Skip to main content

Temen Adikku yang Nakal

Aneh sekali adiknya temenku itu. Kata temenku adiknya sangat nakal. Kenakalan yang paling bikin jengkel ialah soal duit. 



Setiap bulan temenku harus mengisi rekening adiknya sebesar satu juta yang dipakainya untuk biaya hidup menempuh studi. Adiknya bilang, sejuta di Jogja, mau makan apa? Harusnya lebih. Katanya. Aku geleng-geleng demi mendengar cerita temanku itu. Bertahun-tahun hidup di Jogja, sejuta perbulan tentulah sangat berlebih ketika aku masih mahasiswa. 

Temenku bilang, adiknya sangat nakal. "Mungkin ia salah pergaulan" imbuhnya.

Ia selalu bercerita di hadapanku dengan wajah sendu, menahan-nahan tangis di pelupuk matanya. Katanya lagi, ia merasa sangat malu karena tabiat adiknya yang nakal, bengal dan tak tahu diri. Temenku itu, seringkali menyalahkan diri sendiri sebab tak pandai menasihati. Ia telah kehabisan cara untuk membuat adiknya berpikir dewasa. Semuanya gagal. 
"Mungkin ada waktunya ia akan dewasa, kelak" kataku. Tentu saja, aku hanya bisa membesarkan hatinya. Tidak lebih. 

Saban bulan, ia hanya mampu mengansur dua ratus lima puluh ribu perminggu selama empat kali ke rekening adiknya. Gajinya saja tak seberapa besar. Sedang beban yang ditanggung tak bisa dikatakan ringan. Sebagai manusia yang butuh bersosialisasi, tentu ia musti hidup, yang tak hanya memikirkan soal adiknya. 

Satu juta perbulan selalu dipenuhinya tanpa kurang, meski kadang sering terlambat waktu. Bagiku ini wajar, gajinya yang tak seberapa, membuatnya musti pontang panting mencari tambahan bahkan uang berhutang. Tapi adiknya yang satu itu, tak pernah mau tahu. 
"Kok, Kakak bisa beli kado buat kondangan, kenapa harus telat mengirim uang. Aku butuh" kata adiknya. Ini terjadi di hadapanku. 

Kau bisa bayangkan. Demi menghidupi adiknya, apakah ia musti berhenti hidup sebagai makhluk sosial? Kondangan, menengok teman yang sakit, membayar iuran kampung dan semacamnya ini kupikir juga sebuah kepentingan. Ia hidup sebagai manusia sosial, yang butuh biaya untuk menjalani hidupnya. Kalau semua dihentikan, masyarakat di kampungnya tentu saja tidak bisa sebijak itu memaklumi keadaan. 

Mungkin, seperti halnya presiden yang butuh aktif menyambung silaturahim dengan negara lain. Beliau harus bepergian ke luar negeri, tapi melulu disalahkan sebab masyarakat miskin. Rakyat kelaparan, sedang presiden bepergian. Lalu apa jadinya jika presiden tak bepergian, berkutat di dalam negeri sendiri dan memutus peranya dengan negara lain? Ah, aku bilang, itu kan kebutuhan untuk mempertahankan silaturahmi. Lebih, selebih lebihnya soal politik aku memang bodoh. Ini menurut pikirku yang tak paham soal bernegara. 

Kembali ke adiknya temenku itu, kabarnya sekarang ia tengah sibuk dikejar rentenir. Temenku bilang, setiap bulan, tak kurang dari sejuta ia setorkan uang pun masih dituntut uang tambahan. Adiknya itu memang aneh. Setiap minggu menerima 250 ribu, namun jika telat sehari kakaknya mengirim, ia selalu berburu hutang. Misal ia berhutang 200 ribu, kemudian sehari berikutnya ia menerima uang kiriman. Tapi tabiatnya yang buruk selalu menyalahkan temenku itu. 
"Kok cuma 250 ribu? Hutangnya terus bagaimana? Kan salah Kakak yang telat kirim" katanya dengan nada memaki. Bagi temenku, tugasnya ialah memenuhi uang bulanan perminggu 250ribu. Akan telat, akan tepat, atau memberi terlalu cepat. Toh kewajibannya hanya menanggung 250 perminggu. Bagi temenku lagi, adiknya mampu berhutang ke orang lain itu, harusnya menjadikan bebannya ringan karena tak perlu tergesa mencari hutang. Tapi lain bagi adiknya, "Utangku ya tanggung jawabnya Kakak" 

Begitulah temenku. Ia musti menanggung sejuta kewajibannya, beserta hutang-hutang atas kesalahannya yang tak penah ia ingini. Kubilang padanya, adikmu itu kayak rentenir. Setiap kamu telat mengirim, ia hitung labanya dari hutangnya ke orang lain. Jangan-jangan sebenarnya ia menikmati setiap keterlambatanmu. Sebab ia berlaba. Ia mengambil untung dari caranya berhutang, dan kamu tanggung hutangnya. 

Temenku itu, kasihan sebenarnya.

Comments

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk