• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

sumber gambar
"Kalau pekerjaanmu lebih rapi, pasti sempurna hasilnya"
"Ah, biar saja. Sing penting kan manfaatnya!"
Huffft 

Orang memang macem-macem ya sifatnya. Termasuk penganut prinsip nilai guna lebih tinggi dari nilai keindahan. Tapi kemudian aku berpikir lagi, bahwa memang tidak semua orang menyukai keindahan yang sama. Itu juga bukan sebuah kesalahan. Hanya saja, jika terjebak pada percakapan di atas rasanya dadaku berat sekali. Sebab bagiku, sederhananya seperti ini. Bahwa nilai guna dan keindahan ya sama pentingnya. Misal, ketika aku beli sofa ruang tamu. Aku tidak hanya berpikir bahwa sofa berfungsi untuk duduk pantat teman main, tapi juga bagaimana sofa tersebut memberi keindahan untuk ruang tamuku. Kenapa orang orang perlu repot-repot menyembunyikan jemurannya di loteng daripada halaman rumah? Bukankah lebih praktis memamerkan celana dalam, kutang dan sempak di depan dari pada repot-repot naik turun tangga demi sederet jemuran?

Jawabannya adalah karena keindahan juga penting selain manfaat paraktis. Seperti halnya arsitek. Mereka membangun rumah tentu bukan hanya untuk berteduh penghuninya. Kalau manfaatnya untuk berteduh saja, orang bisa berteduh di ATM, mal atau emperan toko. Tapi arsitek juga mempertimbangkan bagaimana sebuah rumah dapat menjadi kebanggaan bagi pemiliknya karena memiliki keindahan. Ya nggak sih?

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Amarah itu seperti api. Jika disembunyikan dalam diri, ia akan bergejolak: kadang berkobar jadi api dan lain hari jadi bara yang mudah sekali membuat dada jadi panas. Harusnya memang tidak seperti ini. Harusnya bisa kupadamkan. Sebab sejatinya, merumahkan amarah dalam badan tak lebih dari upaya bunuh diri. 

Seperti belakangan ini, sakit kepalaku semakin rutin terasa. Bonusnya adalah bagian leher belakang ke atas jadi ngilu yang membuatku nyaman hanya jika menyandarkannya. Memang suka aneh ya badan ini. Kalau aku sedang jengkel setengah mati, biasanya perutku yang kram. Mungkinkah kemarahanku yang dihimpun seperti bukit kini telah mencapai puncak? Sudah mencapai puncak kepalaku? Ah, seharusnya setiap orang memang punya keberanian untuk melepaskan kemarahannya. Supaya setelah itu, ia dapat melangkah lebih baik dengan hati yang baru. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Dadaku terasa dibebani berkilo-kilo batu. Rasanya sesak. Aku kesulitan bernapas. Sesekali, aku pernah merasakan hidungku seperti tersumbat peluit. Lalu tanganku dingin sekali. Aku takut. Sebab itulah detak jantungku memburu-buru. Mungkinkah penyakit asma bisa datang tiba-tiba? Apakah aku akan mati muda?

Aku tak bisa menghindar dari peranku sebagai perokok pasif. Suamiku perokok berat. Ia merokok di manapun ia mau. Di rumahku sendiri, aku sering merasa kekurangan oksigen. Ada 3 asbak yang harus kubersihkan tiap pagi. Satu lagi sudah kupecahkan. Meski begitu, ia masih selalu merasa kurang. Aku merasa di ruang manapun ada abu rokok yang bisa membuatku sesak napas. Tapi di tempat yang sama sekalipun kuletakkan asbaknya, ia selalu mengomel ketika mencarinya. Abu dan omelannya sama-sama semakin membuatku sesak napas.

Aku sengaja tak mau lagi memintanya berhenti. Tak bisa. Aku tak bisa memintanya apalagi melarangnya. Mungkinkah ini jadi berat karena posisiku sebagai seorang istri? Bagaimana kalau ibunya yang kuminta melarang? Pasti ia mau berhenti. Tapi itupun ternyata tak mudah. Ini sama beratnya karena aku seorang anak. Tak bisa. Aku tak bisa memberi beban perempuan  yang telah kucintai seperti ibu sendiri. Bagaimana akan nelangsanya seorang ibu mengkhawatirkan anaknya dalam setiap detik, sebab setiap detik itulah ia akan tahu: aku dan anaknya sedang menuju kematian yang konyol.

Suamiku mulai batuk-batuk rutin. Aku membelikannya obat batuk ke apotek dan mampir sebentar ke warung untuk membeli rokok. Aku tak perlu repot-repot memasak tanpa minyak, sebab segala macam gorengan lebih nikmat ketika dinikmati seperti menelan racun. Ini bukan lelucon. Ini hal biasa di rumah kami. Aku tak perlu mengkhawatirkannya berlebihan, dan  seharusnya aku pun tidak harus takut berlebihan terhadap kesehatanku sendiri. Sebab sekalipun aku mati karena ini, aku tahu kalau ia pun tidak akan bertahan lama dengan rokoknya. Jika nanti ia mati lebih dulu karena ini, aku tidak takut sendirian sebab jalan menuju kematian sedang kami tempuh bersama-sama. Setidaknya, aku tak mau kesepian tanpa dia.

Apakah aku boleh bermimpi kalau suamiku akan bisa berhenti?
Bolehkah aku bermimpi jika masih ada masa depan yang indah tanpa sakit-sakit yang menakutkan?
Ah, tiba-tiba saja aku malah mengingat Mbak Doria yang kini telah pergi karena asmanya.

Sumber gambar

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kuhindari
Kau merapat
Kucintai
Kau berpaling
Kita menyatu
Masalah-masalah menyerbu
Kubertahan kau kuberati
Tapi kaupilih pergi
Kuputuskan untuk tinggal
Kau usir aku
Kutinggalkan kau
Baru kau raih tanganku untuk kembali
Kita kembali kumpulkan pecahan-pecahan kaca
Pecahan yang sesekali membuat jariku berdarah
Tapi beginilah kita: mencintamu adalah takdirku










Sumber gambar




Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pahitnya bunga grandel itu nggak akan sepahit hidup yang melulu diterjang masalah. Sungguh deh. Zaman kecil, ketika makan bunga grandel biasanya mencerminkan dompet lagi tipis. Buat beli tempe tahu nggak mampu maka yang ada di pekarangan bisa dilahap. Emang pahit, tapi lebih pahit lagi karena terkadang kami menikmatinya dengan perasaan sedih (karena merasa hidup kok begini susah ya). 

Setelah dewasa dan jauh merantau, ternyata bunga grandel tak lagi mengingatkan aku pada kesedihan-kesedihan. Tapi justru kerinduan masa kecil yang bebas dan kampung halamanlah yang menjadi bumbu paling nikmat ketika kembali memakannya. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Anak kecil itu ya ...
Laper dikit rewel,
Nggak bisa tidur rewel,
Badan meriyang rewel,
Minta sesuatu nggak dituruti rewel,
Sesuatu nggak pas sama keinginan rewel,

Itu anak kecil loh.
Itupun nggak semua anak kecil kayak gitu.
Nah kalau ada orang dewasa sifatnya kayak di atas, namanya childish najis.
Dan gegara sosmed banyak kan kita jumpai kayak gitu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sekarang zamannya setiap hal diarsip dalam foto.
Mau makan enak difoto dulu. Habis dandan difoto dulu. Habis masak difoto dulu. Bahkan kalau ngliat bulu mata jatuh di pipi juga rasanya pengin difoto, lalu diunggah ke sosial media dengan capture "Duh ada yang kangen gue nih. Siapa yah?". Pokoknya mau muda atau tua nggak kenal usia deh buat narsis dengan kamera dan sosial media. Termasuk aku tentunya hihihi. 

Yap. Namanya manusia, salah satu sifat dasarnya adalah menginginkan apa yang orang lain lakukan. Begitulah kejadiannya. Habis dandan, aku suka minta suami buat mengambil gambar cantikku. Logis dong, namanya tinggal berdua. Siapa lagi yang mau kumintai tolong. Masa tuyul hehehe. 

Entah kenapa, kalau difotoin suamiku kok hasilnya sering nggak memuaskan. Kadang kerudungku miring dia diem aja. Kadang eanglenya jelek, dia cuek. Kadang pipiku kelihatan chubby banget dia bilang biasa aja. Bahkan kadang badanku terlihat sangat gemuk. Aku jadi sebel. Kupikir dia bisa mengambil eagle yang bagus, sehingga obyek yang emang dasarnya gendut dan pipinya chuby ini tetep kelihatan seksi dan cantik. Tapi kenapa hasilnya seperti ini? Dia akan jawab, "Lah pancen gendut, kok aku sing disalahkan". Hahaha. Ini serius. Dia nggak mau hasil bidikannya diprotes. Duh, kalau fotografer cuma bisa nangkep objek yang biasa jadi biasa aja, ngapain ada fotografer profesional xixixixi. (Tapi ini nggak kusampaikan ke suami). Aku mulai menanamkan opini dari "Ah suamiku nggak pinter moto" sampai ke opini yang lebih bijak lagi "Ah, barangkali selera kami memang beda". Deal. Toh, nggak semua hasilnya buruk. Kadang juga ada yang bagus dan cantik. 

Nah. Setelah aku tetep minta difoto meski hasilnya tak terduga, ya mau gimana lagi. 
Trus sekarang aku jadi berpikir kalau mungkin memang jangan deh berharap hasil yang wow dari seseorang yang sangat mencintai kita. Biasanya jadi nggak objektif. Soalnya tahu nggak kenapa? 

Emmm mungkin nih ya. Bagi suamiku, mau aku tampak gendut, chuby, kerudung miring atau apalah yang kupikir jelek, bagi dia tuh tetep sama: aku seksi dan cantik. Jadi ya ketika melihat badanku yang mulai melebar dalam foto pun, dia tetep anggap udah pas. Tak perlu cari eagle yang lain. Karena udah pas cantiknya. 
Emmm iya nggak hayo? Iya kan. (Menghibur diri). 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Suatu hari aku nonton film di bioskop. Film yang dari sinopsis, dan thrilernya sih bagus. Maka hari itu aku pun duduk manis di studio yang menayangkan film action X yang katanya keren. Padahal untuk biaya tiket yang bisa buat beli beras 3kg, kadang aku perlu pikir-pikir lagi. Tapi entah kenapa, saat itu tanpa pikir panjang aku langsung membelinya. Pokoknya kata orang sih bagus. 


Sambil menikmati cokelat panas, jam pertama berlalu, lalu masuk jam kedua. Ah kusadari ternyata aku lebih banyak menutup mata daripada menikmati alur ceritanya. Ih ngeri banget. Aku sungguh tidak puas, karena meleset dari ekspektasiku. Film itu bagiku tidak bagus. Ini pendapatku yang tentunya sangat subyektif. Sebab barangkali pendapat orang lain cerita ini bagus. Atau bisa jadi sutradaranya memang sengaja membuat karya yang tidak cocok untuk kutonton. Ya, mungkin saja. Bukankah suka-suka dia? Orang bebas dong berkarya. Itulah kenapa dalam setiap penciptaan selalu ada dua opini; jelek dan bagus. Seperti pro dan kontra.

Tapi sialnya, ketidakpuasanku membuat kesadaran itu lenyap begitu saja. Padahal aku sering tidak setuju dengan orang yang mengatakan bahwa novel sastra itu jelek karena bikin mumet. Novel pop itu jelek karena kayak FTV. Novelnya si anu cuma bagus sampulnya doang. Ih, novel si ini yeyek banget. Ah macem-macemlah namanya nggak suka. Padahal ini hanya soal selera.Yap soal selera.

Dan sialnya rasa kecewaku saat itu menutupi mata bahwa setiap orang punya selera yang berbeda. Ketidakpuasanku terhadap film X membuatku jengkel setengah mati. Mungkin kejengkelanku bukan karena isi cerita yang tidak kusukai. Tapi soal lain. Aku terbayang uang tiket yang sudah telanjur melayang. Aku terbayang beras yang seharusnya terbeli untuk satu minggu. Kalau ini film gratis, mungkin aku tak perlu semarah ini. Ya coba deh bayangkan, aku harus membayar mahal untuk film yang tidak kusukai. Bagaimana tidak jengkel? Rasanya ingin sekali kudatangi loket karcis tersebut. Kuminta kembali uangku. Kumaki-maki pembuat thriler film itu yang (bagiku) dusta. Tapi apakah bijak? Ah, manusia yang marah mana bisa menilai diri sendiri bijak atau tidak. Pun demikian dengan aku waktu itu.

Lalu sekarang aku terkenang pengalaman konyol ini sambil menikmati teh hanget. Aku menutup sebuah buku yang bagiku keren banget, tapi belum tentu keren bagi orang lain. Ya. Aku harus sadar, bahwa dalam setiap hal selalu ada sisi baik dan buruknya. Pun tulisan ini. Pasti ada yang suka, pun ada yang memaki dalam hati.

Salam damai.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Malam yang begini sunyi.
Kita saling diam. 
Saling menyimpan dada yang sakit dengan pura-pura tersenyum.
Tapi ternyata matamu itu tidak pernah bohong. 
Ia menyimpan gelisah yang sengaja tidak ingin kau bagi denganku. 
Ya aku tahu sebabnya apa. 
Aku tahu, kau paham kegelisahanku di mana hatiku sedang pulang ke tanah kelahiran. 
Kau tahu memikirkan rumah menjadi beban bagiku, makanya kau diam tak ingin membebaniku dengan masalahmu. 
Dan kita seperti dua manusia bodoh. 
Sebab, nyatanya aku tahu permasalahan yang membebanimu. 
Sesuatu yang tidak ingin kau bagi, tapi kuketahui tanpa kau tahu.
Kita ini sedang bagaimana sebenarnya?

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Seorang suami diperbolehkan marah ketika di meja makan tak tersedia nasi dan lauknya.


Sedangkan bagi istri, ia tak boleh sama sekali marah ketika di dompet suaminya tak ada sepeserpun uang untuk belanja makanan. Sebab jika istri marah, ia akan dituduh perempuan tak pandai bersyukur.

Suami diperbolehkan komentar baju yang dicuci istrinya tak wangi, lantai yang disapu tak bersih, dan makanan yang dimasak tak enak. Suami boleh-boleh saja komentar demikian. Namun, jika istri komentar uang belanja terlalu sedikit, ia akan diberi label perempuan matre.

Suami diperbolehkan mengatur istrinya. Apapun keinginannya. Namun, janganlah berani-beraninya seorang istri memerintah sedikitipun kepada lelaki patriarki. Sebab yang begini, ia akan diberi julukan istri durhaka.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bagi saya, perkara kehilangan seperti halnya taman bunga di dalam dada yang dicabuti entah oleh siapa. Rasanya sakit sekali. Mungkin dengan mencatatnya begini, kesakitan itu akan menguap sehingga bekas-bekasnya akan hilang sama sekali. Begitulah yang saya harapkan ketika berkali-kali kehilangan tulisan. 


Bagi saya, kehilangan tulisan bukanlah hal yang remeh temeh. Apalagi jika tulisan itu mencatat peristiwa penting dalam perjalanan hidup saya. Maka kehilangan itu sangat membekas, meski narasi tulisan-tulisan tersebut sama sekali tidak bisa saya ingat kembali. Tulisan yang hilang tanpa salinan hanya akan menjadi puzzle yang kepingannya tidak utuh.

Di tahun 2008, saya tidak punya komputer pribadi. Buku tulis pun sudah mulai saya tinggalkan ketika merasakan enaknya menulis di papan keyboard. Untuk tetap menulis itu, saya pergi ke rental komputer, warnet kampus atau bergantian menggunakan komputernya pacar. Karena tempat yang berganti-ganti begitu, maka semua file saya simpan dalam flashdish. 

Pada suatu kesempatan, pacar saya meminjam flasdish. Ia membawanya ke kantor. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana hati saya seperti ditumpahi balok es berkilo-kilo saat mendengar kabar buruk itu. Dingin sekali. Ia mengabari bahwa flasdish saya kena virus, lalu diformat dan semuanya hilang. Apakah kau pernah merasakan kesakitan itu? Saya ingin sekali menjerit tapi kemudian yang keluar hanyalah jawaban "Ya udah ndak papa Mas". Saya tidak bisa menyalahkan siapapun kerna semuanya sudah telanjur. Tapi saya merasakan sakit dan putus asa. 

Padahal saya sudah berusaha menghibur diri kalau beberapa file yang pernah dikirim ke media masih tersimpan di email. Tapi entah bagaimana saya benar-benar berhenti menulis. Tiga bulan lamanya satu puisi pun tidak lahir. Sejak saat itu saya tidak percaya lagi dengan flashdish. 

Setelah kembali menulis, tamparan kedua yang saya ingat adalah sent item email tiba-tiba lenyap begitu saja. Padahal di sanalah saya menyimpan tulisan-tulisan saya. Email saya dibajak entah oleh siapa. Pada kali itu, rasa sakit tidak begitu dalam. Kata orang, cukup pengalaman pertama yang berkesan lebihnya hati kita akan beradaptasi dengan kehilangan. Mungkin kalimat itu ada benarnya. 

Kehilangan selanjutnya adalah ketika finishing cerpen untuk lomba. Hari itu tanggal terakhir pengiriman naskah. Saya sedikit kelelahan sehingga tidak fokus dan cerpen tersebut kereplace dengan file mentah. Saya kelimpungan bertanya ke sana ke sini untuk membenahi masalah tersebut. Tapi teman-teman saya tidak mampu memberi solusi, katanya "Kalau kedelet malah masih bisa dicari Tik". Saya pun akhirnya menulis ulang dengan hasil yang tidak memuaskan. 

Setelah punya komputer sendiri, kehilangan tulisan kembali saya alami ketika ada maling masuk kamar. Tidak hanya tulisan yang hilang, tapi CPU yang nilai jualnya tak lebih dari 500ribu itu pun raib. Saya terpukul bukan lantaran file cerpen dan puisi saya hilang lagi, tapi di sana saya menyimpan masa depan saya; skripshit. Sejak tak percaya pada flashdish, semua saya kira aman di komputer. Tapi ternyata kali itu pun saya kembali kecolongan. 

Beberapa bulan kemudian pacar saya membelikan CPU, tak berapa lama hardhisnya terbakar. Tulisan hilang lagi. Lalu saya pun mengantisipasi kehilangan dengan kembali menyimpan file tulisan dalam email khusus, flashdish, dan saya print meski tulisan itu masih mentah. 

Saking seringnya mengalami kehilangan, suatu hari flashdish saya dipinjam oleh seorang teman dan hilang. Entah kenapa saya begitu marah dan memaksa dia untuk mencarinya sampai ketemu. Hal yang mustahil memang, tapi saya tidak mau tahu. Saya seperti aji mumpung melampiaskan semuanya ke dia. Sampai-sampai teman dekat saya bilang "Udah sampai tak dukunin kok Mbak. Kalau memang tidak ketemu jangan-jangan Mbak nggak pernah sodakoh ya" Anjrittt. Dituduh seperti itu di saat kena musibah rasanya makin meluap-luaplah emosi saya. Maka saya pun berhenti marah ketika dia mengganti flashdish dua gb menjadi 8 gb. Namanya tidak rezeki, flashdish itu kemudian lenyap oleh adik sendiri. 

Kehilangan selanjutnya, sering saya alami ketika menulis untuk cari duit. Ketika deadline mendekat, biasanya saya akan berada di depan laptop dalam waktu yang sangat lama. Untuk mempermudah pekerjaan, kalau saya butuh istirahat saya hanya menutup laptop tanpa menskip atau mengclose semua browser dan word. Hasilnya? Ketika baterai habis, file kerjaan berubah jadi sandi alien. Kejadian ini berkali kali saya alami karena awalnya nggak tahu penyebab berubahnya file word jadi sandi alien. 

Dalam beberapa kejadian itu, ada yang bisa diselamatkan oleh suami dengan aplikasi recovery (meski hasilnya berantakan dan banyak kalimat yang kepotong), ada juga yang harus diprintscrean lalu diketik, tapi juga pernah ngalami yang sama sekali harus ditulis ulang tanpa ampun. 

Semua kehilangan itu bikin nyesek, sekecil apapun kehilangan itu. Apalagi kehilangan tulisan yang kita lahirkan dari jerih payah menghimpun ide ide. Soalnya, saya pribadi ketika sudah dituliskan, ide ide jadi bersih dari memori otak. Jadi, agak sulit ya bisa menulis ulang ide-ide yang udah pernah dituliskan. Ujungnya malah tidak puas sendiri. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Tetangga depan rumah saya jarang sekali ada. Ia biasanya pulang ketika akhir minggu atau waktu-waktu yang tidak pernah kami duga. Jadi wajar kalau lampu di teras rumahnya menyala 24 jam. Itu sangat menguntungkan bagi saya, sebab ketika listrik rumah kami padam tak perlu repot-repot tanya tetangga kanan kiri. 


"Lampu rumah depan juga mati. Berarti memang mati listrik" Begitu kebiasaan saya meyakinkan suami kalau bukan listrik kami yang lupa beli pulsa.

Ketergantungan itu berlanjut berbulan-bulan lamanya. Sampai kami begitu yakin kalau padamnya lampu depan adalah petanda kalau kompleks perumahan ini sedang terjadi pemadaman listrik.

Pun begitu kejadiannya tadi pagi. Saya harus mengejar deadline sebelum pukul 10 tadi. Sebab jam 11 berniat datang ke launching buku, dan akan pulang malam setelah acara lain di kantor suami selesai. Semua sudah tertata begitu optimisnya.

Namun begitu tahu listrik padam, semuanya menjadi suram. Listrik mati lamaaa sekali. Ya, sesuatu yang genting memang terkadang membuat setiap menit terasa lama. Lebih lama. Lama sekali.

Saya sudah mulai uring-uringan. Tidak bisa masak. Menyetrika baju. Mandi dan menyalakan laptop. Keparat rasanya. Bahkan saya mulai berhalusinasi. Saya seperti mendengar bunyi sekering menyala. Saya berlari ke depan, ah, masih mati lampu. Saya melihat lampu di teras rumah tetangga masih padam.

Sampai akhirnya kami memutuskan pergi ke daerah Alun-alun Kidul Jogja untuk numpang mandi. Tak ada gunanya tetap tinggal. Setelah sempat misuh-misuh di BBM dan Twitter, kami berangkat. Saya yakin sekali membawa sepaket leptop dan alat mandi. Tak ada masalah serius. Setelah kami mandi, berangkatlah ke acara launching buku.

Niat saya untuk pulang malam ikut acara suami kemudian berubah setelah melihat jarum jam. Sudah pukul dua siang. Perasaan saya sungguh gelisah mengingat deadline dan tugas baru yang sangat mendesak. Saya harus pulang. Ya, saya yakin sekali untuk pulang.

Menepati deadline adalah urusan masa depan. Sedang menghadiri acara meski tak mungkin terulang lagi adalah soal perasaan dan kekecewaan. Saya bisa mengatasi itu. Maka selepas dari launching buku, suami mengantar saya pulang.

Sesampainya di rumah, perasaan saya tidak enak saat melihat lampu teras tetangga masih mati. Astaga jadi belum nyala? Bagaimana saya menyelesaikan tulisan. "Ya udahlah, malah bisa buat tidur" kata saya pada suami, sewot. Tapi saat saya melihat tombol sakering menyala merah. Lho, itu kok nyala? Saya pun mendekati sakering dan meyakinkan kalau pemadaman listrik sudah berakhir. Ya ternyata benar. Listrik sudah menyala. Memang kebiasaan, kalau mati listrik, sakering kami suka 'njeglek'. Namun ada yang ganjil ketika saya masuk rumah. Kok lampu teras tetangga mati? Kok mati sih? Kok mati?

Saya mulai 'kepo' dan mengintip dari balik tirai. Dari sana saya bisa melihat ada televisi menyala di rumah itu. Artinya, rumah itu berpenghuni, entah sejak kapan. Tentu sangat wajar bukan kalau mereka mematikan lampu teras? Lalu saya mulai mengingat tentang bunyi sakering yang saya pikir hanya halusinasi. Jadi, bisa saja sebenarnya listrik telah menyala sejak lama. Kamilah yang begitu ketergantungan dengan lampu teras tetangga yang diam-diam mulai 'kupisuhi' dalam hati.

Meski akhirnya sudah ada listrik, tapi perasaan bodoh itu masih saja menyesakan dada. Saya dongkol setengah mati. Saya mulai menyalakan laptop. Aih baterai habis. Saya cari chargernya di tas. Tidak ada. Saya bongkar isi tas itu. Tetap tidak ada. Saya SMS suami barangkali tertinggal di mobil. Katanya tidak ada. Saya SMS ke teman saya yang ditempati mandi. Tidak ada juga. Saya pikir mungkin jatuh ketika suami membawakan tas saya dari mobil ke rumah teman. Katanya enggak. Jadi kemanaaaaaa charger laptop saya? Aihhh. Lemessss dan saya mulai menendangi barang-barang. Saya teriak-teriak entah pada siapa. Mood saya bener-bener buruk. Saya masih memikirkan deadline meski merasa harus menulis ini dulu untuk mengobati pikiran yang semrawut. Aihhh hari apakah ini?#MulaiMemikiranMitos
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Memangkasi tanaman yang tumbuh dari kepala. 
Oh darahnya memenuhi wajahku. 
Aku butuh api! Ya api! 
Biar kubakari sisa-sisa yang kelak akan kembali tumbuh.
Keberanian tak boleh tumbuh. 
Imajinasi tak boleh tumbuh. 
Kreativitas tak boleh tumbuh. 
Hah, kepalaku terbakar. 
Darahku tumpah banyak sekali. 
Aku hampir mati, aku hampir mati.
Dan aku mati atas keputusanku sendiri.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Jika presiden dianggap gagal dalam memimpin negara, maka wajar banyak terima protes. Berbeda halnya dengan sebuah hubungan. Jika kita gagal mempertahankannya, maka itu menjadi kesalahan bersama. Kenapa begitu? Karena kita berdiri sama tinggi: kau bukan imamku dan aku tak akan jadi makmum yang memberontak
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Naiy, aku memang perempuan yang sangat payah saat menikahi ayahmu dulu. Tiap kali kami bertengkar, hanya matakulah yang menyala-nyala penuh kebencian. Untuk itu aku kerap menunduk supaya ayahmu tak pernah tahu, seberapa besar kusimpan api untuk membakarnya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Akhir akhir ini aku seringkali mimpi aneh dan buruk. Katanya, sekian detik setelah kita bangun, mimpi mimpi akan berlarian dari kepala. Tapi nyatanya aku tidak. Aku bisa mengingatnya meski hanya serupa patahan-patahan astor rasa cokelat. 


Atau beginikah mimpi buruk? Ia mampu bersembunyi di lipatan-lipatan ingatan yang tak bisa lekas kita hapus. Rasanya mengganggu sekali, sebab sesuatu yang buruk terkadang mampu memengaruhi perasaan seseorang. 

Beberapa hari ini, Tuhan mengirimi mimpi yang selalu mirip mirip. Aku memarahi suamiku begitu ganas dan tanpa rasa takut. Sampai sampai, kutendangi betulan kakinya sambil mulut bersungut-sungut. Lain hari lagi, aku bangun dengan keringat dingin. Kupandangi wajah suamiku dengan kebencian yang meluap-luap. Apakah seseorang yang begitu kucintai bisa sedemikian menyebalkan seperti dalam mimpi? Ah, itu kan mimpi Tikah. Sekadar bunga tidur. Aku mengusap wajahku dengan embusan napas yang berat. 

Freud bilang (kalau benar aku masih mengingatnya): Jika kita tidak bisa melakukan apa yang diinginkan di dunia nyata, maka itu akan menjelma dalam mimpi. Keinginan-keinginan akan terpenuhi dalam mimpi. 

Nah, apakah artinya aku mengingkan untuk marah kepada suamiku? Duh, Mas. Kasihan sekali kau. Padahal, tiap hari aku sebegini cerewet. 


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
#ARsipFacebookku 


Aku ingin sekali berada di dekat Enisa saat ini. Ia tengah menghadapi situasi yang berat, yang tentu akan membuatnya banyak kehabisan air mata.

Tujuh jam yang lalu, ia mengirimi pesan tentang rumah tangganya yang sedang kacau. Ia tak punya teman dekat, setelah kepergiannya ke benua yang dingin itu beberapa bulan lalu. Ia bilang, udara sedang sangat dingin di sana. Aku mengira-ngira, apakah hatinya tak lebih dingin dari udara yang ia rasakan? Apakah serupa hatiku, saat ia memutuskan kawin dengan lelaki asal Eropa dan meninggalkanku begitu saja? 

Berkali-kali kuhubungi dia melalui Facebook, sampai detik ini. Tapi tak ada lagi jawaban. Kesedihan memang seringkali menarik seseorang untuk bersikap mengkhawatirkan. Aku gelisah sekali.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
#arsipfacebookku
Lari secepat mungkin, kalau di dalam mimpi selalu saja ketangkep. Aku berlari, lari dan berlari sampai kemudian aku menoleh ke belakang. Ternyata bukan orang gila itu saja yang mengejarku, tapi pisau yang tadinya dipegang tibatiba juga ikut memburuku. Begitu dekat dan cepat. Blesss. Punggungku tertangkap pisau. 
Aku memang tak merasakan sakit. Cerita yang sepotong sepotong dan absurd itu, begitu saja melompat membawaku pada ruang sempit bernama penjara. Kenapa aku yang dipenjara? Dan punggungku tak berdarah ataupun menyisa luka tusuk. Ajaib.  
Di dalam penjara aku menangis sedih sekali. Entah penjara macam apa yang kutempati. Orang gila itu pun berada satu lokasi denganku. Pemandangannya sangat mengerikan, dua lelaki saling berciuman, orang gila berkeliaran, kekerasan ada di manamana, anak kecil ikut dipenjara, perempuan seksi dengan dandanan glamour keluar masuk penjara dengan seenaknya. 
Aku menangis menjerit jerit. Apa salahku? Berapa lama aku dipenjara? Bagaimana promilku? Bagaimana deadline nulisku? Argggghhh.
Tibatiba leptopku akan dibanting oleh polisi penjaga. Aku bilang data yang disitu sangat penting, kalau sampai rusak, kutulis kau di media. Dan ia membatalkan rencananya. 
Dan keanehan lainnya adalah muncul aturan kalau aku bisa pulang ke rumah seminggu sekali. Lebih dari itu, ada yang naksir aku juga di penjara. Ihir. Iki mimpi uopo to. Aneh sekali.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ketika mengutarakan kemantapanku untuk resign, suami tampak berpikir keras. Mungkin ia takut, dengan aku tidak bekerja, ekonomi kami menjadi oleng. Ia juga secara implisit mengutarakan kekhawatirannya jika kelak aku menjadi pengangguran akan sangat mengganggunya. Pertama, ia takut aku akan banyak mengeluh bosan di rumah. Kedua, ia takut aku terus-terusan mengikutinya ke mana pun ia pergi. Banyak sekali ketakutan negatif yang terpancar sinis dari matanya. Sampai-sampai ia bertanya, apa yang akan kulakukan setelah keluar. 

Waktu itu, aku telah menyusun rencana-rencana. Meskipun ketika pertanyaan itu mendarat di kupingku, aku sedikit ragu-ragu menjawabnya. Aku akan menulis lagi, jawabku. Ya, aku harus menulis. 

Namun, jawaban itu ternyata belum cukup. Apa yang akan aku lakukan dengan menulis? Tanyanya lagi. Aku jawab, banyak sekali lomba yang ingin kuikuti. Aku ingin mengisi blog. Menulis cerita. Menulis review dan masih banyak lagi. Intinya, aku ingin merasa bahagia dengan menulis. Aku ingin punya banyak waktu untuk menulis. Apa itu salah? 

Aku masih melihat ketakutan yang sinis di mata suamiku. Ia tidak paham apa yang kuinginkan. Ia hanya takut aku merepotkan. Ia takut aku menjadi pengganggu. Baiklah, kataku. Untuk urusan hidupku, biar aku sendiri yang atur. Aku tak ingin merepotkanmu. Aku yakin sekali bisa mandiri. Aku bisa melakukan apapun sendirian. 

Maka keberuntungan pun datang. Seorang teman mengenalkanku kepada owner sebuah penerbit di Jogja. Aku diberinya pekerjaan sebagai penulis. Lalu teman yang lain juga menawari pekerjaan sebagai penulis di tempatnya bekerja. Kujalani keduanya. Ya, Im happy. Meskipun aku melupakan semua rencana-rencanaku. Aku lupa menulis blog, mengikuti lomba, menulis review dan menyusun kembali cerita-cerita untuk novelku. 

Dengan kesibukanku menjadi penulis buku praktis, aku justru lebih senang berada di rumah. Suami sering kutolak ketika mengajakku pergi. Semua tebakannya yang sinis itu keliru. Sekarang aku puas karena punya jalan hidup sendiri. Aku punya rencana-rencana. Dan itu semua milikku tanpa harus diintimidasi oleh orang lain. Aku bosan jika terus menerus diajari berterima kasih, ketika sebenarnya bisa berdiri sendiri.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar





 
Seorang teman bilang, ia memiliki budhe ipar yang matre sekali. Di keluarga besarnya cerita ini diputar berkali-kali, ke saudara, ke teman, ke anak, ke cucu, bahkan ke anggota keluarga yang baru sekalipun. Cerita ini beredar sepotong-sepotong, sama tak lengkapnya seperti yang sampai ke telingaku.
Sebelum cerita diakhiri, temanku bilang "Sebaiknya jangan dapat istri dari daerah Tenggara, biasanya orangnya matre kaya budheku yang itu," begitu ia menirukan kalimat yang (mungkin) sudah ia dengar berkali-kali dari keluarganya.  
Orang Tenggara matre? Adilkah memberi stempel suatu daerah hanya dari kesalahan satu nama? Aku mulai memikirkan, adakah ini sebuah kekeliruan? Bagaimana kalau ternyata cerita ini hanya sebuah kesimpulan keliru, dari potongan cerita yang tak lengkap.  
Lalu aku bertanya, apakah temanku yakin kalau budhenya itu benar-benar matre? Apa yang dilakukan perempuan tersebut sehingga malang sekali nasibnya menjadi istri dengan stempel matre? Temanku bilang, "Kenapa aku harus nggak yakin? Semua keluargaku tahu kalau dia matre" titik. Tidak ada kejelasan lain. Ini seperti halnya aku diajari untuk membenci PKI sewaktu kecil. PKI itu jahat titik. Dan barulah di kemudian hari aku belajar memahami kekeliruanku soal PKI, Soeharto dan adanya politik yang kejam.
Mungkin dari situlah aku belajar untuk tidak mudah memercayai kebenaran dari satu pihak. Apalagi memercayai sebuah cerita dari keluarga yang memiliki pikiran bahwa semua karakter orang itu sama kalau dia berasal dari satu daerah. Memang benar, sebuah daerah bisa membentuk karakter masyarakatnya, tapi aku yakin pemahaman tentang nilai baik dan buruk setiap orang itu berbeda. Makanya, ada yang tumbuh jadi penjahat pun ada yang dewasa jadi pemuka agama yang baik. 
Sebab cerita ini hanya kuterima sepotong-sepotong, maka aku membikin cerita versi lain dari kemungkinan yang berbeda. Perempuan itu menikahi lelaki yang bodoh dalam mencintai pasangannya. Ia termasuk lelaki yang selalu ingin terlihat lebih unggul dari istrinya. Ia bangga sekali jika bisa diketahui banyak orang bahwa ia bisa memenuhi semua keinginan-keinginan istrinya. Lelaki seperti itu biasanya butuh sekali pengakuan dari orang lain. Bahwa ia hebat, bahwa ia lelaki yang sayang istri. Maka ia pun mulai bercerita kepada keluarganya, tentang apa saja yang sudah ia lakukan. Tentu saja, apapun cerita baiknya jika disampaikan dengan api kesombongan akan mampu mencipta pandangan yang buruk. Lahirlah kesan, bahwa istrinya itu perempuan yang melulu menuntut materi. Padahal, lelaki itu butuh menceritakan itu demi keangkuhannya yang tinggi. Bisa jadi sebenarnya istrinya mampu membeli barang-barangnya sendiri, tapi itu bukan sebuah cerita yang bagus disampaikan mengingat tradisi patriarki yang mengalir di darah kelelakiannya. Perempuan itu harus selalu di bawah suami dalam pandangan masyarakat dan keluarganya. 
Sampai suatu hari, roda pun berbalik. Ia digilas kemiskinan. Jangankan berbusa-busa menceritakan kehebatannya, untuk mencukupi urusan dapur saja ia tak mampu. Sebagai lelaki sombong, ia tak mau begitu saja dilihat lemah karena kesalahan sendiri. Ia boleh dilihat kalah, tapi haruslah berada di posisi yang perlu dikasihani. Maka nama istrinya pun ia pertaruhkan. 
"Aku pinjem duit, soalnya istriku lagi minta tas hermes" kata lelaki itu kepada keluarga besarnya. Ia lelaki yang payah, yang tak mampu mengakui bahwa ia butuh pinjam uang untuk memenuhi perut keluarganya sendiri yang lapar. Maka semakin jelaslah di mata keluarga besarnya, bahwa budhe ipar temanku itu dalam hidup selalu mementingkan materi. Perempuan matre. Perempuan yang tidak baik sebagai contoh. Maka mengalirlah cerita ini dari mulut ke mulut. Cerita yang begitu kuatnya sehingga bisa membangun benteng di dalam hati masing-masing untuk selalu waspada kepada perempuan dari Tenggara. 
Namun, yang sebenarnya adalah perempuan itu hanya kurang beruntung dalam memilih pendamping hidup. Ia menikahi lelaki yang tidak benar-benar mencintainya. Seseorang yang mencintai, pasti akan mampu menjaga nama baik istrinya di mata keluarganya sekalipun. Bukankah, akan sangat menyakitkan distempel sebagai perempuan matre di keluarga suaminya sendiri. Lelaki yang pandai mencintai pasangannya, tentu akan berada di muka paling depan untuk melindungi dan membikin pasangannya nyaman di manapun. Bahkan, jika sekalipun istrinya bukan perempuan yang baik. Bukan malah merasa bangga menunjukan bahwa ia korban dari kematrean istrinya. 
Mungkin suaminya tidak tahu, bahwa kebanyakan orangtua akan lebih mampu memaafkan kesalahan anaknya sendiri. Tapi, jika orang lain , misalnya menantu yang berlaku keliru maka seumur hidup belum tentu ia bisa menghapusnya dari hati mereka.  
Lalu aku jadi teringat cerita lain tentang pacar temanku.  Sebagai lelaki, ia sering sekali meminta duit ke keluarganya atau pinjem kepadaku untuk alasan membantu pacarnya, alasan lain adalah untuk pergi dengan pacarnya, untuk dipinjem pacarnya, semua berkaitan dengan pacarnya. Sampai sebagai seorang teman, aku sempat tertipu dan menyangka bahwa pacarnya itu super matre. Sampai suatu hari, aku mengetahui kebenaran yang lain, bahwa ternyata pacarnya itu hanyalah kambing hitam, yang dipakai untuk kedok saja. Kasihan sekali perempuan yang tidak bisa melawan menerima perlakuan seperti itu? Kasihan sekali. Semoga cerita versi lain yang kubikin bukanlah sama persis dengan fakta yang terjadi pada budhe ipar temanku. Intinya hati-hatilah mencari lelaki dengan mulutmu. 
Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Zai, kulubangi sendiri dadaku sebab tak kuharapkan lagi mimpi-mimpi itu menyusun kesepian lebih pahit di tubuhku. Sebagai perempuan, mestinya kau bisa memahami akan hal ini, bukan? Saat kita terlalu mengharapkan keturunan, semua hal diusahakan. Begitupun yang kulakukan, Zai. Meski aku tahu, aku seorang diri melakukannya. 
Kau mungkin bertanya- tanya bagaimana dengan suamiku? Apakah pernikahanku bahagia? Ya, tentu saat ini kabar kami sangat baik, dan sekuat tenaga aku berharap ketiadaan anak di perkawinan kami tak membuat kebahagiaan ini berkurang. Ah. Cukup. Kau tak perlu ikut-ikutan mereka menasihatiku tentang banyaknya perempuan senasib aku di luaran sana. 
Apa kau tahu seberapa banyak yang kudengar? Seberapa banyak buku dan artikel yang kubaca? Serasa semuanya melekat di kepalaku. Sampai-sampai aku tak mengira jika tubuhku menyusun sendiri kemungkinan-kemungkinan yang membahagiakan. Aku memiliki kebahagiaan karena aku bermimpi, sementara suamiku yang sama sekali tidak punya mimpi. Apakah ini adil buat kami?
Sebab itu Zai,  kulubangi sendiri dadaku. Aku tidak menginginkan kebahagiaan yang belum tentu akan kumiliki dengan taruhan kebahagiaanku saat ini. Itu saja. 


 Ttd. 
Tikah Kumala 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Saat melihat ibu hamil mengantre sendiri di ruang tunggu rumah sakit, pasti satu di antara kita ada yang kepikiran negatif. Mungkin suaminya nggak bertanggung jawab karena hamil hasil 'kecelakaan'? Mungkin suaminya jauh dan tega sekali tidak menemani istrinya di kota yang sama. Mungkin pernikahan mereka tidak bahagia. Mungkin suaminya mati, mungkin dan seribu kemungkinan negatif lainnya. 
Jujur saja, sebelum menikah aku ngggak suka dengan pikiran pikiran negatif tersebut, yang kadang seringkali dijumpai dari teman teman yang nyinyir. Kenapa kita nggak berpikir sebaliknya. Barangkali, suaminya sibuk sekali mencari biaya untuk persalinan, sehingga perlu memprioritaskan salah satu. Dan ia memilih untuk tidak menemani istrinya yang ia anggap tangguh dan luar biasa. Mungkin perempun hamil itu seorang yang sangat menerima, dan pengertian betul akan ketidakbisahadiran suami. Atau justru, dia tipe perempuan ngeyel yang nggak sabaran untuk dianter suami? Eit, yang terakhir ini masih negatif juga ya hahaha. 





Setelah menikah, cara pikirku kemudian berubah lagi. Jan labil banget. Mungkin karena ngalamin sendiri, bagaimana seorang dokter begitu mengintimidasi dengan pertanyaan "Suaminya mana? Kok nggak ikut?" Waktu dulu datang ke dokter kandungan untuk periksa prakehamilan. Padahal suami ikut nganter, cuma dia nunggu di luar ruangan. Belum terbiasa nganterin istri ke dokter kandungan sih, jadi mungkin masih malu malu gimana hahaha. 

Awalnya aku pikir, emang pentingnya apa sih suami harus ikut? Aku bisa sendiri kok. Karena belum pernah hamil dan bukan seorang dokter kandungan, tentu saja aku nggak paham apa saja kemungkinan buruknya pergi ke dokter tanpa seorang suami.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, pertanyaan dokter dan kenyinyiran seorang teman ada sisi baiknya juga loh. Bayangkan saja, ketika ibu hamil datang seorang diri dan ada sesuatu yang bahaya di dalam kehamilannya. Mendengar kabar tersebut pastilah hormonnya bisa memburuk bukan? Padahal stres nggak baik buat ibu hamil. Kebayang nggak kalau ibu tersebut ternyata lemah pikirannya, terus lemas dan nggak bisa pulang sendiri setelah mendengar kabar buruk? 

Atau kasus lain, tentang seorang istri yang lagi galau menunggu lekas hamil karena hormonnya buruk. Ia datang seorang diri ke dokter kandungan dengan segala keluhannya. Kenapa telat haid, kenapa siklus haid terlalu cepat, kenapa memiliki ciriciri seperti orang hamil? Daaaan, saat menerima kabar buruk kalau ada masalah pada reproduksinya, apa yang terjadi? Mungkin ia akan merasa sedih bukan saat suaminya tidak ada untuk menangggung kesedihannya bersama sama. Atau, jika kabar baik itu yang datang, ia dinyatakan hamil setelah sangat menginginkan seorang anak, ia mungkin juga akan sedih saat menerima kabar membahagiakan tanpa diterima bersama dengan lelaki yang paling ia cintai. 

Namun, apapun alasan para suami tidak bisa menemani istrinya ke dokter, ada baiknya kita tetep berpikir positif. Mungkin alasan si suami tidak seburuk yang kita bayangkan. Anggap saja, perempuan yang pergi ke dokter kandungan sendirian itu keren banget. Pastilah ia perempuan kuat yang mampu menghadapi apapun dalam hidup. 

Jiaaah, kenapa aku nggambleh sepaanjang ini?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
  • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
  • Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ▼  2014 (37)
    • ▼  December (4)
      • Nilai Guna Lebih Tinggi Dari Nilai Keindahan
      • Upaya Bunuh Diri?
      • Mungkinkah penyakit asma bisa datang tiba-tiba? La...
      • Mencintaimu adalah takdirku
    • ►  October (1)
      • Nikmatnya Bunga Grandel
    • ►  September (4)
      • Childish Najis
      • Narsis Foto :)
      • Kepada Si Pemarah
      • Kita Seperti Dua Manusia Bodoh
    • ►  August (2)
      • Ketika Suami Harus Selalu Benar
      • Dalam Hal Apapun Kehilangan Suka Bikin Susah Move On
    • ►  May (8)
      • Kesialan #ARsipFacebookku
      • Darah Dalam Kepala
      • Imam vs Makmum
      • Naiy, aku memang perempuan yang sangat payah
      • Tentang Mimpi #2
      • Enisa ...
      • Tentang Mimpi #1
      • Menjadi penulis kemudian
    • ►  April (3)
      • Mencintai Perempuan Matre?
      • Surat untuk Zai
      • Suami Siaga
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates