Surat untuk Zai
Zai, kulubangi sendiri dadaku sebab tak kuharapkan lagi mimpi-mimpi itu menyusun kesepian lebih pahit di tubuhku. Sebagai perempuan, mestinya kau bisa memahami akan hal ini, bukan? Saat kita terlalu mengharapkan keturunan, semua hal diusahakan. Begitupun yang kulakukan, Zai. Meski aku tahu, aku seorang diri melakukannya.
Kau mungkin bertanya- tanya bagaimana dengan suamiku? Apakah pernikahanku bahagia? Ya, tentu saat ini kabar kami sangat baik, dan sekuat tenaga aku berharap ketiadaan anak di perkawinan kami tak membuat kebahagiaan ini berkurang. Ah. Cukup. Kau tak perlu ikut-ikutan mereka menasihatiku tentang banyaknya perempuan senasib aku di luaran sana.
Apa kau tahu seberapa banyak yang kudengar? Seberapa banyak buku dan artikel yang kubaca? Serasa semuanya melekat di kepalaku. Sampai-sampai aku tak mengira jika tubuhku menyusun sendiri kemungkinan-kemungkinan yang membahagiakan. Aku memiliki kebahagiaan karena aku bermimpi, sementara suamiku yang sama sekali tidak punya mimpi. Apakah ini adil buat kami?
Sebab itu Zai, kulubangi sendiri dadaku. Aku tidak menginginkan kebahagiaan yang belum tentu akan kumiliki dengan taruhan kebahagiaanku saat ini. Itu saja.
Ttd.
Tikah Kumala
0 komentar
Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....