Skip to main content

Tentang Janji dan Pajak

Tak pernah kusesali dan salahkan; kepada yang telah terucap, kepada harapan-harapan yang musti ditumpas di kemudian hari. Demi membesarkan hati kami--demi aku dan suamiku--kalimat itu kemudian terlontar sebelum ijab terucap. 



"Masih ada orangtua, Nduk. Misal kaliyan kesusahan ekonomi, kan juga orangtua bakal membantu, Bapak nggak akan cuma diem kok liat anak susah. Nggak usah khawatir mau nikah" Bapak berucap saat itu. Begitu syahdu, tapi membikin kecemasan baru di dadaku.

Ah, Pak. Seandainya benar begitu, seandainya tak kuketahui nominal hutang yang berderet kaupanggul tiap bulan. Seandainya adik-adik tak lagi butuh biaya. Seandainya kalimatmu bisa kupercaya tanpa gelisah begini? Bagaimana jika kau tak mampu menepatinya. Bagaimana jika suamiku kelak menerimanya dengan mentah-mentah? Bagaimana aku tega meminta padamu yang tua, yang rapuh dan justru membutuhkanku. 

Ketika kusandang predikat baru sebagai istri, kutekadkan benar untuk berdiri sendiri. Kutekadkan pahit manis kurengkuh sendiri. Dalam ketiadaan, dalam renyah tawa yang mungkin memanggul segenap beban yang kian menggunung. 

Aku paham, kemampuanku yang terbatas membuat segalanya jadi berat. Begitupun beratnya, tak kuijinkan yang tak berhak ikut memanggulnya. Pun kepada suami, kusembunyikan yang susah-susah, yang sekiranya kuketahui tak dapat mungkin menemu solusi. 



Bukan maksud tak ingin berbagi, kuharap pundakku akan tetap sekokoh semula. Kuselesaikan tugasku, kuharap begitupun yang dilakukan suamiku, satu yang kupinta ; Lekaslah kau lulus, Mas. Biar beban jadi makin berkurang. Tak kuharap jadi makin salah keberadaanku sebagai istri di mata orangtuamu. Kubantu kau semampuku. Tapi apa yang bisa kubantu selain doa, jika bertanya sekalipun menjadikan wajahmu kelabu. 


Kuceritakan yang manis-manis tiap kali Mama menanyakan kabar. Kepada siapapun kerabat kami, kuceritakan yang baik-baik, bahwa hidup kami tak kurang apapun. Segala yang cukup, yang tak perlu membuat cemas bagi yang mencintai kami. 

Tentu saja hanya kabar baik yang bisa kuberikan, ketika saban bulan belum cukup gajiku menebus beban di pundak orangtua. Tak kuijinkan bebanku pun menambah berat hidup yang makin menyita senyumnya, senyum Mama dan Bapak. 

Lalu, kupinta pada suami, untuk tak perlu mengeluh, tak perlu meminta bantuan kepada orangtua. Sebab aku tahu, ketiadaan yang makin mencekik tenggorokan sekalipun, Mama dan Bapak tak akan hanya diam melihat aku kehilangan senyum. Menjadi mengada-adakan buat kami, sedang nasib mereka entah akan bertahan di waktu yang mana. Aku menangis sesenggukan tiap kali terbayang. 

Tapi tak kusesali takdirMu kepada hidupku, Tuhan. Tidak. Kuterima dengan ikhlas apa-apa yang menjadi bagianku, meski sebagai manusia, aku kerap merasa selalu kurang terhadap nikmat yang Kauberi. Bolehlah aku membela diri, kan Kau juga yang mencipta perasaan ini. 

Sampai tiba di suatu bulan. Pajak motor harus lekas dibayarkan. Motor pemberian orangtua yang kupakai sekarang musti segera dilunasi. Mama berpesan untuk membawa STNK pulang ke kampung. Ya, kuniatkan untuk pulang, sebelum kemudian kuhitung pengeluaran bulanan yang ternyata menyita rencana kepulanganku. Tak ada biaya untuk pulang. Tak bisa diusahakan lagi dan ini menjadi sulit kujelaskan pada Mama. Sebab tak mungkin kukatakan tak ada uang. Tak ada biaya sama sekali. 

Kemudian kukabarkan pada Mama bahwa kepulanganku tertunda. Akan segera kukirim fotocopi STNK melalui kantor pos. Bisa kan? Tanyaku beberapa hari yang lalu. 

"Bisa aja, yang penting ada nggak duitnya?" jawab Mama. Ya Allah, aku lupa bahwa kini aku bukan lagi tanggungan orangtuaku. Tentu saja seharusnya aku sendiri yang membayar pajak motor yang kupakai. Kubalas pesannya, bahwa kupikir bayar pajak masih menjadi urusan Mama, sudah kadung kubelikan kaligrafi uang bulan ini. Aku tak ada persiapan. Kataku. 

Besar harapanku Mama akan paham. Lantas ketakutanku jadi semakin menjadi. Bagaimana kukatakan pada suami tentang ini? Bagaimana jika aku tetap harus mengirimkan uang pajak ke kampung sana. Ijin yang bagaimana yang mesti kupinta, sementara uang dan pemakluman bisa jadi tak lagi tersedia untuk kasus semacam ini. 

Ah, entah berlatar belakang apa, kalimat-kalimat balasan yang kuterima dari rumah kemudian membuat pahit perasaanku. Bagaimana jika benar Mama tak mampu membayar pajak? Sehingga harus sedemikian kuat menyudutkanku pada rasa malu dan bersalah. Pada keadaan yang serba salah. Ingin kutagih janji Bapak bahwa di sini aku menjerit susah. Tapi kutahan untuk tak semakin membuat luka pada orangtua. Kutangisi keadaan ini, pada kesulitan yang tak bisa kuceritakan pada siapapun. 

"Kan kamu dan suamimu kerja, masa nggak mampu bayar pajak?" Glek! Tuhan, tak adakah kebohongan yang sebaik-baiknya menurut manusia menjadi baik juga di mataMu? 


Yogyakarta.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk