Skip to main content

Film Comic 8 sebuah Intermezo

Pertengahan Januari, suami bilang ingin mengajakku ke bioskop buat nonton film Comic 8, yang kabarnya rilis akhir bulan. Jelas, aku seneng dong ya. Kapan sih terakhir nonton film di bioskop bareng pacar? Aihh, pokoknya udah itungan tahun deh. 

Sebagai istri, konon tugasnya mengingatkan suami, walaupun tak luput dituduh bahwa ini adalah bentuk tuntutan. Yea tuntutan? Tolong ya dicermati. 

Saat akhir bulan tiba, aku bilang "Jadi nonton nggak Mas?"
Tanpa diduga-duga suamiku malah nyeramahin dengan nada tinggi, " Masih mau nonton?? Nggak sadar kebutuhan banyak banget. Malah ngajak nonton," katanya, yang jelas lebih panjang dari sekadar ini. Aku cuma diem, meskipun dongkol setengah mati. Tapi tiba-tiba ada yang bersuara. Yep hatiku teriak "Afuuu! PHP-in gue lu ya! Siapa yang janji, kenapa gue yang kesannya nuntut? Afu afu afu!" Tapi yea, sebagai istri aku tetep senyum manis. Seakan akan tidak ada yang terbakar di dada sendiri. 

Sampai pada tanggal 10 Februari 2014, seorang teman pasang status di BB-nya kalau habis nonton Comic 8. Suamiku lihat aku lagi chatingan sama temenku itu, trus dia komentar "Masih pengin nonton filem itu, to Dek" Aiiih, ogah ya kalau kesannya gue yang pengin banget nonton. Sadar nggak sih, lu yang ngajak. Lu yang bikin janji. Tapi, meski pengin teriak-teriak, aku tetep diem. Nggak mau jawab. 

Mungkin, Tuhan lebih tahu perasaanku yang jengkel. Handphone suamiku tiba-tiba eror. Hape baru cuy, dia sampai kelimpungan dan cemberut terus. Secara dia addict banget sama yang namanya internet phone. Dia tanya-tanya ke temen, gimana caranya mbetulin tuh hape. Nah, ini dia action keren yang gue suka. Temennya itu bilang, kalau harus dibawa ke pusat merek hapenya di Ambarukmo Plaza. Jujur aku kaget banget, pas suami bilang mau ke sana. Padahal di luar gerimis, dan jam menunjukan pukul 7 malam. Kalau bukan karena internet phone barang kesayangannya itu, pasti dia nggak bakalan mau keluar rumah deh. Berani taruhan. Saking kagetnya, aku ikutan menjerit "Horeee! Bisa sekalian nonton dong!" Dengan berat hati, dia cuma jawab "Ya, boleh deh!" 

Kayak mau kencan pertama, aku masuk kamar buat ganti baju. Sungguh, rasanya nggak ada baju yang cocok buat jalan ke mal. Dipilih-pilih tetep nggak ada yang cocok. Soalnya ya gitu deh, sesekalinya ke mal bareng suami, pengin dong difoto. Hahaha, nggak tahunya ini di luar dugaan banget. 

Baru selangkah keluar rumah, aku inget kalau dompetku tertinggal di rumah teman. Di situ ada ATM bersama dan uang cash. Jelas dong ya suami ngamuk. Aku jadi khawatir kalau dia bakalan mengcancel rencana nontonnya. Sepanjang jalan, aku cuma diem. Selera nontonku hilang sama sekali. Karena adegan ribut sebelum berangkat, kacamataku pun lupa dibawa. 

Sesampainya di mal, tujuan pertama ya ke konter hape. Saat si Custumer Servicenya bilang kalau layanan sudah tutup kantor, aku semakin yakin kalau ini semua Tuhan yang rencanakan. Tapi sayangnya, selera nontonku keburu hilang waktu suami bilang " Bioskopnya lantai berapa sih?" Aku jawab lantai paling atas. Ah bukan katanya. Duh capek nggak sih kalau harus depat terus begini. 

Sampai di lantai atas, kandung kemihku minta jatah ke kamar mandi. Suami minta supaya aku ngantre tiket. Jadwalnya tinggal jam 8.10 dan 8.40. Aku berharap kalau jadwal yang pertama tiketnya habis. Karena waktu antre aja sudah pukul 8.00 itu artinya 10 menit lagi. Aku kebelet pipis Mas, kebelet pipis. Kalau pilih yang lebih malam kan bisa jalan-jalan dulu di mal. Sudah dandan lama nih lo.  

Tapi, yap, Tuhan cuma mengantar keinginanku sampai pintu bioskop doang. Ternyata jadwal yang gasik masih ada yang kosong, meskipun dapet kursi paling depan. Suami pasti ngamuk kalau aku minta ke toilet dulu. Dalam hati, tapi aku tetep berusaha bersyukur, Alhamdulillah dapet paling depan. Nggak bawa kacamata jadi kan lebih jelas. 

Di pintu masuk studio, ada cewek keluar dan minta izin buat ke toilet dulu. Spontan aku bilang ke suami, "Ade mau ke toilet dulu ya Mas" Nah, seperti dugaan sebelumnya. Suami ngomel-ngomel kalau filmnya bentar lagi diputer. Mau nggak mau aku ngalah. Masuk dengan kandung kemih penuh. 

Film Comic 8 kocak emang mampus menurutku. Meskipun absurd tapi alurnya tetep dapet dan keren abis. Di pertengahan film, aku hampir tidak kuat buat menampung air seni yang penuh. Bayanginlah ya, AC hidup, ketawa nggak ada hentinya. Dua hal yang memicu seseorang buat makin kebelet pipis. Apalagi ternyata duduk paling depan tanpa kacamata, mataku malah sakit banget. Silau men. Sial sial sial. Dan yep, selesailah filmnya dengan perasaan lega luar biasa. Kami keluar melewati lorong yang panjang. Toko-toko sudah tutup. Nggak ada lagi kesempatan buat foto-foto apalagi belanja. Otakku pun cuma fokus ke toilet, mana toilet. 

Keluaar toilet, serasa hidup tanpa beban banget deh. Kami pun menuju lift. Saat tombol Lantai Ground nyala aku tetep diam di dalam lift. Karena tujuannya bukankah ke Basement? Tapi suami malah mendorongku keluar. Aku yang awalnya ogah-ogahan akhirnya nurut. Mungkin dia punya rencana lain pikirku. Tapi ya gitu, dia malah marah-marah. "Ini mana parkirannya?" 

Meskipun aku tahu kalau Basement masih satu lantai lagi, tapi otakku malah lari ke film horor. Jangan-jangan kami disesatkan. Di menit ke 2, otakku kembali normal dari kekonyolan ini. "Kan ini LG Mas, bukan B" kataku pelan. 
"Ah, kenapa tadi diajak mau-mau aja!" omelnya. Bujuk gile. Salah lagi nih gue ceritanya. lengkap banget, pulang pergi penuh emosi. Film Comic 8 cuma intermezo yang menyenangkan. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk