Ketika pergi bersama dengan motor yang beda, kadang nggak tahan sama perhatian suami yang bikin gemes. Dia akan menyuruhku berjalan lebih dulu. Entah malam atau siang, entah tahu jalan atau tidak pokoknya aku di depan. Mungkin suami khawatir aku kenapa-kenapa dan jatuh tanpa pengawasannya. Mungkin juga karena dia khawatir aku tertinggal jauuuuh karena hobi naik motor yang lambat.
Nah, gemesnya tuh kalau ditanya mau lewat jalan mana. Ia akan jawab terserah. Jadilah kami melewati jalan sesuai pilihanku, terserah aku, nyasar atau nggak terserah karepku. Tapi pas di belokan yang mungkin menurutnya nggak pas, dari belakangku dia akan teriak-teriak dengan soundtrack klakson. Alamak "Kanan, kanan!" Teriaknya. Tentu saja aku limbung. Niat lurus jadi seketika ke kanan. Atau, kalau teriakannya nggak jelas, tiba-tiba saja aku bisa berhenti di tengah jalan, menengok ke arahnya, bertanya apa maunya. Alhamdulillah sih selama ini masih aman, selamat sentosa.Aku cuma ngebayangin, seandainya kami ini seorang masinis. Mungkin aku akan tetap berada di barisan depan, dan suami mengendalikan kereta setelah keretaku. Kami akan bergerak bersama ke tujuan yang sama. Saat, arah keretaku salah, dia akan tetap berteriak dari kereta belakang. Oh, Tuhan terus bagaimana dia akan teriak? Seberapa keras suaranya sampai ke telingaku? Astaga, Mas. Apa bisa kau menyaingi teriakannya kuntilanak? Nggak usah wis, niat beli keretanya
Kamar tidur dengan jendela lebar, kadang menguntungkan bagi istri seperti saya. Yep, apalagi karena gordennya tipis. Jika pagi datang, cahaya menembus begitu saja.
Seperti pagi tadi. Saya merasa bangun terlalu pagi. Tanpa melihat jam berapa, saya pun mulai melakukan aktivitas seperti biasa. Tapi, ada yang mengganggu; kenapa sepagi ini handphone terus menerus berbunyi. Ada apa? Saya sempat khawatir kalau-kalau ada kabar buruk dari kampung halaman.
Namun, ternyata pesan bertubi-tubi itu datang dari grup Watshap dan seorang teman yang BBM. Isinya mengabarkan kalau Jogja kena hujan abu. Gunung Kelud meletus. Saya pun kemudian membuka pintu ruang tamu dengan penasaran. Melihat halaman yang berubah putih, saya baru ngeh, kalau langit gelap bukan karena hari masih pagi. Sebagai seorang istri, bangun tidur setengah tujuh tentu sudah kesiangan, bukan?
Nah ini dia, penampakan di halaman rumah saya.
Jam 6.33 WIB
Jam 10.00 pag
Jam 10.00 pagi
Jam 10.00 pagi
Jam 10.00 pagi
Jam 10.00 pagi
Jam 10.00 pagi
Nah, debu di halaman rumah ini belum separang yang berikutnya saya terjang. Jarak pandang hanya dua meter. Astaga. Padahal ini sudah jam setengah satu siang.
Semoga kita semua dalam lindungan Allah.
Cerita lain Casimira nihSelama dua tahun diam, mungkin ada wajarnya Casimira marah. Ia menceracau sepanjang jalan seperti manusia kena sakit panas tinggi. Awalnya, saya tidak percaya kalau suara yang begitu jelas, di antara banyaknya kendaraan sore ini adalah suara Casimira, suara motor saya. Ya, motor saya bisa bicara.Saya kaget bukan main. Namun, jalanan begitu rame dan membikin saya tak sempat menebak banyak kemungkinan tentang alasan keganjilan ini. Satu-satunya yang masuk akal, mungkin kerna perasaan bersalah saya begitu besar. Ya, lima bulan sudah Casimira tidak diservis. Kedengarannya aneh, tapi bisa jadi kan rasa sensitif ini membuat saya bisa mendengar apa saja yang dikatakan Casimira. Hanya saya yang bisa mendengarnya.Saya tidak tahu, Casimira memulai kalimatnya dari mana, tapi ketika ada suara yang menyebut namanya, saya baru sadar kalau ada yang tidak beres."Ah, jelek sekali nama Casimira ini. Seperti banci!" katanya. Saya mendadak menepi dari aspal. Saya belum paham betul asal suara tersebut, maka iseng saja saya jawab "Bagus kok nama Casimira". Saya menengok ke kanan kiri. Jangan sampai ada orang yang lihat saya ngomong sendiri."Astaga. Aku memang tidak segagah motor suamimu, Tikah" Busyet? Nama saya dipanggil, siapa ya? "Ya, apalagi kalau dibandingkan dengan motor rekan kerjamu yang matic, cantik. Tapi, apakah aku tak pantas mendapat nama yang lebih bagus" lanjutnya.Saya merinding, mega senja di atas Giwangan mulai hilang. Suara ini begitu ajaib, batin saya. Tahu segala soal motornya Dian iriana yang matic, dan suami saya yang pakai motor egois, motor cowok yang tidak bisa saya pinjam ketika Casimira sewaktu-waktu ngambek.Ketika tanpa distarter motor saya kembali berjalan, saya baru sadar kalau itu suara Casimira."Casimira itu artinya pembawa perdamaian, pembawa misi kebajikan loh. Harusnya kamu bangga" Tentu saja saya tidak terima. Saya memberi nama itu karena ada alasannya. Nama Casimira sendiri mencatat peristiwa besar dalam hidup saya. Kedatangannya ke Jogja membikin reda pertengkaran saya dengan Adik ketika ia tidak mau disuruh mengantar saya kerja. Casimira jugalah yang membuat saya leluasa mengunjungi pacar, tanpa perlu lebih dulu marah-marah minta dijemput. Meskipun, saya tidak tahu kapan ia dilahirkan, tapi saya mencintainya sebab Casimira adalah motor kesayangan ayah saya."Justru itu, Tikah. Karena aku tidak merasa cantik dan tampan. Nama pemberianmu itu mendukungku untuk jadi banci"Saya marah. Saya berhenti di warung sayur dengan perasaan jengkel. Mana ada sejarahnya motor banci. Dasar menyebalkan. “Mungkin kalau cukup dengan Kasim atau Mira, aku bisa memilih salah satu jenis kelaminku. Casimira itu kan gabungan dua nama. Jadi, kau pikir aku berkelamin apa sih?” lanjutnya setengah berteriak. Oh Tuhan. Makin tidak waras saja."Kalau aku jadi perempuan, kapan terakhir aku dimandikkan? Ingat?" Casimira kian lantang berteriak. Ia semakin mendesak. Saya melirik ke jalan di mana Casimira masih terus ngoceh. Sialan betul, untung yang bisa mendengarnya cuma saya."Kau bilang mencintaiku kan, Tikah, tapi kenapa tak sedikitpun ada perhatiannya" suaranya dipelankan, ketika saya berjalan menuju ke arahnya "Setiap pagi kan kita berangkat kerja bareng. Tapi setiap bulan hanya bensinku yang kau penuhi. Itu pun karena kau takut sengsara, bukan? Kau lebih banyak menuai hasil. Tapi, kau tak perhatian dengan badan-badanku yang pegel""Ya ampun Casimira" Teriak saya. Membikin ia sedikit ‘menjundal’. Saya memelankan suara "Bulan ini kan sudah dua kali kau bikin susah aku. Nggak inget, ketika hujan lebat waktu itu tiba-tiba banmu bocor. Itu kan sudah kubawa ke bengkel. " Lanjut saya, dan celakanya ini kalimat yang salah."Trus salah gue gitu?" Nah kan. "Kurang baik apa coba, ban sudah tipis tidak diganti-ganti, tapi aku tidak protes? Setiap hari ketika kau sedang ketakutan diserang klakson bus-bus antar kota, kan aku juga yang menormalkan kendalimu. Dan, ketika harusnya kau fokus mengendaraiku, eh, kau malah terkesan dengan indahnya langit senja di atas Giwangan. ""Jadi, maumu apa?""Aku cuma mau marah, Tik. Atas namaku, atas jenis kelaminku. Bayangkan, ketika adrenalinku terpacu untuk bisa ngebut di jalanan, kau hanya berani di titik 40 KM/Jam. Itu maksimal. "Sialan. Ah. Makin nggak jelas. Beginilah kalau benda bermesin bisa bicara."Terserah kau sajalah mau jadi apa? Pusing saya. Jika kau jamaah teori seks hanya terjadi antara lelaki dengan perempuan, dan bukan sesama jenisnya. Sesuaikan saja maumu kan gampang. Ketika aku yang menunggangimu, jadilah perempuan yang lembut, yang tak perlu ngebut-ngebut""Jelaslah aku memilih jadi perempuan ketika bersamamu. Kalau aku menjadi laki-laki, mana nafsu dinaikin kamu"
Ibu-ibu di kantorku berniat membersihkan gudang buku. Seperti biasa; ia akan menyapu semua ruangan setelah orang-orang kantor pulang. Ia yang bertugas membuka dan menutup kantor.
Di kamar redaksi, aku masih berkejaran dengan deadline. Toh suami sedang keluar kota, aku berniat lembur saja. Tapi, tiba-tiba Ibu tadi masuk ke kamar redaksi. Persis di hadapanku. Ia mulai bercerita tentang nasib hidupnya—yang mungkin sudah ia ceritakan berkali-kali setiap hari Rabu. Aku bosan dan ingin teriak kalau saja ia bukan seorang Ibu yang mengingatkanku pada sosok Mama di rumah.
Aku tidak terlalu mendengarkan apapun yang ia ucapkan. Lalu ia komentari semua barang-barang di kamar ini. Terpaksa aku harus tersenyum. Padahal ia sudah tanya, apakah aku sedang lembur? Apakah aku nggak capek?“Pekerjaan Mbak Tikah mah, capeknya karena pikiran yah” katanya.Aku tersenyum lagi. Dan mulai kehilangan konsentrasi. Aku memilih mainan twitter supaya rasa bête hilang segera.Dari pintu luar, kemudian anaknya datang. Ia bilang kenapa belum mulai membersihkan gudang.“Masih, banyak pekerja. Tumben itu. Ora penak ah, nanti dikira ngusir wong kerjo” kata ibu tadi.“Ya ora popo. Kan wis wektune to, Bu.” Jawab si anak.“Nggak enaklah, ganggu wong kerja”Hah? Aku hampir saja berteriak. “Lo juga ganggu gue kali, Bu. Gue lagi kerja nih”Mendadak badmood untuk kesekian kalinya. Ya ampun.
Umpama kita sedang berada pada kapal yang hampir karam. Dari segala sisi, ombak menghantam tepiannya. Kita akan tamat! Sekali lagi ombak datang menggulung maka hilanglah kita: kamu dan aku.
Lalu kau hanya diam, teriakanku sama sekali tak menyentuh duniamu yang sunyi. Kau miliki sendiri duniamu tanpa membawaku hidup. Aku lagi-lagi sendirian, kesepian, walaupun kesendirian yang fiktif sebab kau tak ke mana-mana selain di atas kapal kita yang hampir karam.
Jadi siapa seharusnya jadi nakhoda? Maka aku berpikir, biarkan aku menjadi kemudi bagi kapalku sendiri? Aku bakal tak peduli lagi, sekalipun kau menjelma jadi batu yang bisu. Aku tak mau peduli lagi selama apa yang engkau kehendaki. Tapi jangan paksa aku bicara pada dinding batu yang keras, yang sulit pecah, tapi memberati kapal kita hingga kematian jadi begitu dekat. Kematian yang tolol.
Sempat dipublish di www.tumblr.com / 31 Oktober 2013
Seorang teman memasukan nama Pramoedya Ananta Toer ke dalam daftar penulis favoritnya di Goodreads. Saat ngobrol sama dia, tentu saja aku senang. Setidaknya ada yang mendekatkan kami, pikirku; sama-sama mencintai Pram, meski karya yang kubaca pun belum semuanya.
Suatu hari, kami membahas sebuah buku yang kemudian spontan lari ingatanku ke novel Bumi Manusia-nya Pram. "Udah baca novel Bumi Manusia kan" Aku semringah bertanya. Siap-siap melanjutkan kasus tentang buku tadi.Kawanku itu menggeleng. “Ehmm, trus kamu suka yang mana dari bukunya Pram?” tanyaku, dan aku mulai hilang fokus."Belum ada yang kubaca" katanya.Hah? Jadi, apa tendensimu dengan memilih Pram sebagai penulis favoritmu? Aku membatin.Sebenarnya aku tahu, bahwa kadang ada juga orang yang pingin dianggap galau dengan terus-terusan updet status menyek-menyek. Pun, soal bacaan. Kenapa sih harus kamu yang ikut-ikutan bilang Pram keren bukan karena membacanya sendiri, tapi hanya mengutip omongan orang."Aku suka quote-quotenya Pram yang keren aja sih di Goodreads"O….
Anak terakhir Mama sekarang udah kelas satu es-em-pe. Tinggal jauh dari rumah, dan mudiknya seminggu sekali aja. Ia bocah yang doyan banget nonton film kolosal, horor, dan sedikit aja kenal film kartun. Didukung lokasi rumah yang emang pelosok mentok, jadi ya chanel televisi itu terbatas banget.
Di liburan kemarin, Mama melancong ke Jogja. Astaga bahasanya; melancong kayak tahun kapan gitu yah. Tapi serius, iya, Mama ke Jogja bareng Bapak. Rencananya dari Jogja mau nengok saudara di Boyolali.
Jadilah aku pergi ke toko boneka buat cari oleh-oleh. Toko yang nggak besar-besar amat di sudut jalan. Mama juga ikut. Ia duduk di kursi depan kasir, melihatku bingung dengan pilihan yang cocok. Untung pembelinya cuma ada kami berdua, jadi nggak sumpek.
"Ini lucu nggak Ma?" kataku, mengangkat boneka kucing yang lagi tengkurap."Ah, bentuknya nggak jelas. Itu meong lagi ngapain sih?"Oke, kutaruhlah boneka kucing malas itu. Aku lalu mengangkat boneka Spongbob—ada Petrik juga sih sebenernya, tapi kan judul filmnya Spongbob jadi ya aku nggak pilih Petrik."Lah boneka apa itu? Kotak-kotak." teriak Mama mendeskripsikan si Spongbob. Spontan aku melirik ke arah Mbak-mbak Kasir yang tersenyum geli. Aku juga ikut tersenyum, malah ngakak. "Pilih boneka yang jelas-jelas ajalah. Yang bentuknya nyata" Jelasnya lagi. Maksud Mama, bentuk nyata itu maksudnya yang realis gitu."Ya. Iki piye?" kataku, sambil mengangkat boneka katak warna ijo yang imut banget."Hih. Kodok. Nggilanilah" Hah?"Jerapah?""Jelek, terlalu kurus"Jadilah aku menyerah. “Mario Bros ini lucu kan Ma?”"Kumisnya tebel banget. Apa nanti nggak bikin takut, Nduk?" Suara Mama terdengar ragu-ragu."Nggak papalah," kataku melemah. Udah capek. Maka kubawalah boneka Mario Bros sebagai pilihan terakhir ke depan kasir."Itu ada warna lain nggak? Jangan merah sama biru, kayaknya mencolok banget" celetuk Mama.#Deg!"Mario Bros kan warnanya emang ini, Bu" jelas Mbak Kasir, terlihat akan meledakkan tawanya. Ya ampun Mama, batinku. Betapa aku jadi ingin pulang ke rumah, menceritakan banyak hal yang indah-indah kepada Mama.
Sempat dipublish di www.tikahkumala.tumblr.com / 12 November 2013
Obesitas mendadak itu menyebalkan. Banyak baju yang harus diganti. Makanya aku jadi cinta mati sama leging. Alih-alih leging kotor semua, pakailah celana kain/jeans lama yang pasti akan membuatku susah duduk. Perut ketekan. Dan nggak nyaman banget.
Kuceritakan ini pada temanku sore kemarin. Ia lalu bilang, “Aku punya celana kain tuh Mbak” katanya. Aku melirik. Badannya aja nggak lebih dari 45 kg, mana muat celananya buatku.
"Ngece!"
"Beneran, ada di butikku"
Oh, batinku. Aku kan nggak niat buat beli celana kain. Kalaupun beli celana baru, tentu aku bakal milih leging lagi.
Saat sudah di butiknya, temenku itu mengambil lima warna celana kain dari stocknya di gudang. Ia lalu mengangsurkan satu warna berukuran XXL. Aku melengos sebal. Kutaruhlah lagi celana itu.
"Kalau kamu mau, ambil aja" tawarnya.
"Maksudmu?"
"Iya, kalau mau ambil aja, gratis" Wah. Spontan aku semringah. Temenku yang satu ini emang luar biasa kece baiknya. Maka aku pilih-pilih lagi. Warna biru dengan size L kubawa masuk ke ruang ganti.
OMG, GAK MUAT!
Aku keluar dengan lesu. “Coba yang ukuran besar” kataku.
"XXL ya?"
"Kegedeanlah pasti" bentakku.
"Coba dulu" Maka, aku pun kembali masuk. Daaaan jreeeeng! Pas sodara-sodara. Masya Allah ukuranku jadi melebar begini yah? Aku yang beberapa tahun lalu selalu milih baju ukuran S sekarang udah melonjak begini keren. Keren? Keren ya sodara-sodara?
Pernah kuposting di www.tumblr.com / 17 November 2013
"Setengah hari deh ya ngeproof naskah 200 halaman ini. Kan nggak kayak ngedit. Pasti bisa cepetlah, wong itu udah rapi kok. Udah berkali-kali kubaca dan minim typo banget," kata teman saya yang editor.
"Ah cuma ngeproof. Kerjanya baca sambil ngoreksi typo dan EYD, apa susahnya sih?" kata yang lain.

Duh, saya sering sekali melongo mendapati dialog-dialog seperti itu.
Benarkah kalau pekerjaan sebagai proofreader itu semudah Putri Nirmala menggoyangkan tongkat ajaibnya, "Bim salabim, jadilah beres!!" wusssshhh?
Tentu tidak kan.
Menurut saya, pekerjaan ini—finishing naskah— tanggung jawabnya besar ke pembaca. Seorang proofreader yang kerjanya asal-asalan berpotensi membuat pembaca sakit mata akibat typo di mana-mana. Lebih buruknya lagi, kalau typo itu ada di buku resep masakan.
Benarkah kalau pekerjaan sebagai proofreader itu semudah Putri Nirmala menggoyangkan tongkat ajaibnya, "Bim salabim, jadilah beres!!" wusssshhh?
Tentu tidak kan.
Menurut saya, pekerjaan ini—finishing naskah— tanggung jawabnya besar ke pembaca. Seorang proofreader yang kerjanya asal-asalan berpotensi membuat pembaca sakit mata akibat typo di mana-mana. Lebih buruknya lagi, kalau typo itu ada di buku resep masakan.
Coba bayangkan, misalnya dalam buku tersebut harusnya berbunyi; "masukan garam sebanyak 1 sendok teh ke dalam masakan". Tapi karena lolos dari pengamatan editor dan proofreader, maka takaran 1 sendok teh menjadi 10 sendok. Nah, apa kabar coba rasa masakan itu? Itu baru buku resep masakan, belum kalau buku kesehatan atau yang berhubungan dengan listrik. Moga-moga saja sih tidak ada yang mati akibat typo ya.
Makanya, saat ngeproof menurut saya sih harus benar-benar teliti. Nggak cuma typo dan EYD yang diurusin. Tapi juga mengkroscek, kalau-kalau pekerjaan editor soal konten masih berantakan. Proofreader berhak loh mengingatkan.
Saya pernah menganalogikan begini; misalnya naskah itu adalah sebuah pakaian kotor yang dicuci manual oleh seorang editor. Kalau pakaian itu kotor sekali, tentu editor akan kewalahan mencucinya hingga bersih. Ia butuh merendam, menggilas, mengucek, sampai membilasnya berkali-kali. Lain halnya jika pakaian itu cuma kotor sedikit, mungkin hanya dengan 5 kali kucek sudah bisa kita bilas dan jemur.
Begitu pun dengan naskah yang--menurut standar tertentu--misalnya masih buruk. Dalam situasi begini, tentulah editor butuh kerja keras untuk mengamplasnya supaya jadi bagus. Editor berhak memberikan penawaran pengubahan kalimat, bahkan konten naskah. Tapi kebalikannya jika naskah yang diterimanya sudah rapi dan bagus. Editor tentu saja kegirangan karena bisa menyelesaikan tugasnya dengan cepat.
Beda dengan proofreader. Misalkan saja, proofreader itu adalah seorang tukang setrika. Dia bertugas melicinkan pakaian sehabis dicuci. Jika masih ada noda, dia akan bisa melihat dan mengembalikannya ke tukang cuci. Urusan dia hanya menyetrika. Dan tak ada bedanya, menyetrika pakaian kotor ataupun bersih, bukan? Yang penting licin. Jika dia biasanya menyelesaikan satu pakaian bersih hanya dengan waktu dua menit saja, maka dua menit itu pula yang dia butuhkan untuk menyetrika satu pakaian kotor. Tak bisa dipercepat jika standarnya adalah licin. Kalau harus dipercepat, maka hasilnya pun tidak akan maksimal.
Seperti ngeproof naskah. Baik itu sudah rapi ataupun banyak typo, seorang proofreader akan tetap membutuhkan waktu yang stabil. Dia butuh dengan cermat membaca kata per kata sampai benar-benar minim typo. Jika diminta lebih cepat dengan alasan naskah tersebut sudah rapi, ya tentu saja bisa, dengan risiko pekerjaannya tidak akan maksimal.
Iya, pekerjaan proofreader memang gampang kok. Cuma baca dan mengoreksi. Siapapun bisa melakukannya. Sungguh, tidak harus menghabiskan jutaan rupiah kuliah di jurusan bahasa, sekali lagi tidak harus, kamu saja bisa deh jadi proofreader. Asalkan ya ... itu syaratnya punya kemauan.
Kemauan itu adalah kemauan untuk belajar, kemauan melatih kepekaan dan ketelitian, kemauan bertahan dalam kejenuhan membaca, kemauan bersabar menghadapi naskah, kemauan bolak balik buka kamus, kemauan melawan malas, kemauan menghilangkan sifat suka menyepelekan hal-hal kecil, kemauan untuk belajar menerima sindiran keras dari pembaca dengan hati yang lapang, dan kemauan-kemauan lainnya.
Menurut saya, seseorang bisa menjadi proofreader yang baik pasti butuh proses. Kenapa butuh proses? Ya itu tadi untuk memenuhi syaratnya. Tidak cukup loh hanya karena suka baca lalu bisa ngeproof dengan baik.
Orang yang tidak biasa ngeproof (apalagi jarang updet info bahasa) kemungkinan akan meloloskan kata-kata yang salah kaprah. Misalnya adalah kalimat: Adik menangkap cicak.
Karena dari zaman baheula sudah biasa melihat kata "cicak" itu benar, maka ya sudah diloloskan saja. Padahal di KBBI sekarang "cicak" kata bakunya itu "cecak". Makanya butuh pengalaman untuk tahu mana yang sering salah kaprah.
Dengan tugas proofreader yang begitu, saya kok ya suka sedih kalau masih ada orang yang menyepelekannya. Sudah bayaran kecil, ditegur kalau keliru-keliru, disepelekan lagi hahahaha. Kalau orang awam yang memandang kayak begitu aja saya suka sedih, meskipun dalam hati; it's oke, mungkin menggali emas dalam bumi aja gampang kok (padahal taruhannya nyawa). Karena orang tidak tahu, masak mau disalahkan? Tapi yang paling buat saya sedih adalah jika dari praktisi buku sendiri kadang menganggap tugas proofreader itu sepele. Remeh temeh. Murahan. Eits kata paling akhir itu bener sih, murahan, maksudnya dibayar murah meriah oleh beberapa penerbit.
Semingguan sudah, ada rasa sakit di perut bawah sebelah kiriku. Aku malas ke RS, makanya isenglah datang ke Puskesmas dekat rumahku. Iseng? Iya, kusebut iseng karena jelas aktivitas ini tidak membutuhkan uang yang banyak. Aktivitas suka-suka yang bikin nggak syok pas bayar depan kasir dan juga nggak rugi-rugi bangetlah. Bayar 5000-10.000 trus jadi bisa ’membaca’ kualitas pelayanan umum ini kan ya nggak rugi-rugi banget kan ya.
Jam 10 siang, Sabtu kemarin aku berangkat. Seneng rasanya karena di sana tidak perlu antre. Saat namaku dipanggil, aku langsung masuk ke poli umum. Seorang perempuan yang kutaksir seusia ibuku, mempersilakan aku duduk. Pintu ruangan dibiarkan terbuka begitu saja, jujur ini cukup mengganggu bagiku.
"Sakit apa Mbak?" tanyanya, tanpa mukadimah. Tanpa cek tensi darah atau suruh nimbang berat badanlah dulu minimal.
"Sakit perut, Dok"
"Sebelah mana?" Lalu aku menunjuk perut bawah sebelah kiri. "Kanan apa kiri" Uh, dasar dokter nyebelin. Masih kurang jelas aku sampai berdiri di depannya untuk ngasih tahu.
"Kiri bawah Dok" jawabku ketus.
"Oh, itu paling cuma ada angin dalam pencernaan. Karena masuk angin" Muka gile. Segampang itu ya cara dokter nanganin pasien. Dan busyettt, mukanya itu loh lempeng, datar kaya jemuran. "Bukan kanan kan? Kalau kanan itu biasanya kena appendiks"
"Hah? Apa itu"
"Ya ampun. Wong Jawa bilang usus buntu Mbak" jawabnya, sambil tersenyum ngece menghadap susternya. Aku yang lagi sensitif, serasa menangkap bahasa tubuh ’ Ya ampun ndeso banget sih. Gitu aja nggak tau’
"Oh!" Jawabku. Si dokter perempuan itu kemudian menulis resep untukku. "Saya juga sering mual Dok kalau telat makan, apakah maag saya udah parah?"
Dokter itu mendongak sebentar, kemudian kembali menulis “Pernah ada maag itu tandanya. Mual ya?” Aku yakin, dia menambahkan resep obat yang harus kuminum.
"Tapi bukan ISK kan?"
"Bukanlah"
Ya, Dok. Aku cuma pengin tanya, habisnya nggak meyakinkan sih analisismu. Apa nggak sebaiknya yah basa basi pegang perutku gitu, biar nggak terkesan shallow banget cara memvonis penyakitku.
Padahal aku pengin ngadu juga, kalau suka pusing. Tapi pasti deh, dia cuma bakal menambah resep obat lagi. BTW, aku kayak punya penyakit komplikasi ringan yah? Bilang pusing ada obatnya, bilang mual ditambah obatnya dan terus begitu.
Jadilah aku pulang dengan lemes. Ya, aku tahulah. Ada harga, pasti ada pelayanan bagus juga. Bayar 5000 ya jangan minta yang macem-macem. Tapi kasihan ya sama masyarakat yang cuma mampu bayar 5000 trus pelayanannya gitu.
Sesampainya di rumah, aku ngobrol sama temenku. Apa yang divonis dokter, kuceritakan tanpa kelewat.
Spontan dia tanya, “Emang angin sama gas apa bedanya Mbak?”Aku juga jadi mikir. Waktu dokter bilang ada angin dalam pencernaanku, yang kubayangkan ya seperti masuk angin, lah. Beda kalau dia bilang gas bukannya angin. Kalau bilang gas, mungkin aku akan berpikir bahwa asam lambungku meningkat. Tapi apa benar, asam lambung meningkat bisa bikin masuk angin? Jadi gas sama angin dalam perut itu beda nggak sih?
"Kalau kentut, orang biasa bilang ‘buang gas’. Juga ‘buang angin’. Nggak ada bedanya sih, definisinya tetep satu; kentut" kataku asal.
Trus, jadinya gimana?
Sempat kuposting di www.tumblr.com
Berhubungan badan pas masa subur biasanya langsung hamil kok, katanya padaku suatu hari. Aku lalu tanya, gimana sih ngitung masa subur itu.
"14 hari setelah haid"
"Bukannya 14 hari sebelum haid, Mbak? Soalnya aku nggak teratur haidnya," curhatku. Siklus haid yang normal menurut artikel yang kubaca memang 28-30 hari, jadi gampang nentuin masa subur dengan sistem penanggalan.
"Ah nggak usah susah-susahlah, hitung aja 14 hari setelah haid," jawabnya cuek. Pede banget dengan teorinya.
Padahal selepas anak pertamanya lahir, sebelum genap 1 tahun ia justru sudah hamil lagi. Perhitungannya meleset. Ia KB dengan perhitungan masa subur yang (pastinya) keliru kan?
Beberapa bulan kemudian, aku kembali bertemu dengannya. Aku bilang, aku sedang terlambat haid, makanya harus hati-hati siapa tahu hamil. Aku nggak tahu, karena siklus haidku kacau balau.
"Udah ke dokter?" tanyanya.
"Belum Mbak" kataku.
"Oh baru asumsi aja ya?" jawabnya sinis.
"Ya, kan ndak tahu Mbak soalnya ini telatnya lama kalau dihitung dari tanggal haid terakhir, tapi di tespack masih negatif" suamiku ikut menjawab.
"Ah, nggak hamil itu. " Semena-mena ia kembali mengeluarkan teori.
"Oh jadi gitu ya, Mbak? Aku udah pasti lagi nggak hamil karena ditespack negatif?" Udah pengin banget aku tampar dia dengan cerita, kalau temenku ada yang udah lama nggak haid karena siklusnya kacau, ditespack negatif, pas ke dokter malah dikasih obat pelancar haid. Tapi beberapa hari karena penasaran nggak haid-haid kemudian ia USG, dan ternyata malah udah hamil uk 5 minggu.
"Iyalah. Aku sehari telat ditespack langsung positif kok." Katanya lagi.
Kuposting juga di www.tikahkumala.tumblr.com
"Oh! Jadi semua perempuan pasti gitu ya. Emang siklus haidmu berapa Mbak"
"30"
"Aku kadang sampai dua bulan nggak haid je. Oh, jadi semua perempuan sama ya. Dua bulan dengan 30 hari itu apa sama ya Mbak menurutmu? Aku baru tahu," kataku sambil bergumam sinis.
Bete kadang ya, sama ibu-ibu yang menganggap bahwa kehamilan semua perempuan pasti sama. Baca buku dong. Jangan cuma jadi pajangan.
Pada akhirnya, kita mesti kembali mengakui bahwa segala-gala rencana hanyalah tinggal rencana jika Tuhan tidak menghendaki.
Setahun sudah, dada sesak dihimpit pertanyaan-pertanyaan soal anak. “Kamu kapan mau hamilnya, Tik?” tanya seorang teman. Aku tinggal membisu sebagaimana Tuhan mendiamkan segala pertanyaanku. Bukankah manusia begini kecilnya dibanding Tuhan. Telah bertubi-tubi pesan kukirimi, dan Ia tak jua bicara. Lalu ke mana musti kudapati jawaban untukmu, sedang pertanyaan yang sama mengental dalam darah.
Ada yang hamil tanpa perkawinan, padahal konon Tuhan mengutuk para penzina. Lalu dengan lelaki yang halal bagiku, kemana Ia? “Tuhan, kemana Kau saat suaraku mulai serak. Aku dibiarkan berseru-seru dalam protes.”"Itu pendapat yang keliru, Dik. Tuhan menguji ketidaksiapan mereka dengan menitipkannya anak sebelum kawin. Sedang kepada kita, mungkin Ia perlu menguji seberapa kita sabar menunggu, meski kau bilang telah begini siap" suamiku menasihati.Aku orangnya memang sensitif dan mudah sekali dikuasai perasaan sendiri. Seorang teman tiba-tiba SMS, menanyakan apakah aku sudah hamil? Kujawab belum. Setelah itu, ia memberi banyak sekali saran untuk bagaimana supaya aku cepat hamil."Buat apa punya uang segunung, kalau tak punya anak" katanya sinis. Ia pikir, aku tak berusaha? Ia pikir, aku tak menghendaki punya anak?"Tak usah kemakan kata orang. Kita baru setahun, Dik. Tidakkah kau belajar sabar dari orang-orang yang telah menanti hamil selama bertahun-tahun sampai sekarang?" kata suamiku lagi. Aku terhentak (meski hanya) sesaat.Perasaan yang kumiliki saat ini, tentulah (kupikir) wajar. Semua butuh proses, ketika aku harus menutup telinga atau menyaring segala komentar yang bikin dadaku sesak.
Mungkin Tuhan telah memilihkan waktu yang tepat untukku entah kapan. Seperti kemarin, saat aku terlambat datang bulan, kehati-hatianku jadi meningkat drastis. Ini buruk sekali, karena suami tidak sejalan dengan apa yang kurasakan. Aku jadi stres, karena banyak emosi. Satu bulan terlambat, akhirnya si merah pun datang.Sehari datang bulan, keluarga di kampung mengabari kalau Bapak masuk rumah sakit. Karena aku sedang datang bulan, tanpa pikir panjang, kami pulang dengan motor. Melewati jalan yang begitu buruknya. Seandainya aku sedang hamil, mungkin aku tidak akan berani pulang karena khawatir dengan janin yang masih muda. Tidak bisa menjenguk Bapak. Tidak bisa berkumpul dengan keluarga. Ya Tuhan, thanks, skenario-Mu melegakanku.
Pernah kuposting di Tumblr-ku tanggal 11 Desember 2013
Ingat usia, Tik. Belajarlah hidup lebih bijak. Di rumahmu sendiri, kan kau berperan pula sebagai kepala (bagian) rumah tangga. Kelak, anak-anakmu akan membaca: bagaimana ibunya, seberapa galak bapaknya.
Hidup kita memang tak luput dari khilaf dan sial. Saat dua hal itu menghampiri, tak usah kau cari kambing hitam melulu, Tik, jangan. Belajarlah lebih bijak.
Pagi tadi, saat gelas kopi suamimu kau tumpahkan. Kau teriak "Sialan, naruh gelas sembarangan" Husttt. Sudahkah kau berhati-hati? Lain hari yang lalu, kau rasai kepalamu hampir pecah memikirkan uang. Kebiasaanmu mencari kambing hitam sungguh tidak terpuji. Kau bilang bahwa rokok adalah pemborosan paling fatal. Pemborosan macam mana jika kau tak menghitung dengan benar, berapa yang kau habiskan, dan berapa rokok sialan suamimu itu mendapat jatah?
Kebiasaan mencari kambing hitam, terkadang membikin cara pikirmu terkesan picik. Saat kau lihat putung rokok menempel di gorden kesayanganmu, kau menjerit. Suamimu kau maki-maki. Dan di menit ke tiga, kau sadar itu bukan putung rokok suamimu, ada lelaki lain bertamu. Aih. Kau bahkan tak meminta maaf.
Soal lelaki lain yang berenang-renang di lautan milikmu, pun kau tak mau mengakui kesalahan sendiri. Kau bilang, lelaki itu terlalu menggoda. Hei, kapan sih kau berani mengakui, bahwa kau juga manusia yang penuh keliru. Behentilah kebanyakan bicara, menuduh orang lain selalu salah. Sebab, tuduhan dan makian hanya membikin sesak dada seseorang. Ia barangkali bisa diam, memendam bara apinya sendiri. Namun jika kelak ia meledak. Kau tidak akan pernah tahu, seberapa besar kobarnya akan membakarmu.
Nasihatnya Gondes, si motor Mega Pro
Pertengahan Januari, suami bilang ingin mengajakku ke bioskop buat nonton film Comic 8, yang kabarnya rilis akhir bulan. Jelas, aku seneng dong ya. Kapan sih terakhir nonton film di bioskop bareng pacar? Aihh, pokoknya udah itungan tahun deh.
Sebagai istri, konon tugasnya mengingatkan suami, walaupun tak luput dituduh bahwa ini adalah bentuk tuntutan. Yea tuntutan? Tolong ya dicermati.
Saat akhir bulan tiba, aku bilang "Jadi nonton nggak Mas?"
Tanpa diduga-duga suamiku malah nyeramahin dengan nada tinggi, " Masih mau nonton?? Nggak sadar kebutuhan banyak banget. Malah ngajak nonton," katanya, yang jelas lebih panjang dari sekadar ini. Aku cuma diem, meskipun dongkol setengah mati. Tapi tiba-tiba ada yang bersuara. Yep hatiku teriak "Afuuu! PHP-in gue lu ya! Siapa yang janji, kenapa gue yang kesannya nuntut? Afu afu afu!" Tapi yea, sebagai istri aku tetep senyum manis. Seakan akan tidak ada yang terbakar di dada sendiri.
Sampai pada tanggal 10 Februari 2014, seorang teman pasang status di BB-nya kalau habis nonton Comic 8. Suamiku lihat aku lagi chatingan sama temenku itu, trus dia komentar "Masih pengin nonton filem itu, to Dek" Aiiih, ogah ya kalau kesannya gue yang pengin banget nonton. Sadar nggak sih, lu yang ngajak. Lu yang bikin janji. Tapi, meski pengin teriak-teriak, aku tetep diem. Nggak mau jawab.
Mungkin, Tuhan lebih tahu perasaanku yang jengkel. Handphone suamiku tiba-tiba eror. Hape baru cuy, dia sampai kelimpungan dan cemberut terus. Secara dia addict banget sama yang namanya internet phone. Dia tanya-tanya ke temen, gimana caranya mbetulin tuh hape. Nah, ini dia action keren yang gue suka. Temennya itu bilang, kalau harus dibawa ke pusat merek hapenya di Ambarukmo Plaza. Jujur aku kaget banget, pas suami bilang mau ke sana. Padahal di luar gerimis, dan jam menunjukan pukul 7 malam. Kalau bukan karena internet phone barang kesayangannya itu, pasti dia nggak bakalan mau keluar rumah deh. Berani taruhan. Saking kagetnya, aku ikutan menjerit "Horeee! Bisa sekalian nonton dong!" Dengan berat hati, dia cuma jawab "Ya, boleh deh!"
Kayak mau kencan pertama, aku masuk kamar buat ganti baju. Sungguh, rasanya nggak ada baju yang cocok buat jalan ke mal. Dipilih-pilih tetep nggak ada yang cocok. Soalnya ya gitu deh, sesekalinya ke mal bareng suami, pengin dong difoto. Hahaha, nggak tahunya ini di luar dugaan banget.
Baru selangkah keluar rumah, aku inget kalau dompetku tertinggal di rumah teman. Di situ ada ATM bersama dan uang cash. Jelas dong ya suami ngamuk. Aku jadi khawatir kalau dia bakalan mengcancel rencana nontonnya. Sepanjang jalan, aku cuma diem. Selera nontonku hilang sama sekali. Karena adegan ribut sebelum berangkat, kacamataku pun lupa dibawa.
Sesampainya di mal, tujuan pertama ya ke konter hape. Saat si Custumer Servicenya bilang kalau layanan sudah tutup kantor, aku semakin yakin kalau ini semua Tuhan yang rencanakan. Tapi sayangnya, selera nontonku keburu hilang waktu suami bilang " Bioskopnya lantai berapa sih?" Aku jawab lantai paling atas. Ah bukan katanya. Duh capek nggak sih kalau harus depat terus begini.
Sampai di lantai atas, kandung kemihku minta jatah ke kamar mandi. Suami minta supaya aku ngantre tiket. Jadwalnya tinggal jam 8.10 dan 8.40. Aku berharap kalau jadwal yang pertama tiketnya habis. Karena waktu antre aja sudah pukul 8.00 itu artinya 10 menit lagi. Aku kebelet pipis Mas, kebelet pipis. Kalau pilih yang lebih malam kan bisa jalan-jalan dulu di mal. Sudah dandan lama nih lo.
Tapi, yap, Tuhan cuma mengantar keinginanku sampai pintu bioskop doang. Ternyata jadwal yang gasik masih ada yang kosong, meskipun dapet kursi paling depan. Suami pasti ngamuk kalau aku minta ke toilet dulu. Dalam hati, tapi aku tetep berusaha bersyukur, Alhamdulillah dapet paling depan. Nggak bawa kacamata jadi kan lebih jelas.
Di pintu masuk studio, ada cewek keluar dan minta izin buat ke toilet dulu. Spontan aku bilang ke suami, "Ade mau ke toilet dulu ya Mas" Nah, seperti dugaan sebelumnya. Suami ngomel-ngomel kalau filmnya bentar lagi diputer. Mau nggak mau aku ngalah. Masuk dengan kandung kemih penuh.
Film Comic 8 kocak emang mampus menurutku. Meskipun absurd tapi alurnya tetep dapet dan keren abis. Di pertengahan film, aku hampir tidak kuat buat menampung air seni yang penuh. Bayanginlah ya, AC hidup, ketawa nggak ada hentinya. Dua hal yang memicu seseorang buat makin kebelet pipis. Apalagi ternyata duduk paling depan tanpa kacamata, mataku malah sakit banget. Silau men. Sial sial sial. Dan yep, selesailah filmnya dengan perasaan lega luar biasa. Kami keluar melewati lorong yang panjang. Toko-toko sudah tutup. Nggak ada lagi kesempatan buat foto-foto apalagi belanja. Otakku pun cuma fokus ke toilet, mana toilet.
Keluaar toilet, serasa hidup tanpa beban banget deh. Kami pun menuju lift. Saat tombol Lantai Ground nyala aku tetep diam di dalam lift. Karena tujuannya bukankah ke Basement? Tapi suami malah mendorongku keluar. Aku yang awalnya ogah-ogahan akhirnya nurut. Mungkin dia punya rencana lain pikirku. Tapi ya gitu, dia malah marah-marah. "Ini mana parkirannya?"
Meskipun aku tahu kalau Basement masih satu lantai lagi, tapi otakku malah lari ke film horor. Jangan-jangan kami disesatkan. Di menit ke 2, otakku kembali normal dari kekonyolan ini. "Kan ini LG Mas, bukan B" kataku pelan.
"Ah, kenapa tadi diajak mau-mau aja!" omelnya. Bujuk gile. Salah lagi nih gue ceritanya. lengkap banget, pulang pergi penuh emosi. Film Comic 8 cuma intermezo yang menyenangkan.