Skip to main content

Kesialan #ARsipFacebookku

Tetangga depan rumah saya jarang sekali ada. Ia biasanya pulang ketika akhir minggu atau waktu-waktu yang tidak pernah kami duga. Jadi wajar kalau lampu di teras rumahnya menyala 24 jam. Itu sangat menguntungkan bagi saya, sebab ketika listrik rumah kami padam tak perlu repot-repot tanya tetangga kanan kiri. 


"Lampu rumah depan juga mati. Berarti memang mati listrik" Begitu kebiasaan saya meyakinkan suami kalau bukan listrik kami yang lupa beli pulsa.

Ketergantungan itu berlanjut berbulan-bulan lamanya. Sampai kami begitu yakin kalau padamnya lampu depan adalah petanda kalau kompleks perumahan ini sedang terjadi pemadaman listrik.

Pun begitu kejadiannya tadi pagi. Saya harus mengejar deadline sebelum pukul 10 tadi. Sebab jam 11 berniat datang ke launching buku, dan akan pulang malam setelah acara lain di kantor suami selesai. Semua sudah tertata begitu optimisnya.

Namun begitu tahu listrik padam, semuanya menjadi suram. Listrik mati lamaaa sekali. Ya, sesuatu yang genting memang terkadang membuat setiap menit terasa lama. Lebih lama. Lama sekali.

Saya sudah mulai uring-uringan. Tidak bisa masak. Menyetrika baju. Mandi dan menyalakan laptop. Keparat rasanya. Bahkan saya mulai berhalusinasi. Saya seperti mendengar bunyi sekering menyala. Saya berlari ke depan, ah, masih mati lampu. Saya melihat lampu di teras rumah tetangga masih padam.

Sampai akhirnya kami memutuskan pergi ke daerah Alun-alun Kidul Jogja untuk numpang mandi. Tak ada gunanya tetap tinggal. Setelah sempat misuh-misuh di BBM dan Twitter, kami berangkat. Saya yakin sekali membawa sepaket leptop dan alat mandi. Tak ada masalah serius. Setelah kami mandi, berangkatlah ke acara launching buku.

Niat saya untuk pulang malam ikut acara suami kemudian berubah setelah melihat jarum jam. Sudah pukul dua siang. Perasaan saya sungguh gelisah mengingat deadline dan tugas baru yang sangat mendesak. Saya harus pulang. Ya, saya yakin sekali untuk pulang.

Menepati deadline adalah urusan masa depan. Sedang menghadiri acara meski tak mungkin terulang lagi adalah soal perasaan dan kekecewaan. Saya bisa mengatasi itu. Maka selepas dari launching buku, suami mengantar saya pulang.

Sesampainya di rumah, perasaan saya tidak enak saat melihat lampu teras tetangga masih mati. Astaga jadi belum nyala? Bagaimana saya menyelesaikan tulisan. "Ya udahlah, malah bisa buat tidur" kata saya pada suami, sewot. Tapi saat saya melihat tombol sakering menyala merah. Lho, itu kok nyala? Saya pun mendekati sakering dan meyakinkan kalau pemadaman listrik sudah berakhir. Ya ternyata benar. Listrik sudah menyala. Memang kebiasaan, kalau mati listrik, sakering kami suka 'njeglek'. Namun ada yang ganjil ketika saya masuk rumah. Kok lampu teras tetangga mati? Kok mati sih? Kok mati?

Saya mulai 'kepo' dan mengintip dari balik tirai. Dari sana saya bisa melihat ada televisi menyala di rumah itu. Artinya, rumah itu berpenghuni, entah sejak kapan. Tentu sangat wajar bukan kalau mereka mematikan lampu teras? Lalu saya mulai mengingat tentang bunyi sakering yang saya pikir hanya halusinasi. Jadi, bisa saja sebenarnya listrik telah menyala sejak lama. Kamilah yang begitu ketergantungan dengan lampu teras tetangga yang diam-diam mulai 'kupisuhi' dalam hati.

Meski akhirnya sudah ada listrik, tapi perasaan bodoh itu masih saja menyesakan dada. Saya dongkol setengah mati. Saya mulai menyalakan laptop. Aih baterai habis. Saya cari chargernya di tas. Tidak ada. Saya bongkar isi tas itu. Tetap tidak ada. Saya SMS suami barangkali tertinggal di mobil. Katanya tidak ada. Saya SMS ke teman saya yang ditempati mandi. Tidak ada juga. Saya pikir mungkin jatuh ketika suami membawakan tas saya dari mobil ke rumah teman. Katanya enggak. Jadi kemanaaaaaa charger laptop saya? Aihhh. Lemessss dan saya mulai menendangi barang-barang. Saya teriak-teriak entah pada siapa. Mood saya bener-bener buruk. Saya masih memikirkan deadline meski merasa harus menulis ini dulu untuk mengobati pikiran yang semrawut. Aihhh hari apakah ini?#MulaiMemikiranMitos

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk