Kepada Si Pemarah
Suatu hari aku nonton film di bioskop. Film yang dari sinopsis, dan thrilernya sih bagus. Maka hari itu aku pun duduk manis di studio yang menayangkan film action X yang katanya keren. Padahal untuk biaya tiket yang bisa buat beli beras 3kg, kadang aku perlu pikir-pikir lagi. Tapi entah kenapa, saat itu tanpa pikir panjang aku langsung membelinya. Pokoknya kata orang sih bagus.
Sambil menikmati cokelat panas, jam pertama berlalu, lalu masuk jam kedua. Ah kusadari ternyata aku lebih banyak menutup mata daripada menikmati alur ceritanya. Ih ngeri banget. Aku sungguh tidak puas, karena meleset dari ekspektasiku. Film itu bagiku tidak bagus. Ini pendapatku yang tentunya sangat subyektif. Sebab barangkali pendapat orang lain cerita ini bagus. Atau bisa jadi sutradaranya memang sengaja membuat karya yang tidak cocok untuk kutonton. Ya, mungkin saja. Bukankah suka-suka dia? Orang bebas dong berkarya. Itulah kenapa dalam setiap penciptaan selalu ada dua opini; jelek dan bagus. Seperti pro dan kontra.
Tapi sialnya, ketidakpuasanku membuat kesadaran itu lenyap begitu saja. Padahal aku sering tidak setuju dengan orang yang mengatakan bahwa novel sastra itu jelek karena bikin mumet. Novel pop itu jelek karena kayak FTV. Novelnya si anu cuma bagus sampulnya doang. Ih, novel si ini yeyek banget. Ah macem-macemlah namanya nggak suka. Padahal ini hanya soal selera.Yap soal selera.
Dan sialnya rasa kecewaku saat itu menutupi mata bahwa setiap orang punya selera yang berbeda. Ketidakpuasanku terhadap film X membuatku jengkel setengah mati. Mungkin kejengkelanku bukan karena isi cerita yang tidak kusukai. Tapi soal lain. Aku terbayang uang tiket yang sudah telanjur melayang. Aku terbayang beras yang seharusnya terbeli untuk satu minggu. Kalau ini film gratis, mungkin aku tak perlu semarah ini. Ya coba deh bayangkan, aku harus membayar mahal untuk film yang tidak kusukai. Bagaimana tidak jengkel? Rasanya ingin sekali kudatangi loket karcis tersebut. Kuminta kembali uangku. Kumaki-maki pembuat thriler film itu yang (bagiku) dusta. Tapi apakah bijak? Ah, manusia yang marah mana bisa menilai diri sendiri bijak atau tidak. Pun demikian dengan aku waktu itu.
Lalu sekarang aku terkenang pengalaman konyol ini sambil menikmati teh hanget. Aku menutup sebuah buku yang bagiku keren banget, tapi belum tentu keren bagi orang lain. Ya. Aku harus sadar, bahwa dalam setiap hal selalu ada sisi baik dan buruknya. Pun tulisan ini. Pasti ada yang suka, pun ada yang memaki dalam hati.
Salam damai.
0 komentar
Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....