• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.






 
Seorang teman bilang, ia memiliki budhe ipar yang matre sekali. Di keluarga besarnya cerita ini diputar berkali-kali, ke saudara, ke teman, ke anak, ke cucu, bahkan ke anggota keluarga yang baru sekalipun. Cerita ini beredar sepotong-sepotong, sama tak lengkapnya seperti yang sampai ke telingaku.
Sebelum cerita diakhiri, temanku bilang "Sebaiknya jangan dapat istri dari daerah Tenggara, biasanya orangnya matre kaya budheku yang itu," begitu ia menirukan kalimat yang (mungkin) sudah ia dengar berkali-kali dari keluarganya.  
Orang Tenggara matre? Adilkah memberi stempel suatu daerah hanya dari kesalahan satu nama? Aku mulai memikirkan, adakah ini sebuah kekeliruan? Bagaimana kalau ternyata cerita ini hanya sebuah kesimpulan keliru, dari potongan cerita yang tak lengkap.  
Lalu aku bertanya, apakah temanku yakin kalau budhenya itu benar-benar matre? Apa yang dilakukan perempuan tersebut sehingga malang sekali nasibnya menjadi istri dengan stempel matre? Temanku bilang, "Kenapa aku harus nggak yakin? Semua keluargaku tahu kalau dia matre" titik. Tidak ada kejelasan lain. Ini seperti halnya aku diajari untuk membenci PKI sewaktu kecil. PKI itu jahat titik. Dan barulah di kemudian hari aku belajar memahami kekeliruanku soal PKI, Soeharto dan adanya politik yang kejam.
Mungkin dari situlah aku belajar untuk tidak mudah memercayai kebenaran dari satu pihak. Apalagi memercayai sebuah cerita dari keluarga yang memiliki pikiran bahwa semua karakter orang itu sama kalau dia berasal dari satu daerah. Memang benar, sebuah daerah bisa membentuk karakter masyarakatnya, tapi aku yakin pemahaman tentang nilai baik dan buruk setiap orang itu berbeda. Makanya, ada yang tumbuh jadi penjahat pun ada yang dewasa jadi pemuka agama yang baik. 
Sebab cerita ini hanya kuterima sepotong-sepotong, maka aku membikin cerita versi lain dari kemungkinan yang berbeda. Perempuan itu menikahi lelaki yang bodoh dalam mencintai pasangannya. Ia termasuk lelaki yang selalu ingin terlihat lebih unggul dari istrinya. Ia bangga sekali jika bisa diketahui banyak orang bahwa ia bisa memenuhi semua keinginan-keinginan istrinya. Lelaki seperti itu biasanya butuh sekali pengakuan dari orang lain. Bahwa ia hebat, bahwa ia lelaki yang sayang istri. Maka ia pun mulai bercerita kepada keluarganya, tentang apa saja yang sudah ia lakukan. Tentu saja, apapun cerita baiknya jika disampaikan dengan api kesombongan akan mampu mencipta pandangan yang buruk. Lahirlah kesan, bahwa istrinya itu perempuan yang melulu menuntut materi. Padahal, lelaki itu butuh menceritakan itu demi keangkuhannya yang tinggi. Bisa jadi sebenarnya istrinya mampu membeli barang-barangnya sendiri, tapi itu bukan sebuah cerita yang bagus disampaikan mengingat tradisi patriarki yang mengalir di darah kelelakiannya. Perempuan itu harus selalu di bawah suami dalam pandangan masyarakat dan keluarganya. 
Sampai suatu hari, roda pun berbalik. Ia digilas kemiskinan. Jangankan berbusa-busa menceritakan kehebatannya, untuk mencukupi urusan dapur saja ia tak mampu. Sebagai lelaki sombong, ia tak mau begitu saja dilihat lemah karena kesalahan sendiri. Ia boleh dilihat kalah, tapi haruslah berada di posisi yang perlu dikasihani. Maka nama istrinya pun ia pertaruhkan. 
"Aku pinjem duit, soalnya istriku lagi minta tas hermes" kata lelaki itu kepada keluarga besarnya. Ia lelaki yang payah, yang tak mampu mengakui bahwa ia butuh pinjam uang untuk memenuhi perut keluarganya sendiri yang lapar. Maka semakin jelaslah di mata keluarga besarnya, bahwa budhe ipar temanku itu dalam hidup selalu mementingkan materi. Perempuan matre. Perempuan yang tidak baik sebagai contoh. Maka mengalirlah cerita ini dari mulut ke mulut. Cerita yang begitu kuatnya sehingga bisa membangun benteng di dalam hati masing-masing untuk selalu waspada kepada perempuan dari Tenggara. 
Namun, yang sebenarnya adalah perempuan itu hanya kurang beruntung dalam memilih pendamping hidup. Ia menikahi lelaki yang tidak benar-benar mencintainya. Seseorang yang mencintai, pasti akan mampu menjaga nama baik istrinya di mata keluarganya sekalipun. Bukankah, akan sangat menyakitkan distempel sebagai perempuan matre di keluarga suaminya sendiri. Lelaki yang pandai mencintai pasangannya, tentu akan berada di muka paling depan untuk melindungi dan membikin pasangannya nyaman di manapun. Bahkan, jika sekalipun istrinya bukan perempuan yang baik. Bukan malah merasa bangga menunjukan bahwa ia korban dari kematrean istrinya. 
Mungkin suaminya tidak tahu, bahwa kebanyakan orangtua akan lebih mampu memaafkan kesalahan anaknya sendiri. Tapi, jika orang lain , misalnya menantu yang berlaku keliru maka seumur hidup belum tentu ia bisa menghapusnya dari hati mereka.  
Lalu aku jadi teringat cerita lain tentang pacar temanku.  Sebagai lelaki, ia sering sekali meminta duit ke keluarganya atau pinjem kepadaku untuk alasan membantu pacarnya, alasan lain adalah untuk pergi dengan pacarnya, untuk dipinjem pacarnya, semua berkaitan dengan pacarnya. Sampai sebagai seorang teman, aku sempat tertipu dan menyangka bahwa pacarnya itu super matre. Sampai suatu hari, aku mengetahui kebenaran yang lain, bahwa ternyata pacarnya itu hanyalah kambing hitam, yang dipakai untuk kedok saja. Kasihan sekali perempuan yang tidak bisa melawan menerima perlakuan seperti itu? Kasihan sekali. Semoga cerita versi lain yang kubikin bukanlah sama persis dengan fakta yang terjadi pada budhe ipar temanku. Intinya hati-hatilah mencari lelaki dengan mulutmu. 
Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Zai, kulubangi sendiri dadaku sebab tak kuharapkan lagi mimpi-mimpi itu menyusun kesepian lebih pahit di tubuhku. Sebagai perempuan, mestinya kau bisa memahami akan hal ini, bukan? Saat kita terlalu mengharapkan keturunan, semua hal diusahakan. Begitupun yang kulakukan, Zai. Meski aku tahu, aku seorang diri melakukannya. 
Kau mungkin bertanya- tanya bagaimana dengan suamiku? Apakah pernikahanku bahagia? Ya, tentu saat ini kabar kami sangat baik, dan sekuat tenaga aku berharap ketiadaan anak di perkawinan kami tak membuat kebahagiaan ini berkurang. Ah. Cukup. Kau tak perlu ikut-ikutan mereka menasihatiku tentang banyaknya perempuan senasib aku di luaran sana. 
Apa kau tahu seberapa banyak yang kudengar? Seberapa banyak buku dan artikel yang kubaca? Serasa semuanya melekat di kepalaku. Sampai-sampai aku tak mengira jika tubuhku menyusun sendiri kemungkinan-kemungkinan yang membahagiakan. Aku memiliki kebahagiaan karena aku bermimpi, sementara suamiku yang sama sekali tidak punya mimpi. Apakah ini adil buat kami?
Sebab itu Zai,  kulubangi sendiri dadaku. Aku tidak menginginkan kebahagiaan yang belum tentu akan kumiliki dengan taruhan kebahagiaanku saat ini. Itu saja. 


 Ttd. 
Tikah Kumala 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Saat melihat ibu hamil mengantre sendiri di ruang tunggu rumah sakit, pasti satu di antara kita ada yang kepikiran negatif. Mungkin suaminya nggak bertanggung jawab karena hamil hasil 'kecelakaan'? Mungkin suaminya jauh dan tega sekali tidak menemani istrinya di kota yang sama. Mungkin pernikahan mereka tidak bahagia. Mungkin suaminya mati, mungkin dan seribu kemungkinan negatif lainnya. 
Jujur saja, sebelum menikah aku ngggak suka dengan pikiran pikiran negatif tersebut, yang kadang seringkali dijumpai dari teman teman yang nyinyir. Kenapa kita nggak berpikir sebaliknya. Barangkali, suaminya sibuk sekali mencari biaya untuk persalinan, sehingga perlu memprioritaskan salah satu. Dan ia memilih untuk tidak menemani istrinya yang ia anggap tangguh dan luar biasa. Mungkin perempun hamil itu seorang yang sangat menerima, dan pengertian betul akan ketidakbisahadiran suami. Atau justru, dia tipe perempuan ngeyel yang nggak sabaran untuk dianter suami? Eit, yang terakhir ini masih negatif juga ya hahaha. 





Setelah menikah, cara pikirku kemudian berubah lagi. Jan labil banget. Mungkin karena ngalamin sendiri, bagaimana seorang dokter begitu mengintimidasi dengan pertanyaan "Suaminya mana? Kok nggak ikut?" Waktu dulu datang ke dokter kandungan untuk periksa prakehamilan. Padahal suami ikut nganter, cuma dia nunggu di luar ruangan. Belum terbiasa nganterin istri ke dokter kandungan sih, jadi mungkin masih malu malu gimana hahaha. 

Awalnya aku pikir, emang pentingnya apa sih suami harus ikut? Aku bisa sendiri kok. Karena belum pernah hamil dan bukan seorang dokter kandungan, tentu saja aku nggak paham apa saja kemungkinan buruknya pergi ke dokter tanpa seorang suami.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, pertanyaan dokter dan kenyinyiran seorang teman ada sisi baiknya juga loh. Bayangkan saja, ketika ibu hamil datang seorang diri dan ada sesuatu yang bahaya di dalam kehamilannya. Mendengar kabar tersebut pastilah hormonnya bisa memburuk bukan? Padahal stres nggak baik buat ibu hamil. Kebayang nggak kalau ibu tersebut ternyata lemah pikirannya, terus lemas dan nggak bisa pulang sendiri setelah mendengar kabar buruk? 

Atau kasus lain, tentang seorang istri yang lagi galau menunggu lekas hamil karena hormonnya buruk. Ia datang seorang diri ke dokter kandungan dengan segala keluhannya. Kenapa telat haid, kenapa siklus haid terlalu cepat, kenapa memiliki ciriciri seperti orang hamil? Daaaan, saat menerima kabar buruk kalau ada masalah pada reproduksinya, apa yang terjadi? Mungkin ia akan merasa sedih bukan saat suaminya tidak ada untuk menangggung kesedihannya bersama sama. Atau, jika kabar baik itu yang datang, ia dinyatakan hamil setelah sangat menginginkan seorang anak, ia mungkin juga akan sedih saat menerima kabar membahagiakan tanpa diterima bersama dengan lelaki yang paling ia cintai. 

Namun, apapun alasan para suami tidak bisa menemani istrinya ke dokter, ada baiknya kita tetep berpikir positif. Mungkin alasan si suami tidak seburuk yang kita bayangkan. Anggap saja, perempuan yang pergi ke dokter kandungan sendirian itu keren banget. Pastilah ia perempuan kuat yang mampu menghadapi apapun dalam hidup. 

Jiaaah, kenapa aku nggambleh sepaanjang ini?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
  • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
  • Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ▼  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ▼  April (3)
      • Mencintai Perempuan Matre?
      • Surat untuk Zai
      • Suami Siaga
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates