Skip to main content

Kau, dalam ingatan masalahku

Bukan sebulan, setahun atau sekadar dua tahun kita berpisah. Tapi lamanya lebih panjang dari dua kali periode jabatan presiden. Selama itu pula, tidak ada sepucuk surat yang sampai ke alamatku. Pun pesan pendek yang datang menjelang tengah malam darimu, itu tidak pernah ada. Kita tidak pernah lagi menjalin komunikasi selepas menanggalkan seragam sekolah.( Sungguh. Kau dan segala tentangmu seperti kereta yang berhenti di jalan buntu selama-lamanya)

Kemudian, setelah sekian lama sebuah nama menyapaku lewat jejaring sosial. Akrab sekali. Hal yang wajar dilakukan oleh seseorang seperti aku adalah mengunjungi album foto. Yap! Kutemukan garis wajah yang tidak lagi asing. Itu wajahmu. Ya, wajahmu yang telah menempati porsi usia kita. 

Sebagai teman lama, aku berusaha mengingatmu. Jika kecanggihan teknologi mampu mempertemukan kita kembali, entah kenapa otakku tidak demikian canggihnya. Meski kita terus berbincang, aku sama sekali tidak menemukan potongan-potongan puzzle yang dapat tersusun menyerupai kenangan kita. (Mungkinkah di waktu lampau, kita sempat memiliki cerita yang manis yang seharusnya kuingat, dan itu sesuatu yang membuatmu mampu mengingatku dengan baik? Huffft)

Seharusnya kau tidak perlu menangkap basah sandiwaraku dengan pertanyaan "Kamu masih ingat aku, kan?", ah, rasanya aku seperti sedang dikagetkan oleh suara benda jatuh di keheningan malam. Jika aku jujur, mungkin itu akan melukaimu. Maka dari itu, aku memilih untuk tetap bersandiwara. Berharap jika kelak, aku akan dapat mengingatmu kembali. 

Sebenarnya, dengan jeda waktu yang begitu lama, bukankah mungkin sekali jika namamu tertimbun ribuan nama lain dalam ingatanku? Kau sendiri, mungkin sudah belasan kali berganti kekasih, lalu lupa sama sekali dengan nama tengah pacar ketigamu. Hayo?

Lalu kita semakin dekat (aku yang merasa menemukan teman baru, dan kau yang mungkin merasa teman lamamu kembali lagi). Siapa namamu? Oh, iya. Karena aku benar-benar tidak mengingatmu, maka kusapa kau dengan nama dalam akunmu. (Yang kemudian kuketahui, itu adalah nama anakmu yang kaupakai dan telanjur kupanggil-panggil sebagai kau).

Jadi, bagaimana rasanya dipanggil sebagai orang lain, hei? Apakah seburuk merasakan malu sebab memanggilmu dengan nama yang salah? 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk