Skip to main content

Perempuan vs Lak-laki

"Sejak menikah, Mas baru satu kali beli sandal loh" Kata suamiku. Dari kalimat tersebut, tersirat sekali kalau dia lagi nyindir aku yang bolak balik beli sandal. Ya, usia perkawinan kami memang sudah melangkah ke tiga tahun, jadi jangan tanyakan berapa banyak sandal yang sudah kubeli dan keberadaannya sekarang entah di mana. Sedangkan suamiku, ia hanya memiliki satu sandal main dan satu sandal untuk acara-acara formal. 

Apakah itu wajar? Bagiku iya. 

Pembelaanku sebagai perempuan adalah: 
Perempuan terkhusus itu nggak cukup punya satu sandal atau dua sandal. Aku sendiri butuh sandal untuk ke resepsi, ke acara formal, main, hangout dll. 

Saat ke resepsi, biasanya aku memakai wedges karena gaunku yang panjang. Wedges itu pun kadang-kadang kupakai ke acara-acara tertentu. Tapi kan nggak mungkin banget aku hangout ke mal, atau ke pantai pakai sandal tinggi, bukan? Nggak nyaman banget keles. 

Makanya untuk main ke tempat-tempat tertentu, aku membutuhkan sandal yang semi formal. Juga nggak banget kan, kalau aku ke mal pakai sandal jepit 'Swalow', meskipun ya pernah juga kulakukan karena terpaksa. Atau, aku ke resepsi pakai sadal jepit dengan gaun panjang? Oh no. Sandal jepit begitu, biasanya sangat kubutuhkan ketika ke warung, pasar, atau mengunjungi tetangga. Jangan bayangkan, aku ke pasar tradisional dengan menggunakan sandal hak tinggi ya? Itu bakal diketawainlah. Kecuali emang karena mampir dari pulang ke mana gitu. 

Sedangkan laki-laki. Sebenarnya satu sandal saja cukup kok. Misalnya sandal yang semi formal. Mau ke resepsi, acara formal, atau main, sandal macam apapun oke-oke aja sih. Kecuali kalau dia hanya memiliki satu sandal jepit loh, ya perlu dipertimbangin kalau mau ke resepsi atau acara formal (Yang tinggal di kota). 

Jadi tahu kan bedanya? 

Ini memang hanya pembelaan personal sih. Tapi cobalah dilogika. Jangan banyak protes kalau tahu perempuan punya banyak koleksi sandal. Bahkan ada loh, yang setiap warna baju memiliki sandalnya sendiri-sendiri. Tapi coba bayangkan, kalau laki-laki meniru gaya kami. Ketika pakai baju kuning, si laki-laki itu memakai sandal kuning. Pakai baju pink, sandalnya juga pink. Begitu pun warna-warna yang lain. Ih, karena nggak umumnya gitu, jadi ya aku sendiri merasa aneh. 

Tapi tolong deh, jangan banyak protes atau nyinyir dengan kebiasaan yang sudah kadung dianggap wajar ini sama perempuan terkhusus. Aku sendiri, merasa bahwa membeli sandal itu kebutuhan karena mempertimbangkan fungsinya. 

Aku butuh sandal jepit karena berfungsi ketika ke kamar mandi, pasar, atau ke warung. Aku beli sandal gunung, karena fungsinya yang nggak mungkin pakai sandal tinggi di dataran tinggi. Dan sebagainya. 

Kalau mau iri-irian, sana deh beli wedges buat lari maraton di pegunungan. Nyuksep iya deh. 

Kalau soal kenapa bolak balik beli sandal dan rusak. Alasanku pribadi karena memang belinya yang murahan. Aku sadar kalau perempuan terkhusus butuh banyak sandal yang disesuaikan untuk beberapa kebutuhan. Makanya daripada tambah dikomentarin macem-macem, aku belinya yang murahan. Kalau ternyata belum mencapai satu tahun udah jebol, masa aku harus nyalahin sandalnya, penjualnya, atau dompet yang nggak mampu mencukupi harga tinggi sepasang sandal?

Plis deh. 

Tapi, sebenarnya aku pernah loh, kemana mana cuma pakai sandal jepit warna ungu. Pakai baju warna merah, kuning, hijau, biru atau apapun, sandalnya tetep warna ungu. Ke mal, ke kantor suami, main, ngopi, dll yang semi formal, pakainya tetep sandal jepit. Untung aja sih, aku nggak nekat ke resepsi pakai sandal jepit. Kalau sampai nekat, kan nggak cuma aku yang malu, tapi juga suamiku yang kesannya nggak mampu beliin aku sandal. Iya kan? (Eh, ralat. Suamiku sih nggak bakal malu. Lah dia sendiri nggak tahu kok, apakah penting kalau setiap sandal perempuan itu harus disesuaikan menurut fungsinya. Dia sih cuek cuek aja aku mau pakai sandal kayak gimana. Asal sandalnya nggak putus, dia nggak bakal komentar. Apakah aku perlu seneng dengan kepribadiannya? Yes. Im happy. Seenggaknya, dia nggak perlu tahu bagaimana nelangsanya aku ketika memarkir sandal di sebuah pertemuan, dan sandalku itu satu-satunya yang beda dari yang lainnya.)

Tapi aku nggak mau mengalami kesedihan itu lagi. Makanya setelah punya duit sendiri, aku merasa butuh beli sandal macam-macam. Meski suami ngomentarinnya aku boros, tapi coba dia mengerti bahwa sebenarnya ini adalah usaha untuk menjaga kehormatan kepala rumah tangga. Apakah aku salah? 

Comments

  1. Jadi laki-laki lebih hemat yah mba :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau soal sandal (menurutku) emang (harusnya) hemat. Tapi beda beda orang juga sih hehe

      Delete
  2. engga mecing ya kalau ke mall pake sandal jepit terus ke pasar tradisional pake hak tinggi :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tergantung orangnya juga sebenarnya. Kalau ke pasar tradisional pakai hak tinggi nggak jadi kepeleset, ya sah sah aja. Intinya kalau aku pilih nyamannya aja.

      Delete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk