Skip to main content

Ketika Otak juga Butuh Lalapan

Di rumah terus itu membosankan. Tapi selalu bepergian juga ternyata melelahkan. Pernah nggak sih ngalami dua hal itu? 

Aku sering hahaha. 

Kesannya serba salah. Di rumah bosan, diajak pergi melulu ya capek. Terus maunya kayak gimana? (Embuh)

Seminggu yang lalu, aku bahkan banyak protes (entah pada siapa) tentang kondisi (hati) yang kurang menyenangkan ini. Rasanya bete, bosen, sepi, nggak ada yang asyik, uring-uringan dan bla-bla-bla lainnya. Suami sampai bilang "Bosan kenapa sih? Kan Adik tak ajak pergi terus?" Ya, selama aku banyak ngeluh karena bosan di rumah, dia memang selalu ngajak keluar ke mana pun dia pergi. Pokoknya, di mana ada dia, selalu ada aku juga di sana hihihi (aktivitas ngintil). 

Padahal udah dituruti semua, tapi kenapa aku masih merasa bosan? Apa sih sebenarnya yang dibutuhkan? Di rumah bosan, keluar melulu juga bosan. Bahkan berduaan sama suami aja aku masih merasa sepi, dan ujungnya ngajak pergi. Sumpah deh, boseeen banget. Makanya, mungkin beberapa temen banyak yang merasa aneh karena tiba-tiba aku pengin deket-deket sama mereka. Alasannya klise: "Aku butuh ngobrol nih". Tapi obrolan yang kayak apa sih? Tiap hari kan ada suami dan ketemu sama orang lain, terus kenapa masih pilih-pilih temen untuk ngobrol?

Yes, setelah aku pikir-pikir ternyata aku hanya butuh sesuatu yang menyegarkan. Obrolan segar. Obrolan yang asyik tapi ada inputnya buat otak. 

Dulu, aktivitas itu sering aku lakukan di kedai susu atau tempat makan salad buah dengan seorang teman. Ngobrolnya sih ngalor ngidul, tapi sepulangnya aku merasa ada sesuatu yang nyantel di otak. Sebuah wacana yang patut aku renungkan. Selain sama dia, ada juga yang lain-lainnya. Sama mantan atasan misalnya. Dulu, tiap hari selalu ketemu tapi ada aja obrolan segar yang bikin hidupku lebih updet. Bahkan, sama suami sendiri sebenarnya juga pernah terbangun obrolan asyik yang ada intinya. Tapi ... entah kenapa, sekarang-sekarang ini kami lebih betah berduaan tanpa ngobrol karena ada pihak ke tiga, yaitu gadget. 

Setelah jarang berhubungan dengan teman-teman lama, teman-teman baru pun datang. Biasanya yang asyik itu kalau ngobrol panjang lebar, ngebahas ini itu sampai kami lupa waktu. Dan, kalau sudah begitu, aku pasti ketagihan untuk kembali bertemu. Tapi entah karena kesibukan mengurus rumah tangga masing-masing, atau kapok ngobrol sama aku, aktivitas itu pun nggak selalu ada ketika aku butuh. (Enak men, datang pas butuh doang hahaha)

Ya karena keterbatasan itulah, kemudian aku jadi merasa bahwa hidup ini datar sekali. Nggak ada gairah, ambisi, rencana masa depan, atau mimpi-mimpi yang indah. Hidup kok cuma numpang ngopi, tidur, dan ngopi lagi. Bagi orang awam seperti aku, ini sederhana sekali. (Plis, nggak usah ceramah bahwa gue kurang bersyukur. Tiap manusia pasti pernah berada di titik di mana ia merasa tidak puas dengan apa yang ada sekarang. Apapun itu, dari banyak segi. Ngaku nggak?)

Sebenarnya, sewaktu aku merasa tidak puas dengan kehidupan ini (jiaaah serius amat), aku sadar bahwa aku sangat egois. Nggak egois bagaimana kalau aku berharap bahwa harus ada yang bergerak menyembuhkan perasaan labilku. Kenapa bukan aku yang bergerak? Kenapa harus pihak lain yang melakukannya untukku? Sederhananya begini : aku lapar lalu berharap orang lain yang mengantarkan makanan kepadaku (warung makan kali, bisa ngantar makanan). Pertanyaannya, kenapa bukan aku yang mencari makanan supaya perutku kenyang? Ya sama aja. Aku butuh otak yang segar, kenapa tidak berusaha mencari? Bukannya menyalahkan orang-orang di sekitar yang nggak bisa ngasih sesuatu yang menyegarkan. 

Tapi, aku pikir-pikir lagi. Ketika aku harus mencari sesuatu yang tidak ada di diri seseorang, lalu beranjak pergi ke tempat lain, apakah itu bijak? Aku bosan dengan si anu, kemudian meninggalkannya dan mencari si ini yang bisa ngasih apa yang aku butuhkan, bolehkah seperti itu? 

Cukup lama aku memikirkan ini. 
Aku scrooling Timeline, buka-buka Instagram, baca-baca di Wattpad dll. Sampai akhirnya aku baca-baca media online, blogwalking, dan terus membaca. Kebanyakan nulis bikin aku lupa, bahwa membaca adalah penyembuh bagi otak yang kurang updet. Yes, aku hanya butuh membaca, dan ngobrol dengan siapa saja. 

Mungkin begitu kali ya, setiap gelisah, lahaplah buku atau bacaan yang keren. Itu lebih simple dan nggak banyak ngrepotin orang. 

Ngomong panjang lebar begini, jangan -jangan intinya adalah aku cuma lagi PMS (Pengin Makan Sambal)

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk