Barangkali kita belum ikhlas, Mas, kataku kepada suami--di jeda iklan sinetron dan kekesalannya pada internet yang lambat hingga perlu berbatang-batang rokok untuk meredamnya.
"Ah, jangan suguhi aku sinetron dong" katanya mencari-cari pelampiasan. Jelas ia sedang tidak menanggapi ucapanku. Lalu aku bangkit dari tidur, memencet-mencet tv tuner dengan kesal.
"Jangan merokok di ruangan sesempit inilah, aku bisa mati karena sesak," balasku, seakan-akan kalimatku ini juga punya kekuatan seperti perintahnya.
Aku tahu, mengonsumsi sinetron setiap hari berpengaruh besar terhadap pola pikirku selama ini. Dan aku pun paham, jika ia hanya tidak mau aku semakin bodoh dan banyak menghabiskan waktuku di hadapan televisi. Kan, kupikir sama halnya dengan kecemasanku pada batang-batang rokok yang pelan tapi pasti membikin paru-parunya jadi sakit. Namun, meski kami jadi bodoh dan sakit, toh sesuatu yang telah jadi candu akan amat sulit dipisahkan. Kami hanya seringkali lupa diri, saling mengingatkan, mengekang, menyakiti dengan larangan-larangan penuh emosi.
"Maksudmu, kita belum ikhlas untuk punya anak?" Ia menyambung pernyataanku tadi. Masih dengan perasaan kesal, kujelaskan apa yang kudengar dari orangtua, bahwa keragu-raguan kami mungkin dikabulkan oleh Tuhan.
"Memang, bayi suka gitu. Kalau masih takut ini itu, ya nggak jadi-jadi, makanya diiklasin aja. Santai aja," kataku menirukan kalimat Mama.
Mungkin Mama percaya mitos, tapi kupikir ulang--ini justru religius dan ilmiah abis (lebay)--ya, bukankah ketakutan ini dan itu memang memicu stres--salah satu faktor yang kata dokter bisa menghambat perempuan lekas hamil. Dan, dengan ikhlas dan pasrah berarti kita memercayakan Tuhan untuk mengatur waktu yang indah itu datang.
Lalu aku mulai mengingat-ingat kepenatan bulan-bulan di mana aku ingin lekas terlambat bulan. Mengingat rumah yang perlu dibayar, lalu bagaimana jika ditambah harus beli susu hamil, biaya ke dokter dan lain lainnya. Ah, tepatkah kalau aku hamil?
"Bayi itu bawa rezekinya sendiri, jangan terlalu jadi beban. Santai aja." Kembali aku ingat kalimat Mama.
Karena kupikir cerita tadi tidak begitu menarik, maka kuceritakan tentang saudaraku yang hamil tua--bersuami guru honorer--dan sedang sangat bingung menghadapi kelahiran tanpa uang yang cukup. Bersamaan dengan itu, suaminya juga harus membayar biaya wisudanya yang semakin dekat. Tentu saja, bukan ia tidak berusaha mencari uang, ia terus berikhtiar. Bagaimana pun juga ia tidak bisa tenang menghadapi kelahiran anak pertama tanpa sepeser uang. Saat-saat yang begitu sulit itu, si istri justru jatuh sakit dan masuk rumah sakit. Perempuan hamil tua memang rentan terkena infeksi saluran pernapasan. Kepenatan pun makin bertambah.
Namun, tanpa mereka duga, ternyata begitulah Tuhan memberikan jalannya. Sepulang dari rumah sakit, uang dari teman-teman yang menengok si istri cukup untuk membayar biaya pengobatan, biaya wisuda, dan masih sisa untuk pegangan menjelang persalinan.
"Mungkin itu yang namanya bayi bawa rezeki, ya Mas," kataku. Entah kenapa, malam itu aku begitu bersemangat membahas begini macam hal tidak penting. Sementara aku bercerita, suamiku masih sibuk mainan Twitter.
"Dan, bayi dalam kandungan juga nggak baik lho dijanjiin macem-macem, atau disiapkan banyak rupa barang-barang"
"Kenapa?" Suamiku menyela.
"Ya, bukankah soal jodoh, kematian dan kelahiran adalah rahasia Allah. Tidak seharusnya kita mendahului sesuatu yang belum pasti, soal kelahiran misalnya, nah makanya orang Jawa bilang pamali kalau beli peralatan bayi sebelum lahiran. Meskipun sekarang zaman modern, bisa USG dan milih dokter yang oke"
"Ya, nggak ada salahnya mempersiapkan untuk kebaikan, yang nggak disuka sama Allah itu, sesuatu yang berlebihan," katanya. Yah, mungkin ada benarnya.
Kembali kuceritakan tentang perempuan hamil yang menyimpan uangnya tanpa boleh disentuh. Sampai suatu hari saudaranya datang meminta pertolongan.
"Saudaranya itu hanya butuh uang 500 ribu, dan sangat-sangat membutuhkan. Sementara menurut cerita yang kudengar, si perempuan punya uang jutaan di tabungannya" Aku menggebu-gebu bercerita.
"Kebutuhan orang, siapa yang tahu, DIK" Suamiku menyela. Dih menyebalkan, tidak mendukung cerita. Pasti nggak fokus.
"Iya, si perempuan bilang bahwa semua uang yang ada di tabungannya itu ia siapkan hanya untuk biaya persalinan. Mungkin cuma kebetulan atau memang kemakan janjinya sendiri ya, tapi setelah beberapa bulan si perempuan itu bener-bener melahirkan dengan menguras seluruh tabungannya untuk operasi cesar"
"Jangan terlalu terbebani dengan semua cerita begituan ah," komentar suamiku. Ia sangat khawatir kalau aku jadi banyak pikiran. Tapi rasanya, ini kalimat penutup cerita yang tidak menyenangkan.
Seseorang seperti aku bercerita panjang lebar begini, kadang hanya ingin berbagi kegelisahan. Mungkin juga ingin memperkaya teman bicaraku dengan cerita-cerita dari kampung halaman. Kan bagiku, semakin banyak tahu, semakin kita lebih bijak menempatkan posisi kaki berpijak.
Sementara suamiku masih asyik main internet yang lambat, aku membenamkan wajahku ke tubuhnya. Bukan perkara asap rokok yang semakin memenuhi ruangan televisi, tapi gelisahku tahun ini akan selalu bermuara di dadanya. Kan, begitu kalau sudah menikah :)