Skip to main content

Posts

Showing posts from 2014

Nilai Guna Lebih Tinggi Dari Nilai Keindahan

sumber gambar "Kalau pekerjaanmu lebih rapi, pasti sempurna hasilnya" "Ah, biar saja. Sing penting kan manfaatnya!" Huffft  Orang memang macem-macem ya sifatnya. Termasuk penganut prinsip nilai guna lebih tinggi dari nilai keindahan.  Tapi kemudian aku berpikir lagi, bahwa memang tidak semua orang menyukai keindahan yang sama. Itu juga bukan sebuah kesalahan. Hanya saja, jika terjebak pada percakapan di atas rasanya dadaku berat sekali. Sebab bagiku, sederhananya seperti ini. Bahwa nilai guna dan keindahan ya sama pentingnya. Misal, ketika aku beli sofa ruang tamu. Aku tidak hanya berpikir bahwa sofa berfungsi untuk duduk pantat teman main, tapi juga bagaimana sofa tersebut memberi keindahan untuk ruang tamuku. Kenapa orang orang perlu repot-repot menyembunyikan jemurannya di loteng daripada halaman rumah? Bukankah lebih praktis memamerkan celana dalam, kutang dan sempak di depan dari pada repot-repot naik turun tangga demi sederet jemuran? Jawabannya

Upaya Bunuh Diri?

Amarah itu seperti api. Jika disembunyikan dalam diri, ia akan bergejolak: kadang berkobar jadi api dan lain hari jadi bara yang mudah sekali membuat dada jadi panas. Harusnya memang tidak seperti ini. Harusnya bisa kupadamkan. Sebab sejatinya, merumahkan amarah dalam badan tak lebih dari upaya bunuh diri.  Seperti belakangan ini, sakit kepalaku semakin rutin terasa. Bonusnya adalah bagian leher belakang ke atas jadi ngilu yang membuatku nyaman hanya jika menyandarkannya. Memang suka aneh ya badan ini. Kalau aku sedang jengkel setengah mati, biasanya perutku yang kram. Mungkinkah kemarahanku yang dihimpun seperti bukit kini telah mencapai puncak? Sudah mencapai puncak kepalaku? Ah, seharusnya setiap orang memang punya keberanian untuk melepaskan kemarahannya. Supaya setelah itu, ia dapat melangkah lebih baik dengan hati yang baru. 

Mungkinkah penyakit asma bisa datang tiba-tiba? Lalu membunuhku?

Dadaku terasa dibebani berkilo-kilo batu. Rasanya sesak. Aku kesulitan bernapas. Sesekali, aku pernah merasakan hidungku seperti tersumbat peluit. Lalu tanganku dingin sekali. Aku takut. Sebab itulah detak jantungku memburu-buru. Mungkinkah penyakit asma bisa datang tiba-tiba? Apakah aku akan mati muda? Aku tak bisa menghindar dari peranku sebagai perokok pasif. Suamiku perokok berat. Ia merokok di manapun ia mau. Di rumahku sendiri, aku sering merasa kekurangan oksigen. Ada 3 asbak yang harus kubersihkan tiap pagi. Satu lagi sudah kupecahkan. Meski begitu, ia masih selalu merasa kurang. Aku merasa di ruang manapun ada abu rokok yang bisa membuatku sesak napas. Tapi di tempat yang sama sekalipun kuletakkan asbaknya, ia selalu mengomel ketika mencarinya. Abu dan omelannya sama-sama semakin membuatku sesak napas. Aku sengaja tak mau lagi memintanya berhenti. Tak bisa. Aku tak bisa memintanya apalagi melarangnya. Mungkinkah ini jadi berat karena posisiku sebagai seorang istri? Ba

Mencintaimu adalah takdirku

Kuhindari Kau merapat Kucintai Kau berpaling Kita menyatu Masalah-masalah menyerbu Kubertahan kau kuberati Tapi kaupilih pergi Kuputuskan untuk tinggal Kau usir aku Kutinggalkan kau Baru kau raih tanganku untuk kembali Kita kembali kumpulkan pecahan-pecahan kaca Pecahan yang sesekali membuat jariku berdarah Tapi beginilah kita: mencintamu adalah takdirku Sumber gambar

Nikmatnya Bunga Grandel

Pahitnya bunga grandel itu nggak akan sepahit hidup yang melulu diterjang masalah. Sungguh deh. Zaman kecil, ketika makan bunga grandel biasanya mencerminkan dompet lagi tipis. Buat beli tempe tahu nggak mampu maka yang ada di pekarangan bisa dilahap. Emang pahit, tapi lebih pahit lagi karena terkadang kami menikmatinya dengan perasaan sedih (karena merasa hidup kok begini susah ya).  Setelah dewasa dan jauh merantau, ternyata bunga grandel tak lagi mengingatkan aku pada kesedihan-kesedihan. Tapi justru kerinduan masa kecil yang bebas dan kampung halamanlah yang menjadi bumbu paling nikmat ketika kembali memakannya. 

Childish Najis

Anak kecil itu ya ... Laper dikit rewel, Nggak bisa tidur rewel, Badan meriyang rewel, Minta sesuatu nggak dituruti rewel, Sesuatu nggak pas sama keinginan rewel, Itu anak kecil loh. Itupun nggak semua anak kecil kayak gitu. Nah kalau ada orang dewasa sifatnya kayak di atas, namanya childish najis. Dan gegara sosmed banyak kan kita jumpai kayak gitu.

Narsis Foto :)

Sekarang zamannya setiap hal diarsip dalam foto. Mau makan enak difoto dulu. Habis dandan difoto dulu. Habis masak difoto dulu. Bahkan kalau ngliat bulu mata jatuh di pipi juga rasanya pengin difoto, lalu diunggah ke sosial media dengan capture "Duh ada yang kangen gue nih. Siapa yah?". Pokoknya mau muda atau tua nggak kenal usia deh buat narsis dengan kamera dan sosial media. Termasuk aku tentunya hihihi.  Yap. Namanya manusia, salah satu sifat dasarnya adalah menginginkan apa yang orang lain lakukan. Begitulah kejadiannya. Habis dandan, aku suka minta suami buat mengambil gambar cantikku. Logis dong, namanya tinggal berdua. Siapa lagi yang mau kumintai tolong. Masa tuyul hehehe.  Entah kenapa, kalau difotoin suamiku kok hasilnya sering nggak memuaskan. Kadang kerudungku miring dia diem aja. Kadang eanglenya jelek, dia cuek. Kadang pipiku kelihatan chubby banget dia bilang biasa aja. Bahkan kadang badanku terlihat sangat gemuk. Aku jadi sebel. Kupikir dia bis

Kepada Si Pemarah

Suatu hari aku nonton film di bioskop. Film yang dari sinopsis, dan thrilernya sih bagus. Maka hari itu aku pun duduk manis di studio yang menayangkan film action X yang katanya keren. Padahal untuk biaya tiket yang bisa buat beli beras 3kg, kadang aku perlu pikir-pikir lagi. Tapi entah kenapa, saat itu tanpa pikir panjang aku langsung membelinya. Pokoknya kata orang sih bagus.  Sambil menikmati cokelat panas, jam pertama berlalu, lalu masuk jam kedua. Ah kusadari ternyata aku lebih banyak menutup mata daripada menikmati alur ceritanya. Ih ngeri banget. Aku sungguh tidak puas, karena meleset dari ekspektasiku. Film itu bagiku tidak bagus. Ini pendapatku yang tentunya sangat subyektif. Sebab barangkali pendapat orang lain cerita ini bagus. Atau bisa jadi sutradaranya memang sengaja membuat karya yang tidak cocok untuk kutonton. Ya, mungkin saja. Bukankah suka-suka dia? Orang bebas dong berkarya. Itulah kenapa dalam setiap penciptaan selalu ada dua opini; jelek dan bagus. Sepert

Kita Seperti Dua Manusia Bodoh

Malam yang begini sunyi. Kita saling diam.  Saling menyimpan dada yang sakit dengan pura-pura tersenyum. Tapi ternyata matamu itu tidak pernah bohong.  Ia menyimpan gelisah yang sengaja tidak ingin kau bagi denganku.  Ya aku tahu sebabnya apa.  Aku tahu, kau paham kegelisahanku di mana hatiku sedang pulang ke tanah kelahiran.  Kau tahu memikirkan rumah menjadi beban bagiku, makanya kau diam tak ingin membebaniku dengan masalahmu.  Dan kita seperti dua manusia bodoh.  Sebab, nyatanya aku tahu permasalahan yang membebanimu.  Sesuatu yang tidak ingin kau bagi, tapi kuketahui tanpa kau tahu. Kita ini sedang bagaimana sebenarnya?

Ketika Suami Harus Selalu Benar

Seorang suami diperbolehkan marah ketika di meja makan tak tersedia nasi dan lauknya. Sedangkan bagi istri, ia tak boleh sama sekali marah ketika di dompet suaminya tak ada sepeserpun uang untuk belanja makanan. Sebab jika istri marah, ia akan dituduh perempuan tak pandai bersyukur. Suami diperbolehkan komentar baju yang dicuci istrinya tak wangi, lantai yang disapu tak bersih, dan makanan yang dimasak tak enak. Suami boleh-boleh saja komentar demikian. Namun, jika istri komentar uang belanja terlalu sedikit, ia akan diberi label perempuan matre. Suami diperbolehkan mengatur istrinya. Apapun keinginannya. Namun, janganlah berani-beraninya seorang istri memerintah sedikitipun kepada lelaki patriarki. Sebab yang begini, ia akan diberi julukan istri durhaka.

Dalam Hal Apapun Kehilangan Suka Bikin Susah Move On

Bagi saya, perkara kehilangan seperti halnya taman bunga di dalam dada yang dicabuti entah oleh siapa. Rasanya sakit sekali. Mungkin dengan mencatatnya begini, kesakitan itu akan menguap sehingga bekas-bekasnya akan hilang sama sekali. Begitulah yang saya harapkan ketika berkali-kali kehilangan tulisan.  Bagi saya, kehilangan tulisan bukanlah hal yang remeh temeh. Apalagi jika tulisan itu mencatat peristiwa penting dalam perjalanan hidup saya. Maka kehilangan itu sangat membekas, meski narasi tulisan-tulisan tersebut sama sekali tidak bisa saya ingat kembali. Tulisan yang hilang tanpa salinan hanya akan menjadi puzzle yang kepingannya tidak utuh. Di tahun 2008, saya tidak punya komputer pribadi. Buku tulis pun sudah mulai saya tinggalkan ketika merasakan enaknya menulis di papan keyboard. Untuk tetap menulis itu, saya pergi ke rental komputer, warnet kampus atau bergantian menggunakan komputernya pacar. Karena tempat yang berganti-ganti begitu, maka semua file saya simpan

Kesialan #ARsipFacebookku

Tetangga depan rumah saya jarang sekali ada. Ia biasanya pulang ketika akhir minggu atau waktu-waktu yang tidak pernah kami duga. Jadi wajar kalau lampu di teras rumahnya menyala 24 jam. Itu sangat menguntungkan bagi saya, sebab ketika listrik rumah kami padam tak perlu repot-repot tanya tetangga kanan kiri.  "Lampu rumah depan juga mati. Berarti memang mati listrik" Begitu kebiasaan saya meyakinkan suami kalau bukan listrik kami yang lupa beli pulsa. Ketergantungan itu berlanjut berbulan-bulan lamanya. Sampai kami begitu yakin kalau padamnya lampu depan adalah petanda kalau kompleks perumahan ini sedang terjadi pemadaman listrik. Pun begitu kejadiannya tadi pagi. Saya harus mengejar deadline sebelum pukul 10 tadi. Sebab jam 11 berniat datang ke launching buku, dan akan pulang malam setelah acara lain di kantor suami selesai. Semua sudah tertata begitu optimisnya. Namun begitu tahu listrik padam, semuanya menjadi suram. Listrik mati lamaaa sekali. Ya, ses

Darah Dalam Kepala

Memangkasi tanaman yang tumbuh dari kepala.  Oh darahnya memenuhi wajahku.  Aku butuh api! Ya api!  Biar kubakari sisa-sisa yang kelak akan kembali tumbuh. Keberanian tak boleh tumbuh.  Imajinasi tak boleh tumbuh.  Kreativitas tak boleh tumbuh.  Hah, kepalaku terbakar.  Darahku tumpah banyak sekali.  Aku hampir mati, aku hampir mati. Dan aku mati atas keputusanku sendiri.

Imam vs Makmum

Jika presiden dianggap gagal dalam memimpin negara, maka wajar banyak terima protes. Berbeda halnya dengan sebuah hubungan. Jika kita gagal mempertahankannya, maka itu menjadi kesalahan bersama. Kenapa begitu? Karena kita berdiri sama tinggi: kau bukan imamku dan aku tak akan jadi makmum yang memberontak

Tentang Mimpi #2

Akhir akhir ini aku seringkali mimpi aneh dan buruk. Katanya, sekian detik setelah kita bangun, mimpi mimpi akan berlarian dari kepala. Tapi nyatanya aku tidak. Aku bisa mengingatnya meski hanya serupa patahan-patahan astor rasa cokelat.  Atau beginikah mimpi buruk? Ia mampu bersembunyi di lipatan-lipatan ingatan yang tak bisa lekas kita hapus. Rasanya mengganggu sekali, sebab sesuatu yang buruk terkadang mampu memengaruhi perasaan seseorang.  Beberapa hari ini, Tuhan mengirimi mimpi yang selalu mirip mirip. Aku memarahi suamiku begitu ganas dan tanpa rasa takut. Sampai sampai, kutendangi betulan kakinya sambil mulut bersungut-sungut. Lain hari lagi, aku bangun dengan keringat dingin. Kupandangi wajah suamiku dengan kebencian yang meluap-luap. Apakah seseorang yang begitu kucintai bisa sedemikian menyebalkan seperti dalam mimpi? Ah, itu kan mimpi Tikah. Sekadar bunga tidur. Aku mengusap wajahku dengan embusan napas yang berat.  Freud bilang (kalau benar aku masih mengi

Enisa ...

#ARsipFacebookku  Aku ingin sekali berada di dekat Enisa saat ini. Ia tengah menghadapi situasi yang berat, yang tentu akan membuatnya banyak kehabisan air mata. Tujuh jam yang lalu, ia mengirimi pesan tentang rumah tangganya yang sedang kacau. Ia tak punya teman dekat, setelah kepergiannya ke benua yang dingin itu beberapa bulan lalu. Ia bilang, udara sedang sangat dingin di sana. Aku mengira-ngira, apakah hatinya tak lebih dingin dari udara yang ia rasakan? Apakah serupa hatiku, saat ia memutuskan kawin dengan lelaki asal Eropa dan meninggalkanku begitu saja?  Berkali-kali kuhubungi dia melalui Facebook, sampai detik ini. Tapi tak ada lagi jawaban. Kesedihan memang seringkali menarik seseorang untuk bersikap mengkhawatirkan. Aku gelisah sekali.

Tentang Mimpi #1

#arsipfacebookku Lari secepat mungkin, kalau di dalam mimpi selalu saja ketangkep. Aku berlari, lari dan berlari sampai kemudian aku menoleh ke belakang. Ternyata bukan orang gila itu saja yang mengejarku, tapi pisau yang tadinya dipegang tibatiba juga ikut memburuku. Begitu dekat dan cepat. Blesss. Punggungku tertangkap pisau.  Aku memang tak merasakan sakit. Cerita yang sepotong sepotong dan absurd itu, begitu saja melompat membawaku pada ruang sempit bernama penjara. Kenapa aku yang dipenjara? Dan punggungku tak berdarah ataupun menyisa luka tusuk. Ajaib.   Di dalam penjara aku menangis sedih sekali. Entah penjara macam apa yang kutempati. Orang gila itu pun berada satu lokasi denganku. Pemandangannya sangat mengerikan, dua lelaki saling berciuman, orang gila berkeliaran, kekerasan ada di manamana, anak kecil ikut dipenjara, perempuan seksi dengan dandanan glamour keluar masuk penjara dengan seenaknya.  Aku menangis menjerit jerit. Apa salahku? Berapa lama aku dipenjara? Baga

Menjadi penulis kemudian

Ketika mengutarakan kemantapanku untuk resign, suami tampak berpikir keras. Mungkin ia takut, dengan aku tidak bekerja, ekonomi kami menjadi oleng. Ia juga secara implisit mengutarakan kekhawatirannya jika kelak aku menjadi pengangguran akan sangat mengganggunya. Pertama, ia takut aku akan banyak mengeluh bosan di rumah. Kedua, ia takut aku terus-terusan mengikutinya ke mana pun ia pergi. Banyak sekali ketakutan negatif yang terpancar sinis dari matanya. Sampai-sampai ia bertanya, apa yang akan kulakukan setelah keluar.  Waktu itu, aku telah menyusun rencana-rencana. Meskipun ketika pertanyaan itu mendarat di kupingku, aku sedikit ragu-ragu menjawabnya. Aku akan menulis lagi, jawabku. Ya, aku harus menulis.  Namun, jawaban itu ternyata belum cukup. Apa yang akan aku lakukan dengan menulis? Tanyanya lagi. Aku jawab, banyak sekali lomba yang ingin kuikuti. Aku ingin mengisi blog. Menulis cerita. Menulis review dan masih banyak lagi. Intinya, aku ingin merasa bahagia dengan menu

Mencintai Perempuan Matre?

  Seorang teman bilang, ia memiliki budhe ipar yang matre sekali. Di keluarga besarnya cerita ini diputar berkali-kali, ke saudara, ke teman, ke anak, ke cucu, bahkan ke anggota keluarga yang baru sekalipun.  Cerita ini beredar sepotong-sepotong, sama tak lengkapnya seperti yang sampai ke telingaku. Sebelum cerita diakhiri, temanku bilang "Sebaiknya jangan dapat istri dari daerah Tenggara, biasanya orangnya matre kaya budheku yang itu," begitu ia menirukan kalimat yang (mungkin) sudah ia dengar berkali-kali dari keluarganya.   Orang Tenggara matre? Adilkah memberi stempel suatu daerah hanya dari kesalahan satu nama? Aku mulai memikirkan, adakah ini sebuah kekeliruan? Bagaimana kalau ternyata cerita ini hanya sebuah kesimpulan keliru, dari potongan cerita yang tak lengkap.   Lalu aku bertanya, apakah temanku yakin kalau budhenya itu benar-benar matre? Apa yang dilakukan perempuan tersebut sehingga malang sekali nasibnya menjadi istri dengan stempel matre?

Surat untuk Zai

Zai, kulubangi sendiri dadaku sebab tak kuharapkan lagi mimpi-mimpi itu menyusun kesepian lebih pahit di tubuhku. Sebagai perempuan, mestinya kau bisa memahami akan hal ini, bukan? Saat kita terlalu mengharapkan keturunan, semua hal diusahakan. Begitupun yang kulakukan, Zai. Meski aku tahu, aku seorang diri melakukannya.  Kau mungkin bertanya- tanya bagaimana dengan suamiku? Apakah pernikahanku bahagia? Ya, tentu saat ini kabar kami sangat baik, dan sekuat tenaga aku berharap ketiadaan anak di perkawinan kami tak membuat kebahagiaan ini berkurang. Ah. Cukup. Kau tak perlu ikut-ikutan mereka menasihatiku tentang banyaknya perempuan senasib aku di luaran sana.  Apa kau tahu seberapa banyak yang kudengar? Seberapa banyak buku dan artikel yang kubaca? Serasa semuanya melekat di kepalaku. Sampai-sampai aku tak mengira jika tubuhku menyusun sendiri kemungkinan-kemungkinan yang membahagiakan. Aku memiliki kebahagiaan karena aku bermimpi, sementara suamiku yang sama sekali tidak punya mim

Suami Siaga

Saat melihat ibu hamil mengantre sendiri di ruang tunggu rumah sakit, pasti satu di antara kita ada yang kepikiran negatif. Mungkin suaminya nggak bertanggung jawab karena hamil hasil 'kecelakaan'? Mungkin suaminya jauh dan tega sekali tidak menemani istrinya di kota yang sama. Mungkin pernikahan mereka tidak bahagia. Mungkin suaminya mati, mungkin dan seribu kemungkinan negatif lainnya.  Jujur saja, sebelum menikah aku ngggak suka dengan pikiran pikiran negatif tersebut, yang kadang seringkali dijumpai dari teman teman yang nyinyir. Kenapa kita nggak berpikir sebaliknya. Barangkali, suaminya sibuk sekali mencari biaya untuk persalinan, sehingga perlu memprioritaskan salah satu. Dan ia memilih untuk tidak menemani istrinya yang ia anggap tangguh dan luar biasa. Mungkin perempun hamil itu seorang yang sangat menerima, dan pengertian betul akan ketidakbisahadiran suami. Atau justru, dia tipe perempuan ngeyel yang nggak sabaran untuk dianter suami? Eit, yang terakhir ini masih