Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2014

Kesialan #ARsipFacebookku

Tetangga depan rumah saya jarang sekali ada. Ia biasanya pulang ketika akhir minggu atau waktu-waktu yang tidak pernah kami duga. Jadi wajar kalau lampu di teras rumahnya menyala 24 jam. Itu sangat menguntungkan bagi saya, sebab ketika listrik rumah kami padam tak perlu repot-repot tanya tetangga kanan kiri.  "Lampu rumah depan juga mati. Berarti memang mati listrik" Begitu kebiasaan saya meyakinkan suami kalau bukan listrik kami yang lupa beli pulsa. Ketergantungan itu berlanjut berbulan-bulan lamanya. Sampai kami begitu yakin kalau padamnya lampu depan adalah petanda kalau kompleks perumahan ini sedang terjadi pemadaman listrik. Pun begitu kejadiannya tadi pagi. Saya harus mengejar deadline sebelum pukul 10 tadi. Sebab jam 11 berniat datang ke launching buku, dan akan pulang malam setelah acara lain di kantor suami selesai. Semua sudah tertata begitu optimisnya. Namun begitu tahu listrik padam, semuanya menjadi suram. Listrik mati lamaaa sekali. Ya, ses

Darah Dalam Kepala

Memangkasi tanaman yang tumbuh dari kepala.  Oh darahnya memenuhi wajahku.  Aku butuh api! Ya api!  Biar kubakari sisa-sisa yang kelak akan kembali tumbuh. Keberanian tak boleh tumbuh.  Imajinasi tak boleh tumbuh.  Kreativitas tak boleh tumbuh.  Hah, kepalaku terbakar.  Darahku tumpah banyak sekali.  Aku hampir mati, aku hampir mati. Dan aku mati atas keputusanku sendiri.

Imam vs Makmum

Jika presiden dianggap gagal dalam memimpin negara, maka wajar banyak terima protes. Berbeda halnya dengan sebuah hubungan. Jika kita gagal mempertahankannya, maka itu menjadi kesalahan bersama. Kenapa begitu? Karena kita berdiri sama tinggi: kau bukan imamku dan aku tak akan jadi makmum yang memberontak

Tentang Mimpi #2

Akhir akhir ini aku seringkali mimpi aneh dan buruk. Katanya, sekian detik setelah kita bangun, mimpi mimpi akan berlarian dari kepala. Tapi nyatanya aku tidak. Aku bisa mengingatnya meski hanya serupa patahan-patahan astor rasa cokelat.  Atau beginikah mimpi buruk? Ia mampu bersembunyi di lipatan-lipatan ingatan yang tak bisa lekas kita hapus. Rasanya mengganggu sekali, sebab sesuatu yang buruk terkadang mampu memengaruhi perasaan seseorang.  Beberapa hari ini, Tuhan mengirimi mimpi yang selalu mirip mirip. Aku memarahi suamiku begitu ganas dan tanpa rasa takut. Sampai sampai, kutendangi betulan kakinya sambil mulut bersungut-sungut. Lain hari lagi, aku bangun dengan keringat dingin. Kupandangi wajah suamiku dengan kebencian yang meluap-luap. Apakah seseorang yang begitu kucintai bisa sedemikian menyebalkan seperti dalam mimpi? Ah, itu kan mimpi Tikah. Sekadar bunga tidur. Aku mengusap wajahku dengan embusan napas yang berat.  Freud bilang (kalau benar aku masih mengi

Enisa ...

#ARsipFacebookku  Aku ingin sekali berada di dekat Enisa saat ini. Ia tengah menghadapi situasi yang berat, yang tentu akan membuatnya banyak kehabisan air mata. Tujuh jam yang lalu, ia mengirimi pesan tentang rumah tangganya yang sedang kacau. Ia tak punya teman dekat, setelah kepergiannya ke benua yang dingin itu beberapa bulan lalu. Ia bilang, udara sedang sangat dingin di sana. Aku mengira-ngira, apakah hatinya tak lebih dingin dari udara yang ia rasakan? Apakah serupa hatiku, saat ia memutuskan kawin dengan lelaki asal Eropa dan meninggalkanku begitu saja?  Berkali-kali kuhubungi dia melalui Facebook, sampai detik ini. Tapi tak ada lagi jawaban. Kesedihan memang seringkali menarik seseorang untuk bersikap mengkhawatirkan. Aku gelisah sekali.

Tentang Mimpi #1

#arsipfacebookku Lari secepat mungkin, kalau di dalam mimpi selalu saja ketangkep. Aku berlari, lari dan berlari sampai kemudian aku menoleh ke belakang. Ternyata bukan orang gila itu saja yang mengejarku, tapi pisau yang tadinya dipegang tibatiba juga ikut memburuku. Begitu dekat dan cepat. Blesss. Punggungku tertangkap pisau.  Aku memang tak merasakan sakit. Cerita yang sepotong sepotong dan absurd itu, begitu saja melompat membawaku pada ruang sempit bernama penjara. Kenapa aku yang dipenjara? Dan punggungku tak berdarah ataupun menyisa luka tusuk. Ajaib.   Di dalam penjara aku menangis sedih sekali. Entah penjara macam apa yang kutempati. Orang gila itu pun berada satu lokasi denganku. Pemandangannya sangat mengerikan, dua lelaki saling berciuman, orang gila berkeliaran, kekerasan ada di manamana, anak kecil ikut dipenjara, perempuan seksi dengan dandanan glamour keluar masuk penjara dengan seenaknya.  Aku menangis menjerit jerit. Apa salahku? Berapa lama aku dipenjara? Baga

Menjadi penulis kemudian

Ketika mengutarakan kemantapanku untuk resign, suami tampak berpikir keras. Mungkin ia takut, dengan aku tidak bekerja, ekonomi kami menjadi oleng. Ia juga secara implisit mengutarakan kekhawatirannya jika kelak aku menjadi pengangguran akan sangat mengganggunya. Pertama, ia takut aku akan banyak mengeluh bosan di rumah. Kedua, ia takut aku terus-terusan mengikutinya ke mana pun ia pergi. Banyak sekali ketakutan negatif yang terpancar sinis dari matanya. Sampai-sampai ia bertanya, apa yang akan kulakukan setelah keluar.  Waktu itu, aku telah menyusun rencana-rencana. Meskipun ketika pertanyaan itu mendarat di kupingku, aku sedikit ragu-ragu menjawabnya. Aku akan menulis lagi, jawabku. Ya, aku harus menulis.  Namun, jawaban itu ternyata belum cukup. Apa yang akan aku lakukan dengan menulis? Tanyanya lagi. Aku jawab, banyak sekali lomba yang ingin kuikuti. Aku ingin mengisi blog. Menulis cerita. Menulis review dan masih banyak lagi. Intinya, aku ingin merasa bahagia dengan menu