Skip to main content

Oh Dokter Kita, Endonesiaku?

Semingguan sudah, ada rasa sakit di perut bawah sebelah kiriku. Aku malas ke RS, makanya isenglah datang ke Puskesmas dekat rumahku. Iseng? Iya, kusebut iseng karena jelas aktivitas ini tidak membutuhkan uang yang banyak. Aktivitas suka-suka yang bikin nggak syok pas bayar depan kasir dan juga nggak rugi-rugi bangetlah. Bayar 5000-10.000 trus jadi bisa ’membaca’ kualitas pelayanan umum ini kan ya nggak rugi-rugi banget kan ya.

Jam 10 siang, Sabtu kemarin aku berangkat. Seneng rasanya karena di sana tidak perlu antre. Saat namaku dipanggil, aku langsung masuk ke poli umum. Seorang perempuan yang kutaksir seusia ibuku, mempersilakan aku duduk. Pintu ruangan dibiarkan terbuka begitu saja, jujur ini cukup mengganggu bagiku.
"Sakit apa Mbak?" tanyanya, tanpa mukadimah. Tanpa cek tensi darah atau suruh nimbang berat badanlah dulu minimal.
"Sakit perut, Dok"
"Sebelah mana?" Lalu aku menunjuk perut bawah sebelah kiri. "Kanan apa kiri" Uh, dasar dokter nyebelin. Masih kurang jelas aku sampai berdiri di depannya untuk ngasih tahu.
"Kiri bawah Dok" jawabku ketus.
"Oh, itu paling cuma ada angin dalam pencernaan. Karena masuk angin" Muka gile. Segampang itu ya cara dokter nanganin pasien. Dan busyettt, mukanya itu loh lempeng, datar kaya jemuran. "Bukan kanan kan? Kalau kanan itu biasanya kena appendiks"
"Hah? Apa itu"
"Ya ampun. Wong Jawa bilang usus buntu Mbak" jawabnya, sambil tersenyum ngece menghadap susternya. Aku yang lagi sensitif, serasa menangkap bahasa tubuh ’ Ya ampun ndeso banget sih. Gitu aja nggak tau’
"Oh!" Jawabku. Si dokter perempuan itu kemudian menulis resep untukku. "Saya juga sering mual Dok kalau telat makan, apakah maag saya udah parah?"
Dokter itu mendongak sebentar, kemudian kembali menulis “Pernah ada maag itu tandanya. Mual ya?” Aku yakin, dia menambahkan resep obat yang harus kuminum.
"Tapi bukan ISK kan?"
"Bukanlah"
Ya, Dok. Aku cuma pengin tanya, habisnya nggak meyakinkan sih analisismu. Apa nggak sebaiknya yah basa basi pegang perutku gitu, biar nggak terkesan shallow banget cara memvonis penyakitku.
Padahal aku pengin ngadu juga, kalau suka pusing. Tapi pasti deh, dia cuma bakal menambah resep obat lagi. BTW, aku kayak punya penyakit komplikasi ringan yah? Bilang pusing ada obatnya, bilang mual ditambah obatnya dan terus begitu.
Jadilah aku pulang dengan lemes. Ya, aku tahulah. Ada harga, pasti ada pelayanan bagus juga. Bayar 5000 ya jangan minta yang macem-macem. Tapi kasihan ya sama masyarakat yang cuma mampu bayar 5000 trus pelayanannya gitu.
Sesampainya di rumah, aku ngobrol sama temenku. Apa yang divonis dokter, kuceritakan tanpa kelewat.
Spontan dia tanya, “Emang angin sama gas apa bedanya Mbak?”
Aku juga jadi mikir. Waktu dokter bilang ada angin dalam pencernaanku, yang kubayangkan ya seperti masuk angin, lah. Beda kalau dia bilang gas bukannya angin. Kalau bilang gas, mungkin aku akan berpikir bahwa asam lambungku meningkat. Tapi apa benar, asam lambung meningkat bisa bikin masuk angin? Jadi gas sama angin dalam perut itu beda nggak sih?
"Kalau kentut, orang biasa bilang ‘buang gas’. Juga ‘buang angin’. Nggak ada bedanya sih, definisinya tetep satu; kentut" kataku asal.
Trus, jadinya gimana?
Sempat kuposting di www.tumblr.com

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk