Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2014

Gagal Beli Kereta Aja, Wiss!

Ketika pergi bersama dengan motor yang beda, kadang nggak tahan sama perhatian suami yang bikin gemes. Dia akan menyuruhku berjalan lebih dulu. Entah malam atau siang, entah tahu jalan atau tidak pokoknya aku di depan. Mungkin suami khawatir aku kenapa-kenapa dan jatuh tanpa pengawasannya. Mungkin juga karena dia khawatir aku tertinggal jauuuuh karena hobi naik motor yang lambat. Nah, gemesnya tuh kalau ditanya mau lewat jalan mana. Ia akan jawab terserah. Jadilah kami melewati jalan sesuai pilihanku, terserah aku, nyasar atau nggak terserah karepku. Tapi pas di belokan yang mungkin menurutnya nggak pas, dari belakangku dia akan teriak-teriak dengan soundtrack klakson. Alamak "Kanan, kanan!" Teriaknya. Tentu saja aku limbung. Niat lurus jadi seketika ke kanan. Atau, kalau teriakannya nggak jelas, tiba-tiba saja aku bisa berhenti di tengah jalan, menengok ke arahnya, bertanya apa maunya. Alhamdulillah sih selama ini masih aman, selamat sentosa. Aku cuma ngebay

Pray For Indonesia

Kamar tidur dengan jendela lebar, kadang menguntungkan bagi istri seperti saya. Yep, apalagi karena gordennya tipis. Jika pagi datang, cahaya menembus begitu saja.  Seperti pagi tadi. Saya merasa bangun terlalu pagi. Tanpa melihat jam berapa, saya pun mulai melakukan aktivitas seperti biasa. Tapi, ada yang mengganggu; kenapa sepagi ini handphone terus menerus berbunyi. Ada apa? Saya sempat khawatir kalau-kalau ada kabar buruk dari kampung halaman.  Namun, ternyata pesan bertubi-tubi itu datang dari grup Watshap dan seorang teman yang BBM. Isinya mengabarkan kalau Jogja kena hujan abu. Gunung Kelud meletus. Saya pun kemudian membuka pintu ruang tamu dengan penasaran. Melihat halaman yang berubah putih, saya baru ngeh, kalau langit gelap bukan karena hari masih pagi. Sebagai seorang istri, bangun tidur setengah tujuh tentu sudah kesiangan, bukan?  Nah ini dia, penampakan di halaman rumah saya.  Jam 6.33 WIB Jam 10.00 pag Jam 10.00 pagi Jam 10.00 pagi

Tentang Casimira yang Memprotesku

Selama dua tahun diam, mungkin ada wajarnya Casimira marah. Ia menceracau sepanjang jalan seperti manusia kena sakit panas tinggi. Awalnya, saya tidak percaya kalau suara yang begitu jelas, di antara banyaknya kendaraan sore ini adalah suara Casimira, suara motor saya. Ya, motor saya bisa bicara. Saya kaget bukan main. Namun, jalanan begitu rame dan membikin saya tak sempat menebak banyak kemungkinan tentang alasan keganjilan ini. Satu-satunya yang masuk akal, mungkin kerna perasaan bersalah saya begitu besar. Ya, lima bulan sudah Casimira tidak diservis. Kedengarannya aneh, tapi bisa jadi kan rasa sensitif ini membuat saya bisa mendengar apa saja yang dikatakan Casimira. Hanya saya yang bisa mendengarnya. Saya tidak tahu, Casimira memulai kalimatnya dari mana, tapi ketika ada suara yang menyebut namanya, saya baru sadar kalau ada yang tidak beres. "Ah, jelek sekali nama Casimira ini. Seperti banci!" katanya. Saya mendadak menepi dari aspal. Saya belum paham betul

Rabu Cerita Pahiiit

Ibu-ibu di kantorku berniat membersihkan gudang buku. Seperti biasa; ia akan menyapu semua ruangan setelah orang-orang kantor pulang. Ia yang bertugas membuka dan menutup kantor. Di kamar redaksi, aku masih berkejaran dengan deadline. Toh suami sedang keluar kota, aku berniat lembur saja. Tapi, tiba-tiba Ibu tadi masuk ke kamar redaksi. Persis di hadapanku. Ia mulai bercerita tentang nasib hidupnya—yang mungkin sudah ia ceritakan berkali-kali setiap hari Rabu. Aku bosan dan ingin teriak kalau saja ia bukan seorang Ibu yang mengingatkanku pada sosok Mama di rumah. Aku tidak terlalu mendengarkan apapun yang ia ucapkan. Lalu ia komentari semua barang-barang di kamar ini. Terpaksa aku harus tersenyum. Padahal ia sudah tanya, apakah aku sedang lembur? Apakah aku nggak capek? “Pekerjaan Mbak Tikah mah, capeknya karena pikiran yah” katanya. Aku tersenyum lagi. Dan mulai kehilangan konsentrasi. Aku memilih mainan twitter supaya rasa bête hilang segera.  Dari pintu luar, kemudia

Tentang Kematian Itu Apa?

Umpama kita sedang berada pada kapal yang hampir karam. Dari segala sisi, ombak menghantam tepiannya. Kita akan tamat! Sekali lagi ombak datang menggulung maka hilanglah kita: kamu dan aku.    Lalu kau hanya diam, teriakanku sama sekali tak menyentuh duniamu yang sunyi. Kau miliki sendiri duniamu tanpa membawaku hidup. Aku lagi-lagi sendirian, kesepian, walaupun kesendirian yang fiktif sebab kau tak ke mana-mana selain di atas kapal kita yang hampir karam.  Jadi siapa seharusnya jadi nakhoda? Maka aku berpikir, biarkan aku menjadi kemudi bagi kapalku sendiri? Aku bakal tak peduli lagi, sekalipun kau menjelma jadi batu yang bisu. Aku tak mau peduli lagi selama apa yang engkau kehendaki. Tapi jangan paksa aku bicara pada dinding batu yang keras, yang sulit pecah, tapi memberati kapal kita hingga kematian jadi begitu dekat. Kematian yang tolol. Sempat dipublish di www.tumblr.com / 31 Oktober 2013

Saat Tokoh Menjadi Sangat Berpengaruh pada Lifestyle

Seorang teman memasukan nama Pramoedya Ananta Toer ke dalam daftar penulis favoritnya di Goodreads. Saat ngobrol sama dia, tentu saja aku senang. Setidaknya ada yang mendekatkan kami, pikirku; sama-sama mencintai Pram, meski karya yang kubaca pun belum semuanya.  Suatu hari, kami membahas sebuah buku yang kemudian spontan lari ingatanku ke novel Bumi Manusia-nya Pram. "Udah baca novel Bumi Manusia kan" Aku semringah bertanya. Siap-siap melanjutkan kasus tentang buku tadi. Kawanku itu menggeleng. “Ehmm, trus kamu suka yang mana dari bukunya Pram?” tanyaku, dan aku mulai hilang fokus. "Belum ada yang kubaca" katanya. Hah? Jadi, apa tendensimu dengan memilih Pram sebagai penulis favoritmu? Aku membatin. Sebenarnya aku tahu, bahwa kadang ada juga orang yang pingin dianggap galau dengan terus-terusan updet status menyek-menyek. Pun, soal bacaan. Kenapa sih harus kamu yang ikut-ikutan bilang Pram keren bukan karena membacanya sendiri, tapi hanya mengutip omonga

Peristiwa Mario di toko boneka

Anak terakhir Mama sekarang udah kelas satu es-em-pe. Tinggal jauh dari rumah, dan mudiknya seminggu sekali aja. Ia bocah yang doyan banget nonton film kolosal, horor, dan sedikit aja kenal film kartun. Didukung lokasi rumah yang emang pelosok mentok, jadi ya chanel televisi itu terbatas banget. Mama juga cuma akan duduk di depan televisi selepas isya, sinetronlover-lah, jadi ya nggak ada keharusan buat kenal acara lain, apalagi baca komik dan akses internet. Itu aktivitas yang pokoknya jauuuuh banget sama kebiasaan Mama. Jauh juga karena adik terakhirku itu nggak addict depan televisi.  Di liburan kemarin, Mama melancong ke Jogja. Astaga bahasanya; melancong kayak tahun kapan gitu yah. Tapi serius, iya, Mama ke Jogja bareng Bapak. Rencananya dari Jogja mau nengok saudara di Boyolali.  Jadilah aku pergi ke toko boneka buat cari oleh-oleh. Toko yang nggak besar-besar amat di sudut jalan. Mama juga ikut. Ia duduk di kursi depan kasir, melihatku bingung dengan pilih

XXL

Obesitas mendadak itu menyebalkan. Banyak baju yang harus diganti. Makanya aku jadi cinta mati sama leging. Alih-alih leging kotor semua, pakailah celana kain/jeans lama yang pasti akan membuatku susah duduk. Perut ketekan. Dan nggak nyaman banget. Kuceritakan ini pada temanku sore kemarin. Ia lalu bilang, “Aku punya celana kain tuh Mbak” katanya. Aku melirik. Badannya aja nggak lebih dari 45 kg, mana muat celananya buatku. "Ngece!" "Beneran, ada di butikku" Oh, batinku. Aku kan nggak niat buat beli celana kain. Kalaupun beli celana baru, tentu aku bakal milih leging lagi. Saat sudah di butiknya, temenku itu mengambil lima warna celana kain dari stocknya di gudang. Ia lalu mengangsurkan satu warna berukuran XXL. Aku melengos sebal. Kutaruhlah lagi celana itu. "Kalau kamu mau, ambil aja" tawarnya. "Maksudmu?" "Iya, kalau mau ambil aja, gratis" Wah. Spontan aku semringah. Temenku yang satu ini emang luar biasa kece baiknya. Maka aku pil

Tentang Proofreader

"Setengah hari deh ya ngeproof naskah 200 halaman ini. Kan nggak kayak ngedit. Pasti bisa cepetlah, wong itu udah rapi kok. Udah berkali-kali kubaca dan minim typo banget," kata teman saya yang editor. "Ah cuma ngeproof. Kerjanya baca sambil ngoreksi typo dan EYD, apa susahnya sih?" kata yang lain.  "Enggak usah bayar proofreader profesional deh, cari aja orang yang suka baca suruh ngoreksi. Lebih murah. Lebih hemat. Lah wong cuma kek gitu kok, siapapun pasti bisa," ups, boleh saya salto?  Duh, saya sering sekali melongo mendapati dialog-dialog seperti itu. Benarkah kalau pekerjaan sebagai proofreader itu semudah Putri Nirmala menggoyangkan tongkat ajaibnya, "Bim salabim, jadilah beres!!" wusssshhh? Tentu tidak kan. Menurut saya, pekerjaan ini— finishing naskah— tanggung jawabnya besar ke pembaca. Seorang proofreader yang kerjanya asal-asalan berpotensi membuat pembaca sakit mata akibat typo di mana-mana. Lebih buruk

Oh Dokter Kita, Endonesiaku?

Semingguan sudah, ada rasa sakit di perut bawah sebelah kiriku. Aku malas ke RS, makanya isenglah datang ke Puskesmas dekat rumahku. Iseng? Iya, kusebut iseng karena jelas aktivitas ini tidak membutuhkan uang yang banyak. Aktivitas suka-suka yang bikin nggak syok pas bayar depan kasir dan juga nggak rugi-rugi bangetlah. Bayar 5000-10.000 trus jadi bisa ’membaca’ kualitas pelayanan umum ini kan ya nggak rugi-rugi banget kan ya. Jam 10 siang, Sabtu kemarin aku berangkat. Seneng rasanya karena di sana tidak perlu antre. Saat namaku dipanggil, aku langsung masuk ke poli umum. Seorang perempuan yang kutaksir seusia ibuku, mempersilakan aku duduk. Pintu ruangan dibiarkan terbuka begitu saja, jujur ini cukup mengganggu bagiku. "Sakit apa Mbak?" tanyanya, tanpa mukadimah. Tanpa cek tensi darah atau suruh nimbang berat badanlah dulu minimal. "Sakit perut, Dok" "Sebelah mana?" Lalu aku menunjuk perut bawah sebelah kiri. "Kanan apa kiri" Uh, dasar dokte

Jadi, Semua Perempuan Itu Sama Ya, Mbak?

Berhubungan badan pas masa subur biasanya langsung hamil kok, katanya padaku suatu hari. Aku lalu tanya, gimana sih ngitung masa subur itu. "14 hari setelah haid" "Bukannya 14 hari sebelum haid, Mbak? Soalnya aku nggak teratur haidnya," curhatku. Siklus haid yang normal menurut artikel yang kubaca memang 28-30 hari, jadi gampang nentuin masa subur dengan sistem penanggalan. "Ah nggak usah susah-susahlah, hitung aja 14 hari setelah haid," jawabnya cuek. Pede banget dengan teorinya. Padahal selepas anak pertamanya lahir, sebelum genap 1 tahun ia justru sudah hamil lagi. Perhitungannya meleset. Ia KB dengan perhitungan masa subur yang (pastinya) keliru kan? Beberapa bulan kemudian, aku kembali bertemu dengannya. Aku bilang, aku sedang terlambat haid, makanya harus hati-hati siapa tahu hamil. Aku nggak tahu, karena siklus haidku kacau balau. "Udah ke dokter?" tanyanya. "Belum Mbak" kataku. "Oh baru asumsi aja ya?" jawabnya sinis

Tuhanlah Pemilik Segala-gala Keputusan

Pada akhirnya, kita mesti kembali mengakui bahwa segala-gala rencana hanyalah tinggal rencana jika Tuhan tidak menghendaki.  Setahun sudah, dada sesak dihimpit pertanyaan-pertanyaan soal anak. “Kamu kapan mau hamilnya, Tik?” tanya seorang teman. Aku tinggal membisu sebagaimana Tuhan mendiamkan segala pertanyaanku. Bukankah manusia begini kecilnya dibanding Tuhan. Telah bertubi-tubi pesan kukirimi, dan Ia tak jua bicara. Lalu ke mana musti kudapati jawaban untukmu, sedang pertanyaan yang sama mengental dalam darah.  Ada yang hamil tanpa perkawinan, padahal konon Tuhan mengutuk para penzina. Lalu dengan lelaki yang halal bagiku, kemana Ia? “Tuhan, kemana Kau saat suaraku mulai serak. Aku dibiarkan berseru-seru dalam protes.” "Itu pendapat yang keliru, Dik. Tuhan menguji ketidaksiapan mereka dengan menitipkannya anak sebelum kawin. Sedang kepada kita, mungkin Ia perlu menguji seberapa kita sabar menunggu, meski kau bilang telah begini siap" suamiku menasihati.

Salah Melulu

Ingat usia, Tik. Belajarlah hidup lebih bijak. Di rumahmu sendiri, kan kau berperan pula sebagai kepala (bagian) rumah tangga. Kelak, anak-anakmu akan membaca: bagaimana ibunya, seberapa galak bapaknya.  Hidup kita memang tak luput dari khilaf dan sial. Saat dua hal itu menghampiri, tak usah kau cari kambing hitam melulu, Tik, jangan. Belajarlah lebih bijak.  Pagi tadi, saat gelas kopi suamimu kau tumpahkan. Kau teriak "Sialan, naruh gelas sembarangan" Husttt. Sudahkah kau berhati-hati? Lain hari yang lalu, kau rasai kepalamu hampir pecah memikirkan uang. Kebiasaanmu mencari kambing hitam sungguh tidak terpuji. Kau bilang bahwa rokok adalah pemborosan paling fatal. Pemborosan macam mana jika kau tak menghitung dengan benar, berapa yang kau habiskan, dan berapa rokok sialan suamimu itu mendapat jatah? Kebiasaan mencari kambing hitam, terkadang membikin cara pikirmu terkesan picik. Saat kau lihat putung rokok menempel di gorden kesayanganmu, kau menjerit. Suamimu

Film Comic 8 sebuah Intermezo

Pertengahan Januari, suami bilang ingin mengajakku ke bioskop buat nonton film Comic 8, yang kabarnya rilis akhir bulan. Jelas, aku seneng dong ya. Kapan sih terakhir nonton film di bioskop bareng pacar? Aihh, pokoknya udah itungan tahun deh.  Sebagai istri, konon tugasnya mengingatkan suami, walaupun tak luput dituduh bahwa ini adalah bentuk tuntutan. Yea tuntutan? Tolong ya dicermati.  Saat akhir bulan tiba, aku bilang "Jadi nonton nggak Mas?" Tanpa diduga-duga suamiku malah nyeramahin dengan nada tinggi, " Masih mau nonton?? Nggak sadar kebutuhan banyak banget. Malah ngajak nonton," katanya, yang jelas lebih panjang dari sekadar ini. Aku cuma diem, meskipun dongkol setengah mati. Tapi tiba-tiba ada yang bersuara. Yep hatiku teriak "Afuuu! PHP-in gue lu ya! Siapa yang janji, kenapa gue yang kesannya nuntut? Afu afu afu!" Tapi yea, sebagai istri aku tetep senyum manis. Seakan akan tidak ada yang terbakar di dada sendiri.  Sampai pada tangga