Tak pernah kusesali dan salahkan; kepada yang telah terucap, kepada harapan-harapan yang musti ditumpas di kemudian hari. Demi membesarkan hati kami--demi aku dan suamiku--kalimat itu kemudian terlontar sebelum ijab terucap. "Masih ada orangtua, Nduk. Misal kaliyan kesusahan ekonomi, kan juga orangtua bakal membantu, Bapak nggak akan cuma diem kok liat anak susah. Nggak usah khawatir mau nikah" Bapak berucap saat itu. Begitu syahdu, tapi membikin kecemasan baru di dadaku. Ah, Pak. Seandainya benar begitu, seandainya tak kuketahui nominal hutang yang berderet kaupanggul tiap bulan. Seandainya adik-adik tak lagi butuh biaya. Seandainya kalimatmu bisa kupercaya tanpa gelisah begini? Bagaimana jika kau tak mampu menepatinya. Bagaimana jika suamiku kelak menerimanya dengan mentah-mentah? Bagaimana aku tega meminta padamu yang tua, yang rapuh dan justru membutuhkanku. Ketika kusandang predikat baru sebagai istri, kutekadkan benar untuk berdiri sendiri. Kutekad