Kepergianmu seperti ranting patah tepat ketika aku sedang bersandar. Begitu tiba-tibanya, sehingga siapapun akan sangat wajar jika tersentak. Bagaimana tidak tersentak, jika aku tidak pernah mempersiapkan diri untuk jatuh ketika kamu patah.
Ya, kamu patah. Akhirnya kamu menyerah.
Satu-satunya alasan kamu menyerah adalah aku yang membebanimu terlalu berat. (Meskipun pada waktu-waktu tertentu, aku memikirkan alasan lain. Bahwa mungkin saja, kamu merasa harus patah supaya tak lagi mampu menemuiku. Bukankah dengan begitu, tak akan ada lagi seseorang yang hatinya patah karena kita. Benarkah seperti itu?).
"Aku tidak akan menghubungimu lagi" katamu.
"Aku juga."
"Aku akan menghapus nomermu dari handphoneku"
"Aku juga"
"Aku akan mendelet akunmu dari sosmedku"
"Ya. Terserah kamu"
Aku benar-benar tidak peduli kamu pergi. Seperti terjatuh dari ranting patah, aku hanya tersentak sedikit, lalu tertawa geli, meninggalkan patahanmu begitu saja dan mencari ranting lain untuk bersandar. Harusnya semudah itu. Iya, harusnya semudah itu melupakanmu. Tapi, emm ... karena kita mengakhirinya dengan cara yang berbeda, aku merasa tidak biasa. (Bagiku, ini terlalu aneh untuk akhir sebuah pertemanan. Bukankah, tanpa penegasan segala rupa itu, toh dengan sendirinya kita pun akan berakhir karena jarak dan waktu?) Tapi karena dialog sialan yang kita buat itu, ini semua menjadi tidak alami untuk dilupakan. Kita menegaskan diri harus berpisah, sama halnya menggaris batasan untuk sesuatu yang diada-adakan. Semacam drama. Batasan itu dipenuhi aliran listrik supaya satu diantara kita tidak ada yang melanggar. Dan sialnya, tiap kali seseorang membicarakan kamu, dadaku terasa disengat aliran listrik. (Bahwa aku tidak boleh mengkhawatirkanmu, menghubungimu, menyapamu, menganggap mengenalmu, memiliki kenangan tentangmu. Ah, kamu benar-benar sialan. Seharusnya aku membencimu karena telah membuat dadaku berubah penuh ketika mengingatmu.) "Aku sangat terganggu dengan suara-suara mendesah di balik kamarku", katamu. Ya, akhirnya kamu menghubungiku setelah lama menghilang. Waktu itu menjelang subuh. Handphonemu memang tidak selalu available. Hanya sesekali menyala, karena (mungkin) terlalu takut diketahui seseorang. Aku tidak benar-benar tahu, apa yang telah kamu alami setelah kita memiliki jarak. Tapi, ketika kamu tiba-tiba menghubungiku dengan obrolan 'panas', aku merasa begitu asing. Itu bukan kamu milikku. Bukan kamu. (Dan kamu terus mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkanku, sampai akhirnya aku menolak) Salahkah aku mengabaikanmu? Apakah kamu tahu bagaimana perasaanku diperlakukan seperti itu? (Karena aku menolak, kamu lagi lagi mengatakan bahwa aku tidak pernah ada saat kamu membutuhkanku. Ah, taik kucing!) Meski obrolan itu melobangi dadaku, tapi toh aku tetap menghubungimu di hari berikutnya. Aku kembali bersandar padamu atas kegelisahan lain tentang diriku. Tentang study-ku yang hampir usai. Kecemasanku. Kegelisahanku untuk menempuhnya. Dan ... tiba-tiba saja dengan frontalnya kamu berkata untuk tidak lagi bersandar kepadamu. "Memangnya pacarmu kemana? Kenapa harus selalu bersandar kepadaku?" Begitu katamu. Lalu aku harus menjawab apa? Empat tahun lamanya semua ini tidak menjadi masalah. Kenapa akhirnya kamu mempermasalahkannya? Inikah waktu yang tepat bagimu? Saat dadaku berlobang, kamu patahkan sekalian. Benarkah ini bukan skenario? "Berhenti bersandar kepadaku" "Oke"
.....................
*Di lain hari, seseorang bertanya padaku bahwa kita (katamu) telah benar-benar berakhir.(Menurut versimu, kesalahan ada di pihakku). Tapi benarkah? Benarkah ini bukan skenario?
Di post sebelum ini, saya menulis tentang apa itu arsip memori. Jadi, saya temukan istilah ini dari bukunya Dr. Ibrahim Elfiky, di mana dijelaskannya bahwa otak kita sebenarnya mempunyai folder-folder memori. Folder tersebut bertugas untuk mengarsip setiap perasaan yang kita alami. Jika pengalaman itu berulang terus menerus, maka folder tersebut akan semakin kuat menjadi kebiasaan.
Contoh sederhana misalnya ketika kita sedih, biasanya akan sembuh ketika menonton film. Aktivitas itu kita ulang berkali-kali. Sedih --> nonton film --> sembuh. Putaran aktivitas tersebut pada akhirnya akan menjadi sebuah kebiasaan. Otak kita seperti memprogram kita untuk sembuh dari kesedihan hanya jika menonton film.
Cerita kali ini adalah tentang suami saya.
Ya, suami saya adalah tipe lelaki yang mudah sekali meledak. Hal-hal sepele sekalipun akan sangat mudah memantik kemarahannya. Sejak kami pacaran, dia kerap bersuara tinggi ketika marah. Program otaknya barangkali memang sudah seperti itu. Menerima pemantik, tersulut, lalu marah dengan suara tinggi. Dia bilang, dia tidak akan bisa berubah. Yap, padahal seseorang yang menolak perubahan adalah tipe kepribadian negatif. Namu, meski begitu saya tetap menerima sisi gelapnya ini dengan lapang dada karena saya sangat mencintainya. Bertahun-tahun hidup dengan dia, tentu saja saya memiliki peredamnya sendiri. (Hussst, jangan pengin tahu. Itu rahasia ya)
Soal kebiasaannya yang marah untuk hal-hal sepele, saya sudah sangat hafal. Misalnya, saya berkata "Mas tadi dicari Hina?". Kerna perkataan saya keliru maka dengan suara lantangnya dia akan bilang "Hina??? Hilna maksudmu!!!" (Pakai L Tik, pakai L). Saya kerap membatin, biasa aja kali Mas. Tapi begitulah dia. (Mungkin suatu hari, saya akan memberi tamparan pada program otaknya, sehingga hal sepele seperti ini tidak akan membuatnya 'Mbengok').
Soalnya kebiasaan mbengoknya ini sangat mengerikan. Memang sih, dia mbengok karena saya keliru, dan dia yang mudah marah. Tapi kan nggak harus sebegitu juga.
Karena kebiasaan tersebut, saya menjadi ketakutan untuk menjadi salah di depan dia. Maka, suatu hari kami membacakan sebuah naskah drama di radio. Tidak ada latihan. Kami hanya membacanya sekilas. Dalam naskah ada dialog seperti ini, " ...jika hasan jamin akan mati terkena influinza hongkong?" itu dialog saya yang kemudian ditabrak oleh dialog suami yang berteriak "yamin ... yamin ...!!" bentaknya yang kemudian secara reflek saya menyahutnya kembali dengan kata "Iya yamin". Padahal dialog terakhir itu tidak ada dalam naskah. Tapi otak saya seperti terprogram untuk melakukan itu. Suami saya mbengok, artinya saya keliru dan dia marah. Makanya, saya kira, saya salah baca naskah dan kemudian suami memperbaikinya dengan bilang "yamin ... yamin" (bukan jamin). Eh, ternyata dialognya memang seperti itu.
Kejadian yang masih saya ingat juga terjadi ketika kami sedang sarapan. Karena tidak ada yang memulai bicara, saya basi basi bertanya "Besok Mas ngisi acara di BPAD ya" tanya saya. Sumpah, ini cuma basa basi nggak penting. Karena jawabannya sudah saya ketahui. Tapi suami malah mbengok "BPKB!!!!" (Bukan BPAD). Ya, ampun! Biasa aja kali Mas.
Saya seringkali basa basi nggak penting malah menimbulkan sakit hati. Tapi ya mau bagaimana, toh lain hari pasti akan saya ulangi lagi.
Sampai kemarin hari, arsip memori tentang bengokan suami ternyata mengacaukan segalanya. Cerita ini dimulai ketika ia mengabarkan akan ada jadwal jadi pembicara di tanggal 12 dan 13. Karena acara tersebut sangat penting, dia meminta saya mengingatkan. Tentu saja, harus saya yang mengingatkan karena dia tipikal pelupa akut. Apalagi acaranya pagi hari. Jadi, tugas saya adalah mengingatkan dan membangunkan dia sepagi mungkin. Saya seperti alarm.
Maka, sehari sebelum tanggal 12, saya basa basi bertanya "Acaranya Mas besok kan?" tanpa aiu suami malah lantang menjawab "tanggal 12!!!". Mendengar bengokan itu, otak saya langsung membuka file andalan bahwa artinya saya keliru dan dia marah. Padahal, besok dan tanggal 12 itu waktu yang sama. Tapi karena bengokan itulah, saya jadi berpikir ulang bahwa besok bukanlah tanggal 12, melainkan tanggal 11. Yap, catat, besok itu bukan tanggal 12. Wajar suami mbengok seperti biasanya, karena saya memang salah.
Pagi hari di tanggal 12, saya membangunkan suami di waktu subuh. Setelah itu kami tidur kembali karena merasa tidak ada sesuatu yang harus dikerjakan pagi hari. Pada pukul 10.00, suami ke kamar mandi dan membuka handphone. Halah dalahhhhhhh, dia teriaaak histeris. "Ya Alllllllloooooooh Deeeek!", saya yang masih di atas kasur langsung loncat dan berlari ke ruang tamu. "Adaaa apa e!", jawab saya panik luar biasa.
"Acaranya ki dino iki!! Aku telaaaat. Wis diteleponi dari pagi"
"LHO SEKARANG KAN TANGGAL 11" saya masih bersikeras ngeyel. Sampai kemudian saya melihat kalender. Iya, hari ini adalah tanggal 12. Suami seharusnya menjadi pembicara pukul 08.00. Saya menyesal sekali karena patuh pada arsip memori sialan tersebut. Kalau saya tidak patuh, pasti saya akan mengecek kalender dan memastikan bahwa hari ini adalah tanggal 12, bukannya tanggal 11.
Huffft! Lalu siapa sebenarnya yang salah?
Suami terus saja menyalahkan saya, karena telah menjadi alarm yang buruk. Dan, saya juga menyalahkan dia kenapa harus mbengok seperti biasanya.
Suatu hari, pagi pagi sekali seorang teman menelepon saya. Ketika namanya muncul di layar handphone, saya yakin sekali ada hal penting yang akan ia kabarkan. Maka, buru-burulah saya tekan tombol 'yes' untuk menerima panggilannya. Namun ternyata hening. Ada jeda panjang yang membuat saya harus berkali-kali bilang 'halo', 'hei', 'halo', 'beb?'. Beberapa saat saya berpikir kalau sinyalnya sangat buruk, tapi ternyata tidak. Ketika isak tangis terdengar di ujung telepon, saya tahu ada sesuatu yang buruk. Paniklah saya. Ada apa? Kenapa dia menangis? (Segala macam pikiran buruk berkelindan).
Mengetahui saya panik, barangkali ia merasa harus berbicara.
"Kekasihku selingkuh Mbak... " katanya. Lalu gadis itu kembali menangis. Dengan terbata-bata ia menceritakan kronologis situasi yang sedang dihadapi.
Ah, tiba-tiba saja saya ikut larut. Betapa saya merasa begitu jauh, yang seharusnya berada di sampingnya. Ia pasti butuh sandaran seperti ketika dulu saya membutuhkannya.
Saat itu, saya bisa merasakan dadanya hancur lebur. Bagaimana tidak? Percaya dirinya pasti luluh lantah karena dikhianati oleh lelaki yang paling dipercayainya. Lelaki yang ia percayakan menjaga separuh rahasianya. Lelaki yang menatapnya penuh cinta ketika ia berada di bawah, lalu mereka bangkit bersama-sama. Saya pernah mengalami hal serupa dia. Mungkin itulah alasan kenapa ia datang kepada saya untuk meminta resep bagaimana mengobati rasa sakit.
"Apa yang harus kulakukan, Mbak? Bertahan atau pergi?" Suaranya terdengar merajuk.
"Kamu merasa lebih kuat mana untuk bertahan tapi harus bisa berdamai dengan rasa sakit. Atau pergi meninggalkan lelaki yang sangat kamu cintai?"
Saya tahu keduanya bukan pilihan yang mudah. Sudah banyak harapan yang dibangun. Sudah sejauh ini melangkah, tentu tidaklah mudah meninggalkannya sebagai kenangan. Tapi jika bertahan bersama, apakah ia kuat?
Bertahan artinya ia harus mengalami kondisi hubungan yang tidak sehat. Ia harus membangun kepercayaan kembali (Ini sungguh tidak mudah, karena rasa curiga selalu mengikuti. Dan tentu saja, kecurigaan tersebut membuat pasangan kita tidak nyaman. Jika tidak ada kesadaran dari masing-masing personal, maka pertengkaran pun akan mudah pecah). Ya, jika bertahan, sanggupkah ia bertemu setiap waktu dengan orang yang paling membuatnya sakit, yang tak lain masih sebagai kekasihnya? (Ah, ini pun tidak mudah sebab ketika ingatan buruk itu muncul, kita bisa tiba-tiba marah, benci, merasa tidak percaya dia begitu tega, lalu berakhir mengungkit-ungkit masa lalu tanpa sebab yang baru. Akhirnya perang pun kembali pecah. Kenapa sih ingatan itu sering muncul? Alasannya adalah karena pelakunya ada di hadapan kita. Dia, kekasihmu sendiri.)
Banyak hal lain yang akan terus menyentil perasaan kita jika pilihannya adalah bertahan. "Dulu, ketika pacarku bercanda akan cari cewek lain, aku ketawa Beb. Tapi setelah dia selingkuh, dan masih bercanda mau cari cewek lain. Maka aku bisa sangat marah, karena menganggap itu sama sekali bukan lelucon." Saya terus bercerita tentang pengalaman dulu. Waktu itu, saya butuh waktu dua tahun untuk berdamai dengan luka akibat dikhianati. Pacar saya tidak pernah tahu, jika tahun-tahun berikutnya pun saya masih suka merasakan nyeri. Dia tidak perlu tahu, sebab yang terpenting adalah bagaimana hati saya berubah lebih baik tanpa mengusik kebersamaan kami. Namun itu pun tidak sesederhana kalimat-kalimat saya. Sebab, perasaan sakit yang berlebihan ternyata mampu membuat saya berpikir logis tentang dia. Saya hanya perlu mencintainya dengan sederhana. Tidak berlebihan. Dan, saya terus mengasah pedang dalam dada saya, untuk jaga-jaga jika kejadian serupa akan terulang. Bukankah ini tidak sehat?
Karena merasa apa yang saya alami selama ini begitu berat, maka saya mengatakan pada dia untuk melepaskan kekasihnya. "Kamu masih muda, cantik, dan pintar, Beb. Kupikir, jika kamu tidak ingin bersedih terlalu lama, jalannya adalah pergi. Tapi, kalau kamu kuat dengan hubungan tidak sehat, ya terserah kamu kalau mau bertahan."
Setelah telepon dimatikan, kami masih berkomunikasi via email. Sampai suatu kesempatan, dia mendatangi rumah saya. Badannya sangat kurus. Dia memutuskan untuk bertahan, meski rasa percaya dirinya oleng. Ia selalu merasa tidak cantik sehingga pacarnya bisa serong. Ia berada di tahap krisis percaya diri. Kasihan sebenarnya. Ia bilang, pacarnya masih suka berhubungan dengan selingkuhannya dan ia hanya bisa menangis diam diam. Mendengar itu, jelas saja saya semakin mendukung dia untuk pergi. Untuk apa lelaki yang tidak bisa menghargai pengorbanannya? Lelaki busuk. Tapi, dia tetap bertahan sampai sekarang. Kami belum kembali bertukar cerita tentang bagaimana ia bisa bertahan. Satu yang pasti, dia tentulah perempuan yang lebih tegar dari seorang saya.
Jauh setelah kejadian tersebut, tepatnya hari ini. Saya baru saja selesai membaca buku "Terapi Berpikir Positif" yang ditulis oleh Dr. Ibrahim Elfiky. Karena buku tersebutlah, saya jadi tahu alasan kenapa saya melarang teman saya bertahan, jika ia tidak benar kuat.
Menurut Ibrahim, di otak kita terdapat yang namanya folder memori. Folder tersebut bertugas mengarsip setiap perasaan dalam hati kita. Misalnya perasaan sedih, senang, marah dan lain-lain. Begitu pula perasaan sedih ketika kita dikhianati. Folder pengkhinatan tersebut akan terus penuh jika kita buka dan tambahi. Wajar saja ketika kita menceritakan ulang tentang perselingkuhan itu, dada kita bisa kembali terbakar oleh rasa sakit. Kenapa begitu? Karena, ketika kita membuka cerita perselingkuhan yang telah terjadi, maka folder itu akan terbuka, dan mengeluarkan file-file pendukung yang isinya sama persis dengan perasaan kita waktu itu. Bahkan, pelaku yang menyakiti kita yaitu si pacar bisa dikatakan sebagai penghubung antara folder tersebut dengan perasaan kita saat ini. Makanya, folder pengkhianatan yang kita tanam dalam otak tidak akan benar-benar hancur selain melalui terapi profesional. (Tapi, ada juga sih yang bisa mengunci folder perasaan buruk tersebut tanpa terapis, syaratnya adalah dengan kesadaran yang penuh untuk menghapusnya)
Saudara kandung satu-satunya Bapak, meninggal hari ini. Makde Barku yang paling baik. Semoga amal baiknya dilipatgandakan oleh Allah untuk mempermudah jalan menuju surga. Amiiin.
Mendengar Makde berpulang pada tanggal 5 Maret 2015 pukul 09.00 WIB, aku tidak bisa menahan tangisku yang begitu saja tumpah ketika menelepon Bapak. Ah, Bapak. Aku pun tidak sanggup membayangkan perasaanmu menghadapi ini. Satu kehilangan lagi, dari sekian kehilangan yang menimpa hidupmu selama ini. Semoga Bapak selalu diberi kesehatan dan dapat menikmati kebahagiaan bersama kami dalam waktu yang lama. Ya, Bapak. Aku mencintaimu.
Bapak ditinggalkan ayahnya sejak masih dalam kandungan. Tiga tahun lalu, Mbah Surip, ibunya pun meninggalkan Bapak, setelah lebih dulu kakak dan adiknya meninggal dunia. Dari lima bersaudara, sekarang tinggal Bapak seorang diri. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Bapak. Tapi, satu kehilangan saja mungkin aku tidak akan sanggup.
Dan, jauh sebelum hari ini tiba. Aku telah memiliki niatan untuk pulang ke kampung halaman di bulan Maret. Ya bulan Maret tahun ini. Niatnya aku akan cuti bekerja untuk beberapa bulan, dan menggarap sebuah buku tentang keluarga Bapak. Mengingat usia tidak pernah berkurang, dan silsilah keluarga semakin menghilang, aku berniat mencatatnya dalam sebuah novel selagi masih ada narasumber-narasumber yang bisa kutanyai. Ini adalah permintaan almarhum Lik Ipung, adik Bapak.
Namun, pada bulan Maret ini, ternyata niat kepulanganku harus diubah. Ada hal yang lebih penting yang harus kukejar demi masa depan keluargaku sendiri. Meski kerinduan pada rumah telah nyampai di ubun-ubun, aku tidak bisa apa-apa. Waktu dan keadaan membuatku harus tetap berada di balik layar monitor untuk mengejar deadline-deadline menulis.
Sampai kemarin malam, dadaku masih terasa begitu panas mengingat rindu yang membuncah-buncah. Aku telepon Mama dan Bapak, dan kemudian hatiku tenang. Namun di puncak malam aku kembali sesenggukan seorang diri. Aku SMS Mas Ipur, anak tunggalnya Makde Bar. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin say hai ke Mas Ipur. Tapi tidak ada balasan. Bahkan terkirim pun tidak.
Karena rindu yang begitu dalam. Aku bertemu dengan Mbah Surip dalam sebuah mimpi. Ada banyak sanak saudara jauh Bapak yang berkumpul. Tapi tidak ada Bapak. Aku hanya dapat melihat begitu berseri-serinya Mbah Surip dalam mimpiku.
Saat aku terbangun. Aku merasakan kekhawatiran yang aneh. Kenapa saudara Bapak berkumpul? Pertanda apakah mimpiku? Mungkinkah hal yang buruk akan terjadi seperti yang kami percayai ketika mimpi itu datang. Ah, aku tidak berniat membagi kecemasan ini dengan menceritakannya kepada Bapak.
Namun, sore ini pertanyaan itu terjawab. Makde Bariah meninggal dunia.
Ingin sekali rasanya aku pulang. Tapi tidak bisa. Sungguh-sungguh tidak bisa. Makde dikebumikan di Garut yang aku sendiri kemungkinan akan tersesat jika mengunjunginya. Kami menerima lelayu di sore hari, yang artinya jika ditekadkan berangkat akan sampai pada dini hari. Bagaimana kami di jalan? Bapak sendiri tidak memberi izin karena mengkhawatirkan kami di jalan. Sedangkan Bapak dan saudara saudara lain telah berangkat selepas ashar dari Cilacap. Akhirnya, demi Bapak kuputuskan untuk menurutinya. Aku tidak ingin memberi beban baru di pundak Bapak dengan rasa khawatir. Ya, Allah, semoga Makde Kau tempatkan di sisiMu yang terbaik.
Makde, Tikah yakin sekarang Makde telah bahagia setelah bertemu dengan Mbah Surip dan saudara-saudaramu semua di surga. Semalam Mbah Surip saja begitu semringah mengetahui engkau akan datang. Terima kasih Makde telah begitu baik kepada Bapak dan kami semua. Terima kasih Makde.
Semoga Pakde Ikin, Maya, Mas Ipur, dan Bapak diberi ketabahan yang lebih untuk kehilangan yang berat ini. Alfatikhah.
Apa yang harus kulakukan? Aku seperti telah berlari begitu jauh saat belum tidur sama sekali. Mataku panas terbakar, sedangkan tubuhku lemah tanpa tenaga. Apa kabar hatiku yang begitu tahan membungkam kemarahan. Apa kabar bagian tubuhku yang patuh membuat tangisku tidak terdengar. Beginikah menjadi dewasa? Begitu sepi dan sendirian. Tak ada sandaran yang benar benar dapat kupercayai. Sehingga panggung ini begitu panas dengan kemunafikan. Dan aku pun telah pandai memainkan mimik wajah, di mana kesedihan bisa menjadi senyum yang indah dilihat. Tapi sampai kapankah aku mampu bertahan? *Bolehkah Mak, aku pulang dengan sejujur-jujurnya tanpa meninggalkan kesedihan di matamu? Bolehkah kuminta kauelus-elus kembali rambutku dan membiarkan pelukmu sebagai tempat persembunyian terbaikku. Ah, Mak. Aku benar tak mampu lagi melakukan itu. Aku tak mampu lagi untuk bersandar di pundakmu yang semakin tua. Tidak Mak. Sebab telah jadi gilirannya kupinjami pundakku untukmu.