• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Setiap minta dibikinkan kopi, suami hanya akan bilang "Ngopi yuk, Dik". Tanpa tambahan lain. 

Rada janggal kan, coba kalau saya lagi nggak pengin ngopi. Otomatis akan saya jawab, "Nggak ah" dan nggak akan tersedia kopi. Harusnya sih begitu. Tapi nyatanya itu tidak berlaku di sini. 

Jadi, ketika suami mengatakan kalimat ajaib tersebut, maka dengan sendirinya saya akan menganggukan kepala, menuju dapur, dan menghidangkan segelas kopi untuk dia. (Tak peduli apakah saya ikut ngopi atau tidak. Tak perlu mikir dua kali, apakah itu artinya dia ngajak kencan di coffe shop atau di luar rumah. Nggak boleh mikir begitu. Pokoknya "Ngopi yuk Dik" hanya berlaku di rumah, yang artinya "Bikinin kopi dong".)

Nah, tapi pagi ini, dia mengubah kalimatnya sendiri. Ia bilang : Adik, udah ngopi? Jelas saja saya jawab belum, lah wong emang cuma membuat segelas jeniper. Maka, selesai pertanyaan itu, saya pun tetap anteng menghadap laptop.

Sampai kira-kira sejam kemudian, suami muncul di muka pintu kamar kerja saya. Ia melongok ke isi gelas saya dengan cepat. "Loh, Adik nggak ngopi?" tanyanya aneh. Sebelum sempat saya jawab, ia melanjutkan kalimatnya "Trus, kopi Mas kenapa belum dibuat?" Jederrr! Hihihihihi nah lo, kena juga batunya kan, kalau nggak konsisten. Niat hati mau nyerobot kopi orang, tapi yang didapat malah zong.

Tapi saya cukup menikmati setiap keanehan laki-laki ini. Dari pada dia teriak "Kopinya satu ya", itu kan mirip teriakan yang ada di burjoan. Lah, saya istrinya je. Jadi ya, inilah perintahnya yang lumayan manis untuk didengar. "Ngopi yuk, Dik" 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hutan bagiku adalah kenangan masa kecil yang rasanya pedas, asam, sekaligus manis. 


Di masa-masa sulit dulu, kami harus menempuh hutan berbukit demi sampai ke rumah Nenek. Dalam ingatanku, hutan adalah rumah kalajengking, ular berbisa, ayam alas, dan hantu jelmaan siluman. Lebih dari itu, aku pernah melihat Mama pingsan di jalan setapak menuju lereng bukit. (Mama memang sering sekali pingsan ketika menghadapi masalah berat. Mungkinkah, waktu itu Mama hendak mengadu ke orangtuanya? AH. Aku tidak pernah tahu, tidak, sampai kutemukan ilmu kira-kira ini.)

Kalau tidak melewati hutan, barangkali aku pun tak punya kenangan indah tentang nyanyian semilir angin. Aku naik ke ranting pohon karet yang tiga kali lipat tinggi badanku. Semut-semut menggigit. Dan, aku tak peduli. Sebab tahu di atas sana, angin akan mengayun-ayun, membawaku jauh ke lamunan masa depan indah. 

Kau pernah melihat kereta sandal jepit?
Tidak? Ah, ya. Jelas saja kau tidak tahu. 
Tentang kereta sandal jepit itu. Dulu, kami sering membuatnya untuk Adik supaya dia berhenti merengek minta gendong. (Sebenarnya ini hanya akal-akalan Bapak.) Jadi, semua sandal kami disatukan, diikat dengan tanaman rambat, lalu ditarik oleh Adik sepanjang jalan setapak menuju rumah Nenek. 

Ini jelas sangat melegakan. 

Sebenarnya, karena jalanan licin, kami harus melepas sandal dan menentengnya sampai sungai kecil dekat desa. Kalau tidak ada akal-akalan kereta sandal, maka menenteng sandal sambil berlari dari satu pohon ke pohon lainnya demi membuat bola karet itu sangat merepotkan. Hemmm ... tiba-tiba aku kangen melewati hutan itu lagi. Hutan yang jalan setapaknya kini telah hilang karena pipi bukitnya longsor besar di tahun silam. 

Apa Mas pernah memiliki kenangan tentang hutan? Tanyaku kepada suami. Dia menggeleng. Anak pantai yang telah dua tahun seatap denganku ini jelas hanya memiliki masa kecil tentang tambak ikan, air asin, dan garam yang melimpah di sekitar rumahnya. Aku hanya mengira-ngira, barangkali ia pun pernah memiliki imajinasi sendiri tentang hutan. Pernahkah ia berkhayal tengah menjelajahi hutan lalu tersesat? Atau, pernahkah ia ingin berlari ke hutan dan bersembunyi dari musuh? Kami tidak pernah berbincang tentang itu. Tapi, ketika tanaman markisa peliharaannya memenuhi halaman rumah kami, aku tahu bahwa ada hutan yang sedang dibangunnya. 

Tanaman markisa itu, benar-benar menutupi wajah rumah kami. Begitu rimbun, hingga matahari hanya mengintip dari sela-selanya. Kadang, aku takut akan ada ular merambat lalu turun ke kamar kami. Bukankah semua bisa saja terjadi? Tapi, suami selalu menenangkan. Tidak ada ular, Dik, tidak ada. Katanya. (Sampai saat ini, aku terpaksa percaya kepada lelaki yang bahkan tidak memiliki pengalaman melewati hutan. Di mana hutan biasanya menyimpan ratusan bahkan ribuan ular dengan berbagai jenisnya). 

Kini. Halaman rumah kami menjelma hutan imajinasi. Ketika kami duduk di muka pintu depan, matahari tidak bisa mengganggu. Bahkan, kami seperti sedang bersembunyi dan mengintip orang di luar pagar berjalan tanpa melihat kami. 

Ya, hutan kami. Hutan yang tumbuh di perumahan padat penduduk. 

Suatu senja saat aku duduk sendiri, aku tidak merasa sepi sebab kenangan masa kecil berlarian di halaman rumah kami. Mungkinkah suamiku menumbuhkan hutan untuk ini semua? Atau, ia sebenarnya rindu memliki hutan untuk bersembunyi dari segala kepenatan. 

"Duh Dik, rasanya Mas pengin menyirami bunga-bunga terus. Seger. Bikin kepala juga seger" Teriaknya. Padahal hujan hampir datang. Dan aku menulisnya ketika gerimis telah bernyanyi di atap rumah kami. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ah, rumah ini begini jauh dari ibu kota, tapi riuh gelisah begitu dekat di mata kami. 
Ya, bagaimana tidak? 
Saat televisi dinyalakan, KPK vs POLRI berseteru. 
Lebih seru lagi di jejaring sosial. 
Kami saling menghujat, mencibir, melukai satu sama lainnya. 
Negeri apakah kiranya ini? 

Sedang di luar rumah, markisah berbuah kecil-kecil. 
Mawar kami hampir mati, karena berpindah pot. 
Lalu, cabe yang sudah turun harganya, di halaman kami hanya tinggal segenggam hijau-hijau.
Perlukah kita gelisah dengan sedikit kebahagiaan dari Tuhan? 
Ah, kita kan berjanji untuk terus bahagia, Sayang!
Mari kita menikmati kopi dan sebatang rokok yang kau nyalakan 
Lihat, gerimis datang. 
Sebentar lagi, kita akan tergoda untuk menikmati ranjang yang hangat. 
Bukan begitu?


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Cerita ini cukup nyinyir sih. Tapi perlu saya catat. Semoga yang punya kisah tersebut ikhlas pengalamannya jadi bahan evaluasi para pasangan suami istri. 

Jadi begini, sebenarnya masih berlaku nggak sih aturan main "uang istri hak istri, uang suami sebagian adalah hak istrinya". Kalau misalnya aturan itu sengaja atau bahkan tidak sadar dilanggar, kira-kira pelakunya dosa nggak ya? Tapi bagaimana kalau prinsipnya adalah uang istri ataupun suami menjadi milik bersama. Istri berkewajiban mengurus suami, tapi kewajiban nafkahin keluar bagi suami adalah urusan bersama. Bujubuneng. Sering dengar cerita begituan kan? Iya banget. Mau dicurhatin temen, nonton sinetron, layar lebar sampai teater, temanya nggak jauh beda. Pokoknya, sejak para istri berani meninggalkan rumah untuk cari duit, para suami juga berani mengklaim bahwa gaji istrinya adalah milik bersama. Kampret nggak sih?


Ladies Talks
Seorang teman curhat kalau suaminya royal banget memberikan hadiah mahal sama dia. Bahagia bukan? Emangnya perempuan mana sih yang nggak happy dapat hadiah? Tapi ternyata temen saya itu justru merasa dongkol setengah mati. 

Menurut cerita, dia sering dibelikan jam kw super, handphone, perhiasan, tas branded sampai baju keluaran butik. Dari hadiah-hadiah tersebut, banyak rekannya yang menilai bahwa suaminya itu sangat perhatian. Beruntung sekali lah punya suami yang kayak begitu. Kehidupan rumah tangga mereka jadi tampak sangat harmonis. Kalau suami udah pandai mencukupi kebutuhan istri, mau cari apa lagi coba? Kebahagiaan itu harusnya komplit. 

Tapi bagaimana mau komplit kalau hadiah-hadiah tersebut ternyata hasil dari ngutang sana sini. Bahkan uang bulanan yang harusnya berlabel nafkah juga lebih banyak ngutangnya daripada hasil kerja sendiri. Kata temen saya, suaminya emang kerja serabutan. Kadang uangnya banyak, lebih sering dompetnya kering. Tapi apa iya gayanya itu harus sesongong itu. Bergaya dompet tebal, tapi isi dompetnya milik orang lain. 

Jadi ketika temen saya itu gajian, dengan wajah tanpa bersalah suaminya akan bilang "Ma, kita punya utang ke Mbak Sugih loh". Hah? Utang apa? Buat apa? Rasanya temen saya itu pengin bilang: Trus itu masalah gueh? Situ kan yang ngutang. (Dannnn, kalau sampai keceplosan njawab begitu, sudah pasti akan kembali terjadi perang badar). Suaminya akan bilang, "Lah, uang itu kan yang dulu kukasih kamu, Ma?" atau "Uang itu juga kamu yang pakai (buat urusan dapur)." Iya, uang yang dikira temen saya itu adalah nafkah lahir dari suami tercinta. Tapi ternyata duit utangan. Dongkol nggak sih. Dia dikasih hadiah, uang bulanan (palsu) dan setumpuk utang bayangan. Jadi, mau gimana lagi? Akhirnya, mau nggak mau duit anget dari si bos yaitu duit hasil keringat si istri, harus rela melayang untuk bayar utang tersebut. 

Temen saya bilang : Kalau begini sih, namanya menafkahi diri sendiri. Tapi nggak kelihatan. Lah yang tampak emang suamiku ngasih duit tiap bulan, hadiah ini itu selalu lancar. Meskipun ya kalau boleh ngaku pinter sedikit, bukankah secara nggak langsung, itu uangku sendiri. Suamiku ngasih duit bulanan hasil utangan, tapi di akhir bulan aku juga yang bayar utangnya. Kurang ajar nggak sih. 

Kemudian hening. Saya sendiri bingung. Jadi, kalau begini kasusnya hukumnya bagaimana coba? Katanya seorang istri harus pinter, tapi kalau yang 'minteri' suami sendiri mau bagaimana nuntutnya?

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ada api di dadaku.
Menyala-nyala.
Mendidihkan darah amarah.

Ya ... Gusti!!
Izinkan aku luap.
Biarlah jatuh dosa.
Aku tak mau bungkam (lagi).
Aku lelah.
Mana mata-Mu, pinjamlah ... pinjamlah.

Pecahan asbak di lantai, telah kubanting jadi serbuk serbuk kecil.
Di dapur ada gelas tangkainya patah.
Itu pun kubanting tak tentu arah.
Aku marah.
Setanku murka.

Saat dadaku reda, kubersihkan lantai. (Juga pipiku yang habis basah)
Lah, petanda apa ini? 
Dalam keping-keping kaca, kutemukan batu halilintar.
Mungkinkah dalam setiap pergesekan cuaca, selalu ada kilat dan gigi halilintar yang tanggal? 
Ah. Sedang perang di dada sendiri belum juga usai. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Dewasa ini, keistimewaan malam Minggu agaknya mulai pudar. Ya nggak sih?

Kalau dulu, ngalamin kemrungsung beli minyak nyongnyong buat ngapel, sekarang mau teriak 'cieee yang malam Mingguan sama pacar' aja udah nggak zaman. Gimana mau malam Mingguan, wong kutukan jomblo aja nggak sembuh-sembuh. Masih mending punya gebetan, meski jauh di negeri orang. Tapi apa nggak ngenes tuh, kalau pas kangen, gebetan malah nggak online (wahdalah). Ujungnya para penganut LDR cuma bisa menganalisis status-status Facebook gebetan dengan hati was-was. "Lho kok statusnya makan melulu, trus sudah sebesar apa ya dia sekarang?" #jederrr. 

Tapi dari nasib si jomblo sampai jamaah LDR, ada yang lebih ngenes lagi, yaitu disanding pacar tapi si doi senyum-senyum sendiri sama handphonenya. Kata orang sekarang "sakitnya tuh di sini" (Sambil megangin kepala palu, buat mecahin kesunyian). 

Sebenarnya mau malam Minggu, Senin, Selasa atau Jumat sekalipun, nggak ada bedanya bagi yang menganggapnya sama. Malam mingguan itu pokoknya mainstrem deh, wong malam Jumat aja tetep hayuk kok kalau diajak ketemuan di kuburan sekalipun. Trus ngapain mengagung-agungkan malam Minggu yang identik macet, dan bikin sedih para jomblower? Mendingan sih tadarus Timeline, atau tereak-tereak di dalam hati. 


Malam Minggu itu spesial hanya bagi mereka yang menganggapnya spesial. Orang yang tiap hari nguli trus liburnya cuma Minggu, pasti malam Minggunya terasa merdeka dan bisa happy-happy (Itu kalau nggak milih molor sampai Senin lagi). Pelajar yang cuma libur hari Minggu, pasti happy banget karena malem minggunya bisa ngegame sampai pagi. (Kecuali yang didera rindu, kerna nggak bisa ketemu pacarnya di sekolah). 

Saya sendiri menganggap malam Minggu itu so spesial. kenapa begitu? Soalnya, bagi saya, pergi main pas malam Minggu bisa terasa beda karena di jalanan orang nggak pakai ngebut-ngebut, akhirnya santai (meski sering disebut macet). Beda deh rasanya, coba kalau malam Jumat pasti kebanyakan di jalanan penuh dengan wajah pengemudi garang, lelah, dan lesu habis pulang kerja, tapi pas malam MInggu kostumnya aja sedap dipandang. Pokoknya tetap ada aura kemerdekaan. Ya, meskipun itu cuma perasaan doang sih, tapi tetap aja bisa happy. Lah cuma scrooling Timeline yang ramai pada cuap-cuap soal malam Minggu ngenes aja tetep happy kok. Tergantung bagaimana kita menyikapi malam Minggu itu sendiri. 

#Tulisan di sela rehat nulis itu emang gini ya. Mbingungi. Tapi tetep kusempilkan doa: semoga malam Minggumu bahagia ya gaes. 


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bahwa sebenarnya kita tahu jika burung akan terbang setelah dilepaskan, dan ketika ditahan-tahan dalam sangkarnya, kita tidak pernah tahu apakah ia bertahan hidup dengan bahagia. 

Mungkinkah kepergianmu karena merasa tidak bahagia? Ah, kita memang luput saling bertanya: bahagiakah kita waktu itu? Saat kita memiliki mimpi-mimpi yang begitu serius kita gambari pada tembok-tembok kamar kos. 


"Aku ingin jadi editor buku" kataku. 
Kamu hanya tersenyum sambil mengelus rambutku sebentar dengan tatapan teduh yang sebenarnya tidak aku sukai. Kamu pun kembali memandangi senja yang kemerah-merahan di pucuk kubah masjid kampus. Kita hanya diam setelah itu. Aku pikir keinginanku yang ini memang berlebihan. Bagaimana mungkin berani bermimpi, kalau menulis saja baru permulaan. Tapi kamu sendiri memiliki banyak sekali mimpi yang kelewat tinggi sejak aku mengenalmu sebagai mahasiswa baru. Jadi, salahnya apa dengan menjadi seorang editor? 

"Tidak ada yang salah. Kita boleh memimpikan apa saja" katamu. "Kalau tidak memiliki mimpi, itu justru lebih mengerikan." 

Ya. Kamu memang lelaki yang tidak pernah protes dengan keinginanku yang banyak. Dan aku tidak pernah menyadari bahwa itu menjadi beban bagimu. 
Setiap hari, ya hampir setiap hari kamu menunjukan bahwa ada banyak cara supaya aku berhasil. Aku yakin sekali, kamu memikirkannya semalaman. Kamu tipe lelaki pemikir yang sulit aku tebak seberapa dalam pikiranmu. 

Kamu bilang, ada baiknya aku menulis untuk lomba. Dengan begitu aku akan termotivasi untuk menulis. Maka aku pun tak punya alasan untuk membantah. 

Kamu bilang, aku harus mulai menyusun jadwal menulis dan mengirimkannya ke media. Dengan mengirimkan ke media, kita ini katamu akan selalu merasa kaya karena memiliki tabungan karya. Maka setiap hari Kamis, kita pergi bersama-sama ke kantor pos untuk mengirimkan harapan tersebut. (Aku yakin setelah beberapa kali aku absen, kamu tetap konsisten untuk menabungkan impianmu). 

Kamu bilang, aku harus bergaul dengan senior-senior editor supaya bisa belajar lebih baik. Lalu tanpa aku minta, kamu memberikan beberapa kontak editor kenalanmu (yang akhirnya tidak pernah aku hubungi). Aku benar-benar berhenti menuruti saranmu, saat kamu ingin berlari kencang bersama-sama. Itulah kenapa aku maklum ketika akhirnya kamu kelelahan. Kamu menyerah. Kamu membenci langkahku yang bagimu begitu lambat. 

Aku pikir, kamu adalah sandaran paling tangguh yang mampu menampung segala cerita-ceritaku. Tapi kepalamu pun ternyata punya volume yang akan tumpah-tumpah isinya. Makanya kamu menagih pundakku untuk bersandar, tapi waktu itu kita justru oleng bersama-sama. Apakah itu salahku? Tak bolehkah aku jujur bahwa di saat yang tidak tepat, seseorang tidak bisa jadi sandaran. Apakah kita harus berpura-pura selalu tangguh? Apakah dalam sebuah hubungan tak cukup satu saja yang jadi kuat? Kamu bilang itu tidak adil. Lalu bagaimana aku menuruti keadilan versimu, jika dari semula kupikir tak perlu ada ganti rugi. 

Ah, kiranya perasaanku ini telah tepat ketika memutuskan untuk tidak menyukai matamu. Awalnya, kupikir karena aku takut jatuh cinta. Tapi ternyata ini soal lain. Sorot matamu itu terus berubah-ubah. Kamu mengubah kita, mengubah tatapanmu jadi sedingin gigil subuh. 

Kamu sinis mengatakan aku akan terbang seperti burung pipit yang lupa diri setelah dirawat dengan baik. Tapi apakah aku pergi? Bukankah aku tak kemana-mana. Justru kamu yang begitu saja pergi karena sebuah perdebatan yang sama sekali tidak dewasa  untuk membuat dua manusia dewasa saling membenci. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
  • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
  • Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ▼  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ▼  January (7)
      • Ngopi Yuk, Dik
      • Hutan Persembunyian Kami
      • Negeri apakah ini?
      • Uang bulanan (palsu), hadiah romantis dan setumpuk...
      • Batu Halilintar di Dalam Rumah
      • Malam Minggu Itu (Spesial)?
      • Burung-burung dari Negeri Dongeng #1
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates