Gadis Pantai Menusuk Feodalisme Jawa (Review)

by - April 08, 2015


NPA006-GADIS-PANTAI

Kita sama tau, bahwa sastra merupakan refleksi masyarakat. Ia lahir dan tak bisa lepas dari realita sosial di sekitarnya. Namun begitu, sastra tetaplah tidak bisa tercipta begitu saja. Ia butuh kreativitas, pergulatan antara realitas dan imajinasi pengarang.

Seperti halnya Gadis Pantai, roman yang ditulis Pramoedya Ananta Toer ini menggambarkan masyarakat Rembang, Jawa Tengah di abad 20. Bagaimana praktik feodalisme Jawa begitu hebat pengaruhnya. Masyarakat setempat berlomba-lomba menikahkan anak gadisnya dengan pembesar Jawa (Bendoro) untuk meningkatkan derajat keluarga.

Sekalipun fiktif, namun kisah dan tokoh-tokoh yang dibangun oleh Pram erat kaitannya dengan kenyataan pada masa itu. Bahkan, tokoh Gadis Pantai sendiri adalah sosok nyata dari nenek Pram, seperti yang ia tuturkan di kata pengantar.

Roman yang ditulis di Pulau Buru ini, sejatinya adalah buku pertama dari trilogi yang ditulis Pram. Namun, dua buku lanjutannya itu lebih dulu raib oleh keganasan penguasa orde baru karena konon isinya terlalu banyak mengkritisi pemerintah pada masa itu.

Gadis Pantai bercerita tentang perempuan kampung nelayan yang menjadi gundik Bendoro, seorang santri Jawa yang bekerja pada administrasi Belanda. Tentu ini bukan pilihannya sendiri, ia hanya dipaksa kawin di usia 14 tahun. Statusnya sebagai Bendoro Putri lalu mengangkat ia menjadi perempuan yang dihormati, meski itu tidak berlangsung lama. Ia tinggal di rumah besar berdinding batu. Rumah yang baginya seperti neraka dengan peraturan yang sangat tidak disukainya.

“Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini…. Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.” (hal 268)

Pram menggambarkan lemahnya posisi perempuan kelas bawah pada masa itu. Seorang perempuan miskin diambil jadi gundik, lalu dicerai dengan tanpa perasaan. Strata sosial menentukan sekali nasib mereka. Seorang lelaki seperti Bendoro boleh bersikap semena-mena bahkan tanpa moral sekalipun. Jika saja Gadis Pantai (tokoh utama) bukan lahir dari keluarga nelayan miskin, barangkali ia tidak akan begitu saja ditendang dari rumah suaminya setelah melahirkan anak.

Seorang perempuan seperti Gadis Pantai tak berhak atas anaknya sekalipun. Tak ada solusi atas pencekalan hak ibu terhadap anak dalam feodalisme Jawa pada masa itu. Menjadi seorang Bendoro Putri tak lantas membuat statusnya lebih tinggi dari posisi anaknya sendiri. Setelah dicerai, diusir secara keji, ia memilih pergi jauh-jauh. Gadis Pantai tak ingin anaknya malu jika tahu dari rahim perempuan kelas bawah inilah ia lahir.

Roman ini diceritakan dengan gaya bahasa yang lugas, sehingga siapapun akan dengan mudah menangkap maksud dari si penulis. Pram juga menggunakan PoV orang ketiga mahatahu, yang memungkinkan narator dapat bergerak bebas di dalamnya.

Namun, sayang sekali, roman yang syarat kritik dan banyak orang mengacungkan jempol ini harus menyisakan rasa penasaran setelah selesai dibaca. Ya, seperti dijelaskan di muka. Roman ini merupakan buku pertama dari trilogi yang dua buku lanjutannya dibakar oleh penguasa.

Daftar Pustaka: Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara

*Review ini saya tulis tahun 2013

Tulisan Terkait

0 komentar

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....