Skip to main content

Kemana Perginya "Quality Time" Kita?

Setelah menikah, penting nggak sih memiliki quality time bersama pasangan? Jawabannya pasti berbeda-beda. Ada yang bilang penting, ada juga yang menilai berlebihan. 

Tapi buat aku pribadi, quality time bersama pasangan itu sangat-sangat penting. Yes, nggak enak banget dong hidup pasca menikah, waktu spesialnya cuma nge-seks doang, kerja, makan, mandi, terus tidur. Lalu kapan waktu buat ngobrolnya? 

"Ah, ribet deh kamu Tik. Nge-seks sambil ngobrol bisa kok. Ngobrol sebelum tidur juga bisa. Apalagi, makan sambil ngobrol, itu sangat-sangat mungkin, kan? "

Betul. Kapan pun kesempatannya quality time bisa sangat mungkin kita ciptakan. Asalkan waktu yang kita pilih itu benar-benar nyaman untuk dijadikan quality time. Jangan sampai, makan kita jadi kesedak pas mbahas sesuatu yang nggak enak di hati. Atau, tiba-tiba gairah bercinta jadi drop mendadak, cuma gara-gara kesleo becanda. Hihihi. 

Lalu apakah quality time cuma dipakai buat ngobrol? Ya, jelas enggak dong. Banyak hal yang bisa kita lakukan, seperti bermesraan, bercanda, tukar pikiran, meluapkan apa yang tersembunyi, sampai dengan ngobrol ringan. Dih, mungkin kemudian ada yang nyinyir, "Ya ampun, Tik, udah serumah dan tiap hari ketemu aja masih butuh quality time?" atau "Belum punya anak sih lu, makanya belum tau rasanya kehabisan waktu"

Loh, quality time kan bisa diciptakan dalam kondisi sesibuk apapun. Tinggal bagaimana cerdasnya kita mengotak atik waktu yang tepat. Kecuali, kalau nggak kompak sama pasangan ya hehe. 

Dulu, ketika aku hanya memiliki waktu libur Sabtu dan Minggu, itu adalah hari yang indah untuk menghabiskan waktu bersama suami. Kami duduk di depan rumah dengan kopi dan camilan. Lalu mengalirlah cerita-cerita seru. Sesimple itu? Yes. Simple tapi romantis. Sampai kemudian, smartphone merenggut segala-galanya. Meski kini everyday ada di rumah, tapi keadaannya sudah berbeda. 

Sekarang, mulai bangun tidur, makan, istirahat, sampai tidur lagi, kami dikuasai oleh smartphone. Bener-bener seperti virus yang menghancurkan keadaan kami. Efek virus itu begitu luar biasanya, sehingga tanpanya kami linglung. Kami bisa mati gaya, bahkan merasakan duduk berdua menjadi hampa kalau smartphone kebetulan mati. Gila, ini benar benar mengerikan. 

Dengan keadaan seperti ini, bukan berarti kami tidak ingin lepas loh. Kami masih berharap ada quality time yang kembali asyik seperti dulu. Maka kami pun berusaha dengan makan di luar, ngopi di cafe, atau warung kopi. Tapi apa yang terjadi ketika kami pergi? Hemmm, seperti sepasang anak muda yang lagi ngambekan, kami tidak juga ngobrol melainkan cuma pindah tempat untuk mainan handphone. Huftt. (Eh, jangan-jangan ini memang quality time versi terbaru semenjak terkena virus? Jadi sekarang nggak perlu lagi bermesraan, ngobrol, atau bercanda, tapi cukuplah ngegame bersama di mana pun tempatnya? Hah? Gilak. No!! <--- itu bukan yang aku mau)

Hhhhhh, segitunya banget sih Tik, mengada-adakan quality time. 
Kataku: Haruslah. 
Aku pikir, tanpa ada waktu yang tepat untuk mengungkapkan banyak hal, dadaku akan penuh. Sebab, apa-apa yang di dalam dada terkadang tidak mudah digali kecuali di waktu dan suasana yang tepat. Itulah kenapa aku merasa butuh dipuaskan dengan memiliki quality time bersama suami. 

Ya, berangkat dari kecanduan handphone itulah, aku meniru seorang teman yang menghabiskan waktu liburnya dengan renang. Sungguh, ide yang cerdas. Berada di kolam renang tentunya nggak mungkin pegangan sama handphone bukan? Makanya kami lakukan. Jadi, ketika lelah kecibak kecibuk, kami akan menepi dan berkesempatan untuk bercanda atau pun mengobrol. I like pokoknya. 

Kelak, jika ide ini sudah membosankan, maka akan kucari ide-ide baru untuk tetap memiliki quality time bersama suami. Bagiku, quality time juga akan menguatkan cinta loh. Jadi bagaimana menurutmu? 


Comments

  1. Haiii salam kenal..kalau saya quality time sama suami, nonton di bioskop, makan trus ngiki ngikik menertawakan kebodohan masa lalu dan perjuangan kita. Ehh satu lagi deh, pas lagi macet di jalan :)

    ReplyDelete
  2. menurutku quality time tu perlu
    walo blm ngalami heheh
    @guru5seni8
    http://hatidanpikiranjernih.blogspot.com

    ReplyDelete
  3. Klo udah ada anak, porsi terbesar mmg jadinya buat ngurus anak2 mb. Waktu berdua, mmg jadi jarang....kecuali pas anak tdr aja. Jd Ngobrolnya sembari momong anak...smartphone, diminimalisir klo lg ngumpul.

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, masih bisa quality time sama suami :D

    ReplyDelete
  5. *Toss* smartphone seperti virus yang mengerikan.Membuat satu rumah isi 4 orang tertunduk dan asyik sendiri-sendiri meskipun kelihatannya bersama.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah belum pernah quality time sama suami. *NikahJugaBelom hehe

    ReplyDelete
  7. dulu jarang karena kesibukan dg anak2 setelah mereka besar, akhirnya segala sesuatu jadi kegiatan bersama. saling tergantung satu sama lainnya

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk