Skip to main content

Mencintai Perempuan Matre?






 
Seorang teman bilang, ia memiliki budhe ipar yang matre sekali. Di keluarga besarnya cerita ini diputar berkali-kali, ke saudara, ke teman, ke anak, ke cucu, bahkan ke anggota keluarga yang baru sekalipun. Cerita ini beredar sepotong-sepotong, sama tak lengkapnya seperti yang sampai ke telingaku.
Sebelum cerita diakhiri, temanku bilang "Sebaiknya jangan dapat istri dari daerah Tenggara, biasanya orangnya matre kaya budheku yang itu," begitu ia menirukan kalimat yang (mungkin) sudah ia dengar berkali-kali dari keluarganya.  
Orang Tenggara matre? Adilkah memberi stempel suatu daerah hanya dari kesalahan satu nama? Aku mulai memikirkan, adakah ini sebuah kekeliruan? Bagaimana kalau ternyata cerita ini hanya sebuah kesimpulan keliru, dari potongan cerita yang tak lengkap.  
Lalu aku bertanya, apakah temanku yakin kalau budhenya itu benar-benar matre? Apa yang dilakukan perempuan tersebut sehingga malang sekali nasibnya menjadi istri dengan stempel matre? Temanku bilang, "Kenapa aku harus nggak yakin? Semua keluargaku tahu kalau dia matre" titik. Tidak ada kejelasan lain. Ini seperti halnya aku diajari untuk membenci PKI sewaktu kecil. PKI itu jahat titik. Dan barulah di kemudian hari aku belajar memahami kekeliruanku soal PKI, Soeharto dan adanya politik yang kejam.
Mungkin dari situlah aku belajar untuk tidak mudah memercayai kebenaran dari satu pihak. Apalagi memercayai sebuah cerita dari keluarga yang memiliki pikiran bahwa semua karakter orang itu sama kalau dia berasal dari satu daerah. Memang benar, sebuah daerah bisa membentuk karakter masyarakatnya, tapi aku yakin pemahaman tentang nilai baik dan buruk setiap orang itu berbeda. Makanya, ada yang tumbuh jadi penjahat pun ada yang dewasa jadi pemuka agama yang baik. 
Sebab cerita ini hanya kuterima sepotong-sepotong, maka aku membikin cerita versi lain dari kemungkinan yang berbeda. Perempuan itu menikahi lelaki yang bodoh dalam mencintai pasangannya. Ia termasuk lelaki yang selalu ingin terlihat lebih unggul dari istrinya. Ia bangga sekali jika bisa diketahui banyak orang bahwa ia bisa memenuhi semua keinginan-keinginan istrinya. Lelaki seperti itu biasanya butuh sekali pengakuan dari orang lain. Bahwa ia hebat, bahwa ia lelaki yang sayang istri. Maka ia pun mulai bercerita kepada keluarganya, tentang apa saja yang sudah ia lakukan. Tentu saja, apapun cerita baiknya jika disampaikan dengan api kesombongan akan mampu mencipta pandangan yang buruk. Lahirlah kesan, bahwa istrinya itu perempuan yang melulu menuntut materi. Padahal, lelaki itu butuh menceritakan itu demi keangkuhannya yang tinggi. Bisa jadi sebenarnya istrinya mampu membeli barang-barangnya sendiri, tapi itu bukan sebuah cerita yang bagus disampaikan mengingat tradisi patriarki yang mengalir di darah kelelakiannya. Perempuan itu harus selalu di bawah suami dalam pandangan masyarakat dan keluarganya. 
Sampai suatu hari, roda pun berbalik. Ia digilas kemiskinan. Jangankan berbusa-busa menceritakan kehebatannya, untuk mencukupi urusan dapur saja ia tak mampu. Sebagai lelaki sombong, ia tak mau begitu saja dilihat lemah karena kesalahan sendiri. Ia boleh dilihat kalah, tapi haruslah berada di posisi yang perlu dikasihani. Maka nama istrinya pun ia pertaruhkan. 
"Aku pinjem duit, soalnya istriku lagi minta tas hermes" kata lelaki itu kepada keluarga besarnya. Ia lelaki yang payah, yang tak mampu mengakui bahwa ia butuh pinjam uang untuk memenuhi perut keluarganya sendiri yang lapar. Maka semakin jelaslah di mata keluarga besarnya, bahwa budhe ipar temanku itu dalam hidup selalu mementingkan materi. Perempuan matre. Perempuan yang tidak baik sebagai contoh. Maka mengalirlah cerita ini dari mulut ke mulut. Cerita yang begitu kuatnya sehingga bisa membangun benteng di dalam hati masing-masing untuk selalu waspada kepada perempuan dari Tenggara. 
Namun, yang sebenarnya adalah perempuan itu hanya kurang beruntung dalam memilih pendamping hidup. Ia menikahi lelaki yang tidak benar-benar mencintainya. Seseorang yang mencintai, pasti akan mampu menjaga nama baik istrinya di mata keluarganya sekalipun. Bukankah, akan sangat menyakitkan distempel sebagai perempuan matre di keluarga suaminya sendiri. Lelaki yang pandai mencintai pasangannya, tentu akan berada di muka paling depan untuk melindungi dan membikin pasangannya nyaman di manapun. Bahkan, jika sekalipun istrinya bukan perempuan yang baik. Bukan malah merasa bangga menunjukan bahwa ia korban dari kematrean istrinya. 
Mungkin suaminya tidak tahu, bahwa kebanyakan orangtua akan lebih mampu memaafkan kesalahan anaknya sendiri. Tapi, jika orang lain , misalnya menantu yang berlaku keliru maka seumur hidup belum tentu ia bisa menghapusnya dari hati mereka.  
Lalu aku jadi teringat cerita lain tentang pacar temanku.  Sebagai lelaki, ia sering sekali meminta duit ke keluarganya atau pinjem kepadaku untuk alasan membantu pacarnya, alasan lain adalah untuk pergi dengan pacarnya, untuk dipinjem pacarnya, semua berkaitan dengan pacarnya. Sampai sebagai seorang teman, aku sempat tertipu dan menyangka bahwa pacarnya itu super matre. Sampai suatu hari, aku mengetahui kebenaran yang lain, bahwa ternyata pacarnya itu hanyalah kambing hitam, yang dipakai untuk kedok saja. Kasihan sekali perempuan yang tidak bisa melawan menerima perlakuan seperti itu? Kasihan sekali. Semoga cerita versi lain yang kubikin bukanlah sama persis dengan fakta yang terjadi pada budhe ipar temanku. Intinya hati-hatilah mencari lelaki dengan mulutmu. 

Comments

  1. tenggara tu mana mak? hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan kota sebenarnya Mak, khawatirnya jadi rasis jadi kusamarkan.

      Delete
  2. Replies
    1. nggak ada daerah tenggara, itu bukan daerah sebenarnya. khawatir jadi rasis say

      Delete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk