Skip to main content

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.)

Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis. 

Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terkadang, tunarungu merasa tidak nyaman memakai alat bantu pendengaran karena katanya suara apapun bisa masuk semua dan membuat mereka sulit menganalisisnya." Berbeda dengan telinga ciptaan Tuhan yang bener-bener amazing untuk dikendalikan. Di mana kita bisa menskip suara-suara yang tidak mau kita dengar, dengan hanya mempertajam suara yang diinginkan. Atau, kita bisa dengan jelas mendengar suara yang dekat dan mengabaikan suara-suara yang datang dari jauh. Tapi alat bantu pendengaran (konon) belum mampu untuk itu. "Belum lagi, mereka juga harus berlatih untuk mengenali suara-suara. Hujan suaranya seperti apa? Piring pecah bagaimana bunyinya? Semua itu harus dilatih. Berbeda dengan kita yang sudah terlatih sejak kecil untuk mengenali semua suara yang ada." Ah, dengan kenyataan itu, saya lantas bersyukur sekali masih diberi pendengaran yang bagus. Sampai kemudian kecelakaan kecil itu membuat pendengaran saya terganggu sebelah. 

Gambar diambil dari Wikipedia
Dua hari berlalu, telinga kiri saya tidak juga kunjung kembali. Padahal saya browsing di internet, kalau cuma luka ringan akan bisa kembali dalam dua hari. Itulah kenapa saya jadi berpikir bahwa (pasti) ada sesuatu yang lebih buruk terjadi di sana. Maka, di hari ke dua itu, saya diantar suami ke dokter keluarga. Dari dokter keluarga, saya dirujuk ke THT di RS ke-2 Jogja. Yap, seperti yang sudah diduga, gendang telinga saya pecah. Sebenarnya agak shock sih, tapi ...

"Waktu kejadian keluar darahnya nggak?" tanya dokter. Hah darah? Gendang telinga sobek, sama kayak selaput dara sobek ya? Ups, tapi kemudian saya menggeleng. Kan tidak tahu. "Emangnya kalau parah sekali pasti berdarah Dok? Kok bisa sih Dok, sobek?"
"Ya, enggak harus parah banget. Kalau sobek biasanya berdarah. Ini kan kena bola, jadi tekanan udara yang sangat kuat itulah yang bikin gendang telingamu pecah" (Saya memang mengaku kena bola, lebih simple, daripada harus menjelaskan kalau kejadiannya lebih konyol dari sekadar kena bola. Nggak perlu dibahas. Malu-maluin hiks)
"Trus, gimana Dok? Saya nggak bisa sembuh?"
"Nggak papa. Kalau pecah karena trauma biasanya bakal cepet nutup kembali. Paling seminggu atau dua minggu udah nutup. Asalkan selama itu nggak basah, pilek ataupun batuk". Lah bagaimana menolak pilek dan batuk, Dok? Penyakit ringan tersebut kan suka datang tidak terduga. Duh, saya jadi pesimis. Tapi setelah itu saya dikasih obat kalium dan amoxilin. Obat antibiotiknya buat mencegah infeksi. Soalnya, kalau infeksi telinga katanya bakal lebih lama buat nutup kembali. 

Setelah keluar dari rumah sakit, pikiran saya dipenuhi dengan obat-obat dan obat. Bagaimana saya harus mengatur minum obat. Saat itu, saya sedang mengonsumsi obat hormon yang diresepkan dokter untuk diminum tiga kali sehari setelah makan. Begitu pun obat telinga ini. Antibiotik diminum tiga kali sehari, dan kalium diminum dua kali sehari dengan makan. Hah? Makan-makan-makan-obat-obat-obat. Padahal dr SPOG saya lagi menyarankan buat diet. Kalau makan melulu, dan nggak boleh renang karena takut telinganya basah, lalu bagaimana berat badan bisa turun? Bener-bener bikin frustasi. Belum lagi, tiap tiga jam harus minum obat. Huh. Hidup serasa bergantung dengan alarm. Sekali meleset minum obat, maka jadwal terakhir bisa jauh lebih malam. Nggak enak banget kan? Tidur jadi nggak nyenyak. 

Tapi Alhamdulillah, setelah seminggu mengonsumsi obat dan patuh dengan saran dokter, pendengaran saya kembali pulih. Jadi waktu kontrol, dokter bilang gendang telinga saya sudah menutup lagi. Padahal di hari ke 4 dan 5, saya merasakan nyeri dan gatal sekali di dalam telinga. Ternyata itu mungkin cuma kode kalau bakalan sembuh. Setelah dicek pakai alat yang nggak tahu namanya, dokter bilang masih kelihatan merah, jadi harus tidak boleh basah selama satu bulan. Siap Dok!

Dari kejadian sederhana ini, saya jadi banyak tahu tentang beberapa hal. 

1. Saya jadi memahami kenapa suami suka emosi kalau saya bicaranya pelan (kebetulan, suami juga pendengarannya terganggu). Kenapa emosi? Karena rasanya kesel tahu kalau nggak bisa menganalisis suara, terus lawan bicara ngomongnya pakai pelan. Dalam hati, "Plis, ngertiin gue dong. Ngomong yang keras biar gue denger!"

2. Ternyata, pendengaran berkurang itu tidak melulu karena ada sumbatan. Tapi lebih banyak justru karena blong, gendang telinga kita sobek. 

3. Karena nggak melulu disebabkan oleh sumbatan itulah, plis ubah pikiran kita bahwa mengobati pendengaran yang berkurang itu dengan memasukan air ke dalam telinga. Bakalan celaka badai kalau ternyata sebabnya adalah gendang telinga yang sobek. Bakalan bahaya. 

4. Keramas, mandi, atau wudhu, ternyata tetep berpotensi membuat telinga jadi basah loh. Tapi jangan khawatir. Kita bisa atasi dengan tayamum untuk wudhu, menyumpal telinga atau membungkusnya dengan plastik ketika mandi/keramas lalu membersihkannya pakai waslap. Tapi kalau mandi besar lalu bagaimana? Kita masih tetep boleh keramas kok, tapi tetep dengan cara mengamankan telinga. Dalam kondisi sakit, kan katanya ada pemakluman. 

4. Beneran deh, bahwa mampu mendengar dengan jelas itu adalah nikmat yang luar biasa yang patut kita jaga dan syukuri.

Oleh karena itu, banyak-banyaklah bersyukur ketika kita masih diberi kesehatan untuk mendengarkan banyak hal. Yuk. 

Comments

  1. saya juga kurnag pendengran di telinga sebelah kiri karena dulu pernah ada bekas cutton bud yang tertinggal di sana. saat diambil sudha mengerak dana da seabgian ayng menempel di gendang telinga

    ReplyDelete
  2. Ngeri saya bacanya, Mbak. Saya baru tahu kalau terbentur bisa bikin gendang telinga pecah (atau sobek?)... TFS Mbak Tikah.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa, karena tekanan udara atau apa gitu penjelasannya

      Delete
  3. Sama kaya saya tuh mba gejalanya tebentur bola di kepala pas maen futsal,tapi obatnya cuma antibiotik doang mba?

    ReplyDelete
  4. Sya juga mngalami hal serupa gmna ya dok supaya yang bolong bisa mnutup kembali dan tidak keluar cairan terus

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama mas , ini q juga masih berusaha keras agar gendang telinga kering, sedih banget :(

      Delete
    2. Aku jg nih, kata dokter gendang telingaku bolong dan sekarang muncul suara berdenging yang membuat pusing. Apa kamu jg mendengar suara berdenging di telinga?

      Delete
    3. Gimana sekarang, udah baikan belum? Saya jg mengalami gendan telinga pecah. Rasanya sangat tidak nyaman. Ada air yg keluar dari telinga tetapi tidak berbau dan ada suara mendenging yg sangat menyiksa.

      Delete
    4. Kalau suami saya lewat jalan operasi Mas

      Delete
  5. Kalo aku pernah budeg. Gegara pas pilek terlalu keras dan semangat bgt buang ingus. Duh ga enak banget. Jadi skrg kl pilek jgn smpe maksa buang ingus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehehe tengkyu infonya, Mbak. Bener, saya pernah ngalaminnya juga. Maktengg

      Delete
    2. aku.juga ngerasain gtu mbak dri awal gangguan pndengaran itu sering muntah juga pusing yg ga bisa terkontrol

      Delete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil