Jika katamu, menulis membebaskan yang terbelenggu.
Misal perasaanmu, misal langkahmu.
Namun, di kemudian kau masih menulis dengan ketakutan, dengan kehati-hatian berlebih;takut salah teori,takut membuat hati orang lain bersedih,dan kau tak lagi jujur pada dirimu, pada pembacamu.Maka kutanya padamu. Kebebasan macam mana yang kau sebut itu?
Jika percaya #AdamHawa sebagai manusia pertama sekaligus nenek moyang kita. Jadi dengan cara inces yang konon amoral itulah muasal keberadaan manusia. Keberadaan kita.
Jika percaya #AdamHawa sebagai manusia pertama sekaligus nenek moyang kita. Aku jadi penasaran, mulai kapan pelaku inces jd diasingkan masyarakat.Jika percaya #AdamHawa sebagai manusia pertama sekaligus nenek moyang kita. Dengan inceslah manusia membiak, dan kini ditabukan. Hufft aku penasaran
Tak pernah kusesali dan salahkan; kepada yang telah terucap, kepada harapan-harapan yang musti ditumpas di kemudian hari. Demi membesarkan hati kami--demi aku dan suamiku--kalimat itu kemudian terlontar sebelum ijab terucap.
"Masih ada orangtua, Nduk. Misal kaliyan kesusahan ekonomi, kan juga orangtua bakal membantu, Bapak nggak akan cuma diem kok liat anak susah. Nggak usah khawatir mau nikah" Bapak berucap saat itu. Begitu syahdu, tapi membikin kecemasan baru di dadaku.
Ah, Pak. Seandainya benar begitu, seandainya tak kuketahui nominal hutang yang berderet kaupanggul tiap bulan. Seandainya adik-adik tak lagi butuh biaya. Seandainya kalimatmu bisa kupercaya tanpa gelisah begini? Bagaimana jika kau tak mampu menepatinya. Bagaimana jika suamiku kelak menerimanya dengan mentah-mentah? Bagaimana aku tega meminta padamu yang tua, yang rapuh dan justru membutuhkanku.
Ketika kusandang predikat baru sebagai istri, kutekadkan benar untuk berdiri sendiri. Kutekadkan pahit manis kurengkuh sendiri. Dalam ketiadaan, dalam renyah tawa yang mungkin memanggul segenap beban yang kian menggunung.
Aku paham, kemampuanku yang terbatas membuat segalanya jadi berat. Begitupun beratnya, tak kuijinkan yang tak berhak ikut memanggulnya. Pun kepada suami, kusembunyikan yang susah-susah, yang sekiranya kuketahui tak dapat mungkin menemu solusi.
Bukan maksud tak ingin berbagi, kuharap pundakku akan tetap sekokoh semula. Kuselesaikan tugasku, kuharap begitupun yang dilakukan suamiku, satu yang kupinta ; Lekaslah kau lulus, Mas. Biar beban jadi makin berkurang. Tak kuharap jadi makin salah keberadaanku sebagai istri di mata orangtuamu. Kubantu kau semampuku. Tapi apa yang bisa kubantu selain doa, jika bertanya sekalipun menjadikan wajahmu kelabu.
Kuceritakan yang manis-manis tiap kali Mama menanyakan kabar. Kepada siapapun kerabat kami, kuceritakan yang baik-baik, bahwa hidup kami tak kurang apapun. Segala yang cukup, yang tak perlu membuat cemas bagi yang mencintai kami.
Tentu saja hanya kabar baik yang bisa kuberikan, ketika saban bulan belum cukup gajiku menebus beban di pundak orangtua. Tak kuijinkan bebanku pun menambah berat hidup yang makin menyita senyumnya, senyum Mama dan Bapak.
Lalu, kupinta pada suami, untuk tak perlu mengeluh, tak perlu meminta bantuan kepada orangtua. Sebab aku tahu, ketiadaan yang makin mencekik tenggorokan sekalipun, Mama dan Bapak tak akan hanya diam melihat aku kehilangan senyum. Menjadi mengada-adakan buat kami, sedang nasib mereka entah akan bertahan di waktu yang mana. Aku menangis sesenggukan tiap kali terbayang.
Tapi tak kusesali takdirMu kepada hidupku, Tuhan. Tidak. Kuterima dengan ikhlas apa-apa yang menjadi bagianku, meski sebagai manusia, aku kerap merasa selalu kurang terhadap nikmat yang Kauberi. Bolehlah aku membela diri, kan Kau juga yang mencipta perasaan ini.
Sampai tiba di suatu bulan. Pajak motor harus lekas dibayarkan. Motor pemberian orangtua yang kupakai sekarang musti segera dilunasi. Mama berpesan untuk membawa STNK pulang ke kampung. Ya, kuniatkan untuk pulang, sebelum kemudian kuhitung pengeluaran bulanan yang ternyata menyita rencana kepulanganku. Tak ada biaya untuk pulang. Tak bisa diusahakan lagi dan ini menjadi sulit kujelaskan pada Mama. Sebab tak mungkin kukatakan tak ada uang. Tak ada biaya sama sekali.
Kemudian kukabarkan pada Mama bahwa kepulanganku tertunda. Akan segera kukirim fotocopi STNK melalui kantor pos. Bisa kan? Tanyaku beberapa hari yang lalu.
"Bisa aja, yang penting ada nggak duitnya?" jawab Mama. Ya Allah, aku lupa bahwa kini aku bukan lagi tanggungan orangtuaku. Tentu saja seharusnya aku sendiri yang membayar pajak motor yang kupakai. Kubalas pesannya, bahwa kupikir bayar pajak masih menjadi urusan Mama, sudah kadung kubelikan kaligrafi uang bulan ini. Aku tak ada persiapan. Kataku.
Besar harapanku Mama akan paham. Lantas ketakutanku jadi semakin menjadi. Bagaimana kukatakan pada suami tentang ini? Bagaimana jika aku tetap harus mengirimkan uang pajak ke kampung sana. Ijin yang bagaimana yang mesti kupinta, sementara uang dan pemakluman bisa jadi tak lagi tersedia untuk kasus semacam ini.
Ah, entah berlatar belakang apa, kalimat-kalimat balasan yang kuterima dari rumah kemudian membuat pahit perasaanku. Bagaimana jika benar Mama tak mampu membayar pajak? Sehingga harus sedemikian kuat menyudutkanku pada rasa malu dan bersalah. Pada keadaan yang serba salah. Ingin kutagih janji Bapak bahwa di sini aku menjerit susah. Tapi kutahan untuk tak semakin membuat luka pada orangtua. Kutangisi keadaan ini, pada kesulitan yang tak bisa kuceritakan pada siapapun.
"Kan kamu dan suamimu kerja, masa nggak mampu bayar pajak?" Glek! Tuhan, tak adakah kebohongan yang sebaik-baiknya menurut manusia menjadi baik juga di mataMu?
Yogyakarta.