Skip to main content

Nilai Guna Lebih Tinggi Dari Nilai Keindahan

sumber gambar
"Kalau pekerjaanmu lebih rapi, pasti sempurna hasilnya"
"Ah, biar saja. Sing penting kan manfaatnya!"
Huffft 

Orang memang macem-macem ya sifatnya. Termasuk penganut prinsip nilai guna lebih tinggi dari nilai keindahan. Tapi kemudian aku berpikir lagi, bahwa memang tidak semua orang menyukai keindahan yang sama. Itu juga bukan sebuah kesalahan. Hanya saja, jika terjebak pada percakapan di atas rasanya dadaku berat sekali. Sebab bagiku, sederhananya seperti ini. Bahwa nilai guna dan keindahan ya sama pentingnya. Misal, ketika aku beli sofa ruang tamu. Aku tidak hanya berpikir bahwa sofa berfungsi untuk duduk pantat teman main, tapi juga bagaimana sofa tersebut memberi keindahan untuk ruang tamuku. Kenapa orang orang perlu repot-repot menyembunyikan jemurannya di loteng daripada halaman rumah? Bukankah lebih praktis memamerkan celana dalam, kutang dan sempak di depan dari pada repot-repot naik turun tangga demi sederet jemuran?

Jawabannya adalah karena keindahan juga penting selain manfaat paraktis. Seperti halnya arsitek. Mereka membangun rumah tentu bukan hanya untuk berteduh penghuninya. Kalau manfaatnya untuk berteduh saja, orang bisa berteduh di ATM, mal atau emperan toko. Tapi arsitek juga mempertimbangkan bagaimana sebuah rumah dapat menjadi kebanggaan bagi pemiliknya karena memiliki keindahan. Ya nggak sih?

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk