Burung-burung dari Negeri Dongeng #1

by - January 05, 2015

Bahwa sebenarnya kita tahu jika burung akan terbang setelah dilepaskan, dan ketika ditahan-tahan dalam sangkarnya, kita tidak pernah tahu apakah ia bertahan hidup dengan bahagia. 

Mungkinkah kepergianmu karena merasa tidak bahagia? Ah, kita memang luput saling bertanya: bahagiakah kita waktu itu? Saat kita memiliki mimpi-mimpi yang begitu serius kita gambari pada tembok-tembok kamar kos. 


"Aku ingin jadi editor buku" kataku. 
Kamu hanya tersenyum sambil mengelus rambutku sebentar dengan tatapan teduh yang sebenarnya tidak aku sukai. Kamu pun kembali memandangi senja yang kemerah-merahan di pucuk kubah masjid kampus. Kita hanya diam setelah itu. Aku pikir keinginanku yang ini memang berlebihan. Bagaimana mungkin berani bermimpi, kalau menulis saja baru permulaan. Tapi kamu sendiri memiliki banyak sekali mimpi yang kelewat tinggi sejak aku mengenalmu sebagai mahasiswa baru. Jadi, salahnya apa dengan menjadi seorang editor? 

"Tidak ada yang salah. Kita boleh memimpikan apa saja" katamu. "Kalau tidak memiliki mimpi, itu justru lebih mengerikan." 

Ya. Kamu memang lelaki yang tidak pernah protes dengan keinginanku yang banyak. Dan aku tidak pernah menyadari bahwa itu menjadi beban bagimu. 
Setiap hari, ya hampir setiap hari kamu menunjukan bahwa ada banyak cara supaya aku berhasil. Aku yakin sekali, kamu memikirkannya semalaman. Kamu tipe lelaki pemikir yang sulit aku tebak seberapa dalam pikiranmu. 

Kamu bilang, ada baiknya aku menulis untuk lomba. Dengan begitu aku akan termotivasi untuk menulis. Maka aku pun tak punya alasan untuk membantah. 

Kamu bilang, aku harus mulai menyusun jadwal menulis dan mengirimkannya ke media. Dengan mengirimkan ke media, kita ini katamu akan selalu merasa kaya karena memiliki tabungan karya. Maka setiap hari Kamis, kita pergi bersama-sama ke kantor pos untuk mengirimkan harapan tersebut. (Aku yakin setelah beberapa kali aku absen, kamu tetap konsisten untuk menabungkan impianmu). 

Kamu bilang, aku harus bergaul dengan senior-senior editor supaya bisa belajar lebih baik. Lalu tanpa aku minta, kamu memberikan beberapa kontak editor kenalanmu (yang akhirnya tidak pernah aku hubungi). Aku benar-benar berhenti menuruti saranmu, saat kamu ingin berlari kencang bersama-sama. Itulah kenapa aku maklum ketika akhirnya kamu kelelahan. Kamu menyerah. Kamu membenci langkahku yang bagimu begitu lambat. 

Aku pikir, kamu adalah sandaran paling tangguh yang mampu menampung segala cerita-ceritaku. Tapi kepalamu pun ternyata punya volume yang akan tumpah-tumpah isinya. Makanya kamu menagih pundakku untuk bersandar, tapi waktu itu kita justru oleng bersama-sama. Apakah itu salahku? Tak bolehkah aku jujur bahwa di saat yang tidak tepat, seseorang tidak bisa jadi sandaran. Apakah kita harus berpura-pura selalu tangguh? Apakah dalam sebuah hubungan tak cukup satu saja yang jadi kuat? Kamu bilang itu tidak adil. Lalu bagaimana aku menuruti keadilan versimu, jika dari semula kupikir tak perlu ada ganti rugi. 

Ah, kiranya perasaanku ini telah tepat ketika memutuskan untuk tidak menyukai matamu. Awalnya, kupikir karena aku takut jatuh cinta. Tapi ternyata ini soal lain. Sorot matamu itu terus berubah-ubah. Kamu mengubah kita, mengubah tatapanmu jadi sedingin gigil subuh. 

Kamu sinis mengatakan aku akan terbang seperti burung pipit yang lupa diri setelah dirawat dengan baik. Tapi apakah aku pergi? Bukankah aku tak kemana-mana. Justru kamu yang begitu saja pergi karena sebuah perdebatan yang sama sekali tidak dewasa  untuk membuat dua manusia dewasa saling membenci. 

Tulisan Terkait

0 komentar

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....