Skip to main content

"Budak Kapitalis VS Manusia (sok) Melek Teknologi" kata temenku.

Meski isu GW (Global Warming) lagi hot dan muncul partai hijau dan bla-bla-bla lainnya. Aku tetep belum nyaman beli EB (E-Book). Mungkin karena belum biasa aja sih. Tapi sungguh, mbayangin aja aku ndak suka. 



EB, katanya pilihan solutif buat orang yang bepergian. Tapi aku nggak pernah jalan-jalan jauh. Aku lebih suka nata buku hardcopy di kamar, mengarsip dan membawanya kemana-mana. EB itu juga ndak bisa kuhadiahkan sama Mama. Jangankan kuhadiahkan ke kampung, buat beli alat bacanya aja belum mampu. 


Ah, ngomongin EB? Buku hardcopy aja masih banyak yg ndak suka baca. 

Belum lama, saudaraku datang ke rumah. Tanya hadiah buat anak sekolah di tempatnya KKN. Kubilang aja "buku". Spontan dan kupikir itu tepat. Hahaha subyektif banget ternyata. Kayaknya aku suka berkhayal, kalau semua orang itu bisa kenyang cukup dengan baca buku. 

Yes, aku hidup dari buku. Aku suka buku. Dan aku jatuh cinta sama suamiku karena buku. Tapi ini duniaku, mereka tak harus sekepala denganku. Toh aku ya ndak maksa.

Seperti jawaban dari sudaraku itu. "Yeh, anak STM (Sekolah Tekhnik Mesin) masa dihadiahi buku? Wong sekelasku aja ndak ada yang suka baca buku." jawabnya sambil ketawa. 

Oh no! Buku itu masih kayak alien yah? Aku lupa. Dunia ini luas, Tikah. Keluarlah kamu dari tumpukan buku, naskah dll. Kamu BB (Blackberry) aja ndak punya. Apalagi android, tab dll. Shit. 

Iya, aku emang suka kelewatan. Nyaman dengan duniaku. Tapi mengusik orang lain. Buatku, setiap barang itu mahal karena historinya. Bukan karena nominalnya. 

Dulu, aku punya HP yang hidup cukup lama karena harus diiket sama karet. Kemana-mana kubawa tanpa malu. Yes, tapi temenku-temenku yang justru malu. Mereka bilang gini, "Cantik cantik kok hapenya gitu." Sungguh, ada kok yang muji aku cantik. #PlakDilemparSandal. 

" Hello, kenapa sih perkara HP aja manusia jadi dikotak-kotakan?"
" Ya iyalah HP itu menentukan kelas sosialnya, dodol"
" Trus lo mesti kaget pakai melotot gitu kalau penjual telo (ubi) di pasar tradisional juga bisa pakai hape semahal punya lo, pernah lihat? "
" :( " diem sambil nggulung-nggulung rambut. 
" Trus lo lupa pernah curhat begini “ Wow cowo sejadul si A, tapi hapenya keren, cing” 
"Plis deh. Kamu nggak adil sudah sejak dalam pikiran, Tik. Emang kamu pikir pekerjaan di pasar jauh lebih nista dari hobimu yang nata buku,?" #Glek 
"Iya, tapi lo ngutip kalimat orang, pakai catatan kaki kek "#DitabokBukunyaPram. 

Ngomong-ngomong soal HP. Yes, sebut aku manusia abad terdahulu. Aku belum nyaman berlari ngikutin teknologi (soal hape, Bung. Bukan yang lainnya). Ngikutin kemajuan hape itu cape. Nggak ada berhentinya. Beli yang terbaru sekarang, setahun kemudian jadi basi. "Nggak masalah kok, wong gue kaya"katamu. 

Aku belum butuh aja sih beli hape mahal. Kapan makainya? Buat apa? Kan mereka yang udah punya HP mahal karena pasti tepat pada fungsinya. Nah aku yang sok ndak punya waktu banyak, yang kadang heboh pengen melarin durasi sehari jadi 60 jam . Hahaha konyol deh. Emang. Tapi gimana dong. Pulang kerja, lebih seneng di dapur, depan tipi, pegang buku, dan masih banyak lagi yang minta dipegang tapi aku ndak banyak waktu #Sotoy banget kan aku. 

Hapeku bisa buat intenetan, tapi full di kantor depan komputer berwifi, sesuka hati main jejaring sosial, apa aku kudu ngabisin pulsaku buat internetan di hape? Oke, besok deh kalau udah kaya. Hapeku juga bisa buat dengerin musik, nonton tipi, radio? Oh, tapi leptop dan tipi juga nyata depan mata! Apa perlu pake gadget semini HP? Apa aku perlu ngikutin rutinitas bergadget ria, cuma karena punya dan sayang kalau dianggurin? Sementara, seharian kerja bikin malam nggak kuat begadang. 

AH, kadang aku heran sama prioritas hidupku. Kemana aja sih selama ini aku hidup? Sampai ndak tahu fungsinya Hape mahal. Aku cuma butuh hape buat telepon dan SMS. Belum yang lain. Kan udah kubilang, mereka yang punya hape bagus pastilah udah punya alasan yang tepat. Aku butuh belajar keyaknya! Harus!

Trus, karena sekian alasanku itu. Aku ngrasa ditampar banget pas disemprot “Ah payah deh kamu, ndak punya whatshap!” #MlipirDeketMeja, nangis. Curcol

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk