• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Meskipun katanya negeri ini telah merdeka dari penjajah, tapi kupikir lagi, apanya yang merdeka? Tanah di sini masih dikuasai. 


Ada sebuah rumah kontrakan dengan halaman luas, yang kupikir itu juga rumahku sendiri. Rumahku sendiri (catat).


Aku hidup di antara bunga-bunga, di perumahan yang sepi saban siangnya. Tentulah bunga-bunga sangat bahagia karena mendapat cukup air, cahaya dan ditempatkandi pot-pot bagus. Sudah kupastikan, pastilah mereka mati jika tak ada lelaki yang saban pagi itu merawat mereka. 

Namun, kehidupanku--ingat--tak butuh siapapun membantunya. Ya, hanya kepada Tuhan aku meminta hidup. Maka hujan turun, dan girangnya aku bukan main. Aku memang tak butuh siapapun untuk hidup, tapi kenapa mereka mengusikku? 

Percobaan pembunuhan itu setiap minggu dilakukan. Rasa-rasanya, mereka benci sekali melihatku hidup. 

Ya, tentu saja ini ada hubungannya dengan tanah yang belum merdeka. Persetan Indonesia merdeka, sedang di tanah seluas enam kali tiga meter ini aku tertindas. Itu semua karena manusia-manusia itu menghidup-hidupi rumput jepang. 

Aku jadi begitu sakit hati, sebab yang mencoba membunuhku tidaklah lain sama lokalnya denganku. Sama-sama mengaku bernapas Indonesia. Mereka orang Indonesia dan aku pun rumput Indonesia, "Tidak bisakah kita hidup bersama?" rintihku setiap kali tangan kasarnya mencabuti kami. 

"Dulu kami hidup bebas, meski kaummu membenci Jepang. Dulu kaumku tak pernah membenci Jepang, karena kita pikir tak ada urusannya dengan itu. Tapi sekarang kaulah yang membuatku membenci rumput jepang. Itu semua karena kau yang kupikir saudara seIndonesia"
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sungguh. Cerita ini tidak bertendensi untuk pamer moral. Aku menuliskannya demi mengarsip setiap hal yang menarik bagi diri sendiri. Semacam curhat. 



Ya, akhir-akhir ini, status seorang teman sering muncul di timeline facebookku. Dari sekian tema yang ia tulis (mungkin kebetulan saja tulisan yang kubaca) tentang donor darah. Aku mengira-ira bahwa mungkin sekarang ia tergabung dengan organisasi pecinta donor darah. Aku tidak tahu pasti, yang jelas aktivitas yang ia lakukan sangatlah baik. 

Ia juga penulis yang baik. Banyak hal yang ia bagi di catatan-catatan pendeknya tentang seberapa penting darah bagi seseorang yang membutuhkan. Aku tahu, mungkin banyak program lain yang aku tidak tahu dan dilakukan aktivis-aktivis semacam dia selain soal donor darah. Dan, sebagai penulis (mungkin) ia memilih dengan caranya sendiri. Satu dari sekian cara yang ia lakukan, adalah rajin berkisah di facebook. 

Tulisannya itu sangat menyentuh dan menginspirasi; tentang tolong menolong, pengorbanan, kematian, penyakit dan rasa kehilangan. Aku sendiri suka diam-diam terisak, dan terbawa emosi saat membaca cerita yang ia posting. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Ia mengajak orang lain untuk berbuat baik karena ia sudah mengawalinya dari diri sendiri. Sedangkan aku? Bahkan membayangkan benda tajam seperti jarum menusuk kulitku saja ngeri. 

Hampir dua tahun yang lalu, aku pernah donor darah. Sebuah pengalaman pertama, sekaligus yang terakhir kali. Itu pun karena ada seseorang yang membutuhkan, dan bukan karena kesadaran untuk datang setiap tiga bulan sekali. 

Sampai pada Jumat yang sunyi, aku kembali menemukan status temanku itu di timeline Facebook. Ia mengabarkan bahwa ada pasien yang membutuhkan darah golongan A. Entah kenapa tidak ada keraguan sedikitpun ketika tiba-tiba aku mengomentari statusnya. Aku bilang, sepulang kerja darahku bisa diambil. Bahkan aku melupakan rasa takutku dan bayangan-bayangan buruk tentang darah yang tersumbat dan gagal diambil. 

Beberapa menit kemudian temenku itu menawarkan diri untuk mengantarku ke Sarjito. Ini karena aku mengeluh lupa lokasi dan sedikit gugup. Namun, ternyata temenku yang lain lebih dulu siap mengantarku pergi, sehingga terpaksa kutolak tawarannya. 

"Kalau bingung, ke Garden dulu aja" kira-kira begitu katanya melalui Facebook. Garden adalah kafe di kampusku dulu. Aku pun menyanggupi. 

***
Pukul lima sore, dari kantor aku menuju lokasi temanku yang akan mengantar pergi ke Sarjito. Sebelumnya, sudah kuprint informasi pasien yang membutuhkan donor itu dari status temanku tadi. Karena terburu-buru aku melupakan janjiku untuk lebih dulu menemuinya dan bukan langsung datang ke RS. Sialnya, aku pun kehilangan kontaknya saat dua bulan yang lalu handphoneku hilang. 

Jadilah aku nekat saja masuk ke PMI dengan perasaan takut sekaligus gugup yang mungkin tidak akan berlebihan jika ada seseorang yang lebih tahu dan mendampingiku. Teman yang mengantarku bahkan belum sekalipun menjadi pendonor karena berat badan yang tidak memenuhi syarat. 

Aku berdiri di depan tempat pendaftaran dengan beberapa sukarelawan yang sama-sama bergolongan darah A. Saat petugas bertanya apa yang bisa mereka bantu, aku mengangsurkan kertas yang kuprint tadi. 
"Saya mau donor darah buat satu dari mereka ini" kataku. 
"Oke, nama ini saja ya Mbak" katanya, sambil melingkari satu nama di kertas tersebut. Setelah mengisi formulir aku masuk ke ruangan lain--ada tiga laki-laki yang siap donor dan satu petugas di sana. 

Aku pun duduk di kursi kosong dekat mereka. Satu lelaki sedang dicek golongan darah dan HB-nya oleh petugas. Setelah selesai, lelaki tadi menghampiri temannya di sampingku. 
"Asem, HBku rendah jadi nggak bisa diambil" bisiknya. Aku tidak terlalu memperhatikan obrolan mereka karena namaku buru-buru dipanggil. 

Tanganku benar-benar dingin. Takut dan gugup benar-benar menguasaiku. Saat petugas itu mengeluarkan jarum dan peralatanya, aku hilang konsentrasi. 
"Mbaknya pernah gagal di HB?" tanya petugas. Mungkin ia menangkap kegugupanku sehingga mengajakku ngobrol. Sayangnya aku benarbenar tidak konsentrasi. 
"Hah, apa Mbak"
"Mbaknya pernah gagal di HB"
"Maksudnya gimana, Mbak?" Tiba-tiba yang ada di kepalaku adalah tentang darah yang menggumpal, menyumbat dan gagal diambil seperti yang pernah diceritakan temanku di Facebook. Astgaa, aku semakin ketakutan. Bahkan aku sama sekali tidak mendengar lagi apa apa yang dijelaskaan oleh petugas tadi. 
"Nggak tahu. Lupa Mbak" kataku. Bayangkan saja; aku hanya pernah sekali datang ke PMI untuk donor darah dan langsung lolos cek. Bagaimana mungkin aku lupa? Lagian, pengalaman pertamaku tidak ada tanya-tanya begini. 

Kemudian salah satu dari lelaki yang berteman tadi--yang lolos cek HB--dipanggil untuk memasuki ruangan eksekusi (ruangan pengambilan darah). Tak ada sepuluh menit, ia keluar lagi. Cepat sekali, batinku. Padahal aku bilang ke temenku bahwa pengambilan darah bisa selama 30 menit. (Aku bener-bener lupa berapa menitnya)
"Ngopo e?" tanya temannya tadi. 
"Aku yo gagal e. Tensi darahku tinggi."
"Loh kok iso?"
"Mbuh, aku yo ora ngerti. Mergo kurban apa ya kemarin?"
"Wah. Iyo kuwi, mergo wedhusss hahaha" mereka cekikikan, sementara aku membayangkan jika nanti aku gagal bagaimana? Ya ampun, janganlah aku darah tinggi. Aku nggak mau, batinku. 

Dua lelaki tadi keluar ruangan, meninggalkanku dengan satu lelaki yang bertubuh besar dan tinggi. Lelaki itu dipanggil memasuki ruangan eksekusi. Dan lagi lagi, ia pun keluar dengan durasi waktu yang singkat. Owalah wedhus wedhus, batinku. Tiba-tiba aku geli, mengingat daging kurban yang justru menghalangi mereka untuk menolong orang. 

Aku pun dipanggil. Dadaku dagdigdug tidak keruan. Sebelum jarum menusuk lenganku, aku spontan menjerit. 
"Stooop!!" tanganku tiba-tiba siagaa seperti menghentikan seseorang untuk mendekat "Aku takut Mbak. Berapa menit sih ngambilnya?"
Petugas itu tersenyum "Tergantung Mbak, mungkin 5 sampai 10 menit" Huffft, aku menarik napas lega. "Tadi ke sini sama siapa" tanyaanya lagi. 
"Sama temen"
"Mau temennya disuruh masuk? Biar buat menemani?" 
"Nggak Mbak. Insya Allah aku berani" Dan iya, akhirnya aku berani. Tetes demi tetes mengalir. Jarum jam pun berputar. Meskipun ya, aku tidak pernah berani melihat jarum menusuk lenganku bahkan melihat aliran darah di selang. Alhamdulillah, akhirnya aku lolos melewati ujian keberanian. Kwakakakak. 
"Ngomong ngomong, tadi Mas-Mas-nya kenapa nggak jadi diambil Mbak?"
"Oh, Masnya yang gemuk tadi karena tensinya rendah"
"Berapa?"
"80"
"Hah?" tentu saja kaget. Ternyata orang gemuk juga belum tentu tensinya pasti tinggi. 
"Tapi kataanya dia nggak ngrasain apa-apa"

Aku pun tersenyum. Thanks my God. Aku masih diberi kesehatan sampai detik ini. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pukul empat sore, suamiku mengabari akan terlambat pulang kerja. Aku keberatan, tapi tidak sampai hati terucapkan. 



Aku tak boleh egois dengan memaksanya cepat pulang. Meski rindu membuncah. Ya, selalu ada rindu yang terlalu terburu-buru setiap kali akan berpisah. Besok ia akan keluar kota selama lima hari. Tidak bisakah pulang lebih cepat, supaya ada waktu lebih panjang untuk bersama-sama? 
“Banyak yang harus dipersiapkan untuk besok di sini, Dik. Maaf,” katanya.

Lalu komputer kumatikan, aku keluar kantor tanpa semangat. Jarum speedometer Casimira menunjuk titik merah. Casimira—motorku—mungkin akan kehabisan bensin di jalan. Ah, malas sekali rasanya berhenti di pom. Maka kunaiki saja Casimira. 

Sepanjang jalan perasaanku tidak keruan. Aku ingin menyusul suamiku ke kantornya. Barangkali nanti akan ada makan malam romantis di sana? Siapa tahu, kan? Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkannya. 

Tiga lampu merah sudah kulalui. Sial, gara-gara melamun Casimira mengendalikan tubuhnya ke jalan pulang. 
“Hei! Aku mau ke Alun-alun. Bukan pulang” kataku. 
“Ingatlah pada odol, sikat gigi, dan sabun. Ingat tidak?”Apa-apaan sih, aku mau ketemu suamiku masa harus membawa odol dan kawan-kawannya? Casimira gila.
“Aku tidak gila” sentaknya. Tiba-tiba gas yang kupegang menggetak. Ah, kenapa sih Casimira suka sekali ngajak ribut di jalan? Padahal kan ini berbahaya? Oke sebenarnya ada apa? Tentang odol, sikat gigi, sabun, suamiku, O-M-A-I-G-O-T iyaaaaa Casimira benar. Aku harus membeli sekawanan itu untuk keberangkatan suamiku ke luar kota.

Aku menepuk-nepuk kepala Casimira. 
***

Lima kilometer sebelum sampai ke rumahku, kami berbelok ke Superindo. Kalau tidak ada makan malam yang romantis di luar, baiklah akan kubuatkan makanan kesukaan suamiku. Setidaknya harus ada menu spesial untuk makan malam dan sarapan besok pagi (Spesial di sini adalah kalau bukan telur, tempe atau tahu ). Bukankah ia akan bepergian jauh? Kata orang, masakan dan wangi tubuhku yang akan membuat seorang suami tidak lupa untuk kembali pulang. Jadi, aku harus mandi juga ya? 

“Ya-iyalah.” Ada suara sinis dari arah parkiran. Pasti Casimira yang menjawab suara hatiku. Dasar mesin yang terlalu responsif.

Aku mengambil keranjang di dekat pintu masuk Superindo. Sebenarnya terlalu besar keranjang yang kuambil jika mengingat belanjaan yang tidak akan terlalu banyak. 

Odol, sikat gigi, sabun cair mini sudah bergabung dengan cumi dan daging ayam. Aku menuju kasir dengan bahagia. Belanja maghrib-maghrib memang ada untungnya karena tidak perlu antre untuk membayar barang yang hanya segelintir ini. Setelah menyebut nominal yang harus kubayar, si Mbak Kasir menyobek kertas struk dari mesinnya. 
“Terima kasih” katanya sambil menyerahkan struk dan uang kembalian. 

Lalu belanjaanku?

Sedetik, dua detik, tiga detik. Lho kok malah mbaknya sibuk dengan struk ATM sih? Aku dicuekin begini? Oke, mungkin memang harus kuambil sendiri aja kali ya belanjaannya? Lagian udah di depan mataku juga. 
“Ya iyalah” aku merinding mendengar suara Casimira tiba-tiba bergema lagi di telingaku. Ketika menuju pintu keluar, aku berbalik arah karena ingat ada yang tertinggal. Suamiku suka sekali Pocari Sweat jika dalam perjalanan. Tadi aku lupa membelinya. Jadilah sekarang aku mondar mandir menelusuri rak-rak dan lemari dingin.

Tidak ketemu. 

Tidak ada atau memang tidak ketemu entahlah, yang jelas aku keluar Superindo tanpa membawa barang yang kumaksud. Memangnya ada apa sih produk Pocari Sweat dengan Superindo? Mungkinkah ada politik dagang? Yaelah, sok nebak aja nih. Tapi iya, kenapa displaynya buruk sehingga konsumen kesulitan begini untuk membeli?

Aku berjalan ke parkiran dan menemui Casimira dengan kondisi mengenaskan. Itu menurutku karena kedua kaca spionnya tidak beraturan. 

Kami yang kelelahan akhirnya bersorak senang saat pulang. Di jalan, sering sekali kami menepi tiba-tiba. Mataku ini memang cukup menyusahkan jika malam-malam mengendarai Casimira. Orang lewat bisa tidak terlihat dan membuat Casimira mendadak berhenti. Belum lagi, jalanan yang sepi dan gelap harus kami tempuh di bulak sawah. Rumahku memang jauh dari jalan raya. Kalau tidak dipaksa berani, malas sekali rasanya melewati jalan bulak sawah yang terkenal horor itu. Seorang pria pernah mati terbunuh di sana. Penyebabnya adalah cinta segitiga. Lalu orang-orang kampung mengabarkan bahwa ia menjelma jadi hantu dan suka ikut naik motor ke pengendara yang melintas sendirian.

Membayangkan itu, bulu kudukku meremang. Seorang anak kecil mengagetkanku di lampu merah. Pakaiannya dekil dan kulitnya hitam legam. Ia meletakkan amplop di kepala Casimira. Di sana tertulis pesan bahwa ia meminta sumbangan untuk biaya sekolah. 

Kasihan sekali mereka. Kenapa di jam belajar begini mereka tidak di rumah? Apakah mereka nakal? Ataukah terpaksa harus mencari uang? 

Aku teringat spanduk-spanduk yang di keluarkan pemerintah. 
“Membantu mereka tidak sama dengan memberi uang” begitu katanya. Tapi kenapa tidak ada penertiban di lampu merah ini? Mungkinkah solusi yang ditawarkan pemerintah tidak berhasil? Dan mereka memilih untuk tetap turun ke jalanan.

Anak kecil tadi mengambil amplop yang belum sempat kuisi uang. Aku terlalu banyak menimbang-nimbang. Lampu merah telah menyala. 
“Memangnya, kaupikir uang seribumu cukup untuk membantu mereka sekolah” Casimira tiba-tiba bersuara. 
“Seribu dariku, kali sekian orang perlampu merah kan banyak”
“Iya banyak. Kalau semua orang mengingat-ingat spanduk pemerintah sepertimu, memangnya kira-kira berapa yang akan mereka dapatkan?” Suara Casimira meninggi dan membuat jalannya tersendat-sendat.
“Udahlah, Kas. Sekarang aku memang tidak bisa melakukan yang lebih dari sekadar memberi uang. Tidak bisa membantunya sekolah. Tapi yang kulakukan adalah memberi yang mereka inginkan. Barangkali mereka butuhkan. Lagian kasihan loh. Malam-malam begini masih di jalanan, emangnya di mana orangtua mereka? Pastilah mereka tak seberuntung kita yang diperhatikan dan bisa main game atau nonton tivi ketika malas belajar.” 

Casimira diam. Obrolan tidak jelas ini membuat kami kaget karena sekarang telah sampai di halaman rumah tanpa merasa takut di bulak sawah. 
***

Kayu sepanjang satu setengah meter bersandar di pagar rumahku. Suamiku beli kayu begini buat apa memangnya? Kok nggak cerita? 
“Kayu apa? Mas nggak tahu” jawab suamiku saat kukonfirmasi. “Udah biarin aja, paling ada orang yang naruh” lanjutnya. 

Dipikir-pikir aneh. Aku dan suamiku memang jarang di rumah, tapi apakah sopan membuka pagar rumah orang tanpa permisi? Akibatnya kami jadi saling tuduh ketika ada bilah bambu tergeletak di bawah kran halaman depan garasi. Kami diamkan bambu itu berhari-hari lalu ajaibnya bertambah jadi dua potong. Plis, jangan berpikir ini mistis. Karena nggak mungkin kan, hantu bisa menaruh piring di bawah kran air. Oke, mungkin ada hantu begitu. Tapi aku nggak mau dengar cerita tentang hantu di rumahku. Dan sekarang ada kayu sepanjang satu setengah meter, mana hantunya? Mana kamu yang mau cerita hantu? Biar kupukul? Welah. Anarkis. 

Akhirnya aku bisa merebahkan tubuh di atas kasur. Casimira juga sudah manis di garasi bersiap tidur. Aku mengganti pakaian panjangku dengan baju tidur. Belanjaan tadi kubuka, berniat untuk memisahkan cumi dengan odol dan kawanannya? 



Tapi apaaaan???


Kemana perginya odol dan kawan-kawannnya? Ya ampun, apakah cumi mati juga butuh odol sehingga dia memakannnya sampai habis? Oke fokus. Ini Cuma imajinasi yang berlebihan. 

Aku menarik napas panjang. Meneliti keresek belanjaan yang kupikir mungkin sobek. Tapi ini tidak masuk akal. Seumur-umur, kejadian kresek sobek adalah kalau belanja di warung sayur. Karena mereka biasanya memberikan kresek bekas, bukan baru seperti di Superindo. Kalau tidak sobek lalu kemana perginya mereka?

Tiba-tiba aku mengingat Mbak Kasir yang tadi berlagak sibuk dengan struk ATM. Tidak mungkinlah lauk pauk begini dicampur barang kimia. Pasti dipisah dan ini sih tertinggal. 


Astaga, berarti aku harus balik mengambilnya dengan seluruh kelelahan ini. Melewati bulak sawah yang horor. Membangunkan Casimira yang pasti bakal lebih cerewet di sepanjang jalan? 


Dadaku jadi panas. Aku ingin teriak supaya Casimira langsung bangun. Tapi ternyata Casimira tidak berkata sedikitpun saat aku bilang akan mengambil belanjaan yang tertinggal. 

Aku tahu dia marah. 

Mesin kesayanganku ini ternyata bertukar peran dari Kasim jadi Mira. Si Mira ini memang perempuan yang suka ngambekan. Baiklah, kuterima saja. Baik Casimira. 

Napasku terengah-engah karena merasakan dada yang terbakar. Di jalan Casimira melaju pelan. Pelan sekali. Memang menjengkelkan ketika hanya untuk barang yang tak lebih dari dua puluh ribu ini kami harus menebusnya dengan begini. Tapi sayangnya duapuluh ribu itu besar untuk dompetku yang tipis. 

Kalau saja barang yang tertinggal itu nilai rupiahnya banyak, pastilah kami akan merasa wajib ain untuk mengambilnya. Tidak pakai menggerutu. Melainkan dengan kecemasan yang besar kalau-kalau barang itu hilang. Atau ada yang mengakui sebagai miliknya sebelum kami datang. 



Dan sekarang kami menempuh bulak sawah demi barang yang harganya tidak membuat kami cemas. Melainkan jengkel. Mungkinkah karena harganya murah jadi Mbak Kasir itu sengaja membuatku meningggalkan odol dan kawan-kawannya.

Astaga benarkah seburuk itu? Ia ingin menguntit belanjaaan murah karena itu tidak membuat seseorang ingin menuntutnya ke penjara. Memang berapa gaji kasir sehingga ia perlu melakukan hal tidak terpuji begitu? Semoga bukan karena kemiskinan dan orangtuanya yang sakit. Ya ampun, aku mikirin apa sih? Pasti otakku ini sudah konslet jadi berpikir seburuk ini. Pekerjaan kasir itu mulia, kenapa aku bisa begini, Tuhan?

Emosiku benar-benar menguasai. Sepanjang jalan, aku sudah merancang ‘dampratan’ yang sadis karena telah membuatku balik sejauh ini. Tapi siapa yang salah? Aku dicuekin sebelum selesai dilayani. Aku mengambil belanjaanku sendiri tanpa permisi. Kenapa Mbak Kasir itu memperlakukanku seperti tadi? Mengabaikanku. Membuatku meningggalkan satu belanjaan.

Arggghhhh. Casimira melambat. Astagaa dia benar-benar marah dan aku tidak berani berlagak cerewet.


Aku kembali meninggalkan dia di parkiran. 


Dadaku masih terasa terbakar ketika melewati pintu masuk Superindo. Antrean panjang membuatku ciut untuk terlihat aneh oleh banyak orang. 

Dengan sopan, akhirnya aku berkata “Mbak apa ada belanjaan yang tertinggal ya tadi” kataku. Mbak Kasir tadi melihatku dengan curiga “Oke, tadi belanjaan saya, sabun dll tertinggal” lanjutku meyakinkan. 
“Oiya, Mbak. Maaf ya. Tadi saya susul di parkiran tapi Mbaknya udah pergi” jawabnya, entah kenapa dia memasang tampang ketakutan. Apa aura marahku bocor? “Mbaknya tadi yang boncengan yah?” lanjutnya. 
“Nggak. Aku sendirian kok” Maksudku, aku memang sendirian karena mesin bernama Casimira tidak bisa disebut manusia. Lagian penting yah, tanya-tanya aku pergi sama siapa?
“Ya iyalah. Itu buat meyakinkanmu bahwa ia serius mengejar sampai parkiran” Ternyata sekarang aku sudah di hadapan Casimira yang tiba-tiba jadi sinis begini. 

Aku tidak membahas lagi soal Mbak Kasir tadi dengan Casimira. Dia tetap berjalan pelan. Anak kecil di lampu merah sekarang membawa kardus keliling setelah seorang pria berhenti bernyanyi. 

Uang seribuan kuambil dari dompet. Anak kecil tadi menyodorkan kardus ke orang-orang, tapi tidak bermaksud menghampiriku. Ia melihatku sekilas dengan bahasa tubuh “Ah, orang kayak kamu mana mau ngasih sih”. Astaga. Perlu ya milih-milih? Lalu ia berjalan mendekati mobil samping Casimira. Mendadak Casimira jadi tersendat-sendat gasnya. Pasti deh ia sedang menahan tertawa karena aku diperlakukan seperti ini. Namun, anak kecil tadi malah jadi melihat kami. Ya, ia melihat uang yang sedang kupegang lalu menghampiri kami. 
“Hahaha amal kok jadi nggak ikhlas” kata Casimira akhirnya. 

Aku diam menahan jengkel. Casimira masih berjalan pelan dan membuatku kehilangaan kesabaran. 

Sampai di bulak sawah, seharusnya tidak apa-apa kalau mesin satu ini berjaalan pelan. Tidak apa-apa pelan asal tidak mati di tengah jalan. Sialan, bensin Casimira habisss. Ia diam. Ia tidak berjalan. 

Ini siapa yang salah? Kenapa aku jadi melulu sial begini. Aku harus mencari kambing hitam. Mencari siapa yang salah. Aku nggak mau mengakui kalau aku salah. Nggak mau! [] 08 Oktober 2013
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
  • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
  • Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ▼  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ▼  October (3)
      • Merdeka seperti apa, katamu?
      • Beranikah Anda Donor Darah?
      • Suatu hari yang 'ehem'
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates