Skip to main content

Dalam Hal Apapun Kehilangan Suka Bikin Susah Move On

Bagi saya, perkara kehilangan seperti halnya taman bunga di dalam dada yang dicabuti entah oleh siapa. Rasanya sakit sekali. Mungkin dengan mencatatnya begini, kesakitan itu akan menguap sehingga bekas-bekasnya akan hilang sama sekali. Begitulah yang saya harapkan ketika berkali-kali kehilangan tulisan. 


Bagi saya, kehilangan tulisan bukanlah hal yang remeh temeh. Apalagi jika tulisan itu mencatat peristiwa penting dalam perjalanan hidup saya. Maka kehilangan itu sangat membekas, meski narasi tulisan-tulisan tersebut sama sekali tidak bisa saya ingat kembali. Tulisan yang hilang tanpa salinan hanya akan menjadi puzzle yang kepingannya tidak utuh.

Di tahun 2008, saya tidak punya komputer pribadi. Buku tulis pun sudah mulai saya tinggalkan ketika merasakan enaknya menulis di papan keyboard. Untuk tetap menulis itu, saya pergi ke rental komputer, warnet kampus atau bergantian menggunakan komputernya pacar. Karena tempat yang berganti-ganti begitu, maka semua file saya simpan dalam flashdish. 

Pada suatu kesempatan, pacar saya meminjam flasdish. Ia membawanya ke kantor. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana hati saya seperti ditumpahi balok es berkilo-kilo saat mendengar kabar buruk itu. Dingin sekali. Ia mengabari bahwa flasdish saya kena virus, lalu diformat dan semuanya hilang. Apakah kau pernah merasakan kesakitan itu? Saya ingin sekali menjerit tapi kemudian yang keluar hanyalah jawaban "Ya udah ndak papa Mas". Saya tidak bisa menyalahkan siapapun kerna semuanya sudah telanjur. Tapi saya merasakan sakit dan putus asa. 

Padahal saya sudah berusaha menghibur diri kalau beberapa file yang pernah dikirim ke media masih tersimpan di email. Tapi entah bagaimana saya benar-benar berhenti menulis. Tiga bulan lamanya satu puisi pun tidak lahir. Sejak saat itu saya tidak percaya lagi dengan flashdish. 

Setelah kembali menulis, tamparan kedua yang saya ingat adalah sent item email tiba-tiba lenyap begitu saja. Padahal di sanalah saya menyimpan tulisan-tulisan saya. Email saya dibajak entah oleh siapa. Pada kali itu, rasa sakit tidak begitu dalam. Kata orang, cukup pengalaman pertama yang berkesan lebihnya hati kita akan beradaptasi dengan kehilangan. Mungkin kalimat itu ada benarnya. 

Kehilangan selanjutnya adalah ketika finishing cerpen untuk lomba. Hari itu tanggal terakhir pengiriman naskah. Saya sedikit kelelahan sehingga tidak fokus dan cerpen tersebut kereplace dengan file mentah. Saya kelimpungan bertanya ke sana ke sini untuk membenahi masalah tersebut. Tapi teman-teman saya tidak mampu memberi solusi, katanya "Kalau kedelet malah masih bisa dicari Tik". Saya pun akhirnya menulis ulang dengan hasil yang tidak memuaskan. 

Setelah punya komputer sendiri, kehilangan tulisan kembali saya alami ketika ada maling masuk kamar. Tidak hanya tulisan yang hilang, tapi CPU yang nilai jualnya tak lebih dari 500ribu itu pun raib. Saya terpukul bukan lantaran file cerpen dan puisi saya hilang lagi, tapi di sana saya menyimpan masa depan saya; skripshit. Sejak tak percaya pada flashdish, semua saya kira aman di komputer. Tapi ternyata kali itu pun saya kembali kecolongan. 

Beberapa bulan kemudian pacar saya membelikan CPU, tak berapa lama hardhisnya terbakar. Tulisan hilang lagi. Lalu saya pun mengantisipasi kehilangan dengan kembali menyimpan file tulisan dalam email khusus, flashdish, dan saya print meski tulisan itu masih mentah. 

Saking seringnya mengalami kehilangan, suatu hari flashdish saya dipinjam oleh seorang teman dan hilang. Entah kenapa saya begitu marah dan memaksa dia untuk mencarinya sampai ketemu. Hal yang mustahil memang, tapi saya tidak mau tahu. Saya seperti aji mumpung melampiaskan semuanya ke dia. Sampai-sampai teman dekat saya bilang "Udah sampai tak dukunin kok Mbak. Kalau memang tidak ketemu jangan-jangan Mbak nggak pernah sodakoh ya" Anjrittt. Dituduh seperti itu di saat kena musibah rasanya makin meluap-luaplah emosi saya. Maka saya pun berhenti marah ketika dia mengganti flashdish dua gb menjadi 8 gb. Namanya tidak rezeki, flashdish itu kemudian lenyap oleh adik sendiri. 

Kehilangan selanjutnya, sering saya alami ketika menulis untuk cari duit. Ketika deadline mendekat, biasanya saya akan berada di depan laptop dalam waktu yang sangat lama. Untuk mempermudah pekerjaan, kalau saya butuh istirahat saya hanya menutup laptop tanpa menskip atau mengclose semua browser dan word. Hasilnya? Ketika baterai habis, file kerjaan berubah jadi sandi alien. Kejadian ini berkali kali saya alami karena awalnya nggak tahu penyebab berubahnya file word jadi sandi alien. 

Dalam beberapa kejadian itu, ada yang bisa diselamatkan oleh suami dengan aplikasi recovery (meski hasilnya berantakan dan banyak kalimat yang kepotong), ada juga yang harus diprintscrean lalu diketik, tapi juga pernah ngalami yang sama sekali harus ditulis ulang tanpa ampun. 

Semua kehilangan itu bikin nyesek, sekecil apapun kehilangan itu. Apalagi kehilangan tulisan yang kita lahirkan dari jerih payah menghimpun ide ide. Soalnya, saya pribadi ketika sudah dituliskan, ide ide jadi bersih dari memori otak. Jadi, agak sulit ya bisa menulis ulang ide-ide yang udah pernah dituliskan. Ujungnya malah tidak puas sendiri. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk