Burung-burung dari Negeri Dongeng #2

by - March 16, 2015

Kepergianmu seperti ranting patah tepat ketika aku sedang bersandar. Begitu tiba-tibanya, sehingga siapapun akan sangat wajar jika tersentak. Bagaimana tidak tersentak, jika aku tidak pernah mempersiapkan diri untuk jatuh ketika kamu patah. 

Ya, kamu patah. Akhirnya kamu menyerah.
Satu-satunya alasan kamu menyerah adalah aku yang membebanimu terlalu berat. (Meskipun pada waktu-waktu tertentu, aku memikirkan alasan lain. Bahwa mungkin saja, kamu merasa harus patah supaya tak lagi mampu menemuiku. Bukankah dengan begitu, tak akan ada lagi seseorang yang hatinya patah karena kita. Benarkah seperti itu?). 

"Aku tidak akan menghubungimu lagi" katamu.
"Aku juga."
"Aku akan menghapus nomermu dari handphoneku"
"Aku juga"
"Aku akan mendelet akunmu dari sosmedku"
"Ya. Terserah kamu"

Aku benar-benar tidak peduli kamu pergi. Seperti terjatuh dari ranting patah, aku hanya tersentak sedikit, lalu tertawa geli, meninggalkan patahanmu begitu saja dan mencari ranting lain untuk bersandar. Harusnya semudah itu. Iya, harusnya semudah itu melupakanmu. Tapi, emm ... karena kita mengakhirinya dengan cara yang berbeda, aku merasa tidak biasa. (Bagiku, ini terlalu aneh untuk akhir sebuah pertemanan. Bukankah, tanpa penegasan segala rupa itu, toh dengan sendirinya kita pun akan berakhir karena jarak dan waktu?) 

Tapi karena dialog sialan yang kita buat itu, ini semua menjadi tidak alami untuk dilupakan. Kita menegaskan diri harus berpisah, sama halnya menggaris batasan untuk sesuatu yang diada-adakan. Semacam drama. Batasan itu dipenuhi aliran listrik supaya satu diantara kita tidak ada yang melanggar. Dan sialnya, tiap kali seseorang membicarakan kamu, dadaku terasa disengat aliran listrik. (Bahwa aku tidak boleh mengkhawatirkanmu, menghubungimu, menyapamu, menganggap mengenalmu, memiliki kenangan tentangmu. Ah, kamu benar-benar sialan. Seharusnya aku membencimu karena telah membuat dadaku berubah penuh ketika mengingatmu.)

"Aku sangat terganggu dengan suara-suara mendesah di balik kamarku", katamu. Ya, akhirnya kamu menghubungiku setelah lama menghilang.

Waktu itu menjelang subuh. Handphonemu memang tidak selalu available. Hanya sesekali menyala, karena (mungkin) terlalu takut diketahui seseorang. 

Aku tidak benar-benar tahu, apa yang telah kamu alami setelah kita memiliki jarak. Tapi, ketika kamu tiba-tiba menghubungiku dengan obrolan 'panas', aku merasa begitu asing. Itu bukan kamu milikku. Bukan kamu. (Dan kamu terus mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkanku, sampai akhirnya aku menolak)

Salahkah aku mengabaikanmu? Apakah kamu tahu bagaimana perasaanku diperlakukan seperti itu? (Karena aku menolak, kamu lagi lagi mengatakan bahwa aku tidak pernah ada saat kamu membutuhkanku. Ah, taik kucing!)

Meski obrolan itu melobangi dadaku, tapi toh aku tetap menghubungimu di hari berikutnya. Aku kembali bersandar padamu atas kegelisahan lain tentang diriku. Tentang study-ku yang hampir usai. Kecemasanku. Kegelisahanku untuk menempuhnya. Dan ... tiba-tiba saja dengan frontalnya kamu berkata untuk tidak lagi bersandar kepadamu. "Memangnya pacarmu kemana? Kenapa harus selalu bersandar kepadaku?" Begitu katamu. 

Lalu aku harus menjawab apa? Empat tahun lamanya semua ini tidak menjadi masalah. Kenapa akhirnya kamu mempermasalahkannya? Inikah waktu yang tepat bagimu? Saat dadaku berlobang, kamu patahkan sekalian. Benarkah ini bukan skenario? 

"Berhenti bersandar kepadaku"
"Oke"
.....................
"Aku tidak akan menghubungimu lagi" katamu.
"Aku juga."
"Aku akan menghapus nomermu dari handphoneku"
"Aku juga"
"Aku akan mendelet akunmu dari sosmedku"
"Ya. Terserah kamu"

Silakan kau hapus nomerku, kau hapus sosmedku, hapuslah semaumu, hapuslah segala-galanya tentangku.Hapuslah. Tapi benarkah kau mampu?

*Di lain hari, seseorang bertanya padaku bahwa kita (katamu) telah benar-benar berakhir.(Menurut versimu, kesalahan ada di pihakku). Tapi benarkah? Benarkah ini bukan skenario?

Tulisan Terkait

0 komentar

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....