• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Tangan saya mendadak dingin dan detak jantung memburu ketika ada panggilan dari nomor yang tertulis "Calon Ibu Mertua". Wah ada apa ya? Harus ngomong apa nih? 

Duh, perasaan malah deg-degan banget. Padahal, beberapa hari lagi, beliau toh akan resmi jadi ibu saya. Ibu, karena saya dinikahi oleh anaknya. Tapi sumpah, saya grogi. Soalnya, selama pacaran dengan anaknya, saya berani telepon juga kalau pas Lebaran doang. 

Akhirnya, setelah beberapa detik memandangi layar handphone yang kedap kedip, saya memutuskan untuk memencet tombol 'yes'. "Hallo? Nggih Bu, pripun? (Hallo? Ya Bu, bagaimana?)" jawab saya. 
"Gimana persiapan di situ, Nduk? bla bla bla" 
Calon ibu mertua saya ini memang lebih sering telepon untuk mengecek kesiapan pernikahan saya dengan anaknya. Atau? Bisa jadi bukan itu yang utama. Tapi, lewat telepon itulah, barangkali saja sebenarnya beliau ingin membuat hubungan kami menjadi lebih akrab. Sedangkan saya? Ah, ditelepon aja deg-degan, bagaimana mungkin berani memulai obrolan. 

"Mbok sering telepon to Nduk. Aku kan yo ibumu, dan kamu bakalan jadi anakku" Nyesss, ya ampun Ibu. 

Terharu rasanya mendengar kalimat yang diucapkan dengan bahasa Jawa tersebut. Sebagai pihak yang lebih muda, sayalah yang seharusnya mengakrabi orangtua. Bukan sebaliknya begini. Duh, rasa bersalah tiba-tiba memberati dada. Mungkinkah sebenarnya Ibu tahu kalau saya merasa canggung? Ya, pastilah Ibu pernah berada di posisi saya sehingga beliau mencoba lebih memahami. Ah, Ibu, betapa pengertiannya engkau sebagai orangtua. 

Setelah saya resmi jadi menantunya, saya merasa benar-benar beruntung. Perlakuan Ibu kepada saya jauh dari bayangan buruk tentang sosok mertua yang menakutkan. Bahkan, setiap saya dan suami mudik ke rumah, beliau akan menciumi wajah saya seperti memperlakukan anaknya sendiri. 

Seperti yang saya duga, Ibu begitu pengertian untuk memaklumi segala kekurangan saya. Beliau sangat memaklumi ketidakpandaian saya memasak dengan meminta saya hanya mengiris bawang dan cabe saat bersama di dapur. Beliau memaklumi kekurangan saya dalam bab agama dengan menuntun ini dan itu. Beliau bisa maklum ketika attitude saya jauh dari tradisi keluarganya dengan terang-terangan menegur secara halus. Beliau sangat mengerti, kalau kami berbeda budaya sehingga banyak hal yang tidak pas menjadi sesuatu yang butuh dimaklumi. Ibu benar-benar perempuan yang luar biasa. 

Dalam keluarga, Ibu laksana patih sebuah kerajaan yang menjadi perantara kami anak-anaknya dengan Bapak sebagai raja.

Meski Bapak sulit kami sentuh, tapi apapun suara kami bisa sampai kepada Bapak berkat Ibu. Yah, seburuk apapun suara kami, tapi berkat sentuhan Ibu semuanya bisa menjadi lebih halus untuk diterima oleh Bapak. Ibu benar-benar memahami apa yang tidak harus disampaikan ke Bapak, dan apa yang kami butuhkan. Itulah kenapa beliau selalu menjadi perlindungan utama kami dari segala macam ancaman, termasuk amuk amarah Bapak. 

Ah Ibu, betapa luas samudra hatimu untuk menampung banyak rahasia yang tidak bisa kau sampaikan kepada Bapak, suamimu sendiri? Mungkinkah ya Ibu, jika setiap istri memang ditakdirkan untuk memiliki lautan yang luas, yang sekalipun satu laki-laki berlayar di dalamnya, itu tidaklah cukup untuk mampu membongkar rahasia-rahasia kita? Pernahkah lautmu itu luap Ibu, hingga dadamu terasa sesak? Pernahkah Ibu, pernahkah?


Rasanya nelangsa mengingat begitu banyaknya yang Ibu tanggung, akibat kerasnya kami dan juga adik-adik. Pastilah tidak mudah menjadi penengah ketika anak-anaknya salah dan Bapak marah besar. 

Diam-diam, saya suka menangis membayangkan betapa sikap kami yang buruk seringkali menjadi beban pikirannya yang berat. Kenapa terkadang saya dan anak-anaknya tidak banyak memikirkan bahwa bisa saja Ibu kesakitan, Ibu menangis sendiri, Ibu merasa putus asa dan Ibu merasa lelah ketika disalahkan Bapak karena mendidik kami kurang baik yang sebenarnya kenakalan ini sama sekali bukan salah Ibu.

Menyadari bahwa semua itu sangat berat, maka saya sama sekali tidak berani menawarkan diri untuk menjadi sandaran keluh kesahnya. 

Seperti juga kepada Mama, setiap Ibu telepon, saya selalu cerita yang baik-baik: kami sehat, rezeki lancar, tidak mengalami kesusahan, bahagia dan kabar-kabar baik lainnya. Bukankah hanya itu yang bisa saya lakukan untuk tidak menambahi lagi beban pikirannya? (Jika belum sanggup membantu menanggung, maka saya pikir, cara terbaik hanyalah tidak menambah makin berat.) Tidakkah sangat jahat, jika kemudian saya mengeluh segala macam kesusahan yang pasti akan lebih membuat Ibu bersedih?

Namun, sekalipun demikian, sekalipun berbusa-busa saya kabarkan berita baik, saya yakin mata hati seorang Ibu tetaplah tidak bisa dibohongi. Seorang Ibu tidak akan mungkin mampu untuk tidak mengkhawatirkan anaknya. Maka dengan cara yang halus itu, Ibu memancing saya untuk cerita, dan berusaha untuk memberikan solusi. 

Saat itu, dengan berbinar-binar Ibu menceritakan tentang prestasi adik bungsu di sekolah, adik satunya lagi yang sudah tidak begitu boros, dan adik satunya lagi yang mulai luluh dari keras hatinya. Ah, senang rasanya mendengar semua itu, sampai kemudian Ibu bertanya:
"Tesis bojomu piye Nduk?" Deg!

Saya harus jawab apa? Jujur, akan membuat Ibu sedih dan berbohong akan membuat solusi semakin jauh untuk diraih. 

Selama ini, suami memang tidak suka diingatkan soal kuliah, tidak suka diperintah, bahkan ditanya tentang tesis pun tidak suka. Sedangkan Ibu terus dituntut Bapak dengan pertanyaan mengenai kelulusan suami saya: Kapan? Biaya sudah banyak nggak lulus-lulus. Kapan? Masa S2 bisa bertahun-tahun lamanya? Kapan lulus dan bisa membanggakan orangtua. 

Huffft. Ketika Ibu telepon saya untuk mengingatkan suami mengenai studinya, saya suka terbayang-bayang kalau saat itu, Ibu pasti sedang tertekan dengan pertanyaan Bapak. Itulah kenapa saya sangat memaklumi kalau beliau bertanya dengan nada sinis, marah, atau sampai menangis. Ingin rasanya saya pulang ke kampung saat itu juga untuk memeluk dan menguatkan beliau sambil berkata : Ibu, saya tahu bagaimana perasaanmu.

Ya, saya tahu betul. 
Karena dalam banyak hal, suami saya mirip sekali dengan Bapak. Sehingga saya juga yakin, kalau Ibu-lah satu-satunya orang yang sangat memahami bagaimana posisi saya. 

Oleh karena itu, dengan putus asa, akhirnya saya cerita mengenai tesis anaknya yang hampir tidak pernah disentuh. Dari obrolan tersebut, terciptalah sebuah skenario. 

Kami semua tahu bahwa Bapak dan suami saya memiliki karakter yang hanya mau mendengarkan nasihat orang yang dihormatinya saja. Dengan demikian, saya meminta Ibu, sosok kedua yang paling disegani suami, untuk menekan anaknya mengerjakan tesis. Info sekecil apapun tentang studinya saya ceritakan kepada Ibu. 

Hasilnya? 
Masya Allah kerennya ibu mertua saya ini. 

Beliau sungguh terbuka untuk bekerja sama dengan saya. Beliau bener-bener bisa diandalkan dan tahu bagaimana menempatkan diri sehingga tidak terjadi adu domba. 

Ya, meski saya selalu mengadukan setiap informasi tentang studi suami, tapi di depan suami, Ibu selalu mengesani bahwa saya tidak ada di balik itu semua. Padahal saya tidak pernah memohon untuk dilindungi. Tapi syukurlah, berkat kebaikan Ibu, rahasia saya aman. Sebab, saya sebenarnya juga takut setengah mati kalau suami tahu bahwa nasihat-nasihat Ibu terlahir akibat informasi yang saya berikan. Kalau sampai terbongkar, suami pasti marah besar, sekalipun itu demi kebaikannya sendiri. 

Sampai akhirnya suami saya lulus ujian tesis pada Ramadhan kemarin, beliau baru membuka skenario kami dengan wajah berseri-seri. Ya, Allah. Terima kasih telah menghadirkan sosok ibu mertua yang baik begini. 
Saya sangat beruntung. 
Bahkan sampai sekarang, hampir setiap minggu, beliau menelepon saya untuk menanyakan kabar. Saya? Ya, saya. Menelepon saya. 
Beliau memang lebih intens menelepon saya ketimbang putranya sendiri. Barangkali karena kami sama-sama perempuan? Ya, anggaplah begitu. 

Baru beberapa hari lalu, saya SMS Ibu untuk sebuah misi yang sudah tidak bisa saya atasi sendiri. Saya membutuhkan Ibu untuk bersandar. Yes ibu mertua saya. Insya Allah, misi selanjutnya juga akan happy ending kerana dikerjakan dengan kekuatan doa seorang Ibu. 

Love you, Bu. 
Terima kasih telah menjadi ibu terbaik bagi saya, setelah Mama. 


*Tulisan ini saya buat untuk memeriahkan event #K3BKartinian yang diposting serentak untuk menyambut Hari Kartini 21 April 2015


Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
"Pasien ingin dioperasi ... " Hah?
Saya memandangi surat rujukan milik suami dari dr. DP ke RS Pusat. Plislah, mendengar kata operasi saja ngeri, bagaimana mungkin kami yang menginginkannya tanpa ada saran dokter. Aneh. Meski merasakan keganjilan, tapi ... ah, buru-buru saya lipat surat tersebut dan memasukannya ke dalam tas. 

Suami sudah menunggu di depan rumah sambil memanaskan motor. 

Ya, hari Senin tanggal 6 Mei 2015 itu, akhirnya kami siap kembali mengencani rumah sakit setelah mengambil jeda istirahat selama satu minggu. Capek tahu. Meski gratis karena pakai BPJS, tapi mengendalikan emosi dan tenaga untuk bolak balik ke RS bikin kami kelelahan. Apalagi dengan perlakuan dokter-dokter yang kurang mengenakan di RS Pusat (baca tulisan saya yang ini)

Kedatangan saya dan suami ke RS ke-2 Jogja Senin ini adalah untuk memfoollow-up rujukan dokter DP ke RS Pusat. Tujuannya sudah jelas. Kami akan menuju loket BPJS untuk minta surat pengantar, eh ndak tahu ding namanya apa. Pokoknya, selain surat rujukan dari dokter yang memeriksa suami, kalau mau pakai BPJS, harus di-ACC di loket tersebut. 

Setelah menunggu beberapa menit, nama suami saya dipanggil. Seperti biasa, saya yang harus tampil ke depan karena suami lagi ngegame. Huffft.
"Maaf Mbak, apa ini pasien yang minta dioperasi?" tanya petugas BPJS yang sedang saya hadapi. Nah kan? Keganjilan tersebut tertangkap sudah. 
"Dokter DP lah Mbak, mana kami tahu kalau harus dioperasi"
"Tapi, di surat rujukan kayak gini nih" Petugas tersebut mencoba memperlihatkan surat rujukan yang sebenarnya tulisannya agak susah dibaca. Dalam hati: saya sudah baca kali Mbak. 
"Lho terus gimana?" tanya saya balik.
"Sebentar" Kemudian dia memencet nomor dan menelepon seseorang. Saya tidak begitu memperhatikan apa yang sedang dibicarakannya. Tapi kemudian, dia kembali bicara pada saya dengan nada yang lembut. "Sekarang Mbaknya kembali ke poli THT ya ketemu Mbak A. Soalnya dengan rujukan seperti ini, bisa jadi di RS Pusat nanti ditolak" Dalam hati, tengkyu Bu tengkyu. Ini nih petugas teladan. Mampu memberikan solusi untuk memudahkan pasien yang nggak tahu menahu.

Sebelum menemui Mbak A, suami sempat bertanya kenapa harus kembali ke Poli THT. Saya pun menjelaskan apa yang terjadi, dengan penutup "Kenapa ya, kok dokter DP nulisnya kayak gitu?" tanya saya, yang disambung dengan banyak pertanyaan dalam kepala. Apa karena operasi ini sebenarnya tidak perlu? Seperti halnya operasi silikon atau tambal keperawanan yang nggak penting-penting banget? Lho, kalau nggak perlu operasi, dan jangka panjangnya nggak berbahaya, kami sih oke-oke aja tanpa operasi. Malah mengharapkannya seperti itu. Tapi dari pertama cek sampai sejauh ini, mereka para dokter membuat mental kami down. Katanya bahaya, katanya inilah itulah dan harus operasi. Ya kami manut saja sih. 

"Dokter DP ya cari aman sih Dek" suami saya berkomentar singkat, tapi bener-bener ambigu. 

Aman? Maksudnya aman dari tanggung jawab? 
Nggak mau ambil resiko kalau terjadi hal buruk? 
Nggak mau mengakui kalau dia yang menyarankan operasi makanya menulis kalau pasienlah yang meminta? 
Atau, jangan-jangan aman yang berarti saran operasinya sudah disetujui pasien (sekaligus keluarga) tanpa adanya paksaan? 
Ah, teuing. Saya nggak paham maksudnya. Reka-rekaan ini hanya hidup dalam kepala saja. 
Sempat terpikir sih untuk ketemu dokter DP lagi. Pengin tak tanyain tentang maksud yang sebenarnya tanpa menerka nerka. Siapa tahu kan, beliau bakal bilang "Nggak operasi juga ndak apa-apa kok. Aman. Sehat. Nggak berbahaya." Hemmm tapi ini sudah telanjur suruh menghadap Mbak A. Kata Buibu BPJS, Mbak A sedang menghubungi dokter DP. Jadi, sambil memikirkan semua itu, kami melangkah ke Poli THT.

Berhadapan dengan Mbak A, saya kembali ditanya apakah kami yang meminta operasi? Apakah benar kalau dokter DP menyarankan untuk operasi. Mendengar pertanyaan itu lagi dan reka-rekaan di kepala, maka emosi saya meninggi. Duh, PMS emang suka lebay deh. 
"Gini ya Mbak. Pasien mana tahu sih Mbak, apakah kita harus operasi atau nggak. Kami tahu harus operasi ya dari dokter. Kalau nggak disarankan operasi, mana kami tahu ... " Saya terus aja bicara, mengenai penyakit suami, bagaimana dialog dokter DP pas menawari kami operasi, bagaimana dokter-dokter lain menyarankan kami operasi, dan kenyataan bahwa sebenarnya kalau nggak perlu operasi kami malah happy. 

Yes, saya seperti sedang ngoceh sama tumpukan file-file di meja bagian pendaftaran. Sebab, Mbak A, orang yang sedang saya ajak bicara itu nggak memperhatikan sama sekali. Dia sibuk menulis sesuatu yang sesekali diselingi mimik bingung sehingga membuatnya harus bertanya ke teman sampingnya. Meski saya merasa dicuekin, tapi saya tetep berterima kasih kepada dia karena bersedia membantu melancarkan urusan kami. Setelah selesai menulis, dia menyerahkan sebuah rujukan yang saya respon dengan kalimat "Tapi ini nggak akan menimbulkan masalah kan Mbak?" Saya khawatir kalau dia belum sempat telepon dokter DP. 

Tapi Mbak A tersenyum, dan menjelaskan bahwa surat tersebutlah yang diperlukan untuk bisa diACC oleh BPJS. Oh? Artinya saya harus sangat berterima kasih sama Mbak A. Tanpa coret-coretan dia, barangkali BPJS tidak mau mengklaim biaya berobat suami, atau parahnya lagi adalah kami ditolak dokter di RS Pusat. 

Berbekal surat dari Mbak A yang disetujui pihak BPJS itu, keesokan harinya, Selasa, 7 April 2015,  kami berangkat ke RS Pusat Jogja. 

Seperti yang sudah-sudah, kami masuk ke loket BPJS kemudian diserahkan ke bagian pendaftaran di Poli THT. Alurnya sama. Sampai kemudian nama suami dipanggil oleh dokter laki-laki di kamar 3. Dalam hati, saya berteriak girang karena dokter ini sepertinya udah cukup usia. Setelah berhadapan langsung, dia bertanya tentang tujuan kami berobat. Kami pun menjelaskan bahwa kami hanya dirujuk ke RS Pusat oleh dr. DP. 
"Apa keluhannya?"
"Pendengaran berkurang dan gatal"
"Lah itu masih bisa mendengar" Hah? Kami harus jawab apa coba. Pertanyaan ngeselin. Masa iya, tanpa memeriksa dan baca rekam medis, seorang dokter bertanya seperti itu. Harus ya kita jawab: Oh, lah gimana sih dokter DP itu. Masa kita masih bisa mendengar sampai harus operasi. Cari tahu dong Dok, kenapa kami dirujuk. Atau minimal baca rekam medisnya. Kan, kami sudah bilang kalau ini bukan pertama kali periksa. 
"Gini ya Dok. Maaf loh. Saya minta ditangani dokter yang kemarin deh. Masa iya, kami harus menjelaskan dari awal lagi. Kalau sama dokter yang kemarin, kan dia sudah tahu" Jawab suami saya sedikit kesal. 
"Oh, oke Pak. Soalnya di sini nggak ada statusnya. Kemarin sama siapa?" Dokter tersebut bertanya dengan ekspresi yang kasihan. Sebelum akhirnya kami dipersilakan untuk duduk kembali di kursi tunggu, kami menjelaskan bahwa dokternya hari ini berkerudung hijau kembang-kembang. (yang kemudian kami tahu, bahwa dia bernama dokter Ag)

Menunggu cukup lama, baterai handphone suami habis. Sebel rasanya karena dia itu tipe powerbank banget. Nempel terus ama handphone. Sampai-sampai, saya disuruh nunggu panggilan, sementara dia mencari terminal buat mencarger. Bete banget rasanya karena ketika dipanggil dokter, saya harus teriak memanggil suami saya. Apalagi, berkas suami sempat masuk ke kamar 1 dan kami dipanggil untuk diperiksa. Pas kami masuk, ada suster yang berbisik bahwa kami maunya diperiksa dokter Ag. Maka kami disuruh menunggu dulu. 

Penantian yang cukup panjang, karena ternyata dokter Ag sibuk banget. Dengan sabar kami menunggu, (meskipun sesekali ketika lewat di depan kami, dokter Ag menyapa untuk bersabar "Bentar ya") sampai akhirnya dipanggil lagi. 

Nggak ada masalah dengan pemeriksaan dokter Ag. Statusnya masih sama. Menyarankan untuk operasi karena diduga ada kolesteatumnya. Kemudian datang dokter Su. Dokter laki-laki ini berperawakan tinggi, cakep dan mirip artis FTV. Beneran deh. Sayangnya ngomongnya ceplas ceplos dan tegas. 

Pas dia masuk, dokter Ag berkonsultasi sebentar. Agaknya, dokter Su ini cukup senior dari dokter Ag. Telinga suami saya juga sempat dicek oleh dr Su, yang kemudian diikuti oleh adik-adik magang setelah diberi kode. Saya lihat adik-adik itu untuk menyalakan alatnya saja kesulitan. Pantes aja suami bilang kalau meriksanya kasar. Mungkin belum lihai. 

Setelah memeriksa, dia juga melihat hasil foto x-ray telinga suami. Dia kemudian menjelaskan bahwa sekalipun dioperasi tambal gendang telinga, itu tidak menjamin pendengaran suami saya kembali normal. Kalau kembali normal, itu hanya bonus katanya. Manfaat dari tambal gendang telinga adalah untuk menghindari infeksi berlanjut. Maka saya pun iseng bertanya : Bagaimana dengan sel kulit mati yang memakan tulang itu?

"Kolesteatum? Kalau ada kolesteatumnya, nanti nggak cuma tambal gendang telinga. Tapi juga harus dibor dari belakang dan bla bla bla" Rasanya saya sudah tidak mampu mendengar penjelasan dokter lagi setelah mendengar kata dibor. Mata saya hanya bisa melihat bagaimana ekspresi si dokter yang tengah menjelaskan sambil menunjukan lokasi yang akan dioperasi. Busyet, istilah bangunan sampai juga di kamar periksa dokter. Duh mengerikan sekali nggak sih kepala dibor?

Ketika tersadar, saya menangkap mimik keraguan dari dr Su mengenai adanya kolesteatum dari hasil ronsen yang tengah dipegangnya. Berkali-kali dia menunjuk bagian yang dicurigai sebagai kolesteatum tapi aneh katanya. Sebagai solusi, suami diminta untuk melakukan ronsen ulang di rumah sakit tersebut. 

Setelah selesai menjelaskan, kami dipersilakan duduk kembali di ruang tunggu karena berkasnya akan diurus untuk ronsen ulang. 

Keluar dari ruangan, tawa saya meledak yang disusul oleh suami. Entah kenapa saya justru melakukan itu. Kami membahas istilah dibor yang terkesan sangat mengerikan justru dengan cekikikan. Kami maklum sekali kalau sebenarnya ada istilah yang jauh lebih bagus dari istilah tersebut. Dokternya pasti kepleset. Atau, sebenarnya kami tertawa supaya kesan horornya luntur. Meskipun ternyata enggak. Istilah itu tetep mengerikan. Saking mencoloknya tingkah kami, dokter Ag yang keluar dari ruangan menepuk punggung saya "Udah, nggak usah takut ..." katanya lembut seperti guru TK yang menyemangati anak didiknya. 

Setelah beberapa menit, kami kembali masuk ke ruangan. Kami diberi rujukan untuk ke bagian Radiologi. Setelah hasilnya keluar, besoknya kami disuruh menghadap lagi. Waktu menjelaskan, dokter Su kembali menyebut istilah bor dalam penjelasannya. Tidak sekali, tapi berkali-kali tanpa ekspresi bercanda. Bagaimana bercanda kalau dia sedang begitu sibuk dan tidak konsentrasi menjelaskan karena banyak ditanya dokter lain. Bahkan ketika saya tanya, berapa lama harus menginap dan pemulihan pasca operasi, saya harus mengulanginya beberapa kali. Kamprett. 

Tapi sebenarnya, dokter ganteng ini baik juga kok. Dia mengurus semua apa yang kami butuhkan. Istilah-istilahnya saja yang sedikit menyentil nalar kami. Dibor. Kepala dibor. Huffft. 

Teror kepala dibor tersebut ternyata terus menghantui psikologis suami sampai kami pulang. Saya maklum betul, bagaimana dia ketakutan karena istilah tersebut. Padahal kami nggak ngeyel, tapi kenapa sih harus dikasih istilah yang menakutkan? Bagaimana seorang dokter bisa tahu, bahwa kami siap mendengar istilah itu? Luput luput. 

Pulang dari RS, kami bercerita dengan seorang teman tentang istilah bor tersebut. Melihat ekspresi saya yang ketakutan, saya maklum sekali bahwa mereka sedang mencari cara untuk menenangkan saya. 
"Koe ki diguyoni dokter Tik (Kamu itu dibecandai dokter Tik). Dulu, adikku juga dibilang begitu waktu sakit kangker 'habis kemo nanti botak lho mbak' gitu bilangnya. Jadi nggak usah takut. Biasa, itu cuma ledekan"

"Hah ledekan? Kalau botak menurutku nggak begitu ngeri deh Mas. Tapi kalau otak njeblok dan kepala dibor, itu sama sekali nggak lucu. Justru mengerikan tahu. Istilah pertukangan kok dibawa-bawa di dunia medis" Jawab saya. Lah bener kan? Kenapa ledekan bisa begitu menyedihkan karena efeknya jadi takut. Gila.

"Eh, zaman dahulu, alat-alat dokter memang meyerupai alat pertukangan loh. Ada catut, gunting, palu dan lain-lain. Sekarang aja bentuknya diperhalus dengan istilah yang berbeda. Dulu, namanya operasi saja pasiennya harus diikat supaya tahan sakit. Makanya, keren banget ya penemu obat bius itu" jawab yang lain. 

Dari situ saya mikir, pasti alat yang mau buat mengoperasi suami saya bentuknya memang kayak bor. Saking nggak konsentrasinya, si dokter tidak menemukan istilah yang lebih halus. Jadi, apa yang terbayang di kepala, langsung diucapkan. Hemmm. 

Keesokan harinya, pada hari Rabu, kami rontsen ulang. Hasilnya baru jadi pada hari Kamis dan langsung kami bawa ke Poli THT. 

Pas ditanya, kemarin periksa di kamar berapa, kami menjawab di nomor 3, dan dokter Ag. Kami menegaskan bahwa ingin diperiksa oleh dokter Ag. 

Setelah menunggu laamaaaaaa sekali, akhirnya kami dipanggil di ruang 1 oleh dokter BR. Agak sebel sih, kenapa bukan dokter Ag. Dan kenapa pula harus pakai ditanya kemarin diperiksa di kamar berapa. Tapi ketika melihat cara dokter BR bicara dan bertanya, kami leleh. 

Dokter BR mencoba mengakrabkan diri dengan berbicara dalam bahasa Jawa. Pokoknya seperti sedang ngobrol sama temen. Asyik banget cara menjelaskannya. Sehingga kami lebih rileks dan tidak takut untuk bertanya. Dia juga bukan tipe dokter pemalas yang nggak mau membaca rekam medis terlebih dahulu. Dari banyak obrolan, ada ilmu baru yang saya terima bahwa ketika telinga kita diberi obat tetes, seharusnya ada rasa pahit yang dirasakan pas menelan ludah. Rasa pahit itu karena ada rongga penghubung antara teelinga dan tenggorokan. Tanpa rasa pahit, kemungkinan rongga tersebut bermasalah. Dan, suami saya nggak merasakan pahit sama sekali. Jadi analisis buruk apa lagi ini? Ya Tuhan. 

Keluar dari hadapan dokter BR, kami digiring untuk bertemu dengan dokter Su. Dia meminta hasil rontsen kami. Setelah dilihat beberapa detik, dia menjelaskan bahwa akan segera diurus jadwal tambal gendang telinganya. Saya kemudian penasaran. Dari hasil ronsent yang baru kelihatan nggak sih ada kolesteatumnya. 

"Nggak ada. Kemarin hasil ronsennya kan kurang jelas. Ini nggak ada kok" Kata dokter Su yang kemudian saya respon dengan ucapan syukur. Alhamdulillah. 

Seneng rasanya suami terhindar dari pengeboran. Sampai kemudian, kami diminta bertemu dengan dokter yang akan mengoperasi tanggal 4 Mei 2015. 

Dokter yang akan mengoperasi itu cantik, putih, dan lembut banget. Beberapa kali, beliau menjelaskan dengan bahasa Jawa, setelah tahu kami tinggal di Bantul. Melihat wajahnya yang sudah berusia, saya yakin sekali kalau beliau dokter senior. 

Kemudian dokter tersebut melihat ke dalam telinga suami, dan meminta dia mengembuskan napas dengan hidung ditutup. Ekspresi dokter tersebut langsung berubah. Buru-buru dia melihat hasil ronsen dan audiometri. Setelah selesai mengamati, beliau menjelaskan banyak hal: tentang hasil audiometri (yang sebelumnya nggak dijelaskan oleh dokter lain), seberapa persen suami saya bisa mendengar, hasil ronsent yang terbaca bahwa tulang-tulang telinga suami saya sudah keropos, kemudian dia juga menanyakan pahit tidaknya obat tetes yang tempo hari dipakai suami. Mendengar jawaban bahwa suami saya tidak merasakan pahir sama sekali. Dokter tersebut semakin yakin bahwa ada masalah baru yang menghubungkan telinga dengan kerongkongan. 

"Kemungkinan rongganya buntu. Jadi meskipun ditambal, suatu hari bisa saja rusak lagi karena kesedot. Bla bla bla..." Intinya, kalau mau aman, suami harus dioperasi lanjut untuk membersihkan sumbatan tersebut. Saya menduga-duga, kebuntuan tersebut jangan-jangan karena ada kolesteatumnya? Loh. 

"Jadi nanti sebelah sini akan dibuka (bersamaan dengan kata dibuka, dokter Su yang mendampingi dokter cantik tersebut mengatakan istilah dibor ) lalu dibersihkan"

Nah, bener kan. Pasti ada istilah lebih halus selain istilah dibor. Seperti dokter senior itu, yang mengganti istilah dibor menjadi dibuka. Wong intinya ya sama to. Pasien mana ngerti sih, apa yang dilakukan dokter di ruang operasi. Itu dapurmu, Dok. Kami tahunya cuma operasi. Beres. Kata operasi saja serem, ngapain harus ditambah dengan istilah pertukangan. 

Supaya kami ada bayangan? Oh, terima kasih banget kalau begitu. Bayangan mengerikan tersebut, kini melekat erat di kepala kami Dok. Di bayangan kami. Di otak kami. 

Setelah obrolan dengan dokter cantik tersebut, kami diberi jadwal operasi pada tanggal 4 Mei. Dokter Su dengan detail menjelaskan bahwa seminggu sebelum itu harus ada cek darah dan ronsen dada lalu kembali konsultasi ke poli. Beberapa hari sebelum operasi, kami juga diminta untuk rawat inap. Meski soal bor itu membebani pikiran, tapi kami cukup terbantu dengan tindakan dokter Su yang sigap mengurus berkas persiapan suami saya untuk operasi. Tanpa beliau, pastilah kami juga kesulitan. Pokoke thanks Dok. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Swastika Palupi
Temenan sama ni bocah udah ada 8 tahunan. Sejak dia menempati kamar samping kos saya di tahun 2007, kami resmi berkenalan. Waktu itu dia mahasiswi baru. Penampilannya aja masih dekil, item, bahkan nggak suka dandan. 

Penampilan di awal kuliahnya memang kurang kece, tapi soal kebersihan, beuuuh, kamarnya itu langsung menempati posisi pertama di komplek kosan pada zaman kami. Kenapa? Soalnya kamarnya tuh paling lengkap, rapi dan bersih. Tapi, tetep aja ada dong ada minusnya. Kalau nggak sering pinjem baju, mungkin saya juga nggak pernah tahu kalau lemarinya itu huwaaaa super duper berantakan. Tikus aja betah di sana hahaha.

Soal usia, kami terpaut dua tahun. Jelas dong dia lebih muda. Saya aja manggil dia 'harus' pakai embel-embel 'Dik'. Namun, meski begitu, saya nggak pernah meremehkan dia dari melihat usianya yang muda. Sebab, terkadang, dia justru jauh lebih dewasa dalam menghadapi hidup.

Dia suka main teater waktu SMA, pernah nulis buat majalah, tapi kemudian selera bacanya berubah ke buku buku motivasi. Positif banget deh pikirannya. 

Sebagai temen, dia tu tetep aja suka nyebelin. Manusiawi banget. Makanya saya kadang suka marah, ngambek atau jengkel. Tapi, syukurlah, itu tidak mengubah persahabatan kami. Udah kayak keluarga yang berantem, tapi nggak pernah dimasukin hati. 

Lama mengenal dia, saya yakin kalau dia tipe temen yang setia. Hatinya rapuh, tiap liat temen menderita. Super baik, dan kalau bohong sama saya, pasti ketahuan. (Ups, tapi saya suka pura-pura nggak tahu)

Pokoknya, bersyukur banget punya sahabat kayak dia: Swastika Palupi Anggoro.  Dia juga sedang merintis usaha sepatu kulitnya di boots www.palupi.id

dr. Arsi Palupi
Akhirnya nemuin dokter yang kece badai. Beliau dokter SPOG, yang menemani saya buat program hamil. Orangnya cantik, masih muda, dan baik. Dari cara menangani pasien, saya suka banget kerna ramah, sabar, dan komunikatif. 

Sebagai dokter lulusan UGM yang konon juga akademisi, saya yakin ilmunya selalu updet. Pokoknya bersyukur banget ketemu dokter ini di saat saya tengah putus asa dan butuh motivasi. 

dr. Niken Palupi
Secara tidak sengaja, nama dokter keluarga yang saya pilih untuk faskes pertama BPJS, ternyata namanya juga mengandung kata Palupi. Kebetulan juga, beliau nggak kalah baik dari dua palupi di atas, orangnya ramai, keibuan, ramah, dan pengertian. Saya bersyukur sekali pokoknya. 


Dari ketiga Palupi di atas semoga akan menjadi teman yang baik dalam hidup saya. Thanks Tuhan.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ketika aku berkuat diri untuk melawan, 
        barangkali kemarahanmu akan membuncah. 
Sebab itu, biarlah kukuatkan diri untuk bertahan
        dan kau tak berhak marah kemudian, 
        jika di titik akhir pertahananku justru patah. 

Ini hanya sebuah pilihan yang tidak harus kaupilih
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja. 

Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT. 

Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya. 

Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toilet begituan. Sialnya, kenapa sih saya pakai lupa bawa tisu sendiri. Beneran jadi gatel-gatel deh ni area terlarang. 

Keluar dari toilet saya berdoa semoga nggak kebelet lagi sampai hajat berobat selesai. Kejadian itu saya ceritakan juga ke suami. Tapi dia nggak merespon. Dia asyik ngegame dan membuat saya khawatir kalau-kalau namanya sudah dipanggil tapi tidak tahu. Karena penasaran, dengan pedenya, saya bertanya ke bagian administrasi perihal apakah nama Fairuzul Mumtaz sudah siap dipanggil?
"Fairuzul Mumtaz ya, bentar ..." kata bapak petugas sambil membolak balik berkas rekam medis pasien (kali) "Wah, diketik aja belum Mbak. Mending tunggu di luar, karena bakal lebih kedengeran". Owalah. Ternyata kami terburu-buru masuk poli. Harusnya masih di luar, dan mengikuti alur pemanggilan. 

Menunggu cukup lama di luar poli, akhirnya nama suami dipanggil untuk masuk antrean selanjutnya. Sambil menunggu di kursi tunggu, saya memperhatikan ruangan yang berjajar di hadapan kami. Ruangan paling ujung tertulis sebagai THT Umum, kemudian sebelahnya (yang saya tafsir) sebagai ruang pemeriksaan khusus, kemudian lebih khusus lagi, dan seterusnya. 

Dari kursi tunggu itu, kami bisa melihat aktivitas pasien dan dokter di dalam ruangan karena pintunya terbuka. Nggak ada privasinya sama sekali. Kok enakkan di RS semula ya, kata hati saya. Bahkan, dalam ruang periksa juga nggak cuma satu pasien yang masuk, tapi lebih dari itu dengan dokter yang banyak. Yes banyak. Dokternya tampak masih muda-muda sekali. Saya cuma mbatin, mungkin dokter koas atau masih residen. Lah dokter kok keluar masuk bergilir hanya untuk menangani satu pasien. 

Lucunya lagi, terkadang dokter-dokter tersebut tampak kebingungan mencari pasiennya yang hilang. Mereka membawa berkas ke luar ruangan sambil memanggil manggil nama pasiennya. Tidak itu saja, tapi mereka juga nggak sungkan untuk menjelaskan sesuatu ke pasiennya dengan cukup di kursi tunggu atau berdiri di pinggir ruangan. Sebenarnya ini pemandangan yang wajar nggak sih? Saya kok jadi kebayang-bayang film Korea yang berjudul Emergency Couple. Pemandangan yang saya lihat mirip di film tersebut. Bedanya, cuma ini di Poli THT dan film Korea itu ceritanya di ruang UGD. Kalau di UGD dokternya banyak terus pakai lari-larian sih menurut saya wajar ya. Namanya saja gawat darurat. Tapi saya waktu itu di Poli THT loh. Melihat dokter lari-larian keluar masuk dengan tergesa, dan obrolan serius mereka terbaca dari mimik wajah itu duh sebagai orang awam, aura ketegangan pun jadi mengalir ke dalam darah. Wajar nggak sih pemandangan seperti itu? Jangan-jangan cuma saya yang berlebihan.

Memperhatikan kejadian-kejadian di depan mata membuat waktu tunggu jadi terasa singkat. Nama suami saya akhirnya dipanggil juga. 

Kami masuk ke ruangan ke tiga setelah THT Umum dan kamar entah. Dia ditangani oleh dr. perempuan cantik yang mengenakan kerudung pink. Masih terlihat muda juga sih. Serius, saya nggak melihat satu pun dokter tua di sana. 

Setelah duduk, kemudian suami menjelaskan tentang gendang telinganya yang sudah bolong karena hobi pakai cotton bud, tentang hobi renangnya yang padahal seharusnya nggak boleh kemasukan air, tentang rujukan dr DP untuk melakukan audiometri di RS pusat ini, dan terakhir dia menunjukan hasil ronsen telinga yang sudah dilakukan di rumah sakit awal. 

Dokter tersebut kemudian memperhatikan hasil ronsen yang kami bawa. Namun, belum juga sempat menjelaskan apa-apa ke kami, dokter yang lain keburu nyerobot ingin melihat juga, kemudiann dokter yang lainnya lagi, terus saja begitu sambil mengucapkan istilah-istilah medis. Rasanya saya pengin teriak "Woiiii kami di sini woiii. Kami bukan patung. Plis katakan sesuatu." Huffft. Akhirnya saya nggak tahan untuk bertanya tentang istilah istilah tersebut. Kalau nggak salah inget, dokter menjelaskan bahwa kerusakan telinga suami saya sudah sampai ke pengapuran tulang. Terus dr. perempuan berkerudung tersebut memeriksa ke dalam telinga suami pakai alat yang pernah saya lihat di rumah sakit awal kami periksa. "Iya, sudah bolong. Lecet-lecet juga" Seperti yang sudah saya duga, pemeriksaan tersebut pun digilir dari dokter satu ke dokter satunya lagi dengan gumaman ya sama "Iya kan?" kata dokter pertama. Asem, dijadikan studi kasus beneran nih sama dokter dokter muda. 

Sebenernya saya kasihan sama suami sih, tapi kalau setiap pasien nggak terima dijadikan objek pembelajaran, terus bagaimana kelangsungan masa depan dokter THT untuk menggantikan dokter-dokter senior? Ah, saya kemudian menebus rasa kasihan tersebut dengan menenangkan suami yang mulai resah dengan kelakuan dokter menggilir pemeriksaan "Nggak papa Mas. Lebih banyak yang meriksa, siapa tahu analisisnya lebih tepat" suami saya pun diam. Saya tahu betul, dia sudah merasa tidak nyaman. Tapi mau bagaimana lagi? 

Suami kemudian diperiksa dengan alat berbahan besi yang dipukulkan ke tulang lalu didengarkan di belakang telinga. 
"Kalau terdengar bunyinya angkat tangan. Tapi kalau sudah nggak, turunkan" perintah dokter. Sebenarnya dokternya ramah, dan enak buat ngobrol. Tapi kalau waktunya digilir, duh beneraan deh itu memang nggak nyaman banget. Kesannya masalah kami sangat parah. Namun selintas juga merasa kalau kok dokternya kayak nggak yakin meriksa ya. Apalagi setelah pemeriksaan selesai, tiba-tiba ada dokter yang tadi meriksa kembali memeriksa pakai alat untuk melihat ke dalam telinga suami saya. Agaknya dia lupa kalau sudah meriksa sebelum ini. "Memang kasusnya apa sih" Hah, kok tanya lagi? Lalu dokter perempuan di hadapan kami menjelaskan ke dokter tersebut yang direspon dengan "Eh iya nih kayaknya titttttt (istilah itu lagi)"

Belum sembuh dengan ketidaknyamanan tersebut, di belakang kami terdengar suara dari dokter laki-laki muda yang berkulit gelap dengan rambut njabrik. "Sudah dijelaskan dokter DP belum kalau akan operasi? Soalnya bla bla bla" Dia menjelaskan tentang pengapuran tulang, gendang telinga bolong, sampai dengan cairan telinga yang masih ada. 
"Loh, sudah nggak keluar cairannya kok Dok. Itu sudah lama sekali" kata suami.
"Iya memang nggak keluar. Tapi masih aktif di dalam" Oh jadi begitu. Kami akhirnya mengaku kalau dokter DP juga mewacanakan tentang adanya kemungkinan untuk operasi. Yes kemungkinan. Bukan kepastian. Bahkan dokter DP menjelaskannya juga pakai gaya yang nyantai abis. Nggak bikin dada kami deg-degan. 

Kemudian setelah ngebrel ngebrel itu, kami ditinggal begitu saja tanpa satu dokter pun di dalam ruangan. Sekian menit berlalu, kami saling memandang sampai akhirnya memutuskan untuk menunggu di kursi luar. "Biarin Dek, biar kita juga dicari-cari dokter hi hi hi" Tiba-tiba kami geli membayangkan wajah dokter yang akan kebingungan karena kami hilang. Di jeda tunggu itu, suami juga menyempatkan diri buat ke toilet. 

Menunggu cukup lama, akhirnya dokter berkerudung pink tadi menghampiri tempat duduk kami. Dia bilang untuk sabar menunggu karena akan dilakukan tindakan audiometri. Lalu dia pergi lagi.

Karena bosan kami pun jalan-jalan ke depan ruangan-ruangan lain, sampai akhirnya dihentikan oleh dokter laki laki muda yang berkulit hitam dan rambut njabrik di depan ruang audiometri. 
"Bentar ya Mas, ditunggu dulu. Oh iya, nanti kami juga tidak hanya akan melakukan audiometri, tapi juga mengambil cairan telinga masnya untuk dibawa ke laboratorium. Cairan tersebut bakalan diteliti, supaya kita juga tahu harus memberi antibiotik yang tepat. Ya, walaupun dr DP nggak ngasih rujukan buat neliti cairan tersebut, tapi bakalan tetep kami lakukan. Tapi kami cek dulu ya apakah lab-nya antre atau nggak, soalnya cuma buka sampai jam dua siang" Mendengar cerocosan si dokter, kami cuma mengangguk angguk. Kemudian dokter berkerudung kami datang mendekat dan ikut mendengarkan. 

"Ini juga kan telinga masnya udah bolong dan ternyata ada kulit-kulit mati (eh kedengerannya sih kulit mati) yang menumpuk di belakang telinga titttt (lupa telinga mana). Kulit-kulit itu kan banyak bakterinya jadi dia mampu merusak tulang telinga masnya. Nah, tulang telinga kan dekat sekali dengan tulang tengkorak. Bla bla bla. Kalau tulang tengkoraknya rusak nanti otaknya bisa njeblok " Hah njeblok? Kedengerannya memang kata njeblok, tapi kami paham, maksudnya adalah dia khawatir kalau otaknya keluar. Eh, itu kalimat ngeri banget nggak sih? Apa dia belum tamat belajar menjaga psikologis pasien ya? Jadi penasaran. Sebenarnya kalau ngobrolnya sama saya saja nggak apa-apa. Wong ya itu pelajaran penting yang bagus banget untuk pengetahuan kami. Tapi dia enteng ngomong begitu di hadapan suami yang notabene sebagai pasiennya loh. Catat! Di depan pasien. Padahal waktu itu kami lagi deg-degan denger keharusannya untuk operasi.  Gimana coba kalau suami saya langsung drop karena ditakuti-takuti begitu. 

"Makanya masnya itu harus operasi. Nanti saya kasih obat dulu buat observasi. Ada obat tetesnya juga" Hah obat tetes? Saya jadi inget kejadian Mama yang dimarahi dokter spesialis THT karena ceroboh menerima anjuran dokter sebelumnya dengan memberi telinga Adik yang sakit dengan obat tetes. Kata Mama, obat tetes itu nggak boleh dipakai. 

Dengan mendengar obat tetes lagi, kepercayaan saya jadi ambruk pada dokter yang lagi ngomong di hadapan kami. 

"Tapi kemarin saya dikasih obat sama dr. DP" kata suami "Obat apa Dek?" suami bertanya pada saya. Karena lupa namanya, saya pun menunjukan obat tersebut yang direspon oleh dokter njabrik dan dokter berkerudung pink dengan gumaman "Oh Rhinofed" mereka bergumam hampir bersamaan.

"Terus itu Kalium obatnya siapa?" Anjrit, awas banget nih matanya dokter njabrik. Karena tas saya terbuka, terlihatlah obat-obat yang saya bawa. Kalium itu obat saya sendiri karena kebetulan telinga saya sedang bermasalah (baca duh gendang telinga saya pecah)
"Itu obat saya Mas" jawab saya kepada dokter njabrik tadi sampai kesleo manggil dia Mas. Pikiran saya kemudian geli membayangkan kalau dokter itu mbatin dalam hati, loh sepasang suami istri masalahnya telinga semua? 
"Oh jadi cuma Rhenofed. Ini juga kan nggak langsung operasi besok. Tapi, masih harus menentukan jadwal operasi yang bisa makan waktu lama. Jadi biar nanti diresepin obat aja ya" Kami cuma manut, sampai akhirnya kami bertanya apakah ada waktu untuk makan dulu setelah audiometri? Dokter menjawab supaya jangan keluar rumah sakit dulu karena mau dibawa ke laboratorium. Ya udah deh, akhirnya kami hanya pasrah dengan bekal yang sudah tidak cukup lagi untuk mengganjal perut. 
"Siap siap ya Mas, harus konsentrasi pas di dalam ruang audiometri. Jangan terpengaruh suara dari luar. Dengarkan bunyi ketukan (kalau nggak salah denger memang dia bilang ketukan), kalau bunyinya terdengar angkat tangan. Kalau bunyi di kiri, angkat tangan kiri pun sebaliknya." Oh jadi ini yang dimaksud dokter DP untuk membawa bekal yang cukup supaya nggak kelaparan dan tetep konsentrasi mengikuti tes audiometri. Woalah. 

Setelah penjelasan itu, suami dibawa masuk ke ruang audiometri. 

Kira-kira 15 menit, dia keluar dengan keluhan "Ih ruangannya dingin banget" Kemudian dia cerita mengenai aktivitas yang baru saja dilakukannya di dalam.
"Berarti itu subjektif banget ya Mas. Kalau kita nggak denger trus tetep mengangkat tangan ya bakalan hasilnya nggak valid"
"Iya"

Karena nunggu hasil audiometri yang cukup lama, saya jadi kebelet buang air kecil lagi. Duh, jijik! Tapi mau bagaimana lagi, akhirnya saya izin ke suami. 

Setelah balik dari toilet, suami sudah berada di luar ruang Poli THT. Loh, berarti hasilnya udah diterima, batin saya. "Gimana Mas?"
"Ya udah"
"Hasilnya udah?"
"Udah ni di tas" jawab dia enteng tanpa penjelasan lain.
"Jadi dibawa ke laboratorium?"
"Nggak tahu" Loh?
"Nggak tanya?"
"Nggak" Loh?
"Dikasih obat nggak?"
"Nggak" Loh Mas Mas, piye to iki? Pasti nggak kritis deh, batin saya sambil menyesali kenapa harus meninggalkan dia sendirian dan pergi ke toilet segala. Jadi ketinggalan momen debat kusir kan. Soalnya menghadapi dokter, suster, sampai urusan administrasi, suami itu suka bingungan dan nggak mau banyak tanya. Jadilah urusan beginian, saya lebih jago dari dia.
"Lah terus gimana?" (Nah kan, akhirnya malah saya yang banyak tanya ke suami. Salahnya sendiri sih nggak tahu apa-apa tapi nggak mau tanya)
"Ya udah gini aja Dik, disuruh kembali ke dokter DP lagi. Katanya mereka sudah memenuhi rujukan yang diminta. Jadi dokter DP yang berhak menangani Mas selanjutnya"
Hemmm, ya bener sih. Itu wewenang dokter DP di rumah sakit sebelumnya. Tapi ngapain juga tadi dokter njabrik itu menjelaskan segala rupa sampai tes laborat dan resep obat segala? 

Akhirnya kami pulang, dengan kegelian yang nggak ilang ilang. Hasil audimetri tersebut keesokan harinya kami serahkan ke dr DP. 

Dalam pertemuan itu, dokter DP menjelaskan kalau Alhamdulillah belum ada saraf yang rusak. Tapi dari hasil ronsen, tulang telinga suami saya sudah rusak. Tindakan yang disarankan memang operasi yang nggak sederhana katanya. "Trus sekarang maunya gimana?" kata dokter DP. Loh? Jelas aja kami bingung ditanya seperti itu. 
"Maksudnya?"
"Ya maunya gimana? Mau pendengarannya pulih atau gimana?"
Suami akhirnya menjawab "Ya jelas pengin pulih lah Dok" yang kemudian disambut dengan penjelasan bahwa hal tersebut mustahil terjadi. Pendengaran yang sudah terganggu kemungkinan nggak bisa sembuh total. Kalau pun dioperasi, itu hanya menutup gendang telinga supaya nggak basah kalau kena air. Tapi, tambalan itu juga sangat mungkin lepas kembali kalau tidak hati-hati menjaga dan merawat. Karena dokter seperti ragu-ragu untuk mengharuskan suami saya operaasi, jadi saya gemes buat tanya "Kalau nggak dioperasi, aman nggak Dok, soalnya kata dokter RS Pusat ada sel kulit mati yang menggerogoti tulang"

"Lah, ya iya. Makanya, kalau begitu dioperasi saja" Heh?
Saya dan suami saling memandang ragu. 

Beberapa detik kemudian, akhirnya kami sepakat dirujuk kembali ke RS Pusat buat operasi. Karena kedua telinga suami harus dioperasi, dokter pun menjelaskan kalau bakal dioperasi satu-satu dulu. 
"Sekalian aja kenapa Dok?" Tanya suami.
Ekspresi si dokter sangat lucu ketika menjelaskan kalau operasi sekalian itu berbahaya. 
"Lah gimana? Masa dua-duanya. Repot loh perawatan pasca operasinya" Kata si dokter kemudian. Kami cuma bengong. "Ini, saya kasih obat tetes ya"
"Eh Dok, saya pernah denger kalau obat tetes telinga nggak boleh dipakai. Bener nggak sih Dok?" Saya bertanya penasaran.
"Asal dipantau dokter ya nggak masalah dong?" Jawabnya lirih sambil menulis resep di secarik kertas khusus.

Dari situ saya mikir, ah pasti dokter lebih pengalaman dari pengalaman Mama dong. Pasti aman. Ilmu kan berkembang. Kali aja dulu nggak boleh tapi ternyata sekarang boleh. 

Karena tetep penasaran, sesampainya di rumah, saya browsing tentang obat tetes tersebut. Namanya Tarivid. Menurut beberapa sumber, obat tersebut katanya merupakan obat tetes yang paling aman dan baik untuk telinga. Saya cek harganya 90-an. Oh pantesan. 

Jadi, akhirnya saya nggak ragu-ragu untuk membantu suami meneteskan obat tersebut sebanyak 5 tetes dalam 2 kali sehari. 

Bismillah, semoga operasi suami saya lancar ya. 

(Temen-temen juga bisa baca awal mula sakit telinga suami saya di hobi bersihkan telinga ternyata berbahaya)

*Cerita ini saya tulis murni tanpa tendensi mencemarkan nama baik beberapa pihak, tapi tak lain hanyalah untuk pengalaman saja. 
Share
Tweet
Pin
Share
27 komentar
Duh, gendang telinga saya pecah. Itu diagnosa dokter THT yang memeriksa saya seminggu yang lalu. Tentu saja saya shock. Benarkah gendang telinga bisa robek hanya karena terbentur? Bagaimana kalau pendengaran saya nggak bisa kembali lagi? Ah, membayangkan itu saja rasanya menakutkan. 

"Nggak papa. Kalau pecah karena trauma biasanya bakal cepet nutup kembali. Paling seminggu atau dua minggu udah nutup. Asalkan selama itu nggak basah, pilek ataupun batuk, "kata dokter.  Meski khawatir, tapi saya yakin pasti bakalan sembuh. 

Demi mengantar saya periksa ke THT, ternyata suami juga kepikiran untuk memeriksakan telinganya yang kerap gatal dan kurang berfungsi. Ih, rasanya aneh tahu. Sepasang suami istri kok konsultasi ke dokter dengan keluhan yang sama. Cie kompakan banget ceritanya. Bikin geli perut aja deh. 

Tapi, sebenarnya suami sudah sejak lama sih ingin periksa, tapi justru kesampaian ketika saya sakit (wuiih, hikmah di balik rasa sakit nih). Saat diperiksa, suami diminta menutup hidung dan mulut, kemudian bernapas. "Ada angin yang keluar dari telinga nggak?" tanya dokter. Suami saya mengangguk, "Dua-duanya atau satu telinga aja?". 

"Dua-duanya Dok. "

Mendengar jawaban suami, si dokter mengambil alat yang sama dengan yang dipakai untuk memeriksa saya. "Sini dilihat"

Sambil melihat ke dalam telinga suami, si dokter bergumam "Wah, udah parah Mas... dua-duanya sudah bolong je"

Kemudian suami saya pun bercerita bahwa dia hobi banget membersihkan telinganya. Sejak kecil sampai sekarang, setiap hari dia merasa harus melakukan itu. Padahal tidak ada kotoran, tapi rasa gatal dan kebiasaan membuatnya tidak bisa lepas dari namanya cotton bud. Saya suka ngasih tahu kalau itu berlebihan, tapi apalah dia mau mendengar sebuah nasihat? Apalagi kebiasaan itu memang nikmat sekali bukan? 

Setelah mendengar cerita suami, dokter menyarankan untuk berhenti dari hobi membersihkan telinga. Pasalnya, dari kebiasaan itulah kedua gendang telinga suami saya robek. Bukan robek yang bisa kembali menutup, tapi kata dokter, ini sudah tidak mungkin untuk sembuh. Sudah terlalu lama kejadiannya. Lagi pula, robeknya juga sudah terbilang lebar. "Jangan sampai kemasukan air ya" saran dokter. Kagetlah kami. Lah dari kecil kan suami suka berenang di laut. Bahkan sampai sekarang kami sering berenang bersama di kolam renang. "Haduh, jangan sampai kemasukan air. Bahaya itu" hah separah itukah? 

Dokter memang tidak menjelaskan apa akibat buruknya dari telinga bolong yang kemasukan air. Tapi membayangkan bahwa itu berbahaya, kami jadi merinding. Dari obrolan panjang dengan dokter, ada poin-poin yang saya garisbawahi bahwa

  1. Di dalam telinga itu terdapat banyak sekali saraf kecil-kecil yang bisa saja rusak akibat kita terlalu sering membersihkan telinga. 
  2. Membersihkan telinga ternyata dapat menjadi penyebab seseorang terserang vertigo. Ketika saya bertanya apa hubungannya telinga dengan vertigo, dokter hanya menjelaskan bahwa ada saraf yang jika tersentuh cotton bud bisa memicu vertigo. Setelah saya browsing di internet, ternyata salah satu penyebab vertigo memang rusaknya saraf pusat. 
  3. Seperti kasus suami saya, bahwa hobi membersihkan telinga ternyata dapat membuat gendang telinganya robek. Mungkin sekali dua kali tidak apa-apa kali ya, tapi jika menjadi hobi, maka bagaimana gendang telinga menyembuhkan diri kalau lagi sobek, malah diobok-obok terus. Saya sih jadi ngeri pakai cotton bud. Seenggaknya kalau harus pakai lagi, saya akan sangat berhati-hati dan pelan. 
  4. Saya baru tahu kalau gendang telinga sobek bisa sembuh kembali. Penyebab sobek yang akan mudah sembuh adalah kalau disebabkan oleh tekanan udara (seperti kena bola, terbentur, dipukul atau ditampar). Sedangkan kalau infeksi, kemungkinan untuk sembuhnya akan lama. 
  5. Gendang telinga yang sobek ternyata berbahaya jika terkena air. Katanya bisa susah nutup dan lain-lain. 

Setelah panjang lebar berkonsultasi, dokter menyarankan suami saya untuk tindakan lebih lanjut. Kata dokter, ada kemungkinan kalau suami harus operasi. "Soalnya udah parah, tidak bisa ditangani dengan cara sederhana" mendengar itu, jantung kami berdebar-debar. Kok jadi serius sih periksanya suami. Padahal niatnya cuma ngobati saya. Hiks. 

Karena kami sadar bahwa selama ini sudah menzolimi anggota tubuh, maka apapun saran dokter siap dilaksanakan. Suami dirujuk ke RS Pusat Jogja untuk audiometri (pemeriksaan untuk menentukan jenis dan derajat ketulian, serta melihat ada tidaknya saraf yang rusak). Sebelum ke RS Pusat, telinga suami dironsen terlebih dahulu dan diberi obat Rhenofed supaya telinganya kering. 

Kata dokter, untuk melakukan audiometri, telinga harus kering.
"Kemungkinan di RS Pusat bakalan antre lama, jadi datang lebih pagi aja. Jangan lupa bawa makan, dan minum biar tetep konsentrasi. Usahakan ada yang antar ya pas periksa." 

Kami pun undur diri dengan dada yang berat. Dengan penjelasan dokter tentang kasusnya suami, mata kami jadi terbuka. Mungkin inilah berkah dibalik sakit telinga saya. Kami jadi tahu banyak hal berbahaya justru disebabkan oleh sesuatu yang sepele. Ah, saya jadi tidak berani manja dan mengeluhkan sakit telinga saya yang belum seberapa dibanding punya suami. (Bagaimana cerita tentang gendang telinga saya yang pecah, bisa temen-temen baca di sini_klik)

Oh iya, untuk cerita bagaimana dokter-dokter RS Pusat menangani suami saya selanjutnya, bisa dibaca di sini. Biar nggak kepanjangan. Intinya, ehmm hasil dari RS Pusat juga tidak begitu menyenangkan sih. Ya ampun! Ini awalnya cuma hobi membersihkan telinga loh. Nyesel kan kalau nggak tahu kalau itu ternyata berbahaya. 

Share
Tweet
Pin
Share
13 komentar

NPA006-GADIS-PANTAI

Kita sama tau, bahwa sastra merupakan refleksi masyarakat. Ia lahir dan tak bisa lepas dari realita sosial di sekitarnya. Namun begitu, sastra tetaplah tidak bisa tercipta begitu saja. Ia butuh kreativitas, pergulatan antara realitas dan imajinasi pengarang.

Seperti halnya Gadis Pantai, roman yang ditulis Pramoedya Ananta Toer ini menggambarkan masyarakat Rembang, Jawa Tengah di abad 20. Bagaimana praktik feodalisme Jawa begitu hebat pengaruhnya. Masyarakat setempat berlomba-lomba menikahkan anak gadisnya dengan pembesar Jawa (Bendoro) untuk meningkatkan derajat keluarga.

Sekalipun fiktif, namun kisah dan tokoh-tokoh yang dibangun oleh Pram erat kaitannya dengan kenyataan pada masa itu. Bahkan, tokoh Gadis Pantai sendiri adalah sosok nyata dari nenek Pram, seperti yang ia tuturkan di kata pengantar.

Roman yang ditulis di Pulau Buru ini, sejatinya adalah buku pertama dari trilogi yang ditulis Pram. Namun, dua buku lanjutannya itu lebih dulu raib oleh keganasan penguasa orde baru karena konon isinya terlalu banyak mengkritisi pemerintah pada masa itu.

Gadis Pantai bercerita tentang perempuan kampung nelayan yang menjadi gundik Bendoro, seorang santri Jawa yang bekerja pada administrasi Belanda. Tentu ini bukan pilihannya sendiri, ia hanya dipaksa kawin di usia 14 tahun. Statusnya sebagai Bendoro Putri lalu mengangkat ia menjadi perempuan yang dihormati, meski itu tidak berlangsung lama. Ia tinggal di rumah besar berdinding batu. Rumah yang baginya seperti neraka dengan peraturan yang sangat tidak disukainya.

“Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini…. Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.” (hal 268)

Pram menggambarkan lemahnya posisi perempuan kelas bawah pada masa itu. Seorang perempuan miskin diambil jadi gundik, lalu dicerai dengan tanpa perasaan. Strata sosial menentukan sekali nasib mereka. Seorang lelaki seperti Bendoro boleh bersikap semena-mena bahkan tanpa moral sekalipun. Jika saja Gadis Pantai (tokoh utama) bukan lahir dari keluarga nelayan miskin, barangkali ia tidak akan begitu saja ditendang dari rumah suaminya setelah melahirkan anak.

Seorang perempuan seperti Gadis Pantai tak berhak atas anaknya sekalipun. Tak ada solusi atas pencekalan hak ibu terhadap anak dalam feodalisme Jawa pada masa itu. Menjadi seorang Bendoro Putri tak lantas membuat statusnya lebih tinggi dari posisi anaknya sendiri. Setelah dicerai, diusir secara keji, ia memilih pergi jauh-jauh. Gadis Pantai tak ingin anaknya malu jika tahu dari rahim perempuan kelas bawah inilah ia lahir.

Roman ini diceritakan dengan gaya bahasa yang lugas, sehingga siapapun akan dengan mudah menangkap maksud dari si penulis. Pram juga menggunakan PoV orang ketiga mahatahu, yang memungkinkan narator dapat bergerak bebas di dalamnya.

Namun, sayang sekali, roman yang syarat kritik dan banyak orang mengacungkan jempol ini harus menyisakan rasa penasaran setelah selesai dibaca. Ya, seperti dijelaskan di muka. Roman ini merupakan buku pertama dari trilogi yang dua buku lanjutannya dibakar oleh penguasa.

Daftar Pustaka: Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara

*Review ini saya tulis tahun 2013
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

318431_187327951343533_1261712807_n

Mimpi seperti halnya kapal, di balik kemudinya kita harus siap mengatur arah. Manakala kita berhasil menjadi pengemudi yang baik, maka sampailah kita pada apa yang dicita-citakan. Namun, sebagai pelaut mungkin kita akan temui ombak besar menggulung. Badai datang tiba-tiba. Siapkah kita?

Seperti halnya Trisa—dalam chicklit Dunia Trisa—yang terobsesi menjadi aktris terkenal, lalu menyeretnya pada serangkaian masalah yang rumit. Masalah pekerjaan, percintaan sampai pada masalah akademik yang membuatnya kalang kabut.

Belum lagi status DO dari kampusnya yang juga menjadi salah satu masalah serius yang membuatnya harus berhadapan dengan dua pilihan yang serba sulit. Tapi begitulah Trisa, ia tak pernah putus asa untuk bangkit. Selalu bangun kembali dari segala keterpurukan, bahkan ketika kariernya hancur, ia rela memulai lagi segala usahanya dari nol.

Secara keseluruhan, cerita yang disuguhkan Eva seperti membawa kita pada pemikiran, bahwa ada banyak pilihan dalam hidup ini selain sekadar untuk menikah. Kenapa harus buru-buru menikah dan meninggalkan segala mimpi kita? Toh hidup kita akan baik-baik saja tanpa ikatan semacam itu. Mungkin seperti itulah pesan yang dibawa tokoh Trisa dalam novel bergenre chicklit tersebut.

Atau jangan-jangan keputusan tokoh Trisa untuk tidak menikah sebenarnya merupakan akibat dari rangkaian trauma yang dialaminya? Bagaimana bisa Trisa ingin menikah, setelah kepercayaannya terhadap kata tersebut diciderai oleh nasib tragis tokoh Rhein—sahabatnya yang hamil di luar nikah dengan lelaki beristri. Lalu apakah tokoh Trisa tetap berkeinginan menikah, ketika tokoh Bian—lelaki yang disukainya dan hampir berhasil merayunya di hotel itu—tak lain merupakan lelaki hidung belang yang telah meminang rivalnya sendiri? Kemudian hadir tokoh Adam, lelaki yang mencintainya namun masih terlibat perasaan dengan Erin—sutradara yang telah mengangkat kariernya. Entah kenapa, penulis di sini selalu menghadirkan tokoh-tokoh lelaki yang kesemuanya berkecenderungan membuat Trisa berpandangan negatif terhadap laki-laki.  Tapi di situlah pointnya  kenapa novel ini begitu menarik untuk dinikmati. Penyelesaian konflik yang manis sekaligus menyentuh sangat terasa dalam setiap kisahnya.

Sebagai produk budaya yang lahir di zaman kapitalisme, chicklit membawa warna baru dalam dunia kesusastraan Indonesia. Pilihan bahasa yang sederhana dan ngepop, menjadi karakter dalam setiap chicklit yang ada. Hal ini dapat dimengerti, karena konsumen novel genre ini biasanya berasal dari kalangan muda perkotaan.

Demikian pula dengan Dunia Trisa, membaca novel genre chicklit ini pembaca dibuat tidak dapat berhenti sampai habis di halaman terakhir. Ide cerita yang sederhana namun dikemas dalam tulisan yang sangat menghibur. Tidak heran kalau pada akhirnya chicklit seringkali dikatakan sebagai karya sastra yang bertendensi untuk dikonsumsi oleh perempuan-perempuan di waktu senggangnya.

Tema yang diangkat dalam novel chicklit berjudul Dunia Trisa ini juga tidak jauh-jauh dari kehidupan si penulis. Eva yang notabene pernah menjadi penulis skenario film pendek kemudian menciptakan Dunia Trisa—dunia aktris lajang dengan segala tethek-bengek dunia perfilman.

Berangkat dari latar belakang kehidupan si penulis tersebut, barangkali inilah yang kemudian menjadikan Eva berhasil membangun soul pembaca untuk masuk ke dalam alur dan latar cerita secara detail. Sehingga dengan membaca Dunia Trisa, kita seperti berada langsung di dunia tokoh Trisa, dunia yang menyuguhkan sisi kehidupan aktris lajang di dunia perfilman. Selain itu novel ini juga sangat cocok dibaca perempuan-perempuan yang sedang gigih mengejar mimpinya. Novel chicklit yang sangat inspiratif dan menghibur.

Untuk menikmati novel yang renyah begini, saya sampai bisa men-skip dulu soal typo.

Daftar pustaka: Rahayu, Eva Sri. 2011. Dunia Trisa. Yogyakarta: Stiletto Book

*Review ini saya tulis pada tahun 2012
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

bukuku dan suami

Sekumpulan sajak ini merupakan rekam jejak kami dari tahun 2008 hingga 2012. Kami sengaja kumpulkan sajak-sajak yang telah menemui nasibnya di media atau terkurung sunyi komputer tua. Sajak-sajak pun kiranya perlu ikut merayakan kebahagiaan. Bersatu menjadi buku sederhana sebagai kado untuk tamu-tamu di hari pernikahan kami.

Dalam buku ini, terlihat masa produktif dari masing-masing mempelai dalam menulis puisi. Pemilihan puisi pun terasa tidak meyakinkan. Meski begitu, keyakinan cinta tak tergoyahkan hingga kini :)

Banyak hal yang tak mampu kami komunikasikan secara langsung, baik dengan bahasa verbal maupun fisik. Ketika tak mampu mendiskusikan apa yang kami pikirkan, entah karena waktu, perbedaan ideologi, maupun ketika ego masing-masing bermain, menulis menjadi jalan menyenangkan untuk bertutur. Dan puisi adalah salah satunya.

Perjalanan selama empat tahun itu, tentu tak selalu berjalan mulus. Pada setiap pergesekan, kami coba untuk tetap mawas diri agar tak pecah kapal yang kami tumpangi. Pergesekan itu tak hanya datang dari kami sendiri, melainkan juga wilayah organisasi, kesenian, kebudayaan, serta pekerjaan, melanggar wilayahnya dengan memasuki ranah cinta kami. Namun, Kami menyikapinya sebagai upaya pematangan cinta. Sebab itulah, sajak-sajak dalam kumpulan ini tak melulu persoalan cinta, meski dengan tegas judul yang dipilih sarat cinta dan momentum yang berlebihan cinta.

Dengan momentum ini, teruji kematangan cinta kami. Sebagaimana manusia dewasa, semakin dewasa maka semakin banyak pula ujian yang datang dan tanggung jawab semakin besar. Dan kami telah mempersiapkannya.

*Tentang Mempelai Laki-laki*

Tidak sesederhana yang diharapkan untuk bisa berkomunikasi dengan lelaki penyair ini. Perkara sepele akan membawa kami pada diskusi dan perdebatan kecil. Untuk itulah, menulis puisi menjadi alternatif dalam membahasakaan keinginan-keinginan.

Bagi saya, ia lelaki yang punya sikap paling jelas dalam menghadapi perdebatan di antara kami. Ia akan lantang bilang tidak untuk yang dilarangnya, dan begitu sebaliknya. Tidak menyenangkan bukan? Untuk itulah harus ada puisi. Menyikapi sikapnya dengan positif adalah solusi paling tepat bagi saya. Bukankah sangat beruntung memiliki lelaki 27 tahun ini, ia akan bilang benci dengan lugas dan mengatakan cinta dengan kesungguhannya yang tegas.

Tikah Kumala


*Tentang Mempelai Perempuan*

Perempuan penyair dan penyabar ini makin matang di usia 24. Ia akan jadi partner yang baik bagi saya. Meski lebih sering berselisihpaham, selama empat tahun bersama, selalu ada hal yang meneduhkan darinya dan membuat saya bertahan.

Fairuzul Mumtaz

Daftar Pustaka: Mumtaz, Fairuzul dan Tikah Kumala. 2012. Mencintaimu dengan Segenap Bahasa. Indie: Yogyakarta

*Tulisan ini dibuat pada tahun 2012
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
  • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
  • Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ▼  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ▼  April (14)
      • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
      • Istilah Pertukangan di Meja Dokter
      • Tiga Nama Palupi yang Kece Badai dalam Hidupku
      • Seharusnya Kaupilih yang Tiada di Sini
      • Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?
      • Hobi Bersihkan Telinga Ternyata Berbahaya
      • Gadis Pantai Menusuk Feodalisme Jawa (Review)
      • Dunia Trisa: Buku Harian Seorang Pemimpi (Review)
      • Mencintaimu dengan Segenap Bahasa: Sebuah Buku Sou...
      • Cerita di Balik Buku Ladies Journey
      • Kematian Ini, Bukan Pasar Malam (Review)
      • Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...
      • Capek Sama Batasan
      • Kemana Perginya "Quality Time" Kita?
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates