Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2015

Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.

Tangan saya mendadak dingin dan detak jantung memburu ketika ada panggilan dari nomor yang tertulis "Calon Ibu Mertua".  Wah ada apa ya?  Harus ngomong apa nih?  Duh, perasaan malah deg-degan banget. Padahal, beberapa hari lagi, beliau toh akan resmi jadi ibu saya. Ibu, karena saya dinikahi oleh anaknya. Tapi sumpah, saya grogi. Soalnya, selama pacaran dengan anaknya, saya berani telepon juga kalau pas Lebaran doang.  Akhirnya, setelah beberapa detik memandangi layar  handphone  yang kedap kedip, saya memutuskan untuk   memencet tombol 'yes'.  "Hallo?  Nggih Bu, pripun ? (Hallo? Ya Bu, bagaimana?)" jawab saya.  "Gimana persiapan di situ, Nduk? bla bla bla"  Calon ibu mertua saya ini memang lebih sering telepon untuk mengecek kesiapan pernikahan saya dengan anaknya. Atau? Bisa jadi bukan itu yang utama. Tapi, lewat telepon itulah, barangkali saja sebenarnya beliau ingin membuat hubungan kami menjadi lebih akrab. Sedangkan saya? Ah, dite

Istilah Pertukangan di Meja Dokter

"Pasien ingin dioperasi ... "  Hah? Saya memandangi surat rujukan milik suami dari dr. DP ke RS Pusat. Plislah, mendengar kata operasi saja ngeri, bagaimana mungkin kami yang menginginkannya tanpa ada saran dokter. Aneh. Meski merasakan keganjilan, tapi ... ah, buru-buru saya lipat surat tersebut dan memasukannya ke dalam tas.  Suami sudah menunggu di depan rumah sambil memanaskan motor.  Ya, hari Senin tanggal 6 Mei 2015 itu, akhirnya kami siap kembali mengencani rumah sakit setelah mengambil jeda istirahat selama satu minggu. Capek tahu. Meski gratis karena pakai BPJS, tapi mengendalikan emosi dan tenaga untuk bolak balik ke RS bikin kami kelelahan. Apalagi dengan perlakuan dokter-dokter yang kurang mengenakan di RS Pusat (baca tulisan saya yang  ini ) Kedatangan saya dan suami ke RS ke-2 Jogja Senin ini adalah untuk memfoollow-up rujukan dokter DP ke RS Pusat. Tujuannya sudah jelas. Kami akan menuju loket BPJS untuk minta surat pengantar, eh ndak tahu ding namany

Tiga Nama Palupi yang Kece Badai dalam Hidupku

Swastika Palupi Temenan sama ni bocah udah ada 8 tahunan. Sejak dia menempati kamar samping kos saya di tahun 2007, kami resmi berkenalan. Waktu itu dia mahasiswi baru. Penampilannya aja masih dekil, item, bahkan nggak suka dandan.  Penampilan di awal kuliahnya memang kurang kece, tapi soal kebersihan, beuuuh, kamarnya itu langsung menempati posisi pertama di komplek kosan pada zaman kami. Kenapa? Soalnya kamarnya tuh paling lengkap, rapi dan bersih. Tapi, tetep aja ada dong ada minusnya. Kalau nggak sering pinjem baju, mungkin saya juga nggak pernah tahu kalau lemarinya itu huwaaaa super duper berantakan. Tikus aja betah di sana hahaha. Soal usia, kami terpaut dua tahun. Jelas dong dia lebih muda. Saya aja manggil dia 'harus' pakai embel-embel 'Dik'. Namun, meski begitu, saya nggak pernah meremehkan dia dari melihat usianya yang muda. Sebab, terkadang, dia justru jauh lebih dewasa dalam menghadapi hidup. Dia suka main teater waktu SMA, pernah nulis buat ma

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Hobi Bersihkan Telinga Ternyata Berbahaya

Duh, gendang telinga saya pecah . Itu diagnosa dokter THT yang memeriksa saya seminggu yang lalu. Tentu saja saya shock. Benarkah gendang telinga bisa robek hanya karena terbentur?  Bagaimana kalau pendengaran saya nggak bisa kembali lagi? Ah, membayangkan itu saja rasanya menakutkan.  "Nggak papa. Kalau pecah karena trauma biasanya bakal cepet nutup kembali. Paling seminggu atau dua minggu udah nutup. Asalkan selama itu nggak basah, pilek ataupun batuk, "kata dokter.  Meski khawatir, tapi saya yakin pasti bakalan sembuh.  Demi mengantar saya periksa ke THT, ternyata suami juga kepikiran untuk memeriksakan telinganya yang kerap gatal dan kurang berfungsi. Ih, rasanya aneh tahu. Sepasang suami istri kok konsultasi ke dokter dengan keluhan yang sama. Cie kompakan banget ceritanya. Bikin geli perut aja deh.  Tapi, s ebenarnya suami sudah sejak lama sih ingin periksa, tapi justru kesampaian ketika saya sakit (wuiih, hikmah di balik rasa sakit nih). Saat diperiksa, su

Gadis Pantai Menusuk Feodalisme Jawa (Review)

Kita sama tau, bahwa sastra merupakan refleksi masyarakat. Ia lahir dan tak bisa lepas dari realita sosial di sekitarnya. Namun begitu, sastra tetaplah tidak bisa tercipta begitu saja. Ia butuh kreativitas, pergulatan antara realitas dan imajinasi pengarang. Seperti halnya Gadis Pantai , roman yang ditulis Pramoedya Ananta Toer ini menggambarkan masyarakat Rembang, Jawa Tengah di abad 20. Bagaimana praktik feodalisme Jawa begitu hebat pengaruhnya. Masyarakat setempat berlomba-lomba menikahkan anak gadisnya dengan pembesar Jawa (Bendoro) untuk meningkatkan derajat keluarga. Sekalipun fiktif, namun kisah dan tokoh-tokoh yang dibangun oleh Pram erat kaitannya dengan kenyataan pada masa itu. Bahkan, tokoh Gadis Pantai sendiri adalah sosok nyata dari nenek Pram, seperti yang ia tuturkan di kata pengantar. Roman yang ditulis di Pulau Buru ini, sejatinya adalah buku pertama dari trilogi yang ditulis Pram. Namun, dua buku lanjutannya itu lebih dulu raib oleh keganasan penguasa

Dunia Trisa: Buku Harian Seorang Pemimpi (Review)

Mimpi seperti halnya kapal, di balik kemudinya kita harus siap mengatur arah. Manakala kita berhasil menjadi pengemudi yang baik, maka sampailah kita pada apa yang dicita-citakan. Namun, sebagai pelaut mungkin kita akan temui ombak besar menggulung. Badai datang tiba-tiba. Siapkah kita? Seperti halnya Trisa—dalam chicklit Dunia Trisa —yang terobsesi menjadi aktris terkenal, lalu menyeretnya pada serangkaian masalah yang rumit. Masalah pekerjaan, percintaan sampai pada masalah akademik yang membuatnya kalang kabut. Belum lagi status DO dari kampusnya yang juga menjadi salah satu masalah serius yang membuatnya harus berhadapan dengan dua pilihan yang serba sulit. Tapi begitulah Trisa, ia tak pernah putus asa untuk bangkit. Selalu bangun kembali dari segala keterpurukan, bahkan ketika kariernya hancur, ia rela memulai lagi segala usahanya dari nol. Secara keseluruhan, cerita yang disuguhkan Eva seperti membawa kita pada pemikiran, bahwa ada banyak pilihan dalam hidup ini

Mencintaimu dengan Segenap Bahasa: Sebuah Buku Souvenir

Sekumpulan sajak ini merupakan rekam jejak kami dari tahun 2008 hingga 2012. Kami sengaja kumpulkan sajak-sajak yang telah menemui nasibnya di media atau terkurung sunyi komputer tua. Sajak-sajak pun kiranya perlu ikut merayakan kebahagiaan. Bersatu menjadi buku sederhana sebagai kado untuk tamu-tamu di hari pernikahan kami. Dalam buku ini, terlihat masa produktif dari masing-masing mempelai dalam menulis puisi. Pemilihan puisi pun terasa tidak meyakinkan. Meski begitu, keyakinan cinta tak tergoyahkan hingga kini :) Banyak hal yang tak mampu kami komunikasikan secara langsung, baik dengan bahasa verbal maupun fisik. Ketika tak mampu mendiskusikan apa yang kami pikirkan, entah karena waktu, perbedaan ideologi, maupun ketika ego masing-masing bermain, menulis menjadi jalan menyenangkan untuk bertutur. Dan puisi adalah salah satunya. Perjalanan selama empat tahun itu, tentu tak selalu berjalan mulus. Pada setiap pergesekan, kami coba untuk tetap mawas diri agar tak pecah