• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Minggu malam itu, saya dan suami sengaja tidur gasik di rumah sakit. Kayaknya, sebelum jam 12 malam, kami sudah tepar (padahal biasanya denger bedug subuh baru inget tidur). Ya, sekali-kali-lah jadi pasien patuh. Kan, besok paginya mau operasi telinga. Masa masih mau begadang sih, pikir kami. 

Kalau jam tidurnya cukup, artinya suami bakalan fit saat menjalani operasi. Makanya, tanpa kompromi, saya mengharuskan dia buat tidur malam segasik mungkin. Apalagi kata dokter, jadwal operasinya jatuh di jam pertama sekitar pukul 8 atau 9 pagi. Kan pagi banget tuh. Maklum, kami terbiasa buka pintu dan jendela rumah tepat pukul 10 pagi (Itu pun karena denger tukang sayur yang manggil-manggil. Jadi, jangan tanyakan, kami biasa sarapan jam berapa ya hehehe?). 

Oh ya, yang penasaran suami saya sakit apa, bisa baca peristiwa ini dulu ( adegan satu, dua, dan tiga). Nggak baca juga nggak papa sih, tetep bakalan nyambung kok. :)) Lanjut yuk.

Jadi gini, karena suami saya mendapat jadwal operasi jam pertama, suami saya diwajibkan puasa mulai pukul 12 malam. Katanya untuk syarat operasi. Ya, kalau cuma nahan lapar sampai jam 8 atau 9 pagi sih udah biasa. Jadi, yang dibutuhkan suami (menurut kami) adalah tidur gasik. Nggak perlu pakai sahur segala. Bahkan nggak perlu nunggu jam 12 malam buat niat insun puasa. Lebih cepat tidur, akan lebih fit besok paginya. Itu pikiran kami. 

Namanya nggak pernah jadi pasien opname ataupun nungguin orang sakit, jadi pengalaman begini ini beneran yang pertama. 

Pukul 6 pagi suami sudah mandi, disuntik, dicek dan setelahnya suster masuk lagi ke kamar kami buat memberikan pakaian pasien. Jadi fix: Jam 7 pagi, suami sudah benar-benar siap buat dieksekusi. Kata dia, kalau semuanya sudah siap kan tinggal mengatur perasaan tegang dan menepis ketakutan-ketakuan yang mengerikan. 


tanda x adalah lokasi,
yang akan dioperasi (telinga kanan)
"Mau dibor nih Dek hiiii" becandanya sambil begidik ngeri. Dia sengaja memakai istilah pertukangan itu lagi, buat menghilangkan kesan takut. Padahal ya kelihatan banget, kalau dia lagi takut. 

Jam 7, ke jam 8, ke jam 9, sampai jam 9.30 nggak ada satu suster pun yang masuk ke kamar kami. 
"Jadi operasi nggak sih ini?" 

DUERRR ... KETEGANGAN DIMULAI. 

Saya mencoba menenangkan suami dengan kalimat-kalimat sederhana yang semuanya dia bantah. 
"Mungkin bentar lagi ada suster datang, Mas"
"Tapi ini udah telah 30 menit loh Dek"
"Ya, mungkin saja alatnya baru dipersiapkan? Sabar ya"
"Masa jadwal operasi jam 9, alatnya belum disiapkan. Ngapain aja mereka??"
"Mungkin briefing dulu. Banyak pasien juga kan?"

Ah, pokoknya harus beneran sabar deh ngadepin orang emosi akibat kelamaan nunggu. Bukankah aktivitas menunggu memang sering menguras emosi? 

Beberapa menit kemudian, suami bangkit dari tidurannya dan menatap saya tajam.

"APA MAS JUGA YANG HARUS KE RUANG SUSTER BUAT KONFIRMASI? HAH?" Teriaknya sinis. Maksudnya adalah dia pengin saya cari informasi di ruang suster. 

Antara takut dan geli, karena membayangkan suami yang memakai pakaian model piyama dengan rambut dicukur sebelah itu bakal nekat ngamuk di ruang suster, maka saya pun keluar kamar. Saya menuju ruang suster, sambil tertawa dalam hati membayangkan adegan tersebut. 

"Suami saya kok belum dipanggil juga ya Sus?" tanya saya ke suster yang tengah duduk di ruangannya. Tentu saja saya harus menyebut nama pasien, no kamar, dan soal rencana operasi yang akan dijalani suami. Barulah setelah itu, si suster menjelaskan panjang lebar bahwa dalam hal kesehatan, nggak ada patokan jam. 

"Pak Fairuzul kan operasinya jam ke 2. Ya kami masih nunggu pasien jam pertama selesai dulu. Kan nggak mungkin, kalau belum selesai operasi sudah ditinggal buat mengurusi pasien baru" jawabnya sinis. Loh, kok jadi jam ke 2? Padahal kemarin dijelaskan jadwalnya jam pertama. Oke, mungkin kami salah dengar. Saya nggak mau ngotot. Kalau semula tahu bahwa jadwalnya jam ke dua, sebenarnya kami juga bakal maklum kalau ada telat-telat. Namanya saja operasi, siapa sih yang tahu bakal ada kendala atau lancar? Tapi kan, kami dijanjikan jam pertama. Artinya nggak ada kemungkinan buruk bahwa akan ada pasien yang ditinggal pergi dokter sebelum telinga yang diiris kempleh kempleh itu dijahit kembali. 

"Oh gitu ya Sus. Oke. Ini soalnya pasien panik karena belum ada panggilan juga. Apalagi nggak ada suster yang datang mengonfirmasi kan hehe." Saya cengengesan, padahal tampang si suster jutek mampus. "Takutnya kan Suster lupa. Atau malah salah jadwal. Takut nggak jadi juga operasinya" Ups, mulut saya ini memang kadang-kadang kelewatan. Masa berani menyindir keprofesionalan para suster sih. Ya mustahil lah sampai ketuker atau lupa kalau mau mengoperasi pasien. Emang mereka teledor kayak saya. Nggak dong. Dan saya pun berlalu meninggalkan suster yang mukanya merah padam mendengar ledekan saya. Maafken mulut saya ya, Sus hihihi.

Setelah masuk kamar, saya pun menjelaskan kepada suami tentang apa yang dijelaskan suster tadi. 
"Yawis. Kalau infonya kayak gini kan kita jadi lebih tenang nunggunya" jawab suami. 

Tenang? 
Ehmmmm ... mulut boleh berkata tenang. Tapi nyatanya pikiran dan hati terus bergemuruh. Apalagi penantian kami berlanjut sampai azan zuhur berkumandang tanpa satu suster pun yang datang menjenguk ke kamar. Mungkin mereka sangat sibuk, sampai lupa bahwa ada satu pasien yang butuh kejelasan dan kepastian sampai emosinya naik ke ubun-ubun. Kebiasaan lama deh, kalau kelaparan, pasti suami saya suka marah-marah. Sudah kelihatan ketika dia ngeluh pusinglah, laparlah, dan macem-macem. Saya yakin sekali, asam lambungnya pasti meningkat akibat kelaparan dan stres. 

"Aku kayak pasien terlantar tahu Dik!!"
"Iya sabar"
"Sabar gimana lagi? Cari informasilah sana!! Aku disuruh ke ruang operasi sendiri atau gimana."

Akhirnya saya keluar lagi. Sebelum saya melangkah keluar, dua suster sudah berdiri di luar pintu hendak masuk kamar. Mereka mengatakan akan membawa suami ke ruang operasi. Kira-kira penjemputan itu waktunya jam satu siang. Kebayang kan, jam 7 udah siap operasi tapi ternyata dieksekusi jam 1 siang. Makanya spontan suami melampiaskan kekesalannya pada dua suster tersebut. Ia komplain mengenai jadwal yang diubah tanpa ada konfirmasi dan mengakibatkan dia menunggu panjang sampai kelaparan. Bukannya menenangkan si suster malah menjawabnya dengan jutek. 

Intinya, si suster menyalahkan kami karena tidak sahur. 
"Namanya puasa, kok nggak sahur" katanya.
"Kan bukan puasa agama, dan emang semula jadwalnya pagi, ngapain sahur?"  Jawab suami saya tak kalah sinis. 


Dari perdebatan selanjutnya, saya menangkap bahwa kami diposisikan sebagai ‘pasien serba tahu’ atau ‘pasien berpengalaman sakit’ yang harusnya tahu bahwa jadwal operasi itu pasti molor. Kami diharuskan tahu bahwa, namanya puasa ya harusnya sahur apalagi untuk operasi. Sedangkan malamnya, pikiran kami malah hanya tidur dan tidur biar fit. Sudah saya katakan di depan, kalau cuma nahan lapar sampai jam 8 atau 9 pagi mah biasa aja. Nggak perlu pakai sahur juga bisa tahan.



Makanya saya bertanya-tanya dalam hati, apakah semua pasien memang harus punya bekal pengetahuan yang sama ya? Apakah sangat salah kalau kami tidak tahu sedetail itu untuk mempersiapkan diri menjalani operasi, sekalipun sempet browsing di internet mengenai operasi tympanomastoidektomi? 


Aduh Sus, kami ini pasien newbe. Dengar kata operasi aja gemetar, pikiran kalut dan tangan dingin. Bagaimana kami bisa memikirkan hal-hal kecil yang (menurut kami) harusnya Tuhan suster jelaskan. Apakah sebegini kelihatan cerdasnya kami ini, sampai-sampai dikira manusia serba tahu? Uhuk #mbenerin kerah baju. 

Selesai debat kusir yang nggak penting-penting amat itu, suami didorong menggunakan kursi roda. Saat itu, kami yang berada di lantai dua gedung rawat inap, harus turun dan menuju gedung operasi lantai empat yang lokasinya cukup jauh. Sialnya, saat turun tersebut, nggak mungkin banget kalau kursi roda turun lewat tangga. Lebih sialnya lagi bangsal kami memang nggak ada liftnya sehingga terpaksa harus lewat jalan menurun yang dikhususkan buat pasien. 
"Dibantu turun ya Mbak. Saya nggak kuat menahan laju rodanya nih" pinta si suster. Maka saya pun menahan kursi roda itu dari depan dan berjalan pelan-pelan. 

"Kenapa saya nggak jalan saja sih Sus?" celetuk suami saya di tengah jalan menurun ini. 
"Yah, nggak bilang dari tadi sih Mas kalau bisa jalan sendiri. Sekarang sih udah nanggung nih" jawab si Suster, yang membuat saya pengin ketawa membayangkan suami beneran jalan kaki menuju ruang operasi. Hahaha. Suasana jadi cair. 

Sesampainya di gedung operasi, suami saya dibawa masuk ke ruangan yang selain pasien tidak diizinkan ikut. Suster menjelaskan bahwa yang boleh menunggu di ruang tunggu juga hanya dua orang. Ruang tungu ini terletak bersebelahan dengan ruang operasi. Maka saya pun berkata pada ibu dan bapak mertua untuk tinggal, dan saya menunggu di bawah. 

Dua jam pertama operasi, saya tidak terlalu cemas karena dihibur oleh satu temen dekat. Sampai akhirnya, kami berdua nekat masuk ke ruang tunggu karena khawatir kalau Bapak Ibu kelaparan. 

Ternyata nggak. Mereka justru menolak untuk makan ataupun minum. Ya maklum sih, kalau perasaan khawatir bisa mencuri perasaan lapar seseorang. Seperti halnya Bapak Ibu. 

Di dalam ruang tunggu, kami duduk melihat televisi sambil sesekali bercerita. Karena cerita itulah, nggak sadar kalau operasi sudah berlangsung hampir empat jam. Kami melihat bangku kanan dan kiri sudah banyak yang kosong. Tapi, kenapa belum ada panggilan juga? Yang saya lihat, ketika pasien selesai dioperasi dan akan dibawa ke ruang rawat inap, ada suara petugas yang memanggil keluarga pasien lewat speaker yang tersedia di atas pintu. Jadi saya berkali-kali memandang ke arah speaker berharap ada panggilan. 

Sampai tiba-tiba, beberapa orang muncul di pintu ruang tunggu sambil berlari dengan wajah panik. Seorang perempuan, yang kemungkinan juga sedang menunggu keluarganya, berteriak "Keluarganya Mumtaz mana?" matanya menyapu ke arah semua orang yang ada di dalam. 

Seperti petir, teriakan itu melintas dan memancing bayangan-bayangan ngeri di kepala. Maka spontan saya lari menuju depan pintu ruang operasi diikuti Bapak, Ibu dan teman saya. 

Di pintu kamar operasi, seorang dokter menunggu kami dengan wajah tegang. Ia masih memakai pakaian operasi. Melihat wajah itu, lagi-lagi terngiang kalimat-kalimat dalam adegan sinetron yang tokoh dokternya berkata kepada keluarga dengan wajah tegang "Maaf, kami sudah berusaha semampunya. Tapi ...." tiiiiit. Itu hanya adegan sinetron. Sedangkan yang saya hadapi ini adalah kenyataan. 

"Keluarganya Mumtaz?" tanya dokter kepada saya dengan tergesa-gesa. 
"Iya" jawab saya cepat. Hati saya berteriak, Oh Tuhan Oh Tuhan ada apa ini? 
"Ada yang cowok?" 
"Ada Dok ada" saya memberi isyarat kepada Bapak Mertua yang berdiri di samping saya "Ini Bapak, Dok". Deg! Harus cowok? Ya Tuhan, seburuk itukah keadaan pasien sampai dokter takut saya nggak bakal kuat menerimanya. Apakah suami saya pendarahan hebat dan butuh donor darah? Bapak, ya Bapak pasti cocok. Pilihan yang tepat.

Namun, ketika saya menyodorkan Bapak, dokter tersebut melihat ke arah Bapak dengan tidak yakin "Tapi sudah tua ya? Ya udah deh, kamu saja. Kamu siapanya. Istri?"
"Iya saya istrinya"
"Masuk" perintahnya dengan cepat. 

Saya pun masuk dengan cepat. Jantung saya berdetak kencang, dan kerongkongan terasa kering. Saya masuk masih membawa tas ransel berisi barang-barang berharga yang nggak mungkin ditinggal di kamar. 
"Tasnya keluarkan dulu" teriak dokter, sambil menunjuk ke luar. Padahal posisi pintu sudah ditutup. 

Saya mencoba untuk membuka pintu kembali, tapi kesusahan saking gugupnya. Sampai-sampai dokter itu terlihat jengkel ketika membantu saya. Setelah terbuka, saya berlari "Tolong dipegang dulu Mbak" teriak saya ke temen saya di luar. Lalu kembali masuk dan mendapati dokter sudah masuk ke ruangan yang lebih dalam. 

Betapa mengerikannya situasi saat itu. Saya harus kuat, harus kuat dengan apapun yang akan saya hadapi. Ya Tuhan, ya Tuhan tolonglah kuatkan hamba. Pasti ini bukan sesuatu yang baik kalau keluarga sampai diminta masuk ke ruang operasi yang notabene haram dimasuki pihak selain pasien dan dokter. Ya Tuhaaaan. 

Tanpa pikir panjang, saya langsung berlari menuju ruangan yang lebih dalam. Saya ingin lekas menemui suami saya. Saat itu mata saya sudah terasa berkabut. Apalagi nggak pakai kacamata, maka semakin nggak jelaslah pandangan saya. Oh Tuhan, semoga ini bukan tanda-tanda orang mau pingsan karena berita mengerikan. Saat saya mencapai ruangan tersebut, saya melihat sesosok laki-laki terbaring lemas di ranjang dorong. Wajahnya sangat pucat seperti zenazah. Oh Tuhannnnn, apakah operasi suami saya gagal? Oh Tuhan apakah ini berita yang harus saya dengar. Kuatkan ya Allah, kuatkan. 

"Siapa suruuuuh masuk dulu!!! Keluar" teriak dokter tadi. Sembari berlari menghampiri saya. Masya Allah, ini dokter galak amat dengan keluarga yang akan diberi kabar duka. Batin saya hampir menangis. Namun begitu, saya tetap menurut mengikuti arahan dokter untuk keluar. 

"Nggak lihat apa, ada garis merah ini. Artinya nggak boleh dilewati" kata dokter ketika kami sudah di balik pintu keluar, dan menunjukan garis merah yang ada di lantai "Apalagi masih pakai sandal. Lepas, dan ganti baju" kata dokter tadi tegas dan terlihat sangat jengkel. 

Pada situasi macam ini, saya sampai lupa kalau ruang operasi itu memang harus streril. Bener-bener kalut dan bodohnya saya yang nyelonong masuk pakai sandal dan nggak ganti baju. Apa gunanya coba sering nonton adegan ini di pelem pelem. Pantesan saja dokternya marah banget. 

"Ini pakainya gimana Dok" kata saya yang tiba-tiba nggak bisa pakai baju saking paniknya. Ini beneran kelewatan deh. Masa dokter tersebut sampai harus membantu saya memakai baju. Malu-maluin.

Setelah itu saya mengikuti dokter memasuki ruangan tersebut. Ya Tuhan, inilah waktunya kenyataan itu saya terima. Mana suami saya, mana tadi wajahnya yang pucat? Ya Tuhan, Mas, Ya Tuhan. 

Mata saya menyapu ke sekeliling ruangan. Tirai-tirai yang kelihatan hijau, dokter dengan wajah-wajah serius, meja resepsionis di ruang operasi? Dan...

"Itu suami Mbak ... panik. Harus ditenangkan" tunjuk dokter ke pinggir ruangan. 

Samar-samar saya melihat sesosok pasien yang tengah diatasi dua dokter, dan menggeliat geliat gelisah.

Itu suami saya.
Ya suami saya.
Ahhhhhh legaaaaa rasanya. Ternyata dia masih bisa bergerak. Lalu siapa yang tadi saya lihat, kurus, lemah, dan putih pucat itu? Owalaaaaah ternyata kemudian saya tahu bahwa sosok yang saya anggap suami itu adalah seorang bule. Pantesan putih pucat. Ada untungnya juga saya nggak pakai kacamata. Coba kalau pas nyelonong masuk tadi, saya melihat telinga sedang diiris dan darahnya banyak. Bisa pingsan saya.

"Karena efek biusnya belum hilang. Dia berhalusinasi. Tolong ditenangkan Mbak, suaminya" kata dokter lagi. Saat itu perasaan saya benar-benar campur aduk membayangkan kehebohan dalam pikiran sendiri. Antara senang, geli, lega dan merasa konyol. Pantesan dokternya marah-marah, lah pasti saya kelihatan lebay banget kok tadi. 

"Mas, sadar Mas. Ini Adik" kata saya di samping ranjangnya.
Suami saya masih terpejam, sambil teriak-teriak dengan tangan di samping telinga kiri (telinga yang nggak dioperasi). Dia berhalusinasi sedang menelepon pihak Telkom mengenai jaringan internet.

"Ya, halo haloooo"
Saya memandang dokter, "Gimana sih Dok ceritanya?"

"Ya, efek bius Mbak." Dokter lalu menjelaskan kalau suami saya sempat ngamuk dan mencopot perban yang sudah dipasang dokter. Dan dokter khawatir kalau suami saya akan brutal menarik kapas-kapas yang menutupi luka bekas operasi tersebut. Duh mengerikan sekali kalau sampai kejadian. Makanya, dokter-dokter itu masih berdiri mendampingi di pinggir ranjang karena takut kecolongan. 

"Halo haloooo. " Teriak suami saya dengan gaya bertelepon. "Dik, ini kenapa cuma halo-halo terus" teriak suami saya masih dengan nada tinggi. Persis kalau dia lagi emosi.
"Mas, sadar Mas"
"Kenapa ini cuma halo halo terus. Mas ngurus Speedy ini loh" teriaknya lagi.
"Mas ini ada istrinya Mas, sadar" bantu si dokter.
"Ah, diam to Dek. Lagi telepon ini" Bentak suami kepada saya, padahal tadi suara dokter.

"Udah Mas, nanti Speedy-nya Adik yang urus sama Gus Muh, ya. Mas tenang. Mas sadar ya kalau sekarang baru aja operasi loh" Kalimat itu begitu saja terlontar. Bener-bener menggelikan mengikuti adegan konyol ini. 

Suami saya diam, tangan kanannya bergerak seakan akan mau meraih telinga kanannya yang habis dioperasi. Spontan kami dan dokter-dokter itu pun menahan tangannya. 
"Jangan Mas, nanti infeksi" teriak dokter jengkel. Dokter-dokter itu kelihatan sangat lelah. Kasihan sekali.

"Ini jaringan teleponnya panas Dek. Kenapa telinga Mas panas sekali. Ini jaringan teleponnya kenapa?" Astagaaa. Ternyata dia masih berhalusinasi. Sekarang dia menganggap bekas operasinya itu adalah telepon genggam yang panas. Dalam hati saya mbatin, apakah ini efek terlalu addict sama gadget ya? Atau karena dia lagi menangani masalah Telkom akhir-akhir ini sampai kebawa ke alam bawah sadar. Busyetttt. 

"Sadar Mas. Itu bekas operasi, bukan telepon" kata dokternya lagi mencoba menyadarkan suami saya. Mungkin dokternya juga geli.

"Istigfar Mas, istigfar!"

"Istigfar Mas, istigfar"

Kami terus menenangkan suami sembari menunggu efek biusnya habis. Setelah cukup terkontrol, kemudian dia dikeluarkan dari ruangan tersebut ke muka pintu. Di sana ada dua suster dari bangsal yang siap membawanya ke ruang rawat inap. 

Saat kami keluar dari ruang operasi, saya tersenyum melihat Ibu, Bapak, dan teman saya. Rasanya pengin sekali menceritakan kejadian di dalam saat itu juga. Pasti mereka sudah sangat cemas di luar menunggu kabar saya yang sampai harus masuk ke dalam ruang operasi. Mereka kemudian mengikuti kami, mendampingi suami yang dibawa menggunakan ranjang dorong. 

Memasuki lift menuju bawah, tiba-tiba suster yang membawa suami saya itu bersuara lantang dan sinis. 
“Biasa aja Bu. Nggak usah nangis!! Namanya saja operasi!” teriak si suster. Hah apaa?? Saya saja hampir tersedak. Komentar pedas itu ditujukan untuk ibu mertua saya. Padahal, Ibu cuma terharu melihat anaknya terbaring sakit. Dan beliau hanya meneteskan air mata ( merebes mili), bukannya nangis kejer. 

Apakah komentar seperti itu diperlukan? Apakah suster itu bukan seorang ibu? Apakah lebih baik mencecar daripada menenangkan dengan kalimat yang lebih baik? Saya cuma menelan ludah. Mungkinkah karena terlalu sering mengurusi pasien operasi jadi membuat suster itu kehilangan rasa empati ke sesama manusia?Saya mencoba maklum. Meskipun rasanya sakit di sini (nunjuk ke dada). 

Dari semua ketegangan ini, kami sangat bersyukur karena operasinya bisa dibilang sukses. Rasanya seperti semua beban di pundak terangkat begitu saja. Apalagi ketika di kamar bisa melihat suami saya sadar dan tersenyum ke arah saya. 

"Mas tadi ngamuk loh" kata saya meledek dia. 
"Iya po?"
"Iya heboh banget di ruang operasi"
"Hehehe" respon suami. "Eh, ternyata ya Dek, jadwal operasinya Mas memang ketuker loh. Harusnya Mas dioperasi jam pertama. Dokternya sendiri yang bilang di ruang operasi"

APAAA? Dugaan kami ternyata benar kalau ada salah teknis? Jadi suster yang pagi tadi mukanya merah padam ketika saya sindir-sindir soal profesionalitas, ternyata memang kesindir ya? Woalah. 

Setelah diselidiki, ternyata jadwal suami dituker ke jam ke dua karena pasien pertama dinyatakan berisiko kalau dioperasi jam ke dua. Dia memiliki penyakit gula, sehingga harus didahulukan. Kalau tetap dijadwalnya yang semula, otomatis gulanya akan semakin naik ketika semakin siang. Dan itu berbahaya. 

Coba ada konfirmasi dari suster mengenai pertukaran jadwal ini dari awal. Mungkin kami nggak bakalan sekecewa ini. Kami juga bakalan paham kok kalau ini untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Asalkan ada penjelasan, ada klarifikasi, sehingga kejadiannya nggak perlu memancing emosi karena kami merasa ditelantarkan. 

Oh manusia. 

Jangan-jangan ngamuknya suami pasca operasi juga karena sebelum dibius, dia memendam emosi yang besar. Emosi kalau dia telah diperlakukan tidak menyenangkan, hanya karena fakta tentang pertukaran itu disembunyikan. 

Dari semua itu, ini adalah pengalaman yang sangat berharga bagi kami. Hanya alhamdulillah berkali kali yang bisa disuarakan karena jadwal operasi yang ketukar ini nggak mengakibatkan hal-hal yang buruk. Untungnya dokternya tahu kalau mereka sengaja ditukar. Coba kalau sampai ketuker akibat kecerobohan petugas? Bisa hilang dua duanya tuh telinga suami.

Ini penampakan suami pasca operasi. Lihat ke perbannya deh. Diikat ikat nggak beraturan akibat pengaitnya hilang ketika dia ngamuk dan melepas perban tersebut. 

Sebenarnya masih banyak sih, cerita buruk, menggelikan, haru, senang dan konyol di rumah sakit selama hajat operasi. Tapi, satu dulu aja deh. Ini aja panjang kali kan? Kasihan yang baca. Besok saya share tips tips selama mengurus orang sakit aja dulu, seperti ngurus BPJS, persiapan pra operasi, dan perawatan pasca operasi. Biar lebih manfaat.

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
"Sejak menikah, Mas baru satu kali beli sandal loh" Kata suamiku. Dari kalimat tersebut, tersirat sekali kalau dia lagi nyindir aku yang bolak balik beli sandal. Ya, usia perkawinan kami memang sudah melangkah ke tiga tahun, jadi jangan tanyakan berapa banyak sandal yang sudah kubeli dan keberadaannya sekarang entah di mana. Sedangkan suamiku, ia hanya memiliki satu sandal main dan satu sandal untuk acara-acara formal. 

Apakah itu wajar? Bagiku iya. 

Pembelaanku sebagai perempuan adalah: 
Perempuan terkhusus itu nggak cukup punya satu sandal atau dua sandal. Aku sendiri butuh sandal untuk ke resepsi, ke acara formal, main, hangout dll. 

Saat ke resepsi, biasanya aku memakai wedges karena gaunku yang panjang. Wedges itu pun kadang-kadang kupakai ke acara-acara tertentu. Tapi kan nggak mungkin banget aku hangout ke mal, atau ke pantai pakai sandal tinggi, bukan? Nggak nyaman banget keles. 

Makanya untuk main ke tempat-tempat tertentu, aku membutuhkan sandal yang semi formal. Juga nggak banget kan, kalau aku ke mal pakai sandal jepit 'Swalow', meskipun ya pernah juga kulakukan karena terpaksa. Atau, aku ke resepsi pakai sadal jepit dengan gaun panjang? Oh no. Sandal jepit begitu, biasanya sangat kubutuhkan ketika ke warung, pasar, atau mengunjungi tetangga. Jangan bayangkan, aku ke pasar tradisional dengan menggunakan sandal hak tinggi ya? Itu bakal diketawainlah. Kecuali emang karena mampir dari pulang ke mana gitu. 

Sedangkan laki-laki. Sebenarnya satu sandal saja cukup kok. Misalnya sandal yang semi formal. Mau ke resepsi, acara formal, atau main, sandal macam apapun oke-oke aja sih. Kecuali kalau dia hanya memiliki satu sandal jepit loh, ya perlu dipertimbangin kalau mau ke resepsi atau acara formal (Yang tinggal di kota). 

Jadi tahu kan bedanya? 

Ini memang hanya pembelaan personal sih. Tapi cobalah dilogika. Jangan banyak protes kalau tahu perempuan punya banyak koleksi sandal. Bahkan ada loh, yang setiap warna baju memiliki sandalnya sendiri-sendiri. Tapi coba bayangkan, kalau laki-laki meniru gaya kami. Ketika pakai baju kuning, si laki-laki itu memakai sandal kuning. Pakai baju pink, sandalnya juga pink. Begitu pun warna-warna yang lain. Ih, karena nggak umumnya gitu, jadi ya aku sendiri merasa aneh. 

Tapi tolong deh, jangan banyak protes atau nyinyir dengan kebiasaan yang sudah kadung dianggap wajar ini sama perempuan terkhusus. Aku sendiri, merasa bahwa membeli sandal itu kebutuhan karena mempertimbangkan fungsinya. 

Aku butuh sandal jepit karena berfungsi ketika ke kamar mandi, pasar, atau ke warung. Aku beli sandal gunung, karena fungsinya yang nggak mungkin pakai sandal tinggi di dataran tinggi. Dan sebagainya. 

Kalau mau iri-irian, sana deh beli wedges buat lari maraton di pegunungan. Nyuksep iya deh. 

Kalau soal kenapa bolak balik beli sandal dan rusak. Alasanku pribadi karena memang belinya yang murahan. Aku sadar kalau perempuan terkhusus butuh banyak sandal yang disesuaikan untuk beberapa kebutuhan. Makanya daripada tambah dikomentarin macem-macem, aku belinya yang murahan. Kalau ternyata belum mencapai satu tahun udah jebol, masa aku harus nyalahin sandalnya, penjualnya, atau dompet yang nggak mampu mencukupi harga tinggi sepasang sandal?

Plis deh. 

Tapi, sebenarnya aku pernah loh, kemana mana cuma pakai sandal jepit warna ungu. Pakai baju warna merah, kuning, hijau, biru atau apapun, sandalnya tetep warna ungu. Ke mal, ke kantor suami, main, ngopi, dll yang semi formal, pakainya tetep sandal jepit. Untung aja sih, aku nggak nekat ke resepsi pakai sandal jepit. Kalau sampai nekat, kan nggak cuma aku yang malu, tapi juga suamiku yang kesannya nggak mampu beliin aku sandal. Iya kan? (Eh, ralat. Suamiku sih nggak bakal malu. Lah dia sendiri nggak tahu kok, apakah penting kalau setiap sandal perempuan itu harus disesuaikan menurut fungsinya. Dia sih cuek cuek aja aku mau pakai sandal kayak gimana. Asal sandalnya nggak putus, dia nggak bakal komentar. Apakah aku perlu seneng dengan kepribadiannya? Yes. Im happy. Seenggaknya, dia nggak perlu tahu bagaimana nelangsanya aku ketika memarkir sandal di sebuah pertemuan, dan sandalku itu satu-satunya yang beda dari yang lainnya.)

Tapi aku nggak mau mengalami kesedihan itu lagi. Makanya setelah punya duit sendiri, aku merasa butuh beli sandal macam-macam. Meski suami ngomentarinnya aku boros, tapi coba dia mengerti bahwa sebenarnya ini adalah usaha untuk menjaga kehormatan kepala rumah tangga. Apakah aku salah? 
Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar
"Ngabuburit ke mana yah?" tanya suamiku sambil senyam senyum. Aku awalnya diem, soalnya tahu sebenarnya kalimat itu hanya ledekan. Ia tidak serius. Ia hanya memancingku supaya merengek-rengek minta keluar. 

Tapi akhirnya aku tertarik mengikuti alur permainannya, "Ke mana yah?" jawabku, berekspresi sok mikir. 

"Nggak ah, Mas pengin buka di rumah aja" Kan lihat? Sudah kuduga. Ini cuma permainan. Belum aja klimaks, udah menyerah. 

"Oke. Tapi temenin ke pasar ya. Soalnya tadi tukang sayurnya nggak lewat" jawabku. Hayo? Pilih mana? Ke pasar, yang merupakan aktivitas paling ditolak suami, atau ngabuburit ke luar? Hihihi, aku ngikik di dalam hati. Satu kosong kau Mas. 

"Beli di warung kampung aja ya"
"Nggak lengkap sih Mas"
"Itu loh warung yang baru buka. Kayaknya lengkap" Warung ini berada di depan, warung langgananku.
"Adek nggak enak Mas sama bapaknya (warung lama)"
"Ya, ke warung lama dulu, pesen galon, dan kalau emang nggak lengkap sayurannya, kita ke warung baru" suamiku menjelaskan dengan begitu lembut. Kayaknya merayu biar aku setuju.
Aku diem. Entah bagaimana kemudian, percakapan ini meloncat. "Mas duitnya lebih nggak? Nanti beli Clean & Clear ya?"
"Ya, nanti diambilkan di ATM"
"Kita tidur dulu aja sekarang, nanti sore baru keluarnya" Aku bilang kayak gini kerna jam dua keluar rumah itu juga biasanya suamiku banyak alasan. Yang panaslah, maleslah, apalah dll. 
"Kenapa nggak sekarang sih? Nanti Mas males loh"
"Nanti aja nggak papa"

Kemudian kami tidur. 
Setelah bangun, kami salat ashar. 
Bener seperti dugaanku. Pas aku bilang, habis ini keluar kan? Suami menjawab "ya" dengan muka keberatan. 

Aku kemudian dandan. Dalam pikiranku, kami akan ke ATM, ke warung dengan skenario yang udah direncanakan, dan ke swalayan buat beli pencuci muka. Jalan-jalan sore yang asyik nih. Maka, aku memilih baju terusan warna putih yang jarang sekali kupakai. Ah, mumpung bulan Ramadhan, pakai baju kayak gini pasti oke oke aja. 

"Adek mau ke mana? Wong ke pasar kok pakai baju kayak gitu" komentar suami dengan nada yang meninggi. Daripada berdebat, aku memilih untuk ganti baju. 

Heran nih. Saat suamiku bilang kata pasar, di kepalaku kata itu berubah jadi kata belanja. Yes, dulu kami pernah ribut gara-gara aku ngajak belanja. Maksudku belanja itu ya membeli sayuran di warung. Kan konteksnya sayuran. Tapi bagi suamiku, belanja itu ya shopping-shopping ke mal atau swalayan. Beda jauh yah? 

"Ambil helm Dek" teriak suamiku dari halaman. Aku mikir, ngapain pakai helm? Kan cuma ke warung kampung sebelah, ATM dan swalayannya aja cuma di jalan raya dekat kampung. Ah, jangan-jangan suamiku mau ngasih kejutan. Hiks. Aku mulai berharap kalau dia bakal mengajakku ke suatu tempat buat buka puasa. Asyiiik. (Karena saking ngarepnya, aku sampai lupa kalau suamiku itu bukan tipe yang suka ngasih surprrise). 

"Nih helmnya. Adek nggak bawa dompet ya"
"Kenapa nggak bawa dompet?"
"Lah nggak ada duitnya"
"Ya nanti kan tak kasih!!" Hah?
Empat baris dialog ini bener-bener mengubah suasana hati. Cuma dompet aja bersitegang begini. Emang kenapa sih kalau aku nggak bawa dompet? Dia mau pakai ATM-ku? Kan ATM-ku kosong. Kalau masalah fungsinya dompet buat nyimpen duit, ini sakuku bener-bener longgar. Aku pakai gamis yang sakunya itu besar banget. Handphoneku aja masuk. Lagian, gantungan kunci rumahku kan ada dompetnya. Ah, bete, ribet, rese. Tapi begitu aku mengalah dan kembali masuk rumah untuk mengambil dompet.

Setelah aku menaiki motor, kami melewati warung kampung. Loh kok nggak berhenti? Ah, pasti ke warungnya nanti pas baliknya. Lalu kami sampai ATM. Loh kok mukanya suamiku masih garang? Pasti ini ada sesuatu yang salah. Nggak mungkin kan dengan muka kayak gitu, dia mau menyenangkan aku dengan ngasih kejutan. 
"Gimana kalau Adek beli Clean & Clear dulu ke dalam? Biar nggak bolak balik." Aku menunjuk ke arah dalam swalayan. Soalnya ATM yang kami datangi emang letaknya di halaman swalayan. Suamiku pun (masih dengan muka masam) mengulurkan uang 50 ribuan. 

Aku masuk. Saat mengelilingi tempat sabun-sabun, benda yang kucari nggak kelihatan. Otak emak-emakku kemudian aktif. Ah sekalian beli sabun cuci baju ah, tepung, minyak, dan masih banyak lagi deretan kebutuhan dapur yang emang sudah habis. Tapi kemudian aku melihat halaman: suamiku sedang menatapku dengan marah. Aku tahu, pasti dia malas menungguku. Maka, ide membeli macam-macam kebutuhan vital itu aku urungkan. Aku hanya membeli sabun dan tepung. Ternyata pencuci mukaku ada di dalam etalase depan. Maka aku buru-buru ke kasir. 
"Sama Clean & Clear ya Mbak"
"Itu ke etalase dulu Mbak" Duh, kenapa sih nggak diambilkan aja. 
Aku kembali lari ke etalase. Lagi-lagi aku melihat suamiku menatapku tidak suka. Gawat. pasti ini bakalan jadi bencana besar. Serius masih akan ada surprise? Nggak mungkin. 

"Yang mana Mbak"
"Clean & Clear, pencuci muka yang kuning ada? "
"Kosong Mbak"
"Kalau yang biru itu ..." kemudian pelayannya mengambilkan. Dia emang menyebalkan. Bisa-bisanya, langsung pergi begitu aja. Maka aku membawa benda itu ke kasir. Loh kok oil kontrol? Aku membaca sekilas benda itu. Curiga.
"Eh, ini pencuci muka po Mbak?" tanyaku ke kasir. 
"Lah, itu emang pencuci muka Mbak!" jawab si kasir dengan nada yang nggak suka. Tapi sialnya aku yo percaya. Kan kasir yang ngasih informasi. Masa bohong. Lagian, aku nggak punya waktu buat baca lebih lanjut. Noh, lihat di luar suamiku makin garang. Awalnya sih pengin aku cancel aja beli pencuci muka ini. Tapi kalau nggak jadi beli, pasti suamiku bakalan ngamuk. Pasti dia akan bilang, mana yang dibeli? Tujuannya aja beli pencuci muka, kenapa malah dapetnya tepung dll. Ah, membayangkan aja aku ngeri. Ya, sudahlah pikirku. Lagian pencuci muka yang ini murah. Ternyata cuma 7000an. 

Seperti yang kuduga. Sesampainya di parkiran motor, suamiku sama sekali nggak nyapa. Dia diem dengan ekspresi kayak mau makan orang.
"Mas kenapa sih?" tanyaku memberanikan diri, saat motornya melaju.
"Adek tu nggak jelas!!"
"Nggak jelas gimana?"
"Lah koe ngomongnya arep tuku opo?" Aku diem. "Tujuanmu ki opo? Arep tuku opo? Lah kok malah sembarang barang dituku kabeh?" Hah? Sembarang barang? Istilah yang sering digunakan suami untuk mengatakan bahwa semua barang. Padahal ini cuma tepung dan sabun pencuci baju. Sembarang barang? Kayak aku bawa troli aja, dikatain semua barang dibeli semua. Tapi aku cuma diem. Nggak ada gunanya menghalau gunung merapi yang lagi erupsi. Bisa-bisa malah dicaplok wedhus gembel. 

"Dirungokke oraaa!!" teriaknya di jalan. 
Maka mau nggak mau aku menjawab, "Ya tak rungokke. Maaf. Adek yang salah. Adek punya pikiran sendiri. Maaf". Saat bilang kayak gini, sebenernya aku pengin bilang "Maksudku ki sekalian masuk swalayan, dan emang aku butuh beli macam-macam. Emang kamu mau nemenin ke swalayan lagi? Nggak kan? Seorang istri itu urusannya kompleks, Mas. Ribetlah nggak apaapa. Asalkan semua bisa tertangani. Biar ngirit tenaga, nggak bolak balik", coba kalimat ini kulontarkan, pasti akan ada perang berjalan di lampu merah. Maka aku cuma diem. 

Motor terus melaju. Sekarang aku yakin sekali bahwa kejutan itu nggak mungkin akan ada. Ini pasti mau diantar ke pasar Giwangan. Haduh, aku menggenggam sisa uang pembelian tepung, sabun dan Clean & Clear. Mana cukup? Lagian aku juga bingung mau beli apa di pasar dengan uang yang nggak ada 50 ribu itu. 

Sesampainya di pasar, aku membeli ayam, tempe, dan kangkung. Sebenarnya pengin beli buah, tapi lagi-lagi aku melirik sisa uang yang mustahil buat membelinya. Aku takut mau minta lagi. Pasti nanti disemprot karena belanja yang katanya macem-macem tadi. Maka kuputuskan untuk kembali ke motor suami saja. "Udah?" Tanya suami. Ya pasti dia heranlah, kalau seseorang seperti aku turun ke pasar cuma menghabiskan waktu 5 menit. 

"Sebenarnya pengin beli yang seger-seger. Tapi, uangnya nggak cukup"
"Lah nggak minta kok" jawab suamiku dengan nada jengkel. Tapi kemudian mengulurkan dua lembar 50ribuan ke arahku. "Nih" Dan akhirnya aku tetap nggak beli buah. Bukan karena nggak cukup. Tapi lebih karena aku udah males. Jadi beli cincau aja deh.

Dalam perjalanan pulang, aku bertanya-tanya dalam hati. Kenapa sih aku selalu terjatuh dari ekspektasi konyol tentang kejutan? Kenapa sih aktivitas belanja selalu bikin ribut? Kenapa sih, kenapa? Capek tahu bersitegang nggak jelas. Padahal, melihat pasar yang berubah banyak, ada beberapa yang pengin aku ceritakan. Kami sudah lama sekali nggak ke pasar. Alasannya sama. Suami paling malas mengantar ke pasar. Sedangkan aku nggak punya kendaraan sendiri buat menuju pasar. Masa mau pakai motor suami yang gede dan model cowok gitu. Mendingan enggak.

"Nanti berhenti ke warung kan ... pesen galon" tanyaku.
"Ya"
"Nanti Adek mau sekalian beli minyak, gula pasir, cabe, susu, santan, dan terasi. Maaf ya kalau lama" Aku sengaja menyebutkan semua kebutuhan itu dengan jelas. Biar dia tahu, bahwa masa iya setiap belanja harus mengatakan semuanya di depan. Kalau aku cuma bilang mau beli galon, dan ternyata bawa minyak goreng dan kawan-kawannya pasti dia marah. Saklek. Bilang beli itu ya itu. Nggak boleh melipir. Padahal, kadang kan nggak semua kebutuhan diingat di depan. Kadang karena lihat, kemudian jadi inget. Kayak gitu aja bikin jadi masalah huffft. 

Dengan kasus hari ini, aku jadi mikir bahwa komunikasi itu sangat penting. Tanpa hati-hati, kita akan tergelincir pada kesalahpahaman. Apalagi kalau setiap masalah nggak diselesaikan dengan pikiran dingin. Iya kan? Ini sebenarnya cuma salah paham. Coba kalau semuanya jelas, ya nggak bakalan ada pertengkaran.  (Ih, serasa lagi menasihati diri sendiri). Noh, diomongin Tik. Jangan cuma ditulis. Dan aku menjawab, "Males ribut tauk. Lagian dia juga nggak bakal baca Blog-ku hehehe"

Sesampainya di rumah, aku membuka hasil belanjaanku. Clean& Clear menjadi tujuan utamaku. Cuci muka dulu ah, biar fresh. Tapi, pas kubaca ternyata ini memang bukan pencuci muka. Aaaaaaaarrrrrggggghhhhh. 

Penginnya sih aku kembali ke swalayan, dan memaki-maki Mbak kasirnya. Tapi ini kesalahanku juga. Kenapa nggak baca. Kenapa asal beli. Sedang jawabannya adalah karena aku terburu-buru ketika melihat tampang suamiku yang serem. Mau nyalahin suami? Nggak mungkin. Ini juga salahku. Kenapa nggak fokus buat cuma beli Clean & Clear aja. Coba fokus, pasti nggak bakal salah beli. 

Dan aku menyimpan perasaan dongkol ini tanpa diketahui suami. Nggak. Nggak mungkin aku cerita. Perang udah rampung. Ngapain menyalakan ujung selang gas dengan api. Ya, bakal meledaklah. Aku benaran capek menghadapi sesuatu yang selalu panas. Capek. Meskipun sebenarnya aku pengin banget cerita. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Di rumah terus itu membosankan. Tapi selalu bepergian juga ternyata melelahkan. Pernah nggak sih ngalami dua hal itu? 

Aku sering hahaha. 

Kesannya serba salah. Di rumah bosan, diajak pergi melulu ya capek. Terus maunya kayak gimana? (Embuh)

Seminggu yang lalu, aku bahkan banyak protes (entah pada siapa) tentang kondisi (hati) yang kurang menyenangkan ini. Rasanya bete, bosen, sepi, nggak ada yang asyik, uring-uringan dan bla-bla-bla lainnya. Suami sampai bilang "Bosan kenapa sih? Kan Adik tak ajak pergi terus?" Ya, selama aku banyak ngeluh karena bosan di rumah, dia memang selalu ngajak keluar ke mana pun dia pergi. Pokoknya, di mana ada dia, selalu ada aku juga di sana hihihi (aktivitas ngintil). 

Padahal udah dituruti semua, tapi kenapa aku masih merasa bosan? Apa sih sebenarnya yang dibutuhkan? Di rumah bosan, keluar melulu juga bosan. Bahkan berduaan sama suami aja aku masih merasa sepi, dan ujungnya ngajak pergi. Sumpah deh, boseeen banget. Makanya, mungkin beberapa temen banyak yang merasa aneh karena tiba-tiba aku pengin deket-deket sama mereka. Alasannya klise: "Aku butuh ngobrol nih". Tapi obrolan yang kayak apa sih? Tiap hari kan ada suami dan ketemu sama orang lain, terus kenapa masih pilih-pilih temen untuk ngobrol?

Yes, setelah aku pikir-pikir ternyata aku hanya butuh sesuatu yang menyegarkan. Obrolan segar. Obrolan yang asyik tapi ada inputnya buat otak. 

Dulu, aktivitas itu sering aku lakukan di kedai susu atau tempat makan salad buah dengan seorang teman. Ngobrolnya sih ngalor ngidul, tapi sepulangnya aku merasa ada sesuatu yang nyantel di otak. Sebuah wacana yang patut aku renungkan. Selain sama dia, ada juga yang lain-lainnya. Sama mantan atasan misalnya. Dulu, tiap hari selalu ketemu tapi ada aja obrolan segar yang bikin hidupku lebih updet. Bahkan, sama suami sendiri sebenarnya juga pernah terbangun obrolan asyik yang ada intinya. Tapi ... entah kenapa, sekarang-sekarang ini kami lebih betah berduaan tanpa ngobrol karena ada pihak ke tiga, yaitu gadget. 

Setelah jarang berhubungan dengan teman-teman lama, teman-teman baru pun datang. Biasanya yang asyik itu kalau ngobrol panjang lebar, ngebahas ini itu sampai kami lupa waktu. Dan, kalau sudah begitu, aku pasti ketagihan untuk kembali bertemu. Tapi entah karena kesibukan mengurus rumah tangga masing-masing, atau kapok ngobrol sama aku, aktivitas itu pun nggak selalu ada ketika aku butuh. (Enak men, datang pas butuh doang hahaha)

Ya karena keterbatasan itulah, kemudian aku jadi merasa bahwa hidup ini datar sekali. Nggak ada gairah, ambisi, rencana masa depan, atau mimpi-mimpi yang indah. Hidup kok cuma numpang ngopi, tidur, dan ngopi lagi. Bagi orang awam seperti aku, ini sederhana sekali. (Plis, nggak usah ceramah bahwa gue kurang bersyukur. Tiap manusia pasti pernah berada di titik di mana ia merasa tidak puas dengan apa yang ada sekarang. Apapun itu, dari banyak segi. Ngaku nggak?)

Sebenarnya, sewaktu aku merasa tidak puas dengan kehidupan ini (jiaaah serius amat), aku sadar bahwa aku sangat egois. Nggak egois bagaimana kalau aku berharap bahwa harus ada yang bergerak menyembuhkan perasaan labilku. Kenapa bukan aku yang bergerak? Kenapa harus pihak lain yang melakukannya untukku? Sederhananya begini : aku lapar lalu berharap orang lain yang mengantarkan makanan kepadaku (warung makan kali, bisa ngantar makanan). Pertanyaannya, kenapa bukan aku yang mencari makanan supaya perutku kenyang? Ya sama aja. Aku butuh otak yang segar, kenapa tidak berusaha mencari? Bukannya menyalahkan orang-orang di sekitar yang nggak bisa ngasih sesuatu yang menyegarkan. 

Tapi, aku pikir-pikir lagi. Ketika aku harus mencari sesuatu yang tidak ada di diri seseorang, lalu beranjak pergi ke tempat lain, apakah itu bijak? Aku bosan dengan si anu, kemudian meninggalkannya dan mencari si ini yang bisa ngasih apa yang aku butuhkan, bolehkah seperti itu? 

Cukup lama aku memikirkan ini. 
Aku scrooling Timeline, buka-buka Instagram, baca-baca di Wattpad dll. Sampai akhirnya aku baca-baca media online, blogwalking, dan terus membaca. Kebanyakan nulis bikin aku lupa, bahwa membaca adalah penyembuh bagi otak yang kurang updet. Yes, aku hanya butuh membaca, dan ngobrol dengan siapa saja. 

Mungkin begitu kali ya, setiap gelisah, lahaplah buku atau bacaan yang keren. Itu lebih simple dan nggak banyak ngrepotin orang. 

Ngomong panjang lebar begini, jangan -jangan intinya adalah aku cuma lagi PMS (Pengin Makan Sambal)
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pernah nggak sih mengalami perasaan jijik yang iyehhh banget pas melihat lemari pakaianmu dipenuhi jamur?

Saya pernah. 

Baru beberapa bulan dibeli, lemari kayu saya sudah dipenuhi jamur. Antara jijik, jengkel, ada juga rasa menyesal karena nggak percaya sama suami sendiri. Coba nggak beli lemari serbuk kayu, kejadiannya pasti nggak bakal kayak gini. 
"Salahnya Adik sih, nggak mau dengerin pendapat Mas" begitu kata suami. 

Dia memang sempat nggak setuju saya beli lemari kayu di toko furniture. Penginnya dia, kami mendesain lemari sendiri, lalu membawa desain tersebut ke tukang kayu. Selain bakal awet, kan desainnya sesuai dengan keinginan hati. Tapi saya menolak. Ribet dan lama jawab saya waktu itu. (Sebenernya, kalau tahu bakal berjamur begini, sumpah deh, saya mendingan ribet di awal tapi nggak repot di kemudian hari).

Tapi kan semuanya sudah telanjur. 
Nggak mungkin juga, kejadian beberapa bulan lalu bisa dicancel. Pada akhirnya, SEKARANG kami tetap harus menghadapi jamur-jamur yang menggila ini. 

Awalnya, saya pikir jamur-jamur tersebut tumbuh akibat dinding kamar yang lembap. Pasalnya, letak lemari kami memang tepat di samping kamar mandi. Maka, dengan teori seadanya, saya membeli plastik untuk menutupi bagian belakang lemari. Setelah dipasang, kami memberi jeda antara lemari dan dinding kamar. Tapi hasilnya sama saja. Jamur yang sempat saya hilangkan dengan kapas, kembali tumbuh subur. 

Lalu, teori kedua pun muncul di kepala saya: bagaimana kalau memindah posisi lemari? Dengan posisi yang tidak berdekatan dengan kamar mandi, pasti jamur-jamur tidak akan hidup. Tapiii, setelah beberapa hari dipindah, nyatanya teori ini pun gugur. 

Maka, dengan semangat bahwa Einsten saja butuh ratusan kali gagal untuk mencapai keberhasilan, maka saya kembali 'menggusruk' jamur-jamur sialan tersebut dengan minyak kayu putih. Ya, minyak kayu putih. Melihat aksi saya, suami cuma bilang "Emang lemarinya masuk angin, digosok pakai minyak kayu putih?" Hah? Asem!

Selang beberapa hari, ternyata minyak kayu putih ini memang nggak mempan sama sekali menghalangi kehidupan para jamur. Apakah ini artinya kami harus berdamai dengan mereka? Oh nooooo!

Melihat saya frustrasi, suami akhirnya menyarankan untuk membeli alkohol. Dia bilang sudah browsing di internet tentang cara mengatasi jamur kayu serbuk. Ya, pakai alkohol. Saya pun menurut.

"Mabok dan mampuslah kau heii jamur-jamur" batin saya ketika mengusapkan alkohol 75% ke lemari pakaian yang dipenuhi jamur. Meski nggak yakin, tapi saya tetap berharap hasilnya akan berbeda dengan teori teori saya sebelumnya. 

Daaan, yaaaah. Alkohol 75% pun rupanya masih mental bagi jamur-jamur ini. 
Teman saya kemudian menyarankan untuk memakai AC di dalam kamar, "Full AC 24 jam aja" katanya. Apa? AC? Bisa saya yang perlu digosok pakai minyak angin dong tiap hari. Bukan ide yang brilian. 

Lalu suami berkata "Coba pakai alkohol yang 90%". 
Duh, alkohol lagi? Nggak ada cara selain alkohol ya? Kan pakai alkohol sudah gagal, masa mau mengulangi kegagalan dengan teori yang sama. 

Tapi suami bersikeras untuk mencoba teorinya itu (Ralat, teori yang diadopsi dari teori orang lain). Karena saya malas, maka saya menyerahkan sepenuhnya pada dia. Mulai dari beli alkohol 90% sampai dengan menggosok lemari  berjamur itu. 

Hasilnya?
Huwaaaa amazing ... jamur-jamur tersebut minggat dan tidak kembali muncul setelah hampir sebulan ini. Saya enggak ngerti, apakah ini efek alkohol 90% atau tangan suami saya yang ampuh. Tapi, saya bener-bener perlu berterima kasih sama dia. 

Jadi, buat kamu yang lagi frustrasi dengan jamur-jamur di lemari serbuk kayu, coba deh pakai alkohol 90%. Selamat mencoba. 

Pliss, jangan pernah membayangkan jamurnya segede ini. Kalau segede ini sih, bisa saya masak. 


Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Babymoon di Gallery Prawirotaman Hotel?
  • Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan
  • Tiga Nama Palupi yang Kece Badai dalam Hidupku

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ▼  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ▼  June (5)
      • Jadwal Operasi yang Tertukar
      • Perempuan vs Lak-laki
      • Bukan Fragmen Kesalahpahaman
      • Ketika Otak juga Butuh Lalapan
      • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates