Skip to main content

Bukan Fragmen Kesalahpahaman

"Ngabuburit ke mana yah?" tanya suamiku sambil senyam senyum. Aku awalnya diem, soalnya tahu sebenarnya kalimat itu hanya ledekan. Ia tidak serius. Ia hanya memancingku supaya merengek-rengek minta keluar. 

Tapi akhirnya aku tertarik mengikuti alur permainannya, "Ke mana yah?" jawabku, berekspresi sok mikir. 

"Nggak ah, Mas pengin buka di rumah aja" Kan lihat? Sudah kuduga. Ini cuma permainan. Belum aja klimaks, udah menyerah. 

"Oke. Tapi temenin ke pasar ya. Soalnya tadi tukang sayurnya nggak lewat" jawabku. Hayo? Pilih mana? Ke pasar, yang merupakan aktivitas paling ditolak suami, atau ngabuburit ke luar? Hihihi, aku ngikik di dalam hati. Satu kosong kau Mas. 

"Beli di warung kampung aja ya"
"Nggak lengkap sih Mas"
"Itu loh warung yang baru buka. Kayaknya lengkap" Warung ini berada di depan, warung langgananku.
"Adek nggak enak Mas sama bapaknya (warung lama)"
"Ya, ke warung lama dulu, pesen galon, dan kalau emang nggak lengkap sayurannya, kita ke warung baru" suamiku menjelaskan dengan begitu lembut. Kayaknya merayu biar aku setuju.
Aku diem. Entah bagaimana kemudian, percakapan ini meloncat. "Mas duitnya lebih nggak? Nanti beli Clean & Clear ya?"
"Ya, nanti diambilkan di ATM"
"Kita tidur dulu aja sekarang, nanti sore baru keluarnya" Aku bilang kayak gini kerna jam dua keluar rumah itu juga biasanya suamiku banyak alasan. Yang panaslah, maleslah, apalah dll. 
"Kenapa nggak sekarang sih? Nanti Mas males loh"
"Nanti aja nggak papa"

Kemudian kami tidur. 
Setelah bangun, kami salat ashar. 
Bener seperti dugaanku. Pas aku bilang, habis ini keluar kan? Suami menjawab "ya" dengan muka keberatan. 

Aku kemudian dandan. Dalam pikiranku, kami akan ke ATM, ke warung dengan skenario yang udah direncanakan, dan ke swalayan buat beli pencuci muka. Jalan-jalan sore yang asyik nih. Maka, aku memilih baju terusan warna putih yang jarang sekali kupakai. Ah, mumpung bulan Ramadhan, pakai baju kayak gini pasti oke oke aja. 

"Adek mau ke mana? Wong ke pasar kok pakai baju kayak gitu" komentar suami dengan nada yang meninggi. Daripada berdebat, aku memilih untuk ganti baju. 

Heran nih. Saat suamiku bilang kata pasar, di kepalaku kata itu berubah jadi kata belanja. Yes, dulu kami pernah ribut gara-gara aku ngajak belanja. Maksudku belanja itu ya membeli sayuran di warung. Kan konteksnya sayuran. Tapi bagi suamiku, belanja itu ya shopping-shopping ke mal atau swalayan. Beda jauh yah? 

"Ambil helm Dek" teriak suamiku dari halaman. Aku mikir, ngapain pakai helm? Kan cuma ke warung kampung sebelah, ATM dan swalayannya aja cuma di jalan raya dekat kampung. Ah, jangan-jangan suamiku mau ngasih kejutan. Hiks. Aku mulai berharap kalau dia bakal mengajakku ke suatu tempat buat buka puasa. Asyiiik. (Karena saking ngarepnya, aku sampai lupa kalau suamiku itu bukan tipe yang suka ngasih surprrise). 

"Nih helmnya. Adek nggak bawa dompet ya"
"Kenapa nggak bawa dompet?"
"Lah nggak ada duitnya"
"Ya nanti kan tak kasih!!" Hah?
Empat baris dialog ini bener-bener mengubah suasana hati. Cuma dompet aja bersitegang begini. Emang kenapa sih kalau aku nggak bawa dompet? Dia mau pakai ATM-ku? Kan ATM-ku kosong. Kalau masalah fungsinya dompet buat nyimpen duit, ini sakuku bener-bener longgar. Aku pakai gamis yang sakunya itu besar banget. Handphoneku aja masuk. Lagian, gantungan kunci rumahku kan ada dompetnya. Ah, bete, ribet, rese. Tapi begitu aku mengalah dan kembali masuk rumah untuk mengambil dompet.

Setelah aku menaiki motor, kami melewati warung kampung. Loh kok nggak berhenti? Ah, pasti ke warungnya nanti pas baliknya. Lalu kami sampai ATM. Loh kok mukanya suamiku masih garang? Pasti ini ada sesuatu yang salah. Nggak mungkin kan dengan muka kayak gitu, dia mau menyenangkan aku dengan ngasih kejutan. 
"Gimana kalau Adek beli Clean & Clear dulu ke dalam? Biar nggak bolak balik." Aku menunjuk ke arah dalam swalayan. Soalnya ATM yang kami datangi emang letaknya di halaman swalayan. Suamiku pun (masih dengan muka masam) mengulurkan uang 50 ribuan. 

Aku masuk. Saat mengelilingi tempat sabun-sabun, benda yang kucari nggak kelihatan. Otak emak-emakku kemudian aktif. Ah sekalian beli sabun cuci baju ah, tepung, minyak, dan masih banyak lagi deretan kebutuhan dapur yang emang sudah habis. Tapi kemudian aku melihat halaman: suamiku sedang menatapku dengan marah. Aku tahu, pasti dia malas menungguku. Maka, ide membeli macam-macam kebutuhan vital itu aku urungkan. Aku hanya membeli sabun dan tepung. Ternyata pencuci mukaku ada di dalam etalase depan. Maka aku buru-buru ke kasir. 
"Sama Clean & Clear ya Mbak"
"Itu ke etalase dulu Mbak" Duh, kenapa sih nggak diambilkan aja. 
Aku kembali lari ke etalase. Lagi-lagi aku melihat suamiku menatapku tidak suka. Gawat. pasti ini bakalan jadi bencana besar. Serius masih akan ada surprise? Nggak mungkin. 

"Yang mana Mbak"
"Clean & Clear, pencuci muka yang kuning ada? "
"Kosong Mbak"
"Kalau yang biru itu ..." kemudian pelayannya mengambilkan. Dia emang menyebalkan. Bisa-bisanya, langsung pergi begitu aja. Maka aku membawa benda itu ke kasir. Loh kok oil kontrol? Aku membaca sekilas benda itu. Curiga.
"Eh, ini pencuci muka po Mbak?" tanyaku ke kasir. 
"Lah, itu emang pencuci muka Mbak!" jawab si kasir dengan nada yang nggak suka. Tapi sialnya aku yo percaya. Kan kasir yang ngasih informasi. Masa bohong. Lagian, aku nggak punya waktu buat baca lebih lanjut. Noh, lihat di luar suamiku makin garang. Awalnya sih pengin aku cancel aja beli pencuci muka ini. Tapi kalau nggak jadi beli, pasti suamiku bakalan ngamuk. Pasti dia akan bilang, mana yang dibeli? Tujuannya aja beli pencuci muka, kenapa malah dapetnya tepung dll. Ah, membayangkan aja aku ngeri. Ya, sudahlah pikirku. Lagian pencuci muka yang ini murah. Ternyata cuma 7000an. 

Seperti yang kuduga. Sesampainya di parkiran motor, suamiku sama sekali nggak nyapa. Dia diem dengan ekspresi kayak mau makan orang.
"Mas kenapa sih?" tanyaku memberanikan diri, saat motornya melaju.
"Adek tu nggak jelas!!"
"Nggak jelas gimana?"
"Lah koe ngomongnya arep tuku opo?" Aku diem. "Tujuanmu ki opo? Arep tuku opo? Lah kok malah sembarang barang dituku kabeh?" Hah? Sembarang barang? Istilah yang sering digunakan suami untuk mengatakan bahwa semua barang. Padahal ini cuma tepung dan sabun pencuci baju. Sembarang barang? Kayak aku bawa troli aja, dikatain semua barang dibeli semua. Tapi aku cuma diem. Nggak ada gunanya menghalau gunung merapi yang lagi erupsi. Bisa-bisa malah dicaplok wedhus gembel. 

"Dirungokke oraaa!!" teriaknya di jalan. 
Maka mau nggak mau aku menjawab, "Ya tak rungokke. Maaf. Adek yang salah. Adek punya pikiran sendiri. Maaf". Saat bilang kayak gini, sebenernya aku pengin bilang "Maksudku ki sekalian masuk swalayan, dan emang aku butuh beli macam-macam. Emang kamu mau nemenin ke swalayan lagi? Nggak kan? Seorang istri itu urusannya kompleks, Mas. Ribetlah nggak apaapa. Asalkan semua bisa tertangani. Biar ngirit tenaga, nggak bolak balik", coba kalimat ini kulontarkan, pasti akan ada perang berjalan di lampu merah. Maka aku cuma diem. 

Motor terus melaju. Sekarang aku yakin sekali bahwa kejutan itu nggak mungkin akan ada. Ini pasti mau diantar ke pasar Giwangan. Haduh, aku menggenggam sisa uang pembelian tepung, sabun dan Clean & Clear. Mana cukup? Lagian aku juga bingung mau beli apa di pasar dengan uang yang nggak ada 50 ribu itu. 

Sesampainya di pasar, aku membeli ayam, tempe, dan kangkung. Sebenarnya pengin beli buah, tapi lagi-lagi aku melirik sisa uang yang mustahil buat membelinya. Aku takut mau minta lagi. Pasti nanti disemprot karena belanja yang katanya macem-macem tadi. Maka kuputuskan untuk kembali ke motor suami saja. "Udah?" Tanya suami. Ya pasti dia heranlah, kalau seseorang seperti aku turun ke pasar cuma menghabiskan waktu 5 menit. 

"Sebenarnya pengin beli yang seger-seger. Tapi, uangnya nggak cukup"
"Lah nggak minta kok" jawab suamiku dengan nada jengkel. Tapi kemudian mengulurkan dua lembar 50ribuan ke arahku. "Nih" Dan akhirnya aku tetap nggak beli buah. Bukan karena nggak cukup. Tapi lebih karena aku udah males. Jadi beli cincau aja deh.

Dalam perjalanan pulang, aku bertanya-tanya dalam hati. Kenapa sih aku selalu terjatuh dari ekspektasi konyol tentang kejutan? Kenapa sih aktivitas belanja selalu bikin ribut? Kenapa sih, kenapa? Capek tahu bersitegang nggak jelas. Padahal, melihat pasar yang berubah banyak, ada beberapa yang pengin aku ceritakan. Kami sudah lama sekali nggak ke pasar. Alasannya sama. Suami paling malas mengantar ke pasar. Sedangkan aku nggak punya kendaraan sendiri buat menuju pasar. Masa mau pakai motor suami yang gede dan model cowok gitu. Mendingan enggak.

"Nanti berhenti ke warung kan ... pesen galon" tanyaku.
"Ya"
"Nanti Adek mau sekalian beli minyak, gula pasir, cabe, susu, santan, dan terasi. Maaf ya kalau lama" Aku sengaja menyebutkan semua kebutuhan itu dengan jelas. Biar dia tahu, bahwa masa iya setiap belanja harus mengatakan semuanya di depan. Kalau aku cuma bilang mau beli galon, dan ternyata bawa minyak goreng dan kawan-kawannya pasti dia marah. Saklek. Bilang beli itu ya itu. Nggak boleh melipir. Padahal, kadang kan nggak semua kebutuhan diingat di depan. Kadang karena lihat, kemudian jadi inget. Kayak gitu aja bikin jadi masalah huffft. 

Dengan kasus hari ini, aku jadi mikir bahwa komunikasi itu sangat penting. Tanpa hati-hati, kita akan tergelincir pada kesalahpahaman. Apalagi kalau setiap masalah nggak diselesaikan dengan pikiran dingin. Iya kan? Ini sebenarnya cuma salah paham. Coba kalau semuanya jelas, ya nggak bakalan ada pertengkaran.  (Ih, serasa lagi menasihati diri sendiri). Noh, diomongin Tik. Jangan cuma ditulis. Dan aku menjawab, "Males ribut tauk. Lagian dia juga nggak bakal baca Blog-ku hehehe"

Sesampainya di rumah, aku membuka hasil belanjaanku. Clean& Clear menjadi tujuan utamaku. Cuci muka dulu ah, biar fresh. Tapi, pas kubaca ternyata ini memang bukan pencuci muka. Aaaaaaaarrrrrggggghhhhh. 

Penginnya sih aku kembali ke swalayan, dan memaki-maki Mbak kasirnya. Tapi ini kesalahanku juga. Kenapa nggak baca. Kenapa asal beli. Sedang jawabannya adalah karena aku terburu-buru ketika melihat tampang suamiku yang serem. Mau nyalahin suami? Nggak mungkin. Ini juga salahku. Kenapa nggak fokus buat cuma beli Clean & Clear aja. Coba fokus, pasti nggak bakal salah beli. 

Dan aku menyimpan perasaan dongkol ini tanpa diketahui suami. Nggak. Nggak mungkin aku cerita. Perang udah rampung. Ngapain menyalakan ujung selang gas dengan api. Ya, bakal meledaklah. Aku benaran capek menghadapi sesuatu yang selalu panas. Capek. Meskipun sebenarnya aku pengin banget cerita. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk