Skip to main content

Malam Minggu Itu (Spesial)?

Dewasa ini, keistimewaan malam Minggu agaknya mulai pudar. Ya nggak sih?

Kalau dulu, ngalamin kemrungsung beli minyak nyongnyong buat ngapel, sekarang mau teriak 'cieee yang malam Mingguan sama pacar' aja udah nggak zaman. Gimana mau malam Mingguan, wong kutukan jomblo aja nggak sembuh-sembuh. Masih mending punya gebetan, meski jauh di negeri orang. Tapi apa nggak ngenes tuh, kalau pas kangen, gebetan malah nggak online (wahdalah). Ujungnya para penganut LDR cuma bisa menganalisis status-status Facebook gebetan dengan hati was-was. "Lho kok statusnya makan melulu, trus sudah sebesar apa ya dia sekarang?" #jederrr. 

Tapi dari nasib si jomblo sampai jamaah LDR, ada yang lebih ngenes lagi, yaitu disanding pacar tapi si doi senyum-senyum sendiri sama handphonenya. Kata orang sekarang "sakitnya tuh di sini" (Sambil megangin kepala palu, buat mecahin kesunyian). 

Sebenarnya mau malam Minggu, Senin, Selasa atau Jumat sekalipun, nggak ada bedanya bagi yang menganggapnya sama. Malam mingguan itu pokoknya mainstrem deh, wong malam Jumat aja tetep hayuk kok kalau diajak ketemuan di kuburan sekalipun. Trus ngapain mengagung-agungkan malam Minggu yang identik macet, dan bikin sedih para jomblower? Mendingan sih tadarus Timeline, atau tereak-tereak di dalam hati. 


Malam Minggu itu spesial hanya bagi mereka yang menganggapnya spesial. Orang yang tiap hari nguli trus liburnya cuma Minggu, pasti malam Minggunya terasa merdeka dan bisa happy-happy (Itu kalau nggak milih molor sampai Senin lagi). Pelajar yang cuma libur hari Minggu, pasti happy banget karena malem minggunya bisa ngegame sampai pagi. (Kecuali yang didera rindu, kerna nggak bisa ketemu pacarnya di sekolah). 

Saya sendiri menganggap malam Minggu itu so spesial. kenapa begitu? Soalnya, bagi saya, pergi main pas malam Minggu bisa terasa beda karena di jalanan orang nggak pakai ngebut-ngebut, akhirnya santai (meski sering disebut macet). Beda deh rasanya, coba kalau malam Jumat pasti kebanyakan di jalanan penuh dengan wajah pengemudi garang, lelah, dan lesu habis pulang kerja, tapi pas malam MInggu kostumnya aja sedap dipandang. Pokoknya tetap ada aura kemerdekaan. Ya, meskipun itu cuma perasaan doang sih, tapi tetap aja bisa happy. Lah cuma scrooling Timeline yang ramai pada cuap-cuap soal malam Minggu ngenes aja tetep happy kok. Tergantung bagaimana kita menyikapi malam Minggu itu sendiri. 

#Tulisan di sela rehat nulis itu emang gini ya. Mbingungi. Tapi tetep kusempilkan doa: semoga malam Minggumu bahagia ya gaes. 


Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk