Skip to main content

Rabu Cerita Pahiiit

Ibu-ibu di kantorku berniat membersihkan gudang buku. Seperti biasa; ia akan menyapu semua ruangan setelah orang-orang kantor pulang. Ia yang bertugas membuka dan menutup kantor.
Di kamar redaksi, aku masih berkejaran dengan deadline. Toh suami sedang keluar kota, aku berniat lembur saja. Tapi, tiba-tiba Ibu tadi masuk ke kamar redaksi. Persis di hadapanku. Ia mulai bercerita tentang nasib hidupnya—yang mungkin sudah ia ceritakan berkali-kali setiap hari Rabu. Aku bosan dan ingin teriak kalau saja ia bukan seorang Ibu yang mengingatkanku pada sosok Mama di rumah.
Aku tidak terlalu mendengarkan apapun yang ia ucapkan. Lalu ia komentari semua barang-barang di kamar ini. Terpaksa aku harus tersenyum. Padahal ia sudah tanya, apakah aku sedang lembur? Apakah aku nggak capek?
“Pekerjaan Mbak Tikah mah, capeknya karena pikiran yah” katanya.
Aku tersenyum lagi. Dan mulai kehilangan konsentrasi. Aku memilih mainan twitter supaya rasa bĂȘte hilang segera. 
Dari pintu luar, kemudian anaknya datang. Ia bilang kenapa belum mulai membersihkan gudang.
“Masih, banyak pekerja. Tumben itu. Ora penak ah, nanti dikira ngusir wong kerjo” kata ibu tadi.
“Ya ora popo. Kan wis wektune to, Bu.” Jawab si anak.
“Nggak enaklah, ganggu wong kerja”
Hah? Aku hampir saja berteriak. “Lo juga ganggu gue kali, Bu. Gue lagi kerja nih”
Mendadak badmood untuk kesekian kalinya. Ya ampun.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk