Skip to main content

Narsis Foto :)

Sekarang zamannya setiap hal diarsip dalam foto.
Mau makan enak difoto dulu. Habis dandan difoto dulu. Habis masak difoto dulu. Bahkan kalau ngliat bulu mata jatuh di pipi juga rasanya pengin difoto, lalu diunggah ke sosial media dengan capture "Duh ada yang kangen gue nih. Siapa yah?". Pokoknya mau muda atau tua nggak kenal usia deh buat narsis dengan kamera dan sosial media. Termasuk aku tentunya hihihi. 

Yap. Namanya manusia, salah satu sifat dasarnya adalah menginginkan apa yang orang lain lakukan. Begitulah kejadiannya. Habis dandan, aku suka minta suami buat mengambil gambar cantikku. Logis dong, namanya tinggal berdua. Siapa lagi yang mau kumintai tolong. Masa tuyul hehehe. 

Entah kenapa, kalau difotoin suamiku kok hasilnya sering nggak memuaskan. Kadang kerudungku miring dia diem aja. Kadang eanglenya jelek, dia cuek. Kadang pipiku kelihatan chubby banget dia bilang biasa aja. Bahkan kadang badanku terlihat sangat gemuk. Aku jadi sebel. Kupikir dia bisa mengambil eagle yang bagus, sehingga obyek yang emang dasarnya gendut dan pipinya chuby ini tetep kelihatan seksi dan cantik. Tapi kenapa hasilnya seperti ini? Dia akan jawab, "Lah pancen gendut, kok aku sing disalahkan". Hahaha. Ini serius. Dia nggak mau hasil bidikannya diprotes. Duh, kalau fotografer cuma bisa nangkep objek yang biasa jadi biasa aja, ngapain ada fotografer profesional xixixixi. (Tapi ini nggak kusampaikan ke suami). Aku mulai menanamkan opini dari "Ah suamiku nggak pinter moto" sampai ke opini yang lebih bijak lagi "Ah, barangkali selera kami memang beda". Deal. Toh, nggak semua hasilnya buruk. Kadang juga ada yang bagus dan cantik. 

Nah. Setelah aku tetep minta difoto meski hasilnya tak terduga, ya mau gimana lagi. 
Trus sekarang aku jadi berpikir kalau mungkin memang jangan deh berharap hasil yang wow dari seseorang yang sangat mencintai kita. Biasanya jadi nggak objektif. Soalnya tahu nggak kenapa? 

Emmm mungkin nih ya. Bagi suamiku, mau aku tampak gendut, chuby, kerudung miring atau apalah yang kupikir jelek, bagi dia tuh tetep sama: aku seksi dan cantik. Jadi ya ketika melihat badanku yang mulai melebar dalam foto pun, dia tetep anggap udah pas. Tak perlu cari eagle yang lain. Karena udah pas cantiknya. 
Emmm iya nggak hayo? Iya kan. (Menghibur diri). 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk