak rentenir. Setiap kamu telat mengirim, ia hitung labanya dari hutangnya ke orang lain. Jangan-jangan sebenarnya ia menikmati setiap keterlambatanmu. Sebab ia berlaba. Ia mengambil untung dari caranya berhutang, dan kamu tanggung hutangnya. 

Temenku itu, kasihan sebenarnya.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Senin (25/3) aku menghadap monitor komputer dengan serius. Aku lari dari blog satu ke blog lainnya, sekali lagi kubilang. Ini kulakukan dengan serius di jam kerja. Hasilnya, kepala tegang dan mata jadi tidak bisa dikontrol buat berhenti berkedip-kedip. 


Sehari setelah itu, aku diserang kantuk berat di pagi dan sore hari. Lebih tepatnya bukan kantuk, tapi mataku serasa ingin menutup meski tak mengantuk. Ini kualami selama dua hari. Sampai hari keduanya, di malam hari aku merasa sakit kepala. Lebih sakit lagi ketika subuh datang (hari ketiga 28/3). Aku merasa sakit, dan sakit yang tidak terkira. Tapilah mataku cukup terkendali. 



Nah, menjelang pukul 8 pagi, barulah sakit kepalaku hilang tapi ada bagian antara kuping dan rahangku yang justru sakit. Yes, awalnya kupikir sakit gigi. Tapi tidak! Gigiku baik-baik saja. Tapi aku tidak cukup kuat untuk menahan sakit ketika membuka mulut terlalu lebar. Akan ada bunyi 'kletuk' di bagian antara rahang dan kuping. Dari bunyi itu aku tahu, ada yang tak beres. Tapi aku tak merasa melakukan kekerasan terhadap bagian itu jika mungkin tulangku bergeser. 

Kuceritakan pada suamiku. Aku khawatir, sungguh, aku tipe perempuan yang khawatir pada tubuhku. Tapi suamiku bilang ini cuma bawaan aku datang bulan. Iya, waktu itu aku lagi menstruasi. Pengalaman yang sudah-sudah, selalu kejadian begini. Merasa sakit yang aneh-aneh. Maka aku tak ambil pusing. Rasa sakit ini kurasakan sampai sekarang ketika kutulis postingan ini. 

Sejak gendut, aku memang lebih banyak merasa sesak napas. Kupikir ukuran braku membikin sesak. Tapi telanjang pun kualami sesak yang begini menyiksa. Tak ada riwayat asma di keluarga, jadi kusimpulkan jika maagku barangkali penyebabnya. 

Di Sabtu sore (30/3) selain sakit yang kujelaskan tadi, masih ditambah dengan perut yang mules-mules. Sore itu aku lagi di kantor suamiku, jadilah kutahan-tahan perut sakitku yang pengin Pup. Dan sialnya, sesampai di rumah aku tak lagi nafsu ke kamar mandi. Maka kuhitung, 'sampah' itu tertahan di perutku selama 4 hari sampai hari ini. 

Perutku bener-bener tidak nyaman. Kemarin sudah kurasai bagian ginjalku serasa ditusuk-tusuk. Badan sakit semua seperti baru bepergian jauh naik motor. Kemudian malamnya aku mulai merasa anyang-anyangan. Kemihku sakit. Dan yes, hari ini pun belum sembuh. Ditambah tak nyaman lagi dengan badan yang panas dingin. Astaga. Kenapa aku ini? Infeksikah aku? Maka kuhabisi air putih terus menerus. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Beginilah mencintaimu, membangun yang baru tak luput dari merobohnya bangunan lama. 

Di tubuhku, Mas, biarlah mimpi-mimpi kualamatkan kepadamu. Kamar-kamar dikosongkan, sebab telah takdirku bermuara di rumahmu. 

Kelak, Mas, kau mesti berlayar. Sedang aku menghuni rumah, merawat anak-anak dan buku-buku. Barangkali lebih patut begitu. Pun jika tidak, biarlah kita terasing pada kertas dan pena masing-masing. Segala yang sekarang, telah membuat kita tak sempat mencatat apa-apa. Terlebih kau ... sebab kau ini tak lain dari penanggung beban menghidupi kami. Ah, Mas. Cintaku....
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Umpama peperangan. 
Semisal kau dirampok dan melawan. 

Sekuat tenaga kaulawan musuhmu. Kau lawan, kau lawan sekuat tenaga, trikmu pun bocor, dan kau kalah. 

Lehermu berhadapan dengan mata pedang musuhmu. Lalu si musuh bilang "Ayo lawan!".
Atau pada pertarungan lain, kau berkelahi. Kau telah berdarah-darah, kalah dan tanpa daya. Kemudian si lawan bilang "Ayo lawan sobat, aku tak akan menyerangmu lagi"

Ini semacam kalah diskusi. Sebab lawanmu terlalu tangguh. Kemudian kau menangis sesenggukan hingga pikiranmu jadi tak jernih, suaramu hilang. Lalu teman diskusimu bilang "Ayo bicara, jangan cuma nangis" 


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Jika ada sesak memenuhi dadaku, aku akan mengadu padamu, akan bicara. 



Tapi jika setiap pembicaraan kita tak pernah bisa bersepakat. Dan aku dibuat tak bisa bersuara selain bilang terserah, maka aku akan menulis. Menulisi kesakitanku. 

Namun jika menulis begini pun kau jadi marah. Aku tak lagi tahan buat menahan tangis. 

Biarlah aku menangis, Mas. Mengalirkan sesakku tanpa suara. Ini jalan paling akhir melonggarkan dada. Aku pasrah. Yang mungkin tak perlu melibatkanmu. Dan jika kau tak sudi melihatku menangis, memintaku buat berhenti, buat diam tanpa sesenggukan, kemana lagi kubuang sesak ini? Kan begini ini, berarti aku mati, Mas, telah mati tinggal raga yang bisu. Dan bakal mati seluruhnya, sebab hatiku perlahan jadi busuk. 

Kau kan bukan Soeharto, Mas, yang membungkam orang-orang berpendapat. Bukan. Tentu saja bukan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Jika tulisan-tulisan pada buku harian, pada handphone pada segala yang bisa kaubaca. Membikin kautahu kedalaman-kedalam pada mimpiku. Pun tetap tak membikin kaupaham dari sekadar tahu. Maka aku tak ingin menulis lagi. 



Aku menulis lantaran tak punya banyak cara untuk bicara. Membicarai kita. Supaya aku tak menyesal pada hal-hal yang tak patut disesali. Begini ini, setan akan menghuni hati yang berapi-api, maka aku ingin padam. Melenyap dari suara-suara di kepala. 

Jyan. Apa guna membaca jika tak punya tindakan. Apa pula untungnya menulis jika tak bersuara. Lalu aku ingin hilang dan kau tak bakal tahu apa telah bersembunyi di dadaku. Mungkin itu lebih baik dari sekadar berteriak tapi diacuh tak acuhkan. Meski tak patut kukatakan sia-sia. 

Tuhan telah berbaik padaku yang lalim. Sebab barangkali Ia tahu, selalu ada niatku untuk kembali taat. Manusia dilahirkan sendiri. Pun kelak jika mati. Lalu apa hak seorang diri, mengharap-harap diri punya imam. Mengharap diimami pada lelaki yang tak mau jadi imam. Kebajikan dan dosa seseorang tak bisa dibayar berjamaah. Tidak perlu sedemikian jika berdiri sendiri pun masih mampu. Tidak akan. 





Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Jika si lelaki yang membikin salah, perempuan berkewajiban buat menutupi aib suami. Jika kelak si istri yang membuat malu, buat apa mengasuh perempuan pembawa aib. Katanya. Buang saja, buang. Sialan.


Lelakinya terjadwal pergi ke luar kota selama dua hari. 


Istri mana tak jadi senang bila ia menemukan dirinya yang dulu, bebas, tanpa terikat. Apalagi di saat suasana hatinya sangat buruk. Ia tak tahu mesti bercerita pada siapa?

Yang dua hari itu, ia menimbun-nimbun rindu. Dibayang-bayangkannya, ketika nanti si suami pulang, hatinya sudah akan membaik. Kadang ia butuh sesuatu yang baru, tempat baru, perlakuan baru, yang bakal bikin cintanya kembali bermekaran. 

Jika suaminya pulang, ia berencana berdandan, dengan wewangian pula akan dipakainya. Sore hari setelah lelah bekerja ia bereskan rumah sampai rapi. Ia akan menyambut suaminya dengan cantik dan rumah bersih. Ia sengaja tidak masak. Biar saja. Toh si suami bakal sampai di rumah pada tengah malam mendekati pagi. Sesampainya di rumah tentu si suami hanya sempat membersihkan diri dan terbayang sudah bakal berguling-guling di kasur dengan rindu yang sejadi-jadinya. 

Si istri sudah sengaja mengatur jadwal kerjanya besok untuk masuk di sore hari. Ya, setelah dua hari ditinggal pergi, ia ingin berlama-lama manja kepada suaminya. Ia berharap pagi hari akan turun hujan, yang bakal membikin mereka betah berlama-lama di atas kasur. 

“Setelah acara selesai langsung pulang kan, Mas?” Si istri mengirim pesan di sore menjelang maghrib, di sela-sela ia beberes rumah. Tak ada jawaban. Sebenarnya tak perlu ditanya ia tahu si suami bakal pulang tengah malam. Kan, bukan sekali itu ia tahu. 

Sebelum dua hari kepergian si suami ke luar kota, hati si istri sempat hancur tidak keruan. Ia marah. Tapi musti marah pada siapa?

Suatu malam, ketika ia pergi bersama suaminya ke suatu acara. Bungah ia tidak kepalang. Rindu pada acara-acara yang sebelum nikah sering ia kunjungi sendir. Teman-teman datang. Ia tahu, sebenarnya ia bakal kecewa, bakal merana, bakal terasing, seperti yang sudah-sudah. Tapi hatinya mengeras, ia tak cukup jera meski seringkali menyesal tanpa ampun. 

Bukan sekali ia hanya ditenteng ke suatu acara. Selebihnya ia akan sendirian, tiada teman, tiada tempat bercerita. Entah alasan apa, si suami selalu menghindar. Membikin sakit, benar-benar sakit hatinya. Tapi toh bukan sekali itu ia sakit. Memprotespun percuma. Sudah pernah ia coba. 

Teman-teman akan sibuk sendiri, ia pun begitu, terasing seperti anak ingusan yang kehilangan ibu. Pun si suami yang mendadak jadi super akrab dengan seorang perempuan. Ia tak cemburu, tapi hatinya sakit lantaran ia merana sendirian sedang si suami mendamaikan perempuan lain. Perempuan yang padahal ia pun mengenalnya. Tapi akan apa ia katakan, jika bergabung akan semacam kambing congek.

Akan selalu seperti itu. Si istri akan dikasihani kenalan-kenalannya. Dilihat menyedihkan, sebab diacuh tak acuhkan oleh suami. Pun apa daya, eforia kedatangannya membikin ia lupa pada sakit yang sudah-sudah. Selalu seperti itu, sepulangnya ia menyesal tiada ampun. Hatinya tidak keruan. Kemudian ia kembali berjanji buat tak lagi ikut pergi dengan si suami. Seperti yang sudah-sudah, toh ia pun kembali melanggar janjinya itu.

Di lain hari. Rumahnya kedatangan tamu. Lebih dari sepuluh orang memenuhi rumahnya. Si istri sibuk di dapur. Katanya, memuliakan tamu itu kewajiban. Maka si istri sibuk sendiri, tenggelam di antara sayur dan piring-piring. 

Beberapa tamu, ikut membantu mengeluarkan minum. Sampai acara bertamu selesai, satu di antara mereka berkata pada suaminya. 
“Kubawa ya Mas nasi kotaknya?” Suaminya hanya mengiyakan. Si istri pun mempersilakan tanpa basa basi. “Sisa makanan yang melimpah itu dibawa saja sekalian jika berkenan”. Tapi soal nasi kotak? Siapa bikin nasi kotak? Ia tak membikin, pun tak tahu ada tamu yang datang membawa nasi kotak. Si istri cuma menduga-duga. Tak berani bertanya. Toh, perut kenyang, masakan melimpah, apa pentingnya sekotak nasi. 

Si istri masih diam, ia pendam berhari-hari pertanyaannya. Ia butuh penjelasan. Tapi suasana hatinya terlalu buruk. Ia takut sakit hati. Maka di sore hari yang entah apa sebabnya. Ia bertanya. 
“Kemarin nasi kotak itu nasi apa Mas?”
“Tetangga rumah kita, ada yang ngasih. Syukuran rumah.” Jawab si suami. Si istri kaget bukan main. Sakit benar dirasa-rasa hatinya itu. Ia memiliki separuh rumahnya. Ia nyonya rumah. Apa yang datang dan pergi dari rumahnya, terlebih soal makanan—urusan perempuan—mestinya ia tahu. Tak tahukah suaminya jika nasi itu tak lain dari amanah? Mestinya ia diberi tahu. Ia berhak tahu. Ia tinggal di rumahnya. Berbaur dengan tetangga. Apa yang akan terjadi jika kebetulan ada kumpulan ibu-ibu, ia tak tahu ada kabar apa dari kampungnya. Toh si istri yang tak pandai bicara itu cuma diam. 

Lagi. Sehari sebelum keberangkatan si suami ke luar kota. Mereka pergi ke kondangan. Jalan yang ditempuh cukup jauh, menikung, menanjak, dan berlobang-lobang. Si istri benci dibawa lari ketika naik motor. Benci sebenci bencinya. Ia tak bangga sedikit pun pada orang yang tak sayang pada nyawanya yang satu-satunya itu. Pengebut sialan. Untuk itu, ia tak punya idola pada pembalap. Tapi kepada suaminya, apa boleh ia benci selain sesak yang merambat ke dadanya. Sudah sering ia katakan, ia takut, ia takut dibawa lari dengan motor kencang. Apa ia dapat, secuil pengertian itu? Belum.

Sesak itu masih ditambah dengan kandungan yang ia khawatirkan. Ia memang belum hamil. Tapi ia sedang program. Ia mendamba anak, maka ia jadi lebih hati-hati soal makan, jalan dan lain-lain yang mungkin bakal menghalanginya untuk hamil. Ia merasa sendirian buat mendapatkan seorang anak. Sendirian. 

Setiap bulan ia membeli tespack, tapi ia tak suka jika si suami bilang begini “Memangnya kamu hamil?” atau “Itu cuma sugestimu saja”. Kalimat yang begitu bukankah membikin hatinya ciut. Kan sedang usaha, Mas. Sedang usaha. Apa salah punya harapan? 

Pernah juga ia membeli susu khusus menyambut kehamilan. Tapi kembali si suami berkata “Ah kemakan iklan kamu” Ya ampun. Kan sedang usaha, Mas. Sedang usaha. Memang apa usahamu?

Si istri terpaksa sembunyi sembunyi buat program hamil itu. Ia bisa tiba-tiba marah ketika suaminya dengan kasar bercanda dengan perutnya. Ia tak mau lagi usahanya diketahui suaminya. Cupu kapok. Kadang ia pun jadi uring-uringan ketika dibonceng suaminya naik motor tak kenal lobang jalan. Ia cuma khawatir, bagaimana jika ia sedang hamil kemudian tergoncang perutnya karena lobang-lobang jalan? Tapi si suami tak pernah ambil peduli. Selalu dengan andalannya, “Emang sudah hamil, perlu hati-hati?”

“Orang mencegah punya anak, tentunya pakai kondom ketika bercinta, bukan setelah hamil. Tapi orang yang pengin punya anak, lain lagi. Ia akan menjaga kandungannya meski di rahimnya belum tumbuh nyawa anaknya. Ia tak akan menunggu keguguran sebab terlambat tahu jika ia sedang hamil” 

Segala yang memberatkan hatinya kemudian memudar, selama dua hari kepergian suaminya ke luar kota. Tinggal beberapa jam lagi. Si istri menunggu sambil membaca buku. Tak mau ia tidur dan menyambut suaminya dengan muka kusut mengantuk. Tapi kenapa pula tak ada kabar. 

Si istri mulai cemas ketika pukul 1 malam si suami masih tak ada kabar. Ia mulai menghubungi rekan si suami—perempuan yang tadi diceritakan—yang dalam suatu acara didamaikan hatinya ketika ia, si istri sendiri merana. 
“Kaliyan, mau ke Jogja jam berapa, Mbak?” tanya si istri via SMS. Lima menit kemudian, ia mendapat balasan. 

Sungguh. Gemeretak giginya membikin sekujur tubuhnya jadi menggigil. Tangannya dingin bergetar. Siapapun bakal tahu, jika si istri menahan marah dan kecewa tiada tertahan. Suami yang diharap-harapnya. Yang dibayangkannya bakal berguling-guling manja di malam dingin hingga sore itu, ternyata bakal pulang bawa perempuan. Suaminya pulang menjelang subuh membawa perempuan. Perempuan. 

Si istri tak lagi membalas. Hatinya sakit. Ia kirimi suaminya SMS bertubi-tubi. Ia marah bukan lantaran suaminya bawa perempuan. Ia marah sebab tak diajak bicara, tak ada kabar sebelumnya. Seorang istri, meski hina dina buat melayani suami. Ia tetaplah nyonya rumah. Ia yang menguasai separuh rumah, meski lebih tekun pada dapur dan kamar mandi. 

Suara motor memasuki halaman. Si istri buru-buru ke dapur buat bikin teh hangat. Tapi, sialnya, seperangkat dapur itupun menantangnya buat berkelahi. Gas mendadak habis. 

Si istri kembali ke depan televisi. Menekuni buku yang tadi dibacanya. Tamu perempuan itu pun masuk dan si istri persilakan untuk langsung masuk ke kamar, satu-satunya kamar yang ada di rumah itu. Menyusul si suami muncul di ambang pintu. 
“Hei, kamu SMS” kata suami. Dari nada suaranya, si istri tahu jika SMS bertubi-tubi yang dikirimnya belum terbaca. Mata suaminya mulai berkilat-kilat. Ia tahu dan hafal tabiat si suami yang selalu, dan selalu merasa benar sedang lawannya akan selalu salah. Mungkin kelak, si istri akan terus mencatat sifat suaminya yang satu itu. Tentang ia yang selalu, selalu menyalahkan orang lain. Sebab dan ataupun tanpas sebab. 

Kerinduan yang ditabungnya selama dua hari sirna sudah. Barangkali ia tak pantas bahagia. Sebab di ceramah agama, yang musti dibahagia-bahagiakan cumalah suami . Istri tidak. 

Suaminya mendekat sambil membacai SMS yang datang bertubi-tubi. Ia begitu marah. Dilemparlah HPnya. 
“Aku nembe bali. Ngelih, kesel. Malah digawe nesu!” katanya dengan nada suara marah yang tertahan. Si istri hanya diam. Bagaimana ia tahu suaminya bakal lapar jika tak ada kabar sebelumnya. Misal berkabar, barangkali ia siapkan masakan. Jika berkabar barangkali ia lebih dulu tahu gas kompornya habis. Jika berkabar barangkali ia akan menyuruh suaminya makan di luar sebelum sampai di rumah.

Si istri ingin menangis, tapi buat apa menangis?

Ia tak sudi lagi air matanya jatuh buat sakit hati sebab mengasihani diri sendiri. Ia tahan kuat-kuat tangisnya. Tak boleh lagi air macam itu melewati pipinya. Air macam itu biarlah turun pada jalan yang najis, yang hina dina seperti lobang vagina. 

