Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2015

Ngopi Yuk, Dik

Setiap minta dibikinkan kopi, suami hanya akan bilang "Ngopi yuk, Dik". Tanpa tambahan lain.  Rada janggal kan, coba kalau saya lagi nggak pengin ngopi. Otomatis akan saya jawab, "Nggak ah" dan nggak akan tersedia kopi. Harusnya sih begitu. Tapi nyatanya itu tidak berlaku di sini.  Jadi, ketika suami mengatakan kalimat ajaib tersebut, maka dengan sendirinya saya akan menganggukan kepala, menuju dapur, dan menghidangkan segelas kopi untuk dia. (Tak peduli apakah saya ikut ngopi atau tidak. Tak perlu mikir dua kali, apakah itu artinya dia ngajak kencan di coffe shop atau di luar rumah. Nggak boleh mikir begitu. Pokoknya "Ngopi yuk Dik" hanya berlaku di rumah, yang artinya "Bikinin kopi dong".) Nah, tapi pagi ini, dia mengubah kalimatnya sendiri. Ia bilang : Adik, udah ngopi? Jelas saja saya jawab belum, lah wong emang cuma membuat segelas jeniper. Maka, selesai pertanyaan itu, saya pun tetap anteng menghadap laptop. Sampai kira-kira sejam k

Hutan Persembunyian Kami

Hutan bagiku adalah kenangan masa kecil yang rasanya pedas, asam, sekaligus manis.  Di masa-masa sulit dulu, kami harus menempuh hutan berbukit demi sampai ke rumah Nenek. Dalam ingatanku, hutan adalah rumah kalajengking, ular berbisa, ayam alas, dan hantu jelmaan siluman. Lebih dari itu, aku pernah melihat Mama pingsan di jalan setapak menuju lereng bukit. (Mama memang sering sekali pingsan ketika menghadapi masalah berat. Mungkinkah, waktu itu Mama hendak mengadu ke orangtuanya? AH. Aku tidak pernah tahu, tidak, sampai kutemukan ilmu kira-kira ini.) Kalau tidak melewati hutan, barangkali aku pun tak punya kenangan indah tentang nyanyian semilir angin. Aku naik ke ranting pohon karet yang tiga kali lipat tinggi badanku. Semut-semut menggigit. Dan, aku tak peduli. Sebab tahu di atas sana, angin akan mengayun-ayun, membawaku jauh ke lamunan masa depan indah.  Kau pernah melihat kereta sandal jepit? Tidak? Ah, ya. Jelas saja kau tidak tahu.  Tentang kereta sandal jepit i

Negeri apakah ini?

Ah, rumah ini begini jauh dari ibu kota, tapi riuh gelisah begitu dekat di mata kami.  Ya, bagaimana tidak?  Saat televisi dinyalakan, KPK vs POLRI berseteru.  Lebih seru lagi di jejaring sosial.  Kami saling menghujat, mencibir, melukai satu sama lainnya.  Negeri apakah kiranya ini?  Sedang di luar rumah, markisah berbuah kecil-kecil.  Mawar kami hampir mati, karena berpindah pot.  Lalu, cabe yang sudah turun harganya, di halaman kami hanya tinggal segenggam hijau-hijau. Perlukah kita gelisah dengan sedikit kebahagiaan dari Tuhan?  Ah, kita kan berjanji untuk terus bahagia, Sayang! Mari kita menikmati kopi dan sebatang rokok yang kau nyalakan  Lihat, gerimis datang.  Sebentar lagi, kita akan tergoda untuk menikmati ranjang yang hangat.  Bukan begitu?

Uang bulanan (palsu), hadiah romantis dan setumpuk utang bayangan

Cerita ini cukup nyinyir sih. Tapi perlu saya catat. Semoga yang punya kisah tersebut ikhlas pengalamannya jadi bahan evaluasi para pasangan suami istri.  Jadi begini, sebenarnya masih berlaku nggak sih aturan main "uang istri hak istri, uang suami sebagian adalah hak istrinya". Kalau misalnya aturan itu sengaja atau bahkan tidak sadar dilanggar, kira-kira pelakunya dosa nggak ya? Tapi bagaimana kalau prinsipnya adalah uang istri ataupun suami menjadi milik bersama. Istri berkewajiban mengurus suami, tapi kewajiban nafkahin keluar bagi suami adalah urusan bersama. Bujubuneng. Sering dengar cerita begituan kan? Iya banget. Mau dicurhatin temen, nonton sinetron, layar lebar sampai teater, temanya nggak jauh beda. Pokoknya, sejak para istri berani meninggalkan rumah untuk cari duit, para suami juga berani mengklaim bahwa gaji istrinya adalah milik bersama. Kampret nggak sih? Ladies Talks Seorang teman curhat kalau suaminya royal banget memberikan hadiah mahal sama di

Batu Halilintar di Dalam Rumah

Ada api di dadaku. Menyala-nyala. Mendidihkan darah amarah. Ya ... Gusti!! Izinkan aku luap. Biarlah jatuh dosa. Aku tak mau bungkam (lagi). Aku lelah. Mana mata-Mu, pinjamlah ... pinjamlah. Pecahan asbak di lantai, telah kubanting jadi serbuk serbuk kecil. Di dapur ada gelas tangkainya patah. Itu pun kubanting tak tentu arah. Aku marah. Setanku murka. Saat dadaku reda, kubersihkan lantai. (Juga pipiku yang habis basah) Lah, petanda apa ini?  Dalam keping-keping kaca, kutemukan batu halilintar. Mungkinkah dalam setiap pergesekan cuaca, selalu ada kilat dan gigi halilintar yang tanggal?  Ah. Sedang perang di dada sendiri belum juga usai. 

Malam Minggu Itu (Spesial)?

Dewasa ini, keistimewaan malam Minggu agaknya mulai pudar. Ya nggak sih? Kalau dulu, ngalamin kemrungsung beli minyak nyongnyong buat ngapel, sekarang mau teriak 'cieee yang malam Mingguan sama pacar' aja udah nggak zaman. Gimana mau malam Mingguan,  wong  kutukan jomblo aja nggak sembuh-sembuh. Masih mending punya gebetan, meski jauh di negeri orang. Tapi apa nggak ngenes tuh, kalau pas kangen, gebetan malah nggak online (wahdalah). Ujungnya para penganut LDR cuma bisa menganalisis status-status Facebook gebetan dengan hati was-was. "Lho kok statusnya makan melulu, trus sudah sebesar apa ya dia sekarang?" #jederrr.  Tapi dari nasib si jomblo sampai jamaah LDR, ada yang lebih ngenes lagi, yaitu disanding pacar tapi si doi senyum-senyum sendiri sama handphonenya. Kata orang sekarang "sakitnya tuh di sini" (Sambil megangin kepala palu, buat mecahin kesunyian).  Sebenarnya mau malam Minggu, Senin, Selasa atau Jumat sekalipun, nggak ada bedanya bagi

Burung-burung dari Negeri Dongeng #1

Bahwa sebenarnya kita tahu jika burung akan terbang setelah dilepaskan, dan ketika ditahan-tahan dalam sangkarnya, kita tidak pernah tahu apakah ia bertahan hidup dengan bahagia.  Mungkinkah kepergianmu karena merasa tidak bahagia? Ah, kita memang luput saling bertanya: bahagiakah kita waktu itu? Saat kita memiliki mimpi-mimpi yang begitu serius kita gambari pada tembok-tembok kamar kos.  "Aku ingin jadi editor buku" kataku.  Kamu hanya tersenyum sambil mengelus rambutku sebentar dengan tatapan teduh yang sebenarnya tidak aku sukai. Kamu pun kembali memandangi senja yang kemerah-merahan di pucuk kubah masjid kampus. Kita hanya diam setelah itu. Aku pikir keinginanku yang ini memang berlebihan. Bagaimana mungkin berani bermimpi, kalau menulis saja baru permulaan. Tapi kamu sendiri memiliki banyak sekali mimpi yang kelewat tinggi sejak aku mengenalmu sebagai mahasiswa baru. Jadi, salahnya apa dengan menjadi seorang editor?  "Tidak ada yang salah. Kita boleh