• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

*Sebaiknya dibaca sesuah makan, dan pembaca yang udah akil baligh. 

Sebagai istri, terkadang ia butuh dimanja, butuh diperhatikan, butuh banyak hal yang katanya sangat sulit didapatnya dari si suami. Bahkan di akhir pekan, yang ia harap-harap bisa berlibur berdua, mungkin menikmati senja yang romantis, atau sekadar candlelight diner, tapi toh ia justru menelponku untuk bertemu. Ia selalu mengadu segalanya, padahal sudah bersuami. Kupikir-pikir lagi, temenku yang ini kok ya terlalu banyak mengeluh dan menuntut. Ups.

Suatu hari, temenku ini mengalami diare selama empat hari. Ia mengadu padaku. Dan jadilah, obrolan kami di kedai salad sore itu membikin nafsu makanku hancur kerna ia terus membicarakan soaal tinja yang encer, tak berbau, dan beda dengan tinja-tinja sakit yang pernah ia alami. 
"Kamu memang sahabatku, Tik. Bahkan suamiku tak tau aku sakit" katanya, menutup cerita panjang soal tinja. Sebelum, kami berpisah untuk pulang. Aku menyarankan supaya ia bercerita pada suaminya. 

Akhir pekan selanjutnya, kami tak membikin janji. Ia yang datang ke rumahku tanpa lebih dulu memberi kabar. 
"Aku sudah cerita sama suamiku, Tik" katanya dengan wajah tak bersalah. Padahal aku baru bangun tidur ketika ia datang. Sumpah, dia pikir hidupku cuma buat mendengarkan ceritanya, yah? Memangnya soal apa? Setiap hari dia mengirim SMS. Bahkan, sewaktu dia pulang kerja dan ketemu orang gila di jalan sekalipun ia adukan kepadaku via SMS. Jadi ini soal apa yang sudah ia bongkar di hadapan si suami? 

"Dua hari yang lalu, saat diareku tak kunjung sembuh. Aku ndak minum obat, ataupun ke dokter. Soalnya kupikir ini bukan sakit. Bahkan anusku tak terasa panas" lanjutnya. Astaga. Aku belum sarapan, dear. Belum pula cuci muka. Ternyata masih soal tinja. 
"Lalu?" Jawabku, demi menghargaai ia bercerita. 
"Aku sudah cerita ke suamiku. Kubilang begini. Pap, akhir-akhir ini pupku lancar banget loh. Bahkan tinjaku kayak air mancur. Tapi aneh, biasanya yang namanya diare kan mules-mules dulu. Ini nggak. Lancar gitu aja" 
"Trus?" Aku mulai mules. 
"Trus, dia masih diem Tik. Kulanjutkan lagi. Dan Pap, kalau aku boleh milih ya, aku lebih seneng pup yang biasa aja deh, atau yang keras sekalian. Rasanya aneh lah pup lancar begini. Jadi nggak ada usaha. Nggak enak" Yes. Aku berdoa. Selesailah soal tinja. Intinya apaa sih ini cerita? 
"Tapi jawaban suamiku sangat mengecewakan, Tik. Dia bilang begini. Bersyukurlah kamu dikasih enak. Kan tak perlu susah-susah mengejan. Katanya dengan mata tajam ke arahku--seakan-akan aku makhluk yang paling tak tau bersyukur" Wajahnya mulai mendung. Dan aku menaruh iba tiba-tiba. Temenku yang malang. Yang mungkin kurang kasih sayang. 

Aku paham betul yang ia maksud. Di antara sekian ceritanya, ia pernah bilang bahwa pup itu, pekerjaan menjijikan tapi nikmat. Ia menikmati setiap usahanya mengejan dengan berpikir di toilet. Ia penulis. Pun suaaminya yang seprofesi. 

"Ketika pup, aku mendapat banyak ide" katanya suatu hari. Padahal, dia juga pernah bercerita bahwa ustadzah yang mengajarnya mengaji melarangnya memungut ide yang datang ketika pup. Saat itu tawaku pecah. Ia bilang ide yang datang di toilet, ialah datangnya dari setan. Aku kembali tertawa. 

Maka menanggapi soal tinja, aku bilang begini pada temenku. Bilanglah pada suamimu itu, apa mimpi basah lebih enak daripada making love? Kan intinya sama, mengeluarkan tanpa usaha? Atau apa menurutnya makan pil anti lapar lebih enak daripada bisa makan nasi, lauk dan buah. Kan begitu. Intinya kenyang tanpa usaha mengunyah. 

Demi mendengar ceritaku, ia malah makin murung. 

"Kamu memang temenku Tik, bahkan pikiran kita sama. Aku pun sempat mengelak dengan bilang begitu. Tapi ia menjawab begini. Enak dan nikmat itu kan beda. Seperti melahirkan, yang konon sakit tapi nikmat. Ia bilang lagi, aku harus mencerna ucapannya tadi. Tentang, mestinya aku bersyukur karena dikasih pup dengan enak tanpa sakit mengejan. Bukan soal nikmat. Ah, Tik. Percuma rasanya ngomong sama suamiku. Masa di rumah pun harus buka KBBI, biar kalimat kami tepat. Aku harus selalu hati-hati mencerna ucapannya" 

Jleb. Temenku ini. Sekarang ia menelpon untuk minta bertemu. Rencananya, kami akan makan di Spesial Sambel. Semoga tak ada obrolan tentang tinja di sore yang mendung di Jogja ini. 


Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Aneh sekali adiknya temenku itu. Kata temenku adiknya sangat nakal. Kenakalan yang paling bikin jengkel ialah soal duit. 



Setiap bulan temenku harus mengisi rekening adiknya sebesar satu juta yang dipakainya untuk biaya hidup menempuh studi. Adiknya bilang, sejuta di Jogja, mau makan apa? Harusnya lebih. Katanya. Aku geleng-geleng demi mendengar cerita temanku itu. Bertahun-tahun hidup di Jogja, sejuta perbulan tentulah sangat berlebih ketika aku masih mahasiswa. 

Temenku bilang, adiknya sangat nakal. "Mungkin ia salah pergaulan" imbuhnya.

Ia selalu bercerita di hadapanku dengan wajah sendu, menahan-nahan tangis di pelupuk matanya. Katanya lagi, ia merasa sangat malu karena tabiat adiknya yang nakal, bengal dan tak tahu diri. Temenku itu, seringkali menyalahkan diri sendiri sebab tak pandai menasihati. Ia telah kehabisan cara untuk membuat adiknya berpikir dewasa. Semuanya gagal. 
"Mungkin ada waktunya ia akan dewasa, kelak" kataku. Tentu saja, aku hanya bisa membesarkan hatinya. Tidak lebih. 

Saban bulan, ia hanya mampu mengansur dua ratus lima puluh ribu perminggu selama empat kali ke rekening adiknya. Gajinya saja tak seberapa besar. Sedang beban yang ditanggung tak bisa dikatakan ringan. Sebagai manusia yang butuh bersosialisasi, tentu ia musti hidup, yang tak hanya memikirkan soal adiknya. 

Satu juta perbulan selalu dipenuhinya tanpa kurang, meski kadang sering terlambat waktu. Bagiku ini wajar, gajinya yang tak seberapa, membuatnya musti pontang panting mencari tambahan bahkan uang berhutang. Tapi adiknya yang satu itu, tak pernah mau tahu. 
"Kok, Kakak bisa beli kado buat kondangan, kenapa harus telat mengirim uang. Aku butuh" kata adiknya. Ini terjadi di hadapanku. 

Kau bisa bayangkan. Demi menghidupi adiknya, apakah ia musti berhenti hidup sebagai makhluk sosial? Kondangan, menengok teman yang sakit, membayar iuran kampung dan semacamnya ini kupikir juga sebuah kepentingan. Ia hidup sebagai manusia sosial, yang butuh biaya untuk menjalani hidupnya. Kalau semua dihentikan, masyarakat di kampungnya tentu saja tidak bisa sebijak itu memaklumi keadaan. 

Mungkin, seperti halnya presiden yang butuh aktif menyambung silaturahim dengan negara lain. Beliau harus bepergian ke luar negeri, tapi melulu disalahkan sebab masyarakat miskin. Rakyat kelaparan, sedang presiden bepergian. Lalu apa jadinya jika presiden tak bepergian, berkutat di dalam negeri sendiri dan memutus peranya dengan negara lain? Ah, aku bilang, itu kan kebutuhan untuk mempertahankan silaturahmi. Lebih, selebih lebihnya soal politik aku memang bodoh. Ini menurut pikirku yang tak paham soal bernegara. 

Kembali ke adiknya temenku itu, kabarnya sekarang ia tengah sibuk dikejar rentenir. Temenku bilang, setiap bulan, tak kurang dari sejuta ia setorkan uang pun masih dituntut uang tambahan. Adiknya itu memang aneh. Setiap minggu menerima 250 ribu, namun jika telat sehari kakaknya mengirim, ia selalu berburu hutang. Misal ia berhutang 200 ribu, kemudian sehari berikutnya ia menerima uang kiriman. Tapi tabiatnya yang buruk selalu menyalahkan temenku itu. 
"Kok cuma 250 ribu? Hutangnya terus bagaimana? Kan salah Kakak yang telat kirim" katanya dengan nada memaki. Bagi temenku, tugasnya ialah memenuhi uang bulanan perminggu 250ribu. Akan telat, akan tepat, atau memberi terlalu cepat. Toh kewajibannya hanya menanggung 250 perminggu. Bagi temenku lagi, adiknya mampu berhutang ke orang lain itu, harusnya menjadikan bebannya ringan karena tak perlu tergesa mencari hutang. Tapi lain bagi adiknya, "Utangku ya tanggung jawabnya Kakak" 

Begitulah temenku. Ia musti menanggung sejuta kewajibannya, beserta hutang-hutang atas kesalahannya yang tak penah ia ingini. Kubilang padanya, adikmu itu kayak rentenir. Setiap kamu telat mengirim, ia hitung labanya dari hutangnya ke orang lain. Jangan-jangan sebenarnya ia menikmati setiap keterlambatanmu. Sebab ia berlaba. Ia mengambil untung dari caranya berhutang, dan kamu tanggung hutangnya. 

Temenku itu, kasihan sebenarnya.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Babymoon di Gallery Prawirotaman Hotel?
  • Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan
  • Tiga Nama Palupi yang Kece Badai dalam Hidupku

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ▼  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ▼  May (2)
      • Cerita Jorok
      • Temen Adikku yang Nakal
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates