Ketika mengutarakan kemantapanku untuk resign, suami tampak berpikir keras. Mungkin ia takut, dengan aku tidak bekerja, ekonomi kami menjadi oleng. Ia juga secara implisit mengutarakan kekhawatirannya jika kelak aku menjadi pengangguran akan sangat mengganggunya. Pertama, ia takut aku akan banyak mengeluh bosan di rumah. Kedua, ia takut aku terus-terusan mengikutinya ke mana pun ia pergi. Banyak sekali ketakutan negatif yang terpancar sinis dari matanya. Sampai-sampai ia bertanya, apa yang akan kulakukan setelah keluar.Waktu itu, aku telah menyusun rencana-rencana. Meskipun ketika pertanyaan itu mendarat di kupingku, aku sedikit ragu-ragu menjawabnya. Aku akan menulis lagi, jawabku. Ya, aku harus menulis.Namun, jawaban itu ternyata belum cukup. Apa yang akan aku lakukan dengan menulis? Tanyanya lagi. Aku jawab, banyak sekali lomba yang ingin kuikuti. Aku ingin mengisi blog. Menulis cerita. Menulis review dan masih banyak lagi. Intinya, aku ingin merasa bahagia dengan menulis. Aku ingin punya banyak waktu untuk menulis. Apa itu salah?Aku masih melihat ketakutan yang sinis di mata suamiku. Ia tidak paham apa yang kuinginkan. Ia hanya takut aku merepotkan. Ia takut aku menjadi pengganggu. Baiklah, kataku. Untuk urusan hidupku, biar aku sendiri yang atur. Aku tak ingin merepotkanmu. Aku yakin sekali bisa mandiri. Aku bisa melakukan apapun sendirian.Maka keberuntungan pun datang. Seorang teman mengenalkanku kepada owner sebuah penerbit di Jogja. Aku diberinya pekerjaan sebagai penulis. Lalu teman yang lain juga menawari pekerjaan sebagai penulis di tempatnya bekerja. Kujalani keduanya. Ya, Im happy. Meskipun aku melupakan semua rencana-rencanaku. Aku lupa menulis blog, mengikuti lomba, menulis review dan menyusun kembali cerita-cerita untuk novelku.Dengan kesibukanku menjadi penulis buku praktis, aku justru lebih senang berada di rumah. Suami sering kutolak ketika mengajakku pergi. Semua tebakannya yang sinis itu keliru. Sekarang aku puas karena punya jalan hidup sendiri. Aku punya rencana-rencana. Dan itu semua milikku tanpa harus diintimidasi oleh orang lain. Aku bosan jika terus menerus diajari berterima kasih, ketika sebenarnya bisa berdiri sendiri.
Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani. Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga. Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee. Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur. Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat. Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya
Comments
Post a Comment
Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....