• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Tetangga depan rumah saya jarang sekali ada. Ia biasanya pulang ketika akhir minggu atau waktu-waktu yang tidak pernah kami duga. Jadi wajar kalau lampu di teras rumahnya menyala 24 jam. Itu sangat menguntungkan bagi saya, sebab ketika listrik rumah kami padam tak perlu repot-repot tanya tetangga kanan kiri. 


"Lampu rumah depan juga mati. Berarti memang mati listrik" Begitu kebiasaan saya meyakinkan suami kalau bukan listrik kami yang lupa beli pulsa.

Ketergantungan itu berlanjut berbulan-bulan lamanya. Sampai kami begitu yakin kalau padamnya lampu depan adalah petanda kalau kompleks perumahan ini sedang terjadi pemadaman listrik.

Pun begitu kejadiannya tadi pagi. Saya harus mengejar deadline sebelum pukul 10 tadi. Sebab jam 11 berniat datang ke launching buku, dan akan pulang malam setelah acara lain di kantor suami selesai. Semua sudah tertata begitu optimisnya.

Namun begitu tahu listrik padam, semuanya menjadi suram. Listrik mati lamaaa sekali. Ya, sesuatu yang genting memang terkadang membuat setiap menit terasa lama. Lebih lama. Lama sekali.

Saya sudah mulai uring-uringan. Tidak bisa masak. Menyetrika baju. Mandi dan menyalakan laptop. Keparat rasanya. Bahkan saya mulai berhalusinasi. Saya seperti mendengar bunyi sekering menyala. Saya berlari ke depan, ah, masih mati lampu. Saya melihat lampu di teras rumah tetangga masih padam.

Sampai akhirnya kami memutuskan pergi ke daerah Alun-alun Kidul Jogja untuk numpang mandi. Tak ada gunanya tetap tinggal. Setelah sempat misuh-misuh di BBM dan Twitter, kami berangkat. Saya yakin sekali membawa sepaket leptop dan alat mandi. Tak ada masalah serius. Setelah kami mandi, berangkatlah ke acara launching buku.

Niat saya untuk pulang malam ikut acara suami kemudian berubah setelah melihat jarum jam. Sudah pukul dua siang. Perasaan saya sungguh gelisah mengingat deadline dan tugas baru yang sangat mendesak. Saya harus pulang. Ya, saya yakin sekali untuk pulang.

Menepati deadline adalah urusan masa depan. Sedang menghadiri acara meski tak mungkin terulang lagi adalah soal perasaan dan kekecewaan. Saya bisa mengatasi itu. Maka selepas dari launching buku, suami mengantar saya pulang.

Sesampainya di rumah, perasaan saya tidak enak saat melihat lampu teras tetangga masih mati. Astaga jadi belum nyala? Bagaimana saya menyelesaikan tulisan. "Ya udahlah, malah bisa buat tidur" kata saya pada suami, sewot. Tapi saat saya melihat tombol sakering menyala merah. Lho, itu kok nyala? Saya pun mendekati sakering dan meyakinkan kalau pemadaman listrik sudah berakhir. Ya ternyata benar. Listrik sudah menyala. Memang kebiasaan, kalau mati listrik, sakering kami suka 'njeglek'. Namun ada yang ganjil ketika saya masuk rumah. Kok lampu teras tetangga mati? Kok mati sih? Kok mati?

Saya mulai 'kepo' dan mengintip dari balik tirai. Dari sana saya bisa melihat ada televisi menyala di rumah itu. Artinya, rumah itu berpenghuni, entah sejak kapan. Tentu sangat wajar bukan kalau mereka mematikan lampu teras? Lalu saya mulai mengingat tentang bunyi sakering yang saya pikir hanya halusinasi. Jadi, bisa saja sebenarnya listrik telah menyala sejak lama. Kamilah yang begitu ketergantungan dengan lampu teras tetangga yang diam-diam mulai 'kupisuhi' dalam hati.

Meski akhirnya sudah ada listrik, tapi perasaan bodoh itu masih saja menyesakan dada. Saya dongkol setengah mati. Saya mulai menyalakan laptop. Aih baterai habis. Saya cari chargernya di tas. Tidak ada. Saya bongkar isi tas itu. Tetap tidak ada. Saya SMS suami barangkali tertinggal di mobil. Katanya tidak ada. Saya SMS ke teman saya yang ditempati mandi. Tidak ada juga. Saya pikir mungkin jatuh ketika suami membawakan tas saya dari mobil ke rumah teman. Katanya enggak. Jadi kemanaaaaaa charger laptop saya? Aihhh. Lemessss dan saya mulai menendangi barang-barang. Saya teriak-teriak entah pada siapa. Mood saya bener-bener buruk. Saya masih memikirkan deadline meski merasa harus menulis ini dulu untuk mengobati pikiran yang semrawut. Aihhh hari apakah ini?#MulaiMemikiranMitos
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Memangkasi tanaman yang tumbuh dari kepala. 
Oh darahnya memenuhi wajahku. 
Aku butuh api! Ya api! 
Biar kubakari sisa-sisa yang kelak akan kembali tumbuh.
Keberanian tak boleh tumbuh. 
Imajinasi tak boleh tumbuh. 
Kreativitas tak boleh tumbuh. 
Hah, kepalaku terbakar. 
Darahku tumpah banyak sekali. 
Aku hampir mati, aku hampir mati.
Dan aku mati atas keputusanku sendiri.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Jika presiden dianggap gagal dalam memimpin negara, maka wajar banyak terima protes. Berbeda halnya dengan sebuah hubungan. Jika kita gagal mempertahankannya, maka itu menjadi kesalahan bersama. Kenapa begitu? Karena kita berdiri sama tinggi: kau bukan imamku dan aku tak akan jadi makmum yang memberontak
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Naiy, aku memang perempuan yang sangat payah saat menikahi ayahmu dulu. Tiap kali kami bertengkar, hanya matakulah yang menyala-nyala penuh kebencian. Untuk itu aku kerap menunduk supaya ayahmu tak pernah tahu, seberapa besar kusimpan api untuk membakarnya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Akhir akhir ini aku seringkali mimpi aneh dan buruk. Katanya, sekian detik setelah kita bangun, mimpi mimpi akan berlarian dari kepala. Tapi nyatanya aku tidak. Aku bisa mengingatnya meski hanya serupa patahan-patahan astor rasa cokelat. 


Atau beginikah mimpi buruk? Ia mampu bersembunyi di lipatan-lipatan ingatan yang tak bisa lekas kita hapus. Rasanya mengganggu sekali, sebab sesuatu yang buruk terkadang mampu memengaruhi perasaan seseorang. 

Beberapa hari ini, Tuhan mengirimi mimpi yang selalu mirip mirip. Aku memarahi suamiku begitu ganas dan tanpa rasa takut. Sampai sampai, kutendangi betulan kakinya sambil mulut bersungut-sungut. Lain hari lagi, aku bangun dengan keringat dingin. Kupandangi wajah suamiku dengan kebencian yang meluap-luap. Apakah seseorang yang begitu kucintai bisa sedemikian menyebalkan seperti dalam mimpi? Ah, itu kan mimpi Tikah. Sekadar bunga tidur. Aku mengusap wajahku dengan embusan napas yang berat. 

Freud bilang (kalau benar aku masih mengingatnya): Jika kita tidak bisa melakukan apa yang diinginkan di dunia nyata, maka itu akan menjelma dalam mimpi. Keinginan-keinginan akan terpenuhi dalam mimpi. 

Nah, apakah artinya aku mengingkan untuk marah kepada suamiku? Duh, Mas. Kasihan sekali kau. Padahal, tiap hari aku sebegini cerewet. 


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
#ARsipFacebookku 


Aku ingin sekali berada di dekat Enisa saat ini. Ia tengah menghadapi situasi yang berat, yang tentu akan membuatnya banyak kehabisan air mata.

Tujuh jam yang lalu, ia mengirimi pesan tentang rumah tangganya yang sedang kacau. Ia tak punya teman dekat, setelah kepergiannya ke benua yang dingin itu beberapa bulan lalu. Ia bilang, udara sedang sangat dingin di sana. Aku mengira-ngira, apakah hatinya tak lebih dingin dari udara yang ia rasakan? Apakah serupa hatiku, saat ia memutuskan kawin dengan lelaki asal Eropa dan meninggalkanku begitu saja? 

Berkali-kali kuhubungi dia melalui Facebook, sampai detik ini. Tapi tak ada lagi jawaban. Kesedihan memang seringkali menarik seseorang untuk bersikap mengkhawatirkan. Aku gelisah sekali.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
#arsipfacebookku
Lari secepat mungkin, kalau di dalam mimpi selalu saja ketangkep. Aku berlari, lari dan berlari sampai kemudian aku menoleh ke belakang. Ternyata bukan orang gila itu saja yang mengejarku, tapi pisau yang tadinya dipegang tibatiba juga ikut memburuku. Begitu dekat dan cepat. Blesss. Punggungku tertangkap pisau. 
Aku memang tak merasakan sakit. Cerita yang sepotong sepotong dan absurd itu, begitu saja melompat membawaku pada ruang sempit bernama penjara. Kenapa aku yang dipenjara? Dan punggungku tak berdarah ataupun menyisa luka tusuk. Ajaib.  
Di dalam penjara aku menangis sedih sekali. Entah penjara macam apa yang kutempati. Orang gila itu pun berada satu lokasi denganku. Pemandangannya sangat mengerikan, dua lelaki saling berciuman, orang gila berkeliaran, kekerasan ada di manamana, anak kecil ikut dipenjara, perempuan seksi dengan dandanan glamour keluar masuk penjara dengan seenaknya. 
Aku menangis menjerit jerit. Apa salahku? Berapa lama aku dipenjara? Bagaimana promilku? Bagaimana deadline nulisku? Argggghhh.
Tibatiba leptopku akan dibanting oleh polisi penjaga. Aku bilang data yang disitu sangat penting, kalau sampai rusak, kutulis kau di media. Dan ia membatalkan rencananya. 
Dan keanehan lainnya adalah muncul aturan kalau aku bisa pulang ke rumah seminggu sekali. Lebih dari itu, ada yang naksir aku juga di penjara. Ihir. Iki mimpi uopo to. Aneh sekali.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ketika mengutarakan kemantapanku untuk resign, suami tampak berpikir keras. Mungkin ia takut, dengan aku tidak bekerja, ekonomi kami menjadi oleng. Ia juga secara implisit mengutarakan kekhawatirannya jika kelak aku menjadi pengangguran akan sangat mengganggunya. Pertama, ia takut aku akan banyak mengeluh bosan di rumah. Kedua, ia takut aku terus-terusan mengikutinya ke mana pun ia pergi. Banyak sekali ketakutan negatif yang terpancar sinis dari matanya. Sampai-sampai ia bertanya, apa yang akan kulakukan setelah keluar. 

Waktu itu, aku telah menyusun rencana-rencana. Meskipun ketika pertanyaan itu mendarat di kupingku, aku sedikit ragu-ragu menjawabnya. Aku akan menulis lagi, jawabku. Ya, aku harus menulis. 

Namun, jawaban itu ternyata belum cukup. Apa yang akan aku lakukan dengan menulis? Tanyanya lagi. Aku jawab, banyak sekali lomba yang ingin kuikuti. Aku ingin mengisi blog. Menulis cerita. Menulis review dan masih banyak lagi. Intinya, aku ingin merasa bahagia dengan menulis. Aku ingin punya banyak waktu untuk menulis. Apa itu salah? 

Aku masih melihat ketakutan yang sinis di mata suamiku. Ia tidak paham apa yang kuinginkan. Ia hanya takut aku merepotkan. Ia takut aku menjadi pengganggu. Baiklah, kataku. Untuk urusan hidupku, biar aku sendiri yang atur. Aku tak ingin merepotkanmu. Aku yakin sekali bisa mandiri. Aku bisa melakukan apapun sendirian. 

Maka keberuntungan pun datang. Seorang teman mengenalkanku kepada owner sebuah penerbit di Jogja. Aku diberinya pekerjaan sebagai penulis. Lalu teman yang lain juga menawari pekerjaan sebagai penulis di tempatnya bekerja. Kujalani keduanya. Ya, Im happy. Meskipun aku melupakan semua rencana-rencanaku. Aku lupa menulis blog, mengikuti lomba, menulis review dan menyusun kembali cerita-cerita untuk novelku. 

Dengan kesibukanku menjadi penulis buku praktis, aku justru lebih senang berada di rumah. Suami sering kutolak ketika mengajakku pergi. Semua tebakannya yang sinis itu keliru. Sekarang aku puas karena punya jalan hidup sendiri. Aku punya rencana-rencana. Dan itu semua milikku tanpa harus diintimidasi oleh orang lain. Aku bosan jika terus menerus diajari berterima kasih, ketika sebenarnya bisa berdiri sendiri.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
  • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
  • Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ▼  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ▼  May (8)
      • Kesialan #ARsipFacebookku
      • Darah Dalam Kepala
      • Imam vs Makmum
      • Naiy, aku memang perempuan yang sangat payah
      • Tentang Mimpi #2
      • Enisa ...
      • Tentang Mimpi #1
      • Menjadi penulis kemudian
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates