Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

Anak Lanang

"Ah, Bapak. Kesakitan ini, semoga tak bersembunyi selama-lamanya di dadamu. Biar begitu buruk lakunya. Dia pun anakmu juga, Bapak. Anak yang kau aliri darahmu tanpa meminta. Meski seluruh dewa bisa mengutuk anakmu jadi batu, tapi itu tak mengubah silsilah jika ia darah dagingmu, Bapak. Anakmu ... anakmu dari rahim ibuku"  ENAM TAHUN yang lalu, ia masih jadi lelaki lentur dan gampang diatur.  Meski, ya, hampir semua anggota keluarganya tahu bahwa ia rapuh dan payah. Namun, siapa kira dalam enam tahun itu ia menjelma jadi lelaki heartless sejak ia mengenalkan seorang perempuan sebagai pacarnya. Seorang perempuan, tentu saja bisa sangat mudah menyetir lelaki payah seperti dia. Apalagi, waktu itu statusnya masih berseragam SMA. Larangan soal pacaran memang tidak hidup dalam keluarganya yang bebas. Pun, beruntung sekali pacarnya bisa diterima dengan sangat baik: seseorang yang dicintai oleh anakku, maka layak pula kami cintai sepenuh hati, kata orangtuanya.  Lelaki

Merdeka seperti apa, katamu?

Meskipun katanya negeri ini telah merdeka dari penjajah, tapi kupikir lagi, apanya yang merdeka? Tanah di sini masih dikuasai.  Ada sebuah rumah kontrakan dengan halaman luas, yang kupikir itu juga rumahku sendiri. Rumahku sendiri (catat). Aku hidup di antara bunga-bunga, di perumahan yang sepi saban siangnya. Tentulah bunga-bunga sangat bahagia karena mendapat cukup air, cahaya dan ditempatkandi pot-pot bagus. Sudah kupastikan, pastilah mereka mati jika tak ada lelaki yang saban pagi itu merawat mereka.  Namun, kehidupanku--ingat--tak butuh siapapun membantunya. Ya, hanya kepada Tuhan aku meminta hidup. Maka hujan turun, dan girangnya aku bukan main. Aku memang tak butuh siapapun untuk hidup, tapi kenapa mereka mengusikku?  Percobaan pembunuhan itu setiap minggu dilakukan. Rasa-rasanya, mereka benci sekali melihatku hidup.  Ya, tentu saja ini ada hubungannya dengan tanah yang belum merdeka. Persetan Indonesia merdeka, sedang di tanah seluas enam kali tiga

Beranikah Anda Donor Darah?

Sungguh. Cerita ini tidak bertendensi untuk pamer moral. Aku menuliskannya demi mengarsip setiap hal yang menarik bagi diri sendiri. Semacam curhat.  Ya, akhir-akhir ini, status seorang teman sering muncul di timeline facebookku. Dari sekian tema yang ia tulis (mungkin kebetulan saja tulisan yang kubaca) tentang donor darah. Aku mengira-ira bahwa mungkin sekarang ia tergabung dengan organisasi pecinta donor darah. Aku tidak tahu pasti, yang jelas aktivitas yang ia lakukan sangatlah baik.  Ia juga penulis yang baik. Banyak hal yang ia bagi di catatan-catatan pendeknya tentang seberapa penting darah bagi seseorang yang membutuhkan. Aku tahu, mungkin banyak program lain yang aku tidak tahu dan dilakukan aktivis-aktivis semacam dia selain soal donor darah. Dan, sebagai penulis (mungkin) ia memilih dengan caranya sendiri. Satu dari sekian cara yang ia lakukan, adalah rajin berkisah di facebook.  Tulisannya itu sangat menyentuh dan menginspirasi; tentang tolong menolong,

Suatu hari yang 'ehem'

Pukul empat sore, suamiku mengabari akan terlambat pulang kerja. Aku keberatan, tapi tidak sampai hati terucapkan.  Aku tak boleh egois dengan memaksanya cepat pulang. Meski rindu membuncah. Ya, selalu ada rindu yang terlalu terburu-buru setiap kali akan berpisah. Besok ia akan keluar kota selama lima hari. Tidak bisakah pulang lebih cepat, supaya ada waktu lebih panjang untuk bersama-sama?  “Banyak yang harus dipersiapkan untuk besok di sini, Dik. Maaf,” katanya. Lalu komputer kumatikan, aku keluar kantor tanpa semangat. Jarum speedometer Casimira menunjuk titik merah. Casimira—motorku—mungkin akan kehabisan bensin di jalan. Ah, malas sekali rasanya berhenti di pom. Maka kunaiki saja Casimira.  Sepanjang jalan perasaanku tidak keruan. Aku ingin menyusul suamiku ke kantornya. Barangkali nanti akan ada makan malam romantis di sana? Siapa tahu, kan? Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkannya.  Tiga lampu merah sudah kulalui. Sial, gara-gara melamun Casimira me

Pecinta Sinetron yang Terkekang

Barangkali kita belum ikhlas, Mas, kataku kepada suami--di jeda iklan sinetron dan kekesalannya pada internet yang lambat hingga perlu berbatang-batang rokok untuk meredamnya.  "Ah, jangan suguhi aku sinetron dong" katanya mencari-cari pelampiasan. Jelas ia sedang tidak menanggapi ucapanku. Lalu aku bangkit dari tidur, memencet-mencet tv tuner dengan kesal. "Jangan merokok di ruangan sesempit inilah, aku bisa mati karena sesak," balasku, seakan-akan kalimatku ini juga punya kekuatan seperti perintahnya. Aku tahu, mengonsumsi sinetron setiap hari berpengaruh besar terhadap pola pikirku selama ini. Dan aku pun paham, jika ia hanya tidak mau aku semakin bodoh dan banyak menghabiskan waktuku di hadapan televisi. Kan, kupikir sama halnya dengan kecemasanku pada batang-batang rokok yang pelan tapi pasti membikin paru-parunya jadi sakit. Namun, meski kami jadi bodoh dan sakit, toh sesuatu yang telah jadi candu akan amat sulit dipisahkan. Kami hanya seringkali lupa di

Cerita Jorok

*Sebaiknya dibaca sesuah makan, dan pembaca yang udah akil baligh.  Sebagai istri, terkadang ia butuh dimanja, butuh diperhatikan, butuh banyak hal yang katanya sangat sulit didapatnya dari si suami. Bahkan di akhir pekan, yang ia harap-harap bisa berlibur berdua, mungkin menikmati senja yang romantis, atau sekadar candlelight diner, tapi toh ia justru menelponku untuk bertemu. Ia selalu mengadu segalanya, padahal sudah bersuami. Kupikir-pikir lagi, temenku yang ini kok ya terlalu banyak mengeluh dan menuntut. Ups. Suatu hari, temenku ini mengalami diare selama empat hari. Ia mengadu padaku. Dan jadilah, obrolan kami di kedai salad sore itu membikin nafsu makanku hancur kerna ia terus membicarakan soaal tinja yang encer, tak berbau, dan beda dengan tinja-tinja sakit yang pernah ia alami.  "Kamu memang sahabatku, Tik. Bahkan suamiku tak tau aku sakit" katanya, menutup cerita panjang soal tinja. Sebelum, kami berpisah untuk pulang. Aku menyarankan supaya ia bercerita

Temen Adikku yang Nakal

Aneh sekali adiknya temenku itu. Kata temenku adiknya sangat nakal. Kenakalan yang paling bikin jengkel ialah soal duit.  Setiap bulan temenku harus mengisi rekening adiknya sebesar satu juta yang dipakainya untuk biaya hidup menempuh studi. Adiknya bilang, sejuta di Jogja, mau makan apa? Harusnya lebih. Katanya. Aku geleng-geleng demi mendengar cerita temanku itu. Bertahun-tahun hidup di Jogja, sejuta perbulan tentulah sangat berlebih ketika aku masih mahasiswa.  Temenku bilang, adiknya sangat nakal. "Mungkin ia salah pergaulan" imbuhnya. Ia selalu bercerita di hadapanku dengan wajah sendu, menahan-nahan tangis di pelupuk matanya. Katanya lagi, ia merasa sangat malu karena tabiat adiknya yang nakal, bengal dan tak tahu diri. Temenku itu, seringkali menyalahkan diri sendiri sebab tak pandai menasihati. Ia telah kehabisan cara untuk membuat adiknya berpikir dewasa. Semuanya gagal.  "Mungkin ada waktunya ia akan dewasa, kelak" kataku. Tentu saja,

Sakit sakit sakit

Senin (25/3) aku menghadap monitor komputer dengan serius. Aku lari dari blog satu ke blog lainnya, sekali lagi kubilang. Ini kulakukan dengan serius di jam kerja. Hasilnya, kepala tegang dan mata jadi tidak bisa dikontrol buat berhenti berkedip-kedip.  Sehari setelah itu, aku diserang kantuk berat di pagi dan sore hari. Lebih tepatnya bukan kantuk, tapi mataku serasa ingin menutup meski tak mengantuk. Ini kualami selama dua hari. Sampai hari keduanya, di malam hari aku merasa sakit kepala. Lebih sakit lagi ketika subuh datang (hari ketiga 28/3). Aku merasa sakit, dan sakit yang tidak terkira. Tapilah mataku cukup terkendali.  Nah, menjelang pukul 8 pagi, barulah sakit kepalaku hilang tapi ada bagian antara kuping dan rahangku yang justru sakit. Yes, awalnya kupikir sakit gigi. Tapi tidak! Gigiku baik-baik saja. Tapi aku tidak cukup kuat untuk menahan sakit ketika membuka mulut terlalu lebar. Akan ada bunyi 'kletuk' di bagian antara rahang dan kuping. Dari bun

*Sebuah Rumah buat kita

Beginilah mencintaimu, membangun yang baru tak luput dari merobohnya bangunan lama.   Di tubuhku, Mas, biarlah mimpi-mimpi kualamatkan kepadamu. Kamar-kamar dikosongkan, sebab telah takdirku bermuara di rumahmu.  Kelak, Mas, kau mesti berlayar. Sedang aku menghuni rumah, merawat anak-anak dan buku-buku. Barangkali lebih patut begitu. Pun jika tidak, biarlah kita terasing pada kertas dan pena masing-masing. Segala yang sekarang, telah membuat kita tak sempat mencatat apa-apa. Terlebih kau ... sebab kau ini tak lain dari penanggung beban menghidupi kami. Ah, Mas. Cintaku....

---tet

Umpama peperangan.  Semisal kau dirampok dan melawan.  Sekuat tenaga kaulawan musuhmu. Kau lawan, kau lawan sekuat tenaga, trikmu pun bocor, dan kau kalah.  Lehermu berhadapan dengan mata pedang musuhmu. Lalu si musuh bilang "Ayo lawan!". Atau pada pertarungan lain, kau berkelahi. Kau telah berdarah-darah, kalah dan tanpa daya. Kemudian si lawan bilang "Ayo lawan sobat, aku tak akan menyerangmu lagi" Ini semacam kalah diskusi. Sebab lawanmu terlalu tangguh. Kemudian kau menangis sesenggukan hingga pikiranmu jadi tak jernih, suaramu hilang. Lalu teman diskusimu bilang "Ayo bicara, jangan cuma nangis" 

*Menyempit

Jika ada sesak memenuhi dadaku, aku akan mengadu padamu, akan bicara.  Tapi jika setiap pembicaraan kita tak pernah bisa bersepakat. Dan aku dibuat tak bisa bersuara selain bilang terserah, maka aku akan menulis. Menulisi kesakitanku.  Namun jika menulis begini pun kau jadi marah. Aku tak lagi tahan buat menahan tangis.  Biarlah aku menangis, Mas. Mengalirkan sesakku tanpa suara. Ini jalan paling akhir melonggarkan dada. Aku pasrah. Yang mungkin tak perlu melibatkanmu. Dan jika kau tak sudi melihatku menangis, memintaku buat berhenti, buat diam tanpa sesenggukan, kemana lagi kubuang sesak ini? Kan begini ini, berarti aku mati, Mas, telah mati tinggal raga yang bisu. Dan bakal mati seluruhnya, sebab hatiku perlahan jadi busuk.  Kau kan bukan Soeharto, Mas, yang membungkam orang-orang berpendapat. Bukan. Tentu saja bukan.

*Pasrah

Jika tulisan-tulisan pada buku harian, pada handphone pada segala yang bisa kaubaca. Membikin kautahu kedalaman-kedalam pada mimpiku. Pun tetap tak membikin kaupaham dari sekadar tahu. Maka aku tak ingin menulis lagi.  Aku menulis lantaran tak punya banyak cara untuk bicara. Membicarai kita. Supaya aku tak menyesal pada hal-hal yang tak patut disesali. Begini ini, setan akan menghuni hati yang berapi-api, maka aku ingin padam. Melenyap dari suara-suara di kepala.  Jyan. Apa guna membaca jika tak punya tindakan. Apa pula untungnya menulis jika tak bersuara. Lalu aku ingin hilang dan kau tak bakal tahu apa telah bersembunyi di dadaku. Mungkin itu lebih baik dari sekadar berteriak tapi diacuh tak acuhkan. Meski tak patut kukatakan sia-sia.  Tuhan telah berbaik padaku yang lalim. Sebab barangkali Ia tahu, selalu ada niatku untuk kembali taat. Manusia dilahirkan sendiri. Pun kelak jika mati. Lalu apa hak seorang diri, mengharap-harap diri punya imam. Mengharap diimami p

Cerpen Jelangga

Jika si lelaki yang membikin salah, perempuan berkewajiban buat menutupi aib suami. Jika kelak si istri yang membuat malu, buat apa mengasuh perempuan pembawa aib. Katanya. Buang saja, buang. Sialan. Lelakinya terjadwal pergi ke luar kota selama dua hari.  Istri mana tak jadi senang bila ia menemukan dirinya yang dulu, bebas, tanpa terikat. Apalagi di saat suasana hatinya sangat buruk. Ia tak tahu mesti bercerita pada siapa? Yang dua hari itu, ia menimbun-nimbun rindu. Dibayang-bayangkannya, ketika nanti si suami pulang, hatinya sudah akan membaik. Kadang ia butuh sesuatu yang baru, tempat baru, perlakuan baru, yang bakal bikin cintanya kembali bermekaran.  Jika suaminya pulang, ia berencana berdandan, dengan wewangian pula akan dipakainya. Sore hari setelah lelah bekerja ia bereskan rumah sampai rapi. Ia akan menyambut suaminya dengan cantik dan rumah bersih. Ia sengaja tidak masak. Biar saja. Toh si suami bakal sampai di rumah pada tengah malam mendekati pagi