Kemudian, si istri bakal tahu apa yang akan terjadi nanti dan besok. 
“Kenapa masih atos begitu. Selalu marah-marah begitu” tegur si suami. Barangkali ini akan terjadi sehari atau dua hari kemudian. 
“Buat apa dibahas. Dari awal tak ada pembicaraan. Buat apa ada penyelesaian” jawab si istri. 
“Kemarin aku kelaparan, berharap ada masakanmu”
“Kenapa tidak memberi kabar lebih dulu?”
“Aku kira kau lebih paham jika suami pulang bakal ada masakan” kembali si suami menyalahkan. 
“ Setiap orang punya kepala dan isinya sendiri, Mas. Pun kita” jawab si istri.
“ Tapi aku berharap bisa makan di rumah, makan masakan istriku. Tapi kau tak tahu”
“ Aku memang tidak tahu. Tidak pernah tahu jika sebelum sampai di rumah, kau berniat makan lebih dulu dengan perempuan lain, kan” kini tak lagi ia bisa tahan. Ia tahu, dari cerita tamu perempuannya. Lelaki pembual batinnya. 
“Ya ... ya … aku hanya tak ingin menyusahimu, Dek. Hari telah subuh waktu itu, tentu kau sudah tidur”
“Kau tak berkabar, Mas. Bagaimana kau tahu apa yang kukerjakan. Kita tidak bicara, bagaimana kau tahu apa yang kupikirkan.” Hening. Si istri menyesal. Kenapa hanya di kepalanya ia bisa berkelahi. Kenapa hanya pada tulisan ia bisa mengancam, memaki, membabi buta. 

Kan alasanmu selalu sama, Mas. Jika kau pergi denganku. Persoalan makan bisa jadi perkara rumit. Mulai dari malas mampir-mampir. Ribut mencari tempat makan. Ujungnya bakal pulang dan menungguku buat mie instan. Kenapa dengan perempuan lain, kau bisa mengajak? Mengajak makan tanpa perlu serumit kita. Batin si istri. 

Sampai pada suatu hari, si istri pulang kerja hingga larut. Tak pernah ia berniat tak pulang. Sebagai istri, ia musti pulang, sebab ia punya rumah. Namun hatinya telah kebas, dikirimnya SMS kepada si suami. 
" Aku ndak pulang. Aku bukan mau minta izin, sebab bukan perempuan saja yang mestinya minta izin. Untuk itu, aku tak butuh izinmu. Kau temanku tidur. Sebagai teman, aku berkewajiban tak membuatmu khawatir"

Begitulah selanjutnya. Si istri bakal tahu, si suami akan meluap-luap marah. Kemudian mereda sendiri. Namun hati si istri terlanjur kebas, sakit berlobang-lobang. 

Pada suatu hari, si istri kembali pulang malam. Sendirian. Kaget bukan main si suami ketika tahu istrinya berani pulang sendiri. 
“Kamu tidak takut hantu di bulak sawah?” Tanya si suami. Iya, konon, di bulak sawah yang musti mereka lewati menuju rumah pernah ada pembunuhan. Hantunya suka muncul sewaktu-waktu. Bahkan cerita lain, hantu itu suka mbonceng pengemudi motor yang sendirian. 
“Cuma pengecut takut hantu. Jika di hati sudah ada hantu, sudah ada setan, apalagi musti ditakuti? Membunuh pun ia tak bakal takut” Si suami diam. Istri pun diam.

Menikah itu tak membikin dua kepala jadi satu, ya. Aku masih berpikir dengan kepalaku, pun kau yang tak mau berkompromi. Mestinya kita punya jembatan buat berkomunikasi. Jika itu sudah kandas tak terbangun. Hilang sudah, rumah tinggal orang-orang semacam kita yang egois. Batin si istri. 

Sebab lain kepala. Si suami barangkali sedang berpikir, kapan ia akan dibunuh, dibinasakan. Sedang ia tak tahu, si istri tak akan mampu membunuh, membinasakan lelaki yang menghidupinya. Selain hanya bisa membinasakan diri sendiri. Perlahan bakal mati dimakan penyakit hati. Pun ia hanya bisa diam. Bicara pada tulisannya. 



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
  • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
  • Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ▼  2013 (19)
    • ▼  November (1)
      • Anak Lanang
    • ►  October (3)
      • Merdeka seperti apa, katamu?
      • Beranikah Anda Donor Darah?
      • Suatu hari yang 'ehem'
    • ►  June (1)
      • Pecinta Sinetron yang Terkekang
    • ►  May (2)
      • Cerita Jorok
      • Temen Adikku yang Nakal
    • ►  April (1)
      • Sakit sakit sakit
    • ►  March (7)
      • *Sebuah Rumah buat kita
      • ---tet
      • *Menyempit
      • *Pasrah
      • Cerpen Jelangga
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates