Oh Dokter Kita, Endonesiaku?

by - February 14, 2014

Semingguan sudah, ada rasa sakit di perut bawah sebelah kiriku. Aku malas ke RS, makanya isenglah datang ke Puskesmas dekat rumahku. Iseng? Iya, kusebut iseng karena jelas aktivitas ini tidak membutuhkan uang yang banyak. Aktivitas suka-suka yang bikin nggak syok pas bayar depan kasir dan juga nggak rugi-rugi bangetlah. Bayar 5000-10.000 trus jadi bisa ’membaca’ kualitas pelayanan umum ini kan ya nggak rugi-rugi banget kan ya.

Jam 10 siang, Sabtu kemarin aku berangkat. Seneng rasanya karena di sana tidak perlu antre. Saat namaku dipanggil, aku langsung masuk ke poli umum. Seorang perempuan yang kutaksir seusia ibuku, mempersilakan aku duduk. Pintu ruangan dibiarkan terbuka begitu saja, jujur ini cukup mengganggu bagiku.
"Sakit apa Mbak?" tanyanya, tanpa mukadimah. Tanpa cek tensi darah atau suruh nimbang berat badanlah dulu minimal.
"Sakit perut, Dok"
"Sebelah mana?" Lalu aku menunjuk perut bawah sebelah kiri. "Kanan apa kiri" Uh, dasar dokter nyebelin. Masih kurang jelas aku sampai berdiri di depannya untuk ngasih tahu.
"Kiri bawah Dok" jawabku ketus.
"Oh, itu paling cuma ada angin dalam pencernaan. Karena masuk angin" Muka gile. Segampang itu ya cara dokter nanganin pasien. Dan busyettt, mukanya itu loh lempeng, datar kaya jemuran. "Bukan kanan kan? Kalau kanan itu biasanya kena appendiks"
"Hah? Apa itu"
"Ya ampun. Wong Jawa bilang usus buntu Mbak" jawabnya, sambil tersenyum ngece menghadap susternya. Aku yang lagi sensitif, serasa menangkap bahasa tubuh ’ Ya ampun ndeso banget sih. Gitu aja nggak tau’
"Oh!" Jawabku. Si dokter perempuan itu kemudian menulis resep untukku. "Saya juga sering mual Dok kalau telat makan, apakah maag saya udah parah?"
Dokter itu mendongak sebentar, kemudian kembali menulis “Pernah ada maag itu tandanya. Mual ya?” Aku yakin, dia menambahkan resep obat yang harus kuminum.
"Tapi bukan ISK kan?"
"Bukanlah"
Ya, Dok. Aku cuma pengin tanya, habisnya nggak meyakinkan sih analisismu. Apa nggak sebaiknya yah basa basi pegang perutku gitu, biar nggak terkesan shallow banget cara memvonis penyakitku.
Padahal aku pengin ngadu juga, kalau suka pusing. Tapi pasti deh, dia cuma bakal menambah resep obat lagi. BTW, aku kayak punya penyakit komplikasi ringan yah? Bilang pusing ada obatnya, bilang mual ditambah obatnya dan terus begitu.
Jadilah aku pulang dengan lemes. Ya, aku tahulah. Ada harga, pasti ada pelayanan bagus juga. Bayar 5000 ya jangan minta yang macem-macem. Tapi kasihan ya sama masyarakat yang cuma mampu bayar 5000 trus pelayanannya gitu.
Sesampainya di rumah, aku ngobrol sama temenku. Apa yang divonis dokter, kuceritakan tanpa kelewat.
Spontan dia tanya, “Emang angin sama gas apa bedanya Mbak?”
Aku juga jadi mikir. Waktu dokter bilang ada angin dalam pencernaanku, yang kubayangkan ya seperti masuk angin, lah. Beda kalau dia bilang gas bukannya angin. Kalau bilang gas, mungkin aku akan berpikir bahwa asam lambungku meningkat. Tapi apa benar, asam lambung meningkat bisa bikin masuk angin? Jadi gas sama angin dalam perut itu beda nggak sih?
"Kalau kentut, orang biasa bilang ‘buang gas’. Juga ‘buang angin’. Nggak ada bedanya sih, definisinya tetep satu; kentut" kataku asal.
Trus, jadinya gimana?
Sempat kuposting di www.tumblr.com

Tulisan Terkait

0 komentar

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